Membongkar Mitos Omnibus dan Kodifikasi


1. Pengantar

      Omnibus Law merupakan metode yang berasal dari tradisi hukum common law dan tidak dikenal dalam tradisi hukum civil law. Pernyataan yang hampir ada disemua bahasan perundang-undangan sejak dibahasnya RUU Cipta Lapangan Kerja yang kemudian disahkan pada tahun 2020 yang lalu dengan nama UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Lihat saja misalnya pernyataan Prof. Jimly Assidiqi dalam tulisannya yang berjudul UU Omnibus (Omnibus Law), Penyederhanaan Legislasi, Dan Kodifikasi Administratif dimana beliau menyatakan “…Praktik semacam ini tentu tidak lazim di dalam tradisi ‘civil law’ tetapi untuk seterusnya dipandang baik dan terus dipraktikkan sampai sekarang dengan sebutan sebagai “Omnibus Law” atau UU Omnibus.”[1] Pernyataan dengan nada serupa bisa terlihat juga dari keterangan Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H[2]. yang diberikan di sidang pengujian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Nurfaqih Irfani, SH. MH,[3] dan juga banyak ahli hukum lainnya.

      Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Omnibus” ini? Dalam menjelaskan istilah ini hampir seluruh tulisan dan pernyataan yang ada mengacu pada Black’s Law Dictionary yang menjelaskan sebagai:

      1. A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision.

      2. A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals for new judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subjects such as new crimes and grants to states for crime control.

        Dan kemudian para pakar tersebut akan menjelaskan bahwa istilah ini pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1850. Lucunya, walaupun UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan terdapat bagian tersendiri yang membahas perencanaan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode Omnibus, namun dalam UU tersebut tidak dijelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan metode Omnibus ini.

        Dari berbagai pendapat para pakar tersebut terlihat juga metode omnibus seakan merupakan metode yang khas dari negara-negara tradisi common law yang tidak dikenal dalam tradisi civil law karena tradisi civil law telah memiliki sistem perundang-undangannya sendiri yaitu kodifikasi.[4] Namun apakah benar demikian?

        2. Praktik “Omnibus” di Negara-Negara Civil Law

          Apakah benar negara-negara Civil Law tidak mengenal atau tidak terlalu mengenal metode “Omnibus”? Pada bagian ini pertanyaan itu yang akan coba dijawab. Pembahasan pada bagian ini tidak akan berpedoman pada apa konsep atau pengertian Omnibus yang berkembang di negara-negara Common Law, namun berpedoman pada bagaimana “omnibus” yang diterapkan di Indonesia sebagaimana 2 undang-undang yang telah disahkan, yaitu UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam kedua UU tersebut keduanya pada dasarnya berisi satu undang-undang yang di dalamnya merevisi sejumlah undang-undang.

          Istilah Omnibus Law memang tidak terlalu dikenal dalam praktik perundang-undangan dalam tradisi Civil Law. Namun sepertinya selama ini para pakar hukum terjebak pada istilah “omnibus” itu sendiri, terlebih kalau melihat bagaimana kemudian model struktur undang-undang yang diterapkan pada UU Cipta Kerja dan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kedua UU ini disebut dengan uu model omnibus oleh karena kedua UU ini memuat perubahan atas beberapa undang-undang sekaligus. Pada UU Cipta Kerja, UU ini mengubah 78 UU. Sementara itu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengubah 6 UU. Pertanyaan yang seharusnya diajukan bukan lah apakah istilah Omnibus dikenal dalam praktik perundang-undangan di negara-negara Civil Law, melainkan apakah di negara-negara Civil Law dimungkinkan suatu undang-undang mengubah sekian banyak undang-undang lainnya.

          Pertanyaan di atas adalah penting karena pada dasarnya itu lah yang terjadi pada UU Cipta Kerja dan Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang membuat keduanya berbeda dengan undang-undang pada umumnya. Perbedaan tersebut yang kemudian menimbulkan reaksi dari masyarakat khususnya para pakar hukum. Selama ini memang dalam praktik hampir tidak pernah ada undang-undang dengan tema atau judul X di dalamnya merevisi juga undang-undang dengan tema atau judul Y, Z dst. Suatu undang-undang seakan hanya dapat direvisi, baik berupa penambahan suatu ketentuan atau pengubahan suatu rumusan ketentuan. Pengecualian dapat dan kerap terjadi jika pengubahan terhadap undang-undang lainnya berupa pencabutan pasal atau ayat, yang umumnya diatur dalam ketentuan peralihan atau penutup sebagaimana misalnya dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam ketentuan penutupnya pasal 43B beberapa pasal dalam KUHP dinyatakan dicabut. Praktik serupa juga ada pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mencabut beberapa pasal dalam KUHP di ketentuan penutupnya.

          Model pengubahan undang-undang yang selama ini berlangsung di Indonesia dapat diistilahkan dengan model linear, dimana UU A hanya dapat diubah dengan UU yang judulnya adalah UU tentang Perubahan Atas UU A. Sementara itu model pengubahan di mana suatu undang-undang dapat mengubah materi dalam undang-undang lainnya saya sebut dengan model non linear. Dalam model non linear ini maka UU A bisa mengatur perubahan, baik penambahan maupun pengubahan rumusan yang ada di UU B, C, D, dst. Dalam model non linear ini maka tidak terlalu penting apa judul dari UU tersebut, apakah menyatakan “Perubahan Atas Undang-Undang A” atau sejenisnya atau tidak, sebagaimana praktik di Indonesia yang diperkuat dengan UU No. 12 Tahun 2011.[5]

          Kembali ke pertanyaan awal, apakah di negara-negara Civil Law dimungkinkan suatu undang-undang merevisi undang-undang lainnya secara non-linear atau tidak. Atas pertanyaan ini jawabannya sederhana: bisa. Tidak ada yang aneh dari metode ini di negara-negara Civil Law, bahkan dapat dikatakan metode ini sejalan dan merupakan metode yang mendukung sistem kodifikasi yang memang berkembang di negara-negara Civil Law itu sendiri.

          Dari penelurusan yang penulis lakukan setidaknya metode ini telah diterapkan oleh Belanda pada tahun 1886 dalam Staatblad No. 64 Tahun 1886 tanggal 15 April 1886. Staatblad ini berjudul Invoeringswet Wetboek van Strafrecht (Undang-Undang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). UU ini tidak hanya mengatur pemberlakuan WvS namun di dalamnya juga mengatur perubahan materi dari undang-undang lainnya seperti Wetboek van Burgerlijke Regtsvordering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang disingkat dengan Rv) yaitu pada pasal 26-nya, Wet op de Rechterlijke Organisatie (Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) yaitu pasal 13 nya, Staatblad No. 5 Tahun 1886, dan sejumlah undang-undang lainnya. Perubahan-perubahan ketentuan dalam berbagai UU tersebut bisa dilihat di Pasal 8, 12, 14, 15, 16, 17, dan 24 Staatblad No. 64 Tahun 1886 tersebut.[6]

          Dalam tahun-tahun berikutnya model perubahan non-linear ini juga banyak ditemui pada perundang-undangan di Belanda. Sebagai contoh pada tahun 1922 diterbitkan Staatblad No. 246, staatblad ini setidaknya merevisi beberapa ketentuan pada UU Kepailitan Belanda (Faillingswet), beberapa ketentuan dalam Bab XXVI WvS yang mengatur perbuatan merugikan pemiutang atau yang mempunyai hak (Benadeling van schuldeisers of rechthebbenden) dan beberapa undang-undang lainnya.

          Dari penelusuran berikutnya, ditemukan Staatblad lainnya yang juga berisi sejumlah perubahan berbagai undang-undang dalam satu undang-undang, yaitu Staatblad No. 343 Tahun 1956 yang berjudul Wet tot opheffing van de handelingsonbekwaamheid van de gehuwde vrouw (Undang-Undang Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Perempuan yang Menikah)[7]. Undang-undang ini terdiri dari 5 pasal dimana pasal I berisi perubahan sejumlah pasal pada BW, Pasal II berisi berbagai perubahan dari UU Kepailitan (Faillingswet), Pasal III berisi berbagai perubahan dari UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Rv), Pasal IV berisi berbagai perubahan dari UU Hak Cipta (Auterswet) sementara pasal V nya berisi ketentuan penutup.

          Selain 3 contoh staatblad di atas sangat banyak lagi undang-undang di Belanda yang memuat perubahan dari sekian banyak undang-undang sekaligus, dan praktik semacam ini merupakan praktik yang jamak terjadi di Belanda hingga hari ini. Sebagai contoh pada tanggal 22 Desember 2021 yang lalu saja Belanda baru mengesahkan Staatblad No. 28 Tahun 2022 dimana pada pasal 3 UU tersebut berisi perubahan sejumlah pasal dalam WvS dan pasal 4 nya berisi sejumlah perubahan pasal yang ada dalam KUHAP nya (Wetboek van Strafvordering / Sv).[8]

          Model perubahan undang-undang secara non-linear ini pernah juga terjadi selama masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan awal-awal kemerdekaan. Salah satunya hasil penelusuran tersebut yaitu pada Staatblad No. 305 Tahun 1920 tentang Ordonansi Daftar Pusat Wasiat (Ordonnantie op het Centraal Testarnentenregister). Ordonansi yang berlaku di Hindia Belanda ini pada pasal 5-nya menambahkan 1 (satu) pasal pada Peraturan Jabatan Notaris di Hindia Belanda (Het Reglement op het Notaris-ambt in Nederhlandsche-Indie, Stb. 1860 No. 3) yaitu pasal 36a. Jika ditelusuri lebih jauh sangat mungkin ditemukan banyak staatblad lainnya yang menerapkan model serupa, yang berisi perubahan pada beberapa undang-undang lainnya. Sementara itu praktik yang pernah pemerintah Indonesia terapkan sendiri yaitu setidaknya dalam Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1954 tentang Mengubah “Indonesischecomptabiliteitswet” (Staatsblad 1925 No. 448) Dan “Indonesischebedrijvenwet” (Staatsblad 1927 No. 419). Seperti terlihat dalam judulnya, UU ini mengubah 2 undang-undang sekaligus, yaitu ICW dan IBW.

          Di Belanda terdapat dua konsep model perubahan sekian banyak undang-undang yang dilakukan melalui satu undang-undang, yaitu Veegwet (sweeping law) dan Verzamelwet (Collective Law). Veegwet adalah suatu undang-undang yang mengubah hal-hal teknis dalam beberapa undang-undang sekaligus. Veegwet ini disebut juga dengan technische verzamelwet. Sementara itu verzamelwet adalah suatu undang-undang yang mengubah secara substansial beberapa undang-undang melalui 1 undang-undang.[9]

          Apakah Belanda merupakan satu-satunya negara Civil Law yang menggunakan model perubahan non-linear ini? Tentu saja tidak. Praktik perundang-undangan di Perancis juga serupa dengan yang berlangsung di Belanda. Sebagai contoh misalnya LOI n° 2005-1549 du 12 décembre 2005 relative au traitement de la récidive des infractions pénales (LAW No. 2005-1549 of December 12, 2005 relating to the treatment of recidivism in criminal offenses-ing). UU ini berisi perubahan atas 4 UU, yaitu code penal (KUHP), Code De Procedure Penale (KUHAP), dan Code le sante publique (UU Kesehatan Masyarakat),.[10] Contoh lainnya dapat dilihat di LOI no 96-151 du 26 février 1996 relative aux transports (LAW No. 96-151 February 26, 1996 relating to transportation-ing)[11]. Undang-undang ini merevisi berbagai undang-undang lainnya, antara lain UU terkait Pelayaran, Custom, Code Penal, dan berbagai undang-undang lainnya.

          Tak hanya Belanda dan Perancis, model perubahan semacam ini juga telah lama berlangsung di Jerman. Khusus mengenai praktik di Jerman ini penulis tidak akan mengurai lebih jauh, Nurfaqih Irfani dalam artikelnya telah cukup banyak menjelaskan mengenai hal ini.

          Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa praktik perubahan undang-undang yang penulis istilahkan dengan “model non-linear” ini yang serupa dengan model yang dipergunakan pada UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang saat ini dikenal dengan istilah metode “Omnibus” pada dasarnya bukan hal yang baru di negara-negara Civil Law. Model, pendekatan atau metode semacam ini memang cukup asing dalam praktik perundang-undangan di Indonesia, namun bukan berarti langsung dapat disimpulkan tidak dikenal dalam tradisi Civil Law itu sendiri. Mungkin hal ini asing karena bisa jadi tradisi hukum kita memang sudah jauh dari tradisi Civil Law itu sendiri. Jauh dari Civil Law namun juga jauh dari Common Law. Jangan-jangan sebenarnya tradisi hukum kita yang memang berbeda sendiri, yang kalau diistilahkan mungkin lebih tepat disebut dengan tradisi hukum Uncommon Law.

          3. Omnibus dan Sistem Kodifikasi

           Seperti telah disinggung sebelumnya terdapat kesan mendikotomikan antara metode omnibus dengan kodifikasi, seakan omnibus adalah “produk” tradisi hukum Common Law sementara kodifikasi “produk” Civil Law. Seperti juga telah disinggung pada bagian sebelumnya, jika “omnibus” diartikan sebagai suatu model dimana suatu undang-undang dapat berisi perubahan beberapa undang-undang yang berbeda -yang penulis istilahkan dengan model non-linear, maka model ini telah lama dipraktikan di negara-negara Civil Law itu sendiri.

          Dalam perspektif kodifikasi sebagai sebuah sistem, ia bukan sekedar sebuah undang-undang yang sekali selesai. Dimungkinkannya perubahan suatu undang-undang dengan model non-linear ini tentu tidak hanya sejalan dengan sistem kodifikasi namun bahkan dapat dikatakan salah satu sistem penunjang sistem kodifikasi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena sistem kodifikasi membutuhkan agar substansi yang ada dalam undang-undang yang terkodifikasi tersebut dapat diubah dengan mudah apabila memang dibutuhkan, dan segala substansi undang-undang yang baru yang memang penting untuk dimasukan dalam kodifikasi tersebut haruslah dimasukan ke dalam UU yang terkodifikasi itu sendiri. Dengan demikian maka pengaturan suatu bidang hukum tertentu tidak terserak ke berbagai undang-undang tersendiri -sebagaimana saat ini terjadi di Indonesia- yang pada akhirnya menyulitkan “pengguna” undang-undang serta membuka peluang yang sangat besar terjadinya disharmoni perundang-undangan.

          Contoh konkrit dapat dilihat pada Staatblad 1886, No. 64 tentang Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht di Belanda. Dengan diberlakukannya WvS maka terdapat berbaga undang-undang lainnya di Belanda saat itu yang akan terdampak. Undang-Undang tersebut antara lain Wetboek van Burgelijke Regtsvordering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata), Rechterlijke Organisatie (UU Kekuasaan Kehakiman) dan lain sebagainya. Perubahan ini dilakukan dalam Stb. 1886, No. 64 itu sendiri, sehingga praktis tanpa harus membuat undang-undang perubahan masing-masing undang-undang tersebut.

          Contoh lainnya misalnya pada saat Belanda mulai mengintrodusir pertanggungjawaban badan hukum dalam KUHP-nya yang sebelumnya hanya diatur dalam UU Tindak Pidana Ekonomi (Wet Economische Delicten) melalui Staatblad 1976 No. 377, karena hal ini berpengaruh juga dengan bagaimana hukum acaranya maka UU perubahan tersebut sekaligus merevisi juga beberapa ketentuan dalam KUHAP (Sv) Belanda, serta beberapa undang-undang lainnya. Dengan demikian maka tak hanya KUHP nya yang terjaga, kodifikasi hukum acara pidananya juga terjaga. Prosedur penyidikan dst terhadap badan hukum akhirnya tidak diatur di luar KUHAP nya melainkan berada dalam KUHAPnya.

          Praktik yang berjalan di Indonesia saat ini dimana suatu UU tidak dapat memuat materi perubahan pada undang-undang lainnya, banyak mengakibatkan permasalahan. Sebagai contoh, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai memperkenalkan pertanggungjawaban korporasi alih-alih dilakukan dengan cara merevisi atau menambahkan ketentuan dalam KUHP sehingga pertanggungjawaban korporasi dapat diterapkan untuk semua tindak pidana, UU ini tidak melakukan hal tersebut, sehingga hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi itu sendiri. Selanjutnya, hampir semua undang-undang yang memuat juga ketentuan pidana masing-masing mengatur juga rumusan serupa dalam masing-masing undang-undangnya dengan cara yang sama, yaitu tidak memasukannya dalam KUHP. Akibatnya tak hanya pertanggung jawaban korporasi hanya berlaku untuk sebagian tindak pidana semata, rumusan antar satu dengan undang-undang yang lain juga menjadi tidak seragam yang mengakibatkan perbedaan penafsiran dan penerapan. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari “diharamkannya” suatu undang-undang mengubah atau menambah beberapa ketentuan dalam undang-undang lainnya.

          4. Mitos-Mitos Kodifikasi

          “Kodifikasi itu kaku, sulit untuk mengubah undang-undang yang disusun dalam bentuk kodifikasi”, “Kodifikasi sudah ditinggalkan, sekarang yang berkembang adalah modifikasi, karena kodifikasi itu tidak bertujuan mengubah perilaku, sementara modifikasi bertujuan mengubah perilaku masyarakat”. Statemen-statemen yang sering terdengar, terutama ditengah proses penyusunan RKUHP. Statemen-statemen yang menurut penulis lebih semacam mitos tanpa didukung fakta.

          Kitab Undang-Undang yang merupakan bentuk konkrit dari kodifikasi bukanlah kitab suci yang tak dapat diubah. Kitab undang-undang ya juga merupakan undang-undang yang tidak lebih tinggi atau rendah dari undang-undang pada umumnya. Ia bisa diubah sesuai dengan kebutuhan. Jika memang dirasa substansi yang ada di dalam kitab undang-undang itu dianggap sudah ada yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, ya tinggal diubah. Pengubahan undang-undang yang disusun secara kodifikasi tidak membutuhkan prosedur atau bentuk yang khusus, prosedur dan formatnya sama dengan perubahan undang-undang pada umumnya.

          Mari kita tengok Belanda. KUHP Belanda (WvS) berusia lebih tua dari KUHP Indonesia. WvS disahkan pada tahun 1881 dan diberlakukan pada tahun 1886. Hingga hari ini WvS masih dipergunakan. Namun bukan berarti tanpa perubahan. Perubahan WvS terjadi hampir setiap tahunnya bahkan tak jarang dalam 1 tahun dapat terjadi beberapa kali perubahan. Berdasarkan data Staatblad yang mengubah WvS terhitung sejak diberlakukan 1886 hingga tahun 2022 tercatat sebanyak 512 buah staatblad yang mengubah WvS, yang jika dirata-ratakan berarti dalam 1 tahun dapat terjadi 4 kali perubahan.[12] Perubahan-perubahan yang terjadi tak jarang hanya bersifat minor, misalnya pada staatblad 26 Tahun 2021 yang mengubah aturan Minuman Keras dan Katering (Drank en Horecawet) oleh karena kebijakan minuman keras tersebut diubah maka pengaturan pasal 252 ayat 1 ke 2 WvS ikut diubah. Perubahan hanya perihal usia yang disebut dalam pasal tersebut yang sebelumnya “sebelum 16 tahun” menjadi “sebelum 18 tahun”. Perubahan-perubahan yang dapat dikatakan minor jika dilihat dari jumlah pasal, ayat, atau bahkan kata, sangat sering dilakukan.[13]

          Frekuensi yang cukup tinggi juga terjadi pada baik KUHAP Belanda (Wetboek van Strafvordering) yang juga berbentuk kodifikasi maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-nya (BW). Perubahan terjadi hampir setiap tahun dan sama dengan WvS, tak jarang terdapat beberapa kali undang-undang yang mengubah keduanya dalam satu tahun. Hal yang sama juga terjadi baik di Perancis maupun Jerman.[14]

          Dengan seringnya contoh-contoh undang-undang dalam bentuk kodifikasi di atas dilakukan perubahan, lalu pertanyaannya, dimana kah sifat kekakuan kodifikasi?

          Apakah benar kodifikasi di negara-negara civil law mulai ditinggalkan? Entah fakta dari mana ini. Kodifikasi tidak hanya tidak ditinggalkan bahkan semakin berkembang. Di Belanda bahkan dengan disusun ulangnya BW, terjadi perubahan yang cukup besar pada BW di sana, dimana BW tidak lagi terdiri dari 4 buku namun saat ini telah menjadi 10 buku. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel/WvK) yang mengatur perserikatan perdata diinkorporasikan ke dalam BW yaitu menjadi Buku II BW. Sv (KUHAP) juga beberapa tahun ini mengalami penambahan 2 buku, yaitu Buku 5 dan 6. Penambahan Buku juga terjadi di Code Penal Perancis, yang pada awalnya terdiri dari 4 buku pada tahun 1992 ditambahkan 3 buku lagi menjadi 7 buku. Tentu merupakan hal yang kontradiktif jika negara-negara Civil Law tersebut dikatakan meninggalkan kodifikasi sementara yang terjadi justru terjadi penambahan-penambahan jumlah buku pada masing-masing undang-undang yang terkodifikasinya, bahkan seperti yang terjadi pada BW di Belanda, terjadi “merger” dua kodifikasi, yaitu BW dan WvK.

          “Kodifikasi tidak bertujuan mengubah perilaku, berbeda dengan modifikasi hukum.”  Pernyataan yang kerap dilontarkan oleh banyak ahli hukum. Semua norma hukum memiliki fungsi untuk mengubah perilaku, memiliki fungsi social enginering. Apakah pasal pembunuhan tidak dimaksudkan agar masyarakat tidak saling membunuh, membentuk suatu tatanan masyarakat tertentu?

          Undang-undang dalam bentuk kodifikasi maupun non kodifikasi pada prinsipnya sama. Sama-sama undang-undang. Sama-sama berisikan norma-norma hukum. Kodifikasi hanyalah bentuk, format, atau model belaka, dimana salah satu fungsinya adalah mempermudah masyarakat untuk mengetahui hukum (peraturan) itu sendiri. Bayangkan jika hukum pidana tidak terkodifikasi, akan sulit bagi masyarakat maupun aparat penegak hukum dan hakim untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa yang dilarang. Setiap delik diatur dalam undang-undang tersendiri, pencurian, pembunuhan, perkosaan, pemalsuan dan lain sebagainya. Dan masing-masing undang-undang pidana tersebut akan mengatur ketentuan keberlakuannya, tata cara pemidanaan, dasar penghapus pidana, percobaan, penyertaan, perhitungan masa daluarsa dan segala hal yang saat ini diatur dalam Buku I KUHP. Sungguh suatu sistem hukum yang sangat tidak efisien pada akhirnya jika hal itu terjadi.

          Karena kodifikasi hanyalah format belaka, maka dalam persepktif “law as a tool of social enginering” ia tak berbeda dengan undang-undang yang tidak terkodifikasi. Sistem kodifikasi juga tidak dimaksudkan agar semua hal diatur dalam bentuk kodifikasi. Di negara-negara eropa kontinental sendiri tetap ada undang-undang yang materinya tidak terkodifikasi. Aturan-aturan yang bersifat administratif yang khusus, misal lalu lintas, pajak dan lain sebagainya tidak berbentuk kodifikasi. Terkait ketentuan tentang tindak pidana pun tidak semua ketentuan pidana baik di Belanda, Perancis maupun Jerman hanya diatur dalam KUHP nya masing-masing, beberapa ketentuan pidana juga dapat diatur di luar kodifikasi.[15] Undang-undang yang berbentuk kodifikasi umumnya hanya undang-undang yang mengatur bidang-bidang hukum yang bersifat dasar, yaitu pidana, perdata, acara pidana dan acara perdata serta hukum administrasi.[16]

          Demikian.


          [1] https://www.jimlyschool.com/baca/34/uu-omnibus-omnibus-law-penyederhanaan-legislasi-dan-kodifikasi-administratif diakses tanggal 3 Juli 2022

          [2] Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 hal. 148 dst.

          [3] Omnibus Law: Antara Metode Dan Teknik Perundang-Undangan Serta “Best Practice” Di Jerman Sebagai Perbandingan, dalam Monograf Dekonstruksi Perundang-Undangan Indonesia. Dalam tulisannya penulis menyatakan “Indonesia sebagai negara dengan pengaruh sistem civil law, sebelumnya tidak terlalu familiar dengan istilah omnibus law.” Hal. 14.   

          [4] Lihat keterangan Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H, op.cit. Putusan MK hal. 152-153, Nurfaqih Irfani Ibid. Hal. 11-16.

          [5] Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Lampiran II diatur tentang teknik penamaan perundang-undangan perubahan, yaitu pada Bab II bagian D.

          [6] Naskah Staatblad No. 64 Tahun 1886 ini diperoleh dari Smidt, MR. E.A, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht, Vifjd Deel, Harlem, H.D. Tjeenk Willink & Zoon, 1901. Versi elektronik dapat diakses di https://wetten.overheid.nl/BWBR0001855/2002-01-01 . Pada versi online ini substansi pada pasal 8, 12, 14 dst tidak lagi dicantumkan, hanya tertulis [Red: Bevat wijzigingen in andere regelgeving] yang terjemahan bebasnya adalah ‘mengubah undang-undang lainnya’.

          [7] Lihat https://repository.overheid.nl/frbr/sgd/19551956/0000277056/1/pdf/SGD_19551956_0000990.pdf diakses tanggal 3 Juli 2022. File ini merupakan draft undang-undang dimaksud. Pada situs database perundang-undangan Belanda Overheid.nl belum seluruh dokumen sebelum tahun 1980 tersedia file elektroniknya. Namun beberapa file komunikasi antara pemerintah dan parlemen dalam membahas suatu rancangan undang-undang telah tersedia untuk dokumen setelah tahun 1950an. Walaupun dokumen yang dipergunakan adalah masih berupa draft, namun dari penelusuran keempat undang-undang yang disebut terlihat ada kesamaan nomor dan tahun staatblad yang mengubahnya.

          [8] Lihat Staatblad 2022, 28 https://zoek.officielebekendmakingen.nl/stb-2022-28.html diakses tanggal 3 Juli 2022.

          [9] Lihat https://www.kcbr.nl/beleid-en-regelgeving-ontwikkelen/aanwijzingen-voor-de-regelgeving/hoofdstuk-6-wijziging-en-intrekking-van-regelingen/ss-61-algemene-uitgangspunten/aanwijzing-64-toelaatbaarheid-verzamelwetten

          [10] Lihat https://www.legifrance.gouv.fr/jorf/id/JORFTEXT000000786845/

          [11] Lihat https://www.legifrance.gouv.fr/jorf/id/JORFTEXT000000558548

          [12] Data staatblad perubahan WvS dapat dilihat di sini https://wetten.overheid.nl/BWBR0001854/2022-07-01/0/informatie#tab-wijzigingenoverzicht . Data diakses pada tanggal 4 Juli 2022. Dari data yang tersedia tersebut masih terdapat lebih dari 10 staatblad perubahan WvS yang belum diundangkan, masih dalam tahap pembahasan.

          [13] Lihat Pasal III pada https://zoek.officielebekendmakingen.nl/stb-2021-26.html

          [14] Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada Code Penal Perancis dapat dilihat di laman berikut: https://www.legifrance.gouv.fr/codes/id/LEGITEXT000006070719/ . Untuk mengakses KUHP Jerman dapat diakses pada laman berikut: https://www.gesetze-im-internet.de/stgb/BJNR001270871.html

          [15] Beberapa contoh ketentuan pidana yang di atur di luar sistem kodifikasi di Belanda yaitu pidana pajak, pidana pelanggaran lalu lintas, dan tindak pidana ekonomi (wet economische delicten).

          [16] Ketentuan bahwa keempat bidang ini diatur dalam bentuk kodifikasi terdapat pada Konstitusi Belanda. Pada pasal 107 Konstitusi Belanda tersebut disebutkan “De wet regelt het burgerlijk recht, het strafrecht en het burgerlijk en strafprocesrecht in algemene wetboeken, behoudens de bevoegdheid tot regeling van bepaalde onderwerpen in afzonderlijke wetten.”( The law regulates civil law, criminal law and civil and criminal procedure law in general codes, subject to the power to regulate certain subjects in separate laws) Model rumusan serupa ditemukan pada Pasal 102 UUDS yang diundangkan dengan UU No. 7 Tahun 1950.

          Leave a comment