Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati


Satu hal yang membuat saya selalu tertarik untuk membaca-baca putusan Mahkamah Agung yang sejak tahun 2008 yang lalu telah cukup banyak tersedia di website resmi Mahkamah Agung yaitu tak jarang saya menemukan putusan dengan perkara yang unik, menarik, maupun pertimbangan yang menarik. Pernah saya menemukan sebuah putusan dengan perkara yang sebelumnya sepertinya tidak mungkin sampai berakhir di meja hijau di pengadilan di Indonesia, bukannya perkara tersebut tidak pernah terjadi namun sepertinya terlalu kecil untuk dibawa ke pengadilan bahkan hingga kasasi, seperti dalam kasus Pohon Mangga yang pernah saya muat juga di blog ini. Pernah juga saya menemukan putusan dengan pertimbangan hukum yang sangat progresif, dimana Mahkamah Agung menggugurkan putusan judex facti oleh karena pada saat dilakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan Terdaka (saat itu Tersangka) tidak didampingi oleh Penasihat Hukum [lihat ini]. Selain itu tak jarang juga dengan membaca-baca putusan Mahkamah Agung saya menemukan inkonsistensi Mahkamah Agung, yang tak jarang inkonsistensi tersebut terjadi dengan anggota majelis yang sama atau setidaknya terdapat sebagian anggota majelis yang sama.

Kini lagi-lagi saya menemukan lagi putusan Mahkamah Agung yang cukup membuat saya takjub. Kali ini terkait dengan hukuman mati. Hukuman mati memang selalu menjadi isu yang cukup menarik untuk dibahas. Sebagian masyarakat menganggap bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia oleh karenanya harus dihapuskan dari sistem hukum Indonesia, namun di saat yang sama terdapat sebagian lagi masyarakat yang tak hanya berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia bahkan mendorong hukuman mati ini diterapkan untuk beberapa jenis perkara, misalnya korupsi.

Konstitusionalitas hukuman mati ini sendiri pernah diuji di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 oleh beberapa orang yang merupakan terpidana mati atas perkara Narkotika, namun oleh MK melalui putusannya nomor 2-3/PUU-V/2007 dinyatakan hukuman mati tidak melanggar konstitusi, walaupun dalam perkara ini terdapat 3 orang Hakim Konstitusi yang melakukan Dissenting Opinion yang berpendapat bahwa hukuman mati inkonstitusional (dan satu orang Hakim Konstitusi dissenting atas dasar para pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan).

Namun walaupun MK telah menyatakan hukuman mati tetap konstitusional, di luar dugaan saya MA pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam perkara PK nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan terpidana Hanky Gunawan membatalkan hukuman mati dalam suatu perkara psikotropika dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Pembatalan vonis hukuman mati memang telah beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Agung. Misalnya dalam putusan Nomor 85 K/Mil/2006 (Kolonel M. Irfan Jumroni) terpidana yang dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Militer dalam kasus pembunuhan berencana terhadap mantan istrinya dan seorang hakim yang terjadi di Pengadilan Agama, yang oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi diubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Yang berbeda dalam perkara PK Hanky Gunawan ini adalah pertimbangan mengapa MA (Majelis PK) mengubah pidana mati tersebut menjadi penjara 15 tahun. Dalam pertimbangannya yang cukup singkat MA pada intinya menyatakan bahwa pidana mati melanggar konstitusi, khususnya pasal 28 ayat (1) yang mengatur tentang hak hidup, dimana menurut MA hak hidup tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable right), tidak terkecuali oleh putusan hakim/Pengadilan. Atas dasar ini lah MA dalam PK-nya menyatakan MA (Majelis Kasasi) melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata.

Selengkapnya, berikut ini pertimbangan lengkap Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Hakim Agung H. M. Imron Anwari, SH, SpN MH, beserta Achmad Yamanie, SH, MH dan Prof. Dr. H.M. Hakim Nyak Pha, SH, DEA sebagai anggota majelisnya dalam putusan PK nomor 39 K/Pid.Sus/2011 hal 53-54.

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

  • Bahwa dalam rangka penjatuhan pidana terhadap tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu :
  • Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman adalah menjadi wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris (tidak tunduk pada kasasi) ;
  • Bahwa tujuan pemidanaan adalah bersifat edukatif, korektif dan preventif ;
  • Bahwa untuk menjaga disparitas hukuman terhadap tindak pidana yang sama yang dilakukan oleh Terdakwa yang secara nyata telah dilakukan secara bersama-sama dan terhadap pelaku yang lainnya telah mendapatkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap ;
  • Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 : “everyone has the right to life, liberty and security of person”. Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
  • Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989 tentang HAM yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun”.
  • Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan Hakim/Putusan Pengadilan.
  • Bahwa dengan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata oleh Majelis Hakim dalam tingkat Kasasi dalam memutus perkara No. 455 K/Pid.Sus/2007 tanggal 28 November 2007 serta demi memenuhi Rasa Keadilan dan Hak Asasi Manusia, maka beralasan hukum apabila putusan Kasasi tersebut dibatalkan oleh Majelis Peninjauan Kembali ;

 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas menurut Majelis Peninjauan Kembali, terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.455 K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.256/Pid/2007/PT.SBY., tanggal 11 Juli 2007 jo putusan Pengadian Negeri Surabaya No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY., tanggal 17 April 2006 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut ;

Perkara Hanky Gunawan ini sendiri merupakan perkara psikotropika dimana HG didakwa sebagai pemilik pabrik ekstasi. Di tingkat pertama PN Surabaya menjatuhkan hukuman selama 15 tahun penjara. Di tingkat banding PT Surabaya memperberat hukuman yang dijatuhkan kepadanya menjadi selama 18 tahun penjara. Di tingkat kasasi yang dipimpin oleh hakim agung yang juga merupakan Ketua Muda Pidana Khusus pada saat itu (tahun 2007) Iskandar Kamil, SH beserta Prof. Komariah Emong Sapardjaja, SH dan Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH, MH sebagai anggota majelisnya membatalkan hukuman yang dijatuhkan PT Surabaya tersebut, dan mengubahnya menjadi pidana mati sesuai dengan tuntutan Penuntut Umum.

Dengan putusan PK Hanky Gunawan ini tentu pertanyaan yang timbul adalah apakah dengan pertimbangan yang demikian MA tidak akan lagi menerapkan pidana mati serta akan membatalkan seluruh pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri dan atau pengadilan tinggi? Entah. Tapi sepertinya tidak, MA secara kelembagaan sepertinya akan tetap menganut pandangan bahwa pidana mati tetap dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi maupun hak asasi manusia. Mengapa demikian?

Putusan PK Hanky Gunawan ini diputus MA pada tanggal 16 Agustus 2011, belum genap setahun dari putusan tersebut – tepatnya 5 juli 2012, MA ternyata menolak PK terpidana mati lainnya, yaitu Very Idham H alias Ryan, pelaku pembunuhan sejumlah orang yang cukup menghebohkan beberapa tahun lalu. PK Ryan nomor 25 PK/Pid/2012 ini diputus oleh majelis hakim yang terdiri dari Dr. Artidjo Alkotsar, SH, LLM sebagai ketua majelis dan Dr. Salman Luthan, SH. MH serta Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH, MH sebagai anggota majelisnya. Dengan ditolaknya PK Ryan tersebut maka secara tidak langsung MA ternyata tetap menganggap pidana mati tidak inkonstitusional. Atau setidaknya pandangan bahwa pidana mati inkonstitusional tidak dianut oleh seluruh hakim agung yang ada di Mahkamah Agung.

Pandangan Dua Hakim Agung Sebelumnya atas Pidana Mati

Satu hal yang menarik dari putusan PK Hanky Gunawan ini adalah bagaimana sikap para hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini sebelum-sebelumnya dalam kaitannya dengan pidana mati. Dari data yang saya miliki ternyata setidaknya dua dari tiga hakim dalam perkara ini pernah memeriksa dan memutus perkara yang juga terkait dengan pidana mati. Hakim Agung Imron Anwari, SH, SpN, MH sebelumnya pernah duduk sebagai anggota majelis perkara nomor 85 K/Mil/2006.

Dalam perkara yang diputus tahun 2007 ini dengan terdakwa Kolonel M. Irfan Djumroni sebelumnya divonis mati oleh Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di tingkat pertama. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Militer Utama. Di tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan vonis mati tersebut dan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup dengan pertimbangan bahwa pidana mati harus diterapkan secara selektif dan hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu saja yang luar biasa yang menimbulkan efek yang luas atau membahayakan atau merugikan masyarakat umum atau orang banyak, sementara dalam perkara a quo dimana terdakwa melakukan pembunuhan terhadap mantan istrinya serta seorang hakim yang mencoba melindungi istrinya tersebut tidak masuk dalam kriteria tersebut. Akan tetapi putusan MA tersebut tidak lah bulat, salah seorang anggota majelis berbeda pendapat. Menurut hakim agung yang berbeda pendapat tersebut dalam perkara tersebut pidana mati yang dijatuhkan judex facti telah tepat. Hakim Agung yang berbeda pendapat tersebut adalah Imron Anwari, SH, SpN, MH.

Tak hanya dalam perkara Kol. M. Irfan Djumroni tersebut yang menunjukkan Hakim Agung Imron Anwari, SH, SpN, MH menyetujui pidana mati. Dalam perkara pembunuhan berencana lainnya, yaitu perkara nomor 1835 K/Pid/2010 dengan terdakwa Herri Darmawan beliau –kali ini beserta dengan salah satu Hakim Agung lainnya yang juga duduk sebagai anggota majelis dalam perkara Hanky Gunawan di atas, Achmad Yamanie, SH, MH) menolak kasasi yang diajukan Herri Darmawan yang oleh Pengadilan Negeri dijatuhi hukuman mati yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Dalam putusan kasasi yang diputus 5 nopember 2010 ini memang terdapat satu orang anggota majelis yang berbeda pendapat, dimana beliau menyatakan bahwa dalam perkara tersebut pidana mati tidak layak dijatuhkan kepada terdakwa, namun hakim agung tersebut bukanlah hakim agung Imron Anwari SH, SpN, MH maupun Achmad Yamanie, SH, MH, melainkan Prof. Dr. Surya Jaya, SH, M.Hum. Dalam salah satu pertimbangannya kedua hakim agung yang menolak permohonan kasasi terdakwa dan tetap menyatakan vonis mati yang dijatuhkan judex facti tersebut telah tepat menyatakan bahwa pidana mati sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif.

Baik putusan Kolonel M. Irfan Djumroni maupun Herri Darmawan memang diputus sebelum putusan PK Hanky Gunawan di atas, jadi bisa saja kemudian kedua hakim agung tersebut, Imron Anwari, SH, SpN, MH maupun Achmad Yamanie, SH, MH kemudian mengalami perkembangan pemikiran di dalam dirinya, sehingga setidaknya hingga saat ini kita belum bisa menyatakan keduanya inkonsisten dalam kaitannya dengan penerapan pidana mati. Bisa saja dikemudian hari ternyata pandangannya dalam mengenai pidana mati akan serupa dengan putusannya dalam PK Hanky Gunawan tersebut. Akan tetapi terlepas dari itu pertimbangannya dalam PK Hanky Gunawan ini tetap menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi.

Update 9 Oktober 2012

Dalam seminggu belakangan ini putusan Hanky Gunawan ini ternyata cukup menjadi isu serius di berbagai Media. Dari penelusuran yang dilakukan Detik ditemukan fakta menarik, ternyata MA pernah juga membatalkan vonis mati dengan alasan yang serupa, yaitu dalam kasus Hillary K. Chimezie (45 PK/Pid.Sus/2009), warga negara Nigeria terpidana mati kasus narkoba. Dalam salah satu pertimbangannya di halaman 105 Majelis PK memberikan pertimbangan:

Bahwa terlepas dari semua uraian-uraian tersebut di atas, mengenai amar putusan Judex Juris terhadap Terdakwa (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan (berupa) hukuman mati , majelis akan memberikan pertimbangan sebagai berikut :

“Bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) jo . Pasal 4 Undang- Undang No.39/1999 tentang Hak azasi Manusia 10 Declaration of Human Right article 3: “everyone has the right of life, liberty and security of person, artinya : setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu ; ”

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembal i dari Pemohon Peninjauan Kembali : HILLARY K. CHIMEZIE tersebut dan putusan Judex Juris / Mahkamah Agung No. 643 K/Pid.Sus /2009 tanggal 19 Juli 2004 tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harus dibatalkan, dan Majelis Peninjauan Kembali akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana tersebut di bawah ini ; …dst

Dalam perkara di atas alasan HAM memang bukan satu-satunya alasan. Dalam pertimbangan sebelumnya Majelis juga mempertimbangkan bahwa dalam perkara tersebut terdapat dugaan penyiksaan serta rekayasa bukti yang dilakukan oleh penyidik. Alasan ini pula lah yang akhirnya membuat salah seorang anggota majelis memutuskan untuk berbeda pendapat. Jika 2 orang hakim agung lainnya memutuskan untuk mengubah sanksi yang dijatuhkan kepada Terpidana dari pidana mati menjadi 12 tahun penjara, Hakim Agung Timur P Manurung  mengambil sikap yang lebih ekstrim lagi, yaitu membebaskan Terpidana dari seluruh dakwaan. Putusan PK ini diputus pada tanggal 6 Oktober 2010, hampir setahun sebelum putusan Hanky Gunawan, dengan ketua majelis yang sama dengan PK Hanky Gunawan, yaitu Imron Anwari, SH, SpN, MH dan Timur P Manurung, SH, MH dan Suwardi, SH sebagai anggota-anggota majelis.

Putusan lainnya yang saya temukan berkat penelusuran Detik.com tersebut yaitu perkara salah satu anggota Bali Nine yaitu Myuran Sukumaran (No. 38 PK/Pid.Sus/2011). MS divonis mati karena kasus narkotika oleh PN Denpasar. Putusan ini diperkuat hingga tingkat Kasasi. Atas putusan Kasasi tersebut ia kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Permohonan PK tersebut pada intinya mempermasalahkan vonis mati terhadapnya. Dalam salah satu alasan kasasinya ia mengangkat isu ICCPR serta hak hidup yang diatur dalam UUD 1945 yang telah di amandemen. Namun alasan PK tersebut ditolak oleh majelis PK tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tersebut tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :

Bahwa setelah mencermati putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 626/PID.B/2005/PN.DPS jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/PID.B/2006/PT.DPS jo. Putusan Mahkamah Agung No. 1693 K/PID/2006 atas nama Terdakwa Myuran Sukumaran alias Mark, Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa dalam putusan tersebut tidak ada kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata ;

Bahwa walaupun dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 menyatakan bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup dan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian III Pasal 6 ayat (1) menyatakan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, akan tetapi dalam ayat (2) menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlakupada saat dilakukannya kejahatan tersebut ;

Bahwa hingga saat ini penjatuhan pidana mati masih dianut dan diberlakukan dalam Hukum Positip di Indonesia (Pasal 10 KUHP) dan dalam hubungannya dengan perkara a quo Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menentukan: “Barangsiapa tanpa hak atau melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika Golongan I dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” ;

Bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang serius sehingga diancam dengan pidana mati dan tindakan Terdakwa sangat mempengaruhi masa depan Bangsa dan Negara Indonesia dengan pengrusakan mental generasi muda.

Bahwa tentang kesaksian dari Terdakwa lainnya tidak ada larangan dalam undang-undang, yang penting saksi tersebut tidak diajukan dalam satu berkas perkara ;

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP ;

Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan pasal 266 ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ;

Jika diperhatikan, pertimbangan di atas sangat bertolak belakang dengan pertimbangan baik dalam putusan PK Hillary K Chimezie maupun Hanky Gunawan. Menariknya, putusan  yang diputus 1 tahun setelah putusan Hilarry K Chimezie dan 3 bulan sebelum putusan Hanky Gunawan ini, yaitu tanggal 16 Juli 2011 memiliki nomor urut perkara yang hanya terpaut 1 nomor dari putusan Hanky Gunawan, yaitu 38 PK/Pid.Sus/2011. Lebih menarik lagi majelis hakim yang memutus perkara ini pernah duduk dalam dua kasus tersebut sebelumnya (PK Hillary dan PK Hanky Gunawan) yaitu Imron Anwari, SH, SpN, MH sebagai Ketua Majelis, beserta Achmad Yamanie, SH, MH dan Suwardi, SH.

Kini, menjadi suatu pertanyaan yang menarik, bagaimana ketiga hakim agung tersebut dapat berubah-ubah pandangannya terkait hukuman mati dalam kurun waktu yang tidak terlampau lama? Wallahualam.

Update 22 Oktober 2012

Saya menemukan 1 buah putusan lagi terkait pidana mati ini, yaitu putusan Peninjauan Kembali Nomor 144 PK/Pid.Sus/2011 (Okwudili Ayotanze). Dalam perkara ini Terpidana sebelumnya dijatuhi pidana mati oleh PN Tangerang, dan diperkuat hingga Kasasi karena menyelundupkan heroin masuk ke Indonesia sebanyak 1,150 Kg. Heroin tersebut ditaruhnya di dalam perut dengan cara memasukkannya dalam pil-pil dan menelannya. Atas vonis mati tersebut Terpidana kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada tahun 2011. Majelis PK kemudian menolak permohonan PK tersebut pada tanggal 4 Januari 2012, 5 (lima) bulan setelah putusan Hanky Gunawan di atas. Majelis PK ini terdiri dari Imron Anwari, SH, SpN, MH, sebagai Ketua Majelis, Suwardi, SH dan Achmad Yamanie SH, MH. Putusan ini menambah catatan inkonsistensi ketiga Hakim Agung tersebut terkait konstitusionalitas pidana mati.

Update 4 Desember 2012

1 putusan lagi saya temukan, kali ini bukan kasus narkotika tapi pembunuhan berencana, yaitu putusan kasasi nomor 1069 K/Pid/2012 dengan terdakwa Asep Dudung Budiman. Asep divonis mati oleh PN Bale Bandung karena terbukti melakukan pembunuhan berencana serta melakukan penadahan. Putusan tersebut diperkuat oleh PT Bandung. Di tingkat kasasi putusannya juga tetap diperkuat oleh MA walaupun argumen hak atas hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28 (1) serta UU 39 Tahun 1999 telah dikemukakan oleh Terdakwa/Pemohon Kasasi. Majelis kasasinya terdiri dari 2 hakim agung yang sebelumnya dalam putusan Hanky Gunawan menyatakan hukuman mati inkonstitusional, yaitu Prof. Dr. Hakim Nyak Pha, SH, DEA sebagai Ketua Majelis, dan Achmad Yamanie sebagai salah satu anggota majelisnya. Putusan kasasi ini diputus pada tanggal 8 Agustus 2012, setahun setelah putusan Hanky Gunawan.

2 thoughts on “Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati

  1. Pingback: Kolom: “Inkonsistensi yang mengganggu” – Tengens Partners

Leave a comment