13 Mei 98


Sedikit catatan saya tentang peristiwa di tanggal 13 Mei 1998. Catatan ini dibuat sekedar untuk dokumentasi semata, sebelum lupa dari ingatan, khususnya ingatan saya sendiri. Terdapat beberapa detil peristiwa yang akan saya ekslporasi lebih jauh dalam lain kesempatan.

Catatan ini dibuat di dua tahun yang berbeda. Setengah saya tulis mei tahun lalu (2010), dan setengahnya lagi mei tahun ini (2011). Bukan, saya bukan aktivis 98, hanya mahasiswa yang kebetulan suka ikut aksi. Dan saya tidak sendiri, ada puluhan ribu mahasiswa lainnya yang juga ikut aksi pada tahun 1998.

Pagi itu sekitar jam 5.30 kamar kost saya digedor-gedor oleh seseorang. Kantuk masih sangat terasa karena sebelumnya (dan setiap malam) baru tidur sekitar jam 2-3 pagi. Ketika horden saya buka saya tak bisa melihat siapa yang menggedor pintu, hanya sebuah sosok hitam yang menyatu dengan remangnya pagi di Kukusan Teknik. Setelah pintu saya buka saya baru sadar, ternyata dia adalah Abdul Qodir, teman seangkatan saya di FHUI. Orangnya memang hitam legam, jadi wajar jika saya sebelumnya tak bisa melihat wajahnya.

Wajah Qodir tak seperti biasanya, serius dan terlihat belum tidur. Saya teringat betul kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya “Sil, 6 Mahasiswa Trisakti ditembak. Pagi ini jam 8 akan ada aksi di Trisakti. UI diminta untuk mimpin aksi di sana. Kita disuruh untuk nyari 200 mahasiswa siap mati untuk jadi keamanan. Loe tolong bantuin cari ya, nanti kita kumpul di Posko KBUI.” Saya hanya terdiam mengangguk. Saat itu kata-katanya tidak terdengar berlebihan, hanya saja sekarang kalau diingat-ingat lagi jadinya terkesan berlebihan. Teringat obrolan saya dengan beberapa kawan di kostan malam sebelumnya, Botol aka Lucky A Lontoh (FHUI95), Bangkok aka Sandy Widjaya (Arkeo 95), dan Eko Nugroho (FHUI 96). Saya teringat jelas kami berkelakar malam itu setelah mendengar kabar bahwa UI akan menskors aksi sampai waktu yang tidak ditentukan akibat insiden Gunadarma tanggal 5 Mei. “Kalau babe (Soeharto) lagi keluar (negeri) emang mending ga usah aksi dulu, biasanya akan ada masalah”. Malam itu kita semua belum mendengar kabar ada penembakan di Trisakti sore harinya. Maklum, waktu itu belum ada yang punya handphone, pager pun tidak ada yang punya. Radio rusak, TV juga rusak. Satu-satuya informasi yang bisa kita dapat yaitu kalau kita nongkrong di Posko KBUI, di lapangan parkir Sastra.

Setelah Qodir menyampaikan maksudnya dia langsung kembali pergi, setelah sebelumnya minta sebatang rokok dulu dari saya. Saya langsung ke seberang kost, ke kamar Botol-Sandy dan Eko. Pintu kamar botol-sandy langsung saya buka (kebetulan memang ga pernah dikunci), dan setelah mereka setengah bangun langsung saya sampaikan seperti yang diceritakan Qodir. Mereka berdua hanya terdiam, mungkin ekspresinya sama dengan saya ketika mendengar kabar dari Qodir.

Singkat kata pukul 6.30 an kami berempat berangkat ke Posko. Sudah ada beberapa orang di sana. Yang saya ingat Dedi N (FH 96), Rival (FH 93), Dedy MIPA, dan beberapa akan Posko lainnya yang saya lupa siapa saja. Rival (kalo tidak salah) memberitahukan kepada saya agar kumpul di Barel (Balik Rel seberang FHUI), dari sana nanti kita semua akan berangkat. Saya, eko dan sandy kemudian ke FH. Saya lupa apakah Botol ikut atau tidak. Di FH saya mencari teman2 lainnya yang bisa saya ajak. Saya tidak berhasil, karena masih terlalu pagi, dan yang baru tiba umumnya perempuan. Kami kemudian pergi ke Barel. Di sana bertemu dengan Kurniadi yang baru saja datang dari arah gang Damai. 1 orang berhasil kami ajak. Di Barel sudah ada beberapa rekan lainnya dari fakultas lain. Saya lupa siapa-siapa saja mereka.

Semua orang kemudian mengantri telpon umum untuk menelpon pacar atau keluarganya. Wajah mereka tampak kusut setelah menelpon. Saya bingung, apakah memang se-ngeri itu nanti sehingga kami harus memberitahukan keluarga atau pacar. Akhirnya saya putuskan untuk juga ikut-ikutan menelpon rumah. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 7.30 pagi. Telpon diangkat oleh ibu saya, kemudian saya mengatakan “ma, acil mau ke Trisakti, kemarin ada mahasiswa Trisakti yang meninggal. UI diminta untuk mimpin aksi, mungkin akan rusuh” begitu kira-kira kata-kata saya dengan nada sedikit tegang. Ibu saya menjawab “Iya, ini juga sekarang lagi ada di TV. Kok bisa gitu cil? Di berita katanya aksinya mau jam 8, sekarang acil di mana?” “masih di depok” jawab saya. “Lha kok masih di depok? Sekarang kan udah hampir jam 8? Cepetan tuh, nanti terlambat.” *Gubrak* itu perasaan saya setelah mendengar jawaban ibu saya. Saya mengira ia akan meminta saya untuk tidak pergi ke sana, sambil nangis-nangis atau apa. Perasaan jadi sedikit agak tenang tapi sekaligus sebal.

Kami kemudian berangkat ke Trisakti menggunakan Bis Umum (Patas AC 81 Kalideres-Depok). Sampai di Trisakti sekitar jam 8.30. Jalanan kebetulan cukup lancar. Mungkin karena hari itu sudah banyak yang tidak pergi kerja, sudah merasakan apa yang akan terjadi. Sampai di Trisakti suasana sudah tidak terkendali, semua orang marah. Setiap kali ada mobil polisi bahkan bis antar-jemput PNS yang melewati depan Trisakti di lempari batu oleh mahasiswa yang marah. Namun kerusuhan belumlah dimulai. Saya mencari anak-anak UI, ternyata hanya sedikit. Tak banyak Jaket Kuning yang terlihat. Agak bingung, katanya UI yang akan memimpin aksi hari itu. Akhirnya bertemu juga dengan Qodir.

Saya agak lupa dengan siapa Qodir bisa sampai ke Trisakti, apakah dengan Fakhri FT 94 atau yang lainnya. Kami kemudian mencoba mencari informasi serta anak-anak UI lainnya yang ada di sana. Tiba-tiba kami bertemu dengan Tam Tam, teman seangkatan di FH yang sudah DO. Dia bersama seorang rekannya. Kemudian kami bertemu dengan Rifqi Assegaf, FH 93.

Sekitar jam 10-11-an mengingat kondisi sudah tak terkendali akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan Trisakti. Semua rencana gagal. Kabarnya ada aksi juga di Depok atau Salemba, namun kabar tersebut simpang siur. Kebetulan teman Tam Tam membawa mobil, setelah kami bujuk akhirnya ia mau juga untuk ikut ke Depok, setidaknya menuju arah Depok, lumayan jadi tumpangan. Tepat saat kami berada di atas Jembatan Penyebrangan sebelah pintu gerbang Trisakti yang terletak di Jl. Kyai Tapa, terjadi keributan di dalam kampus. Ternyata Megawati dan Adnan Buyung (dan Amin Rais?) datang ke Trisakti, namun ketika mereka mencoba berorasi, mahasiswa marah, entah kenapa. Tokoh-tokoh tersebut dilempari oleh para mahasiswa.

Kami terus berjalan ke arah mobil yang diparkir tepat disamping POM Bensin tak jauh dari jembatan penyeberangan. Seingat saya kami saat itu berenam, saya, Qodir, Eko, Rifqi, Tam Tam dan temannya yang saya lupa siapa namanya. Mobil kemudian memutar dari pom bensin yang mengarah ke Roxy ke arah sebaliknya, perempatan Grogol. Tepat di depan gerbang Trisakti tiba-tiba mobil terhenti karena macet. Awalnya kami semua menyangka kemacetan terjadi karena ada sebagian mahasiswa yang keluar kampus karena marah. Namun tiba-tiba setelah 10-15 menit terhenti di arah depan, sekitar 50-100 m, tepatnya di bawah fly over grogol (yang beberapa tahun sebelumnya sempat rubuh pada saat dibangun) terlihat asap mengepul. Setelah saya sedikit melongo’ ternyata kepulan asap berasal dari sebuah truk sampah yang terhenti tepat di bawah fly over tersebut. Dan setelah itu tiba-tiba seluruh pengendara motor yang ada di depan kami panik berbalik arah, begitu juga dengan orang-orang yang berjalan kaki, semua lari ke arah kami. Kami semua yang berada di dalam mobil panik. Tam Tam kemudian bertanya dengan panik, “bagaimana nih?” kemudian saya sempat menyarankan agar kita keluar saja meninggalkan mobil karena perkiraan saya sudah tidak mungkin lagi mobil mundur karena di belakang juga sudah padat. Namun teman si Tam tam yang punya mobil tersebut menolak. Tentu saja ia menolak, karena itu mobil dia. Untungnya mobil-mobil dibelakang bisa bergerak mundur, sebagian mundur ke arah puteran yang untungnya tak jauh dari mobil kami. Setelah itu kami putuskan untuk mencari tempat untuk memarkir mobil dan kembali ke kampus Trisakti hingga suasana tenang.

Awalnya kami mobil hendak di parkir di tempat semula, yaitu di dalam pom bensin. Namun karena khawatir pom bensin tersebut terbakar akhirnya diputuskan agar mobil di parkir di sebuah jalan tak jauh dari pom bensin tersebut. Keputusan tersebut ternyata tepat, karena memang kemudian pom bensin tersebut dibakar entah oleh siapa.

Setelah berhasil memarkir mobil kami berlari ke dalam kampus Trisakti. Saat itu banyak orang tak hanya mahasiswa, namun juga orang yang kebetulan sedang berada di daerah tersebut masuk ke kampus. Saya belum tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi, saya masih menyangka suasana akan segera reda dan kami bisa kembali pulang ke Depok atau ikut prosesi penguburan 4 Mahasiswa yang tewas tertembak di Tanah Kusir (saat itu kabar masih simpang siur, berapa sesungguhnya jumlah mahasiswa yang tewas, 6 atau 4). Sesampainya di dalam kampus Trisakti kami langsung bergerak menuju pagar tepat di depan fly over untuk melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi. Beberapa mobil sudah terbakar, tak hanya truk sampah ternyata. Orang lari kocar kacir, sebagian melempari batu entah ke arah mana dan kenapa.

Tak lama berselang tiba-tiba datang beberapa orang teman kampus saya lagi, yang saya ingat Popo (Dwi Chahyadi), Dody Kirun (Dody Gusdianto), Rendy, dan Archie Hekagery, semua dari FHUI 96. Sepertinya ada beberapa teman lainnya yang ikut mereka namun saya lupa jelasnya. Mereka mengatakan datang naik mobil Rendy dan memarkir mobilnya di parkiran Citraland Mall tepat di seberang Trisakti. Archie datang bersama pacarnya dan juga memarkir mobilnya di Citraland Mall, pacarnya masih di sana.

Tiba-tiba terlihat banyak massa yang melempari batu dan sebagainya ke arah Citraland Mall, entah apa sebabnya. Archie dan Rendy serta teman-teman yang ikut mereka langsung panik, takut terjadi apa-apa dengan mobilnya. Akhirnya mereka putuskan untuk pergi ke Citraland Mall dan meninggalkan grogol, entah apakah kembali ke Depok atau Salemba.

Tak lama setelah mereka pergi ke Citraland Mall terlihat banyak asap mengepul dari arah tempat parkirnya. Kami berfikir pasti ada beberapa mobil yang terbakar. Pastinya kami tidak tahu karena tertutup fondasi fly over. Kami semua mengkhawatirkan keselamatan kawan-kawan kami dan mobilnya tersebut. Namun tidak ada yang bisa kami lakukan. Suasana sudah begitu chaos, tak berani kami pergi ke luar pagar.

Di luar terlihat massa sudah semakin beringas. Saya saat itu menyangka mereka adalah penduduk sekitar yang memanfaatkan situasi. Pembakaran mulai terlihat. Dari perbincangan-perbincangan orang disekitar diketahui mulai terjadi pembakaran di jalan yang mengarah ke Pesing, Jalan Raya Daan Mogot. Kebetulan daerah tersebut memang daerah padat serta banyak warga keturunan Cina. Pembakaran (atau kebakaran pada saat itu saya berfikirnya) juga terjadi di sepanjang jalan di depan RSJ Grorol (Rumah Sakit Gila) ke arah Jembatan Lima, yang juga daerah padat dan cukup banyak warga keturunan. Terdengar kabar lagi di jalan sepanjang Jl. Kyai Tapa mengarah ke arah Roxy juga sudah terjadi kerusuhan dan pembakaran. Persisnya saya tidak mengetahui, namun memang terlihat asap mengepul di ketiga jalan tersebut. Kepulan asap terlihat terus bergerak, menandakan kerusuhan dan pembakaran semakin meluas.

Suasana di dalam kampus Trisakti juga tak kalah histerisnya. Banyak mahasiswi yang teriak histeris dan menangis. Sementara para mahasiswa sibuk mencari batu atau apapun yang dapat dilempar untuk melempari aparat yang ada di luar kampus. Entah dari arah mana terlihat banyak polisi yang menembakkan gas air mata. Dua titik yang saya ingat terdapat aparat PHH (Pasukan Anti Huru-Hara), pintu gerbang yang terletak di samping kampus Universitas Tarumanegara dan pintu gerbang yang terletak di Jl. Kyai Tapa. Untuk mengurangi perihnya gas air mata kami semua membasahi kain apa pun yang bisa digunakan untuk menutup hidung.

Bunyi letusan senjata api terdengar di mana-mana, menyelingi suara teriakan-teriakan kemarahan atau tangisan histeris. Sebagian mahasiswa khususnya yang perempuan lari ke arah gedung atau lapangan di sebelah dalam. Sebagian lainnya tetap berada di lapangan parkir untuk melempari aparat. Kejadian ini berlangsung terus menerus, hampir tanpa henti, baik bunyi letusan maupun gas air mata. Sesekali gas air mata dijatuhkan dari helicopter, kalau saya tidak salah. Lama kelamaan bau gas air mata menjadi biasa, begitu juga suara letusan.

Siang hari kami bertemu Indra Jaya Piliang (IJP) di kampus Trisakti. Entah dari mana dan dari kapan ia di Trisakti, saya kurang memperhatikan. Hanya perasaan saat itu agak sedikit lega, karena selain kami berlima ada lagi anak UI dan cukup senior yang ada di kampus tersebut. Saya, Qodir, Eko, Tam Tam dan temannya selalu bersama, tidak pernah terpisah. Rifqi entah hilang kemana. Jalan-jalan sendirian keliling Trisakti. Qodir katanya sempat melihat ia berada di atas salah satu gedung Trisakti. Qodir hanya ngedumel sendiri, dasar orang tua ga tau diri, bukan menjaga juniornya malah juniornya yang mencari-cari dan mengkhawatirkan nasibnya. Hehehe.

Suasana chaos terus berlangsung hingga sore hari. Kami semua pasrah, apakah bisa kembali ke kampus atau tidak. Untungnya, menjelang maghrib suasana sedikit tenang. Tak tampak lagi PHH, yang bagi kami saat itu merupakan ancamannya, bukan massa. Massa di luar kampus Trisakti juga tampaknya sudah mulai berkurang. Sedikit demi sedikit ternyata para mahasiswa yang ada di kampus tersebut mulai memberanikan diri untuk pulang. Begitu juga kami.

Kami berjalan menuju mobil temannya Tam Tam diparkir. Pom bensin disamping terminal Grogol telah hangus terbakar. Kami semua bersyukur karena tidak jadi memarkir mobil di Pom Bensin tersebut, karena jika jadi maka ikut hanguslah mobil temannya si Tam Tam. Bangkai mobil hangus terlihat di pom bensin, dan dibanyak tempat.

Sesampainya di lokasi tempat mobil kami diparkir ternyata mobil tersebut sudah tidak ada. Kosong. Padahal sebelumnya banyak mobil terparkir. Ternyata mobil kami telah bergeser sekitar 100-200 m menjauh dari Pom Bensin. Entah siapa yang mendorong mobil tersebut, yang jelas yang telah bersusah payah menggesernya sangat mulia. Mobil dalam keadaan utuh, tak hilang atau rusak barang satu kaca pun.

Kami pun semua masuk mobil. Saya lupa, apakah IJP ikut mobil kami atau tidak. Yang saya ingat hanya saya, Qodir, Eko, Tam Tam, temannya Tam Tam, dan Rifqi. Temannya Tam Tam dengan baik hati mau mengantarkan kami ke Depok. Sebenarnya saya bisa saja pulang ke rumah, di daerah Palmerah, tapi perasaan saat itu ingin tetap kembali ke Depok. Tak mau kehilangan berita atau peristiwa ‘seru’ yang akan terjadi di Depok.

Ternyata jalan banyak yang tertutup atau ditutup. Beberapa kali kami mencoba mencari jalan, semua gagal. Ada yang terhalang mobol yang terbakar, ada yang ditutup dengan balok-balok kayu atau tong bekas, ada juga yang karena portalnya ditutup. Tapi akhirnya kami menemukan jalan memutar, munculnya di seberang Jelambar. Jalanan seperti baru perang, sepi dan banyak rumah, mobil, motor terbakar. Melewati Jl. S. Parman keadaan sedikit lebih baik, hanya pintu-pintu tol dalam kota yang semuanya terbakar.

Bagian terakhir yang saya ingat dari perjalanan menuju depok yaitu pintu tol di depan gedung MPR/DPR yang hangus terbakar, dan di depannya terdapat sebuah bangkai motor yang baru saja terbakar. Ingatan saya selanjutnya kami sampai di Depok, berhenti tepat di depan Posko KBUI.

Sekian.

Leave a comment