Kekhawatiran Praperadilan Paska Putusan MK dan Hakim Sarpin


Sah atau tidaknya penetapan tersangka dapat diajukan praperadilan menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 21/PUU-XII/2014. Putusan ini sejalan dengan putusan praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dengan pemohon Komjen Budi Gunawan yang diputus oleh hakim Sarpin yang selama sekian bulan mendapat cercaan publik. Kedua putusan ini menurut saya cukup penting dalam perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia, karena dapat merivitalisasi kembali fungsi praperadilan sebagai suatu mekanisme check and ballances kewenangan-kewenangan penegak hukum yang selama ini tidak terlalu optimal.

Ya, banyak pihak yang mencerca putusan Hakim Sarpin dan putusan MK ini, dapat melemahkan pemberantasan korupsi katanya. Tak kurang pendapat ini diutarakan oleh mantan dosen saya di FHUI, Akhiar Salmi dan juga rekan saya di FH Unand, Feri Amsari di Kompas hari ini (30/4/2015), dan juga banyak pihak lainnya mungkin, yang mayoritas mungkin rekan-rekan saya sendiri. Kekhawatiran utama mereka adalah adanya “badai praperadilan” terhadap penetapan tersangka oleh para tersangka itu sendiri atau penasihat hukumnya yang dapat mengganggu proses penyidikan. Kekhawatiran ini juga sempat diutarakan oleh KPK paska putusan Hakim Sarpin yang lalu memang, KPK mengeluh bahwa mereka kekurangan orang di Biro Hukum jika seluruh tersangka KPK mengajukan praperadilan.

Sebelum terlalu jauh mungkin perlu sedikit saya paparkan posisi saya dalam isu ini. Saya setuju dengan kedua putusan ini, menurut saya penetapan tersangka memang harus bisa diuji di Praperadilan. Bahkan tak lama setelah BW ditangkap dan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Bareskrim dalam satu forum yang diadakan oleh pihak Setkab saya dan beberapa rekan mengusulkan agar Jokowi menerbitkan Perppu untuk merevisi Pasal 77 KUHAP yang memungkinkan penetapan tersangka menjadi obyek praperadilan. Pertimbangannya, kewenangan menetapkan seseorang menjadi tersangka berpotensi disalahgunakan oleh penyidik (semua penyidik termasuk penyidik KPK), dan saya berpandangan bahwa berubahnya status seseorang dari manusia bebas menjadi tersangka dapat memiliki implikasi hukum yang mengurangi hak-haknya baik secara hukum maupun sosiologis, oleh karenanya penetapan tersangka pada dasarnya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk upaya paksa. Hal ini terbukti dari ditetapkannya BW sebagai Tersangka. Dengan menyandang status sebagai Tersangka ia harus dinon aktifkan dari KPK. Artinya hak-hak, kewajiban, serta kewenangan-kewenangan yang ada padanya sebagai pimpinan KPK menjadi berkurang bahkan hilang. Jika kita berbicara tentang “kriminalisasi” atau yang dalam istilah umum yang dikenal di banyak negara dengan “malicious prosecution” atau “abuse of process” maka pintu pertama dalam melakukan tindakan sewenang-wenang ini ya pastinya tidak akan jauh-jauh dari menetapkan seseorang sebagai tersangka secara sewenang-wenang, tanpa dasar yang cukup, dan dengan itikad buruk. Jika kita berpendapat bahwa penetapan tersangka seharusnya tidak bisa dipermasalahkan, ya sebaiknya tidak usah ngomong soal “kriminalisasi”, terima saja kalau anda merasa ditetapkan sebagai tersangka secara sewenang-wenang oleh penydik (polisi) sebagai takdir, dan terima segala implikasinya dari berubahnya status anda dari manusia bebas menjadi tersangka dengan lapang dada. Mau? Saya sih ogah.

Badai Praperadilan dan Antisipasinya

Sekarang saya mau masuk ke khawatiran Akhiar Salmi, yaitu jika penetapan tersangka bisa dipraperadilan kan maka semua tersangka akan mengajukan praperadilan, dan penegak hukum akan kelelahan menghadapi praperadilan, akhirnya proses penyidikan akan terhambat. Pandangan yang seakan logis. Hanya seakan.

Kekhawatiran ini memang seakan berdasar jika kita melihat bagaimana praktek praperadilan selama ini. Ambil contoh praperadilan Budi Gunawan yang diputus oleh Hakim Sarpin februari lalu. Sidang berlangsung hampir tiga minggu, dengan saksi dan ahli yang diperiksa begitu banyaknya, pihak penasihat hukum kedua belah pihak yang sangat banyak, dan jumlah lembar putusan yang lebih dari 200 halaman.

Pertanyaannya yang seharusnya dipertanyakan oleh Akhiar Salmi dan Feri Amsari sebagai akademisi jika mereka khawatir akan terjadi “badai praperadilan” adalah, apakah memang harus sebertele-tele itu praperadilan, terlebih praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka? Apakah prosedurnya masih bisa disederhanakan?

Saya sih berpandangan bisa. Praperadilan memang seharusnya sederhana, cukup satu kali sidang bisa kok. Dan tak perlu lah pihak penyidik menurunkan selusin Penasihat Hukum atau anggota Biro Hukum untuk menghadapi praperadilan. Buang-buang energi dan biaya. Bagaimana caranya?

Untuk menyederhanakan proses praperadilan kita perlu kembali melihat apa itu tersangka, kapan penyidik dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Dari ketentuan tersebut terlihat sebenarnya ada syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka, yaitu ada bukti permulaan. Dalam bahasa film-filmnya, ada probable cause. Bukti permulaan ini sebenarnya tidak harus berupa Alat Bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Yang paling penting adalah bahwa bukti permulaan tersebut memang bisa membuat penyidik berpandangan bahwa si X lah kira-kira pelakunya.

Ini yang seharusnya menjadi fokus dalam praperadilan atas penetapan tersangka. Pertanyaan kunci yang harus dijawab dalam praperadilan cukup lah soal apakah memang ada bukti permulaan yang cukup, dan, apakah dari bukti permulaan yang cukup tersebut penilaian penyidik cukup berdasar atau tidak, rasional atau tidak untuk menyatakan si X diduga adalah pelakunya. Penilaian penyidik tersebut tentu bersifat subyektif, tapi justru ini lah yang harus dinilai oleh hakim praperadilan, apakah penilaian subyektif tersebut berdasar atau tidak.

Pihak penyidik cukup menjelaskan kepada hakim praperadilan apa landasanya ia/mereka menetapkan Pemohon sebagai tersangka, apakah memang ada bukti-bukti yang bisa menunjukan hal itu atau tidak. Bukti-bukti tersebut tidak lah perlu dihadirkan secara langsung oleh pihak penyidik, hakim dapat percaya saja dengan penjelasan pihak penyidik apakah benar bukti-bukti tersebut benar ada atau tidak, karena penyidik telah disumpah. Jika dikemudian hari diketahui bahwa bukti-bukti yang disebutkan oleh penyidik tidak ada, maka pihak penyidik tersebut dapat dikenakan pidana karena memberikan keterangan palsu dibawah sumpah. Namun tentu saja jika hakim merasa perlu melihat sendiri bukti-bukti tersebut, hakim dapat memerintahkan pihak penyidik untuk menghadirkan bukti-bukti tersebut kehadapannya.

Sebagai ilustrasi, misal dalam suatu kasus pembunuhan. A diduga menjadi pelaku pembunuhan dengan korban B. Dalam penyidikan penyidik menemukan barang bukti berupa pisau berlumur darah. Pada pisau tersebut ditemukan sidik jari A, dan hanya sidik jarinya saja. Kemudian penyidik mendapatkan keterangan dari C tetangga B bahwa ia melihat A masuk ke rumah B sebelum akhirnya B ditemukan tewas. Kedua hal ini kemudian membuat penyidik menduga bahwa A lah pelakunya. A kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam sidang praperadilan, maka tak perlu lah pihak penyidik membawa secara langsung pisau tersebut, hasil visum maupun forensic yang menunjukan bahwa terdapat sidik jari tersebut. Tak perlu juga saksi C tersebut untuk dihadirkan. Pihak penyidik cukup memaparkan apa peristiwa pidananya (B terbunuh karena tusukan pisau), bahwa atas peristiwa tersebut ada hasil visumnya, dan ia memiliki bukti permulaan, yaitu pisau yang diduga adalah alat yang digunakan untuk membunuh korban, dan ada hasil forensik yang menunjukan bahwa ada sidik jadi A pada pisau tersebut, dan juga ia memiliki saksi yang melihat A pernah masuk ke rumah B sebelum B ditemukan tewas.

Dari pemaparan pihak penyidik tersebut kemudian hakim praperadilan menilai, apakah penjelasan pihak penyidik tersebut memang masuk akal atau tidak untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka, apakah memang terdapat probable cause atau tidak. Pemeriksaan ini tidak perlu sampai menilai apakah benar tersangka memang benar melakukan pembunuhannya atau tidak, karena itu jatahnya pembuktian di persidangan pokoknya.

Tak perlu pemeriksaan yang bertele-tele, terlebih menghadirkan ahli (ahli hukum pula). Hakim Praperadilan tak perlu menilai benar tidaknya substansi bukti yang dipaparkan pihak Penyidik, paling jauh cukup melihat apakah tata cara perolehan bukti-bukti tersebut telah sesuai prosedur atau tidak. Tak perlu juga surat permohonan, eksepsi, kesimpulan, maupun putusan yang panjang lebar dan berlembar-lembar. Putusan praperadilan bisa dibuat dalam beberapa halaman singkat.

Praperadilan Menghambat Penyidikan?

Kekhawatiran selanjutnya adalah jika tiap penetapan tersangka diajukan praperadilan, maka akan membebani penyidik, atau biro hukum dari pihak penyidik seperti yang terjadi di KPK, dan hal ini akan menghambat proses penyidikan itu sendiri.

Kekhawatiran ini memang terkesan logis jika, kembali kita melihat bagaimana praktek praperadilan selama ini yang terjadi. Misalnya yang terjadi pada KPK saat ini, dimana banyak tersangkanya yang kemudian mengajukan praperadilan. KPK merasa hal ini memberatkan, karena kurangnya SDM mereka di Biro Hukum dalam menghadapi praperadilan tersebut.

Namun, ada sesuatu yang salah dalam bagaimana praktek menghadapi praperadilan yang dilakukan oleh penyidik baik penyidik Polri maupun KPK. Mengapa yang diturunkan oleh pihak penyidik dalam menghadapi praperadilan adalah Biro Hukum?

Jika kita baca kembali KUHAP, khususnya pasal 109 dinyatakan bahwa jika penyidik telah memulai penyidikan, maka ia harus memberitahukannya kepada penuntut umum. Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Mengapa KUHAP mengatur hal ini? Tentu ada tujuannya. Tujuannya adalah agar proses penyidikan dapat diawasi dan dikendalikan oleh Penuntut Umum, jakwa yang dimaksud dalam Pasal 109 KUHAP ini lah yang bertugas untuk memastikan apakah tata cara penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah sesuai prosedur atau tidak, dan apakah bukti-bukti yang diperoleh cukup atau tidak, karena toh nantinya penuntut umum lah yang harus membawa perkara tersebut ke pengadilan dan membuktikan benar tidaknya dakwaannya.

Jadi dalam tiap perkara yang telah disidik tentu sudah ada Jaksa yang mendampingi penyidikan tersebut. Jaksa ini lah yang seharusnya diturunkan dalam praperadilan, karena ia lah yang seharusnya mengetahui seluk beluk penyidikan yang dilakukan oleh si penyidik, dan seharusnya mampu dalam mempertanggungjawabkan secara hukum proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.  Jadi bukan penyidik itu sendiri, penasihat hukum penyidik,  maupun biro hukum dari institusi yang menaungi penyidik tersebut. Dengan cara ini maka praperadilan tentu tidak akan menjadi beban yang berarti bagi. Praperadilan baru akan menjadi beban jika ternyata Jaksa yang ditunjuk sesuai pasal 109 KUHAP tersebut overload, karena banyak perkara lain yang ia tangani juga. Tapi ini tentu masalah manajemen penanganan perkara di institusi itu sendiri. Jika memang SDM baik penyidik maupun Jaksanya sudah overload, mengapa harus menambah perkara lagi?

Sekian

2 thoughts on “Kekhawatiran Praperadilan Paska Putusan MK dan Hakim Sarpin

  1. Pingback: Putusan Mahkamah Konstitusi Bagian Tahap Formulasi Penegakan Hukum Pidana | Muhammad Rijal

  2. ASSALAMU ALAIKUM
    ALHAMDULILLAH HIROBBIL ALAMIN
    atas RAHMAT SERTA HIDAYAH RIDHO DARI ALLAH SWT. , beliau punya solusi MASALAH HUTANG PIUTANG, BUTUH MODAL USAHA, INGIN MERUBAH NASIB,
    BANGKRUT USAHA,DI CACI MAKI,DI HINA,MENYENGSARAKAN/MENZHOLIMI ANDA ,KINI SAATNYA ANDA BANGKIT DARI KETERPURUKAN, AGAR ORANG LAIN TIDAK MENGHINA ANDA,
    BELIAU SIAP MEMBANTU ANDA DENGAN…
    -JUAL MUSUH
    -NIKAH JIN
    -DANA GOIB
    -UANG BALIK
    -UANG MATENG
    -MEGGNDKAN UANG
    -GENDAM PENAKLUK
    -PENGASIHAN
    -PELET HITAM
    -PELET PUTIH
    -SANTET MATI
    -ANGKA/SIO JITU
    di jamin 100% berhasil
    hubungi BELIAU :
    KH SA’ID ABDULLAH WAHID
    (AHLI ILMU GO’IB)
    HP: 082334608008
    D/A : BATU AMPAR-GULUK GULUK –
    SUMENEP – MADURA
    JAWA TIMUR
    TERIMA KASIH WASSALAM

Leave a comment