Kekuasaan Kehakiman Dalam Amandemen Konstitusi


 Amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada tahun 1999 hingga tahun 2002 yang lalu memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua buah institusi baru diperkenalkan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di samping Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam dua tahapan, yaitu pada amandemen ke-3 yang terjadi pada tahun 2001 dan amandemen ke-4 yang terjadi pada tahun 2002. Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga buah ketentuan berubah secara drastis menjadi 19 buah ketentuan.

 

Namun perubahan ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman saat ini dirasakan tidak berdampak banyak perubahan kondisi peradilan, khususnya badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.  Secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan –kecuali terhadap Mahkamah konstitusi – harus diakui masih cukup rendah, bahkan tampaknya tidak ada perubahan sebelum atau sesudah terjadi amandemen atas bab Kekuasaan Kehakiman tersebut. Keberadaan Komisi Yudisial yang menurut pasal 24B memiliki fungsi mengusulkan calon Hakim Agung serta wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat  serta perilaku hakim, suatu institusi yang awalnya diharapkan dapat membantu merubah kondisi peradilan Indonesia, tampaknya tak banyak membantu, setidaknya yang terlihat hingga saat ini.

 

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa perubahan konstitusi yang telah merubah cukup banyak ketentuan dalam Bab IX UUD 1945 ternyata tidak memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kondisi peradilan yang ada saat ini?

 

Sejak awal tahun 2000-an hingga saat ini perubahan memang banyak terjadi  di sektor peradilan khususnya yang berada di bawah Mahkamah Agung. Kita dapat membuat daftar panjang perubahan-perubahan yang terjadi di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya –terlepas dari apakah perubahan-perubahan tersebut memiliki dampak atau tidak. Misalnya ditetapkannya Agenda Perubahan Mahkamah Agung yang dikenal dengan nama Cetak Biru (Blue Print) Mahkamah Agung, dibentuknya berbagai macam Pengadilan Khusus termasuk Mahkamah Syariah di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, dialihkannya fungsi administrasi, organisasi dan finansial dari Pemerintah ke Mahkamah Agung (Penyatuan Atap), dibukanya akses informasi pengadilan melalui SK KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, dan lain sebagainya. Namun sejauh mana amandemen konstitusi berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tersebut?

 

Mahkamah Konstitusi

Jika diteliti lebih dalam sebenarnya amandemen konstitusi tidak memiliki peran yang cukup besar dalam perubahan yang terjadi di wilayah kekuasaan kehakiman. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi memang sangat berpengaruh dalam dunia hukum di Indonesia, namun tidak pada kondisi peradilan itu sendiri. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 pada dasarnya merupakan kewenangan-kewenangan baru yang sebelumnya memang juga bukan kewenangan dari Mahkamah Agung. Kelima masalah hukum yang menjadi kewenangan yang ada pada Mahkamah Konstitusi yaitu wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran partai politik, perselihan tentang hasil Pemilu dan permakzulan, sebelumnya pun bukan masalah hukum yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung,[1] sehingga berdirinya Mahkamah Konstitusi tidak berdampak banyak terhadap Mahkamah Agung. 

 

Satu-satunya hubungan antara Mahkamah Agung dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi hanyalah diaturnya peran Mahkamah Agung untuk mengajukan tiga orang untuk menjadi Hakim Konstitusi.

 

Mahkamah Agung

Pada bagian yang mengatur mengenai Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya yang terdapat dalam Pasal 24 dan 24A pada dasarnya juga tidak terdapat perubahan yang mendasar selain mengenai seleksi  Hakim Agung serta proses pemilihan Ketua Mahkamah Agung yang dilakukan secara internal yang mana sebelumnya berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 menjadi kewenangan Presiden dan DPR. Sementara itu ketentuan lainnya pada prinsipnya hanyalah pengukuhan atas hal-hal yang memang telah diatur sebelumnya, seperti misalnya ditetapkannya empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, pernyataan mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman, wewenang Mahkamah Agung, dan lain sebagainya yang mana sebelumnya hal-hal tersebut telah diatur dalam undang-undang[2].

 

Yang cukup menarik untuk dicermati adalah amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 seakan tidak menyinggung sama sekali perubahan besar yang sedang terjadi di bidang peradilan yang telah dimulai sejak 1999. Perubahan besar tersebut yaitu dimulainya sistem satu atap (one roof system), yaitu dialihkannya fungsi-fungsi administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah ke tangan Mahkamah Agung, ide yang telah bergulir sejak tahun 1950an. Selain penyatuan atap yang telah ditetapkan dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan lainnya yang terjadi pada tahun 1999 yaitu dengan diterbitkannya UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU No. 43 Tahun 1999 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa hakim termasuk sebagai Pejabat Negara.

 

Dengan dialihkannya kewenangan administratif, organisatoris dan finansial dari Pemerintah ke Mahkamah Agung serta ditetapkannya Hakim sebagai Pejabat Negara yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Agung? Apakah kewenangan-kewenangan tersebut terbatas pada kewenangan pengelolaan semata atau termasuk juga kewenangan pengaturan? Sebagai contoh, kewenangan pengaturan mengenai kepegawaian Hakim berada di tangan siapa? Apakah Mahkamah Agung atau Presiden? Atau mungkin DPR? Faktanya saat ini hakim masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang mana berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang meliputi penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, peningkatan kualitas, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak dan kewajiban dan kedudukan hukum berada pada Presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 UU No. 43/1999). Menariknya, walaupun UU No. 43/1999 itu sendiri juga menyatakan secara tegas bahwa hakim termasuk dalam kategori Pejabat Negara, namun peraturan-peraturan pelaksana seperti Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim diatur dalam PP No. 41 Tahun 2002 dimana di dalamnya sistem jabatan, golongan dan kepangkatan yang diatur adalah sistem yang berlaku bagi PNS pada umumnya. Begitu juga halnya dengan pengaturan mengenai sistem penggajian hakim, disiplin dan lain sebagainya.

 

Belum lagi jika kita berbicara mengenai Pengadilan Militer. Masalah-masalah di atas mungkin “relatif” lebih mudah diselesaikan untuk lingkungan peradilan selain peradilan Militer, namun khusus untuk peradilan militer tingkat kerumitan jauh lebih tinggi. Pada lingkungan Peradilan Militer kewenangan Mahkamah Agung jauh lebih terbatas lagi, khususnya yang berkaitan dengan masalah kepegawaian hakim. Hal ini dikarenakan berdasarkan UU 31/1997 hakim pada pengadilan Militer harus merupakan Prajurit dengan pangkat-pangkat tertentu sesuai dengan tingkatan pengadilannya. Mengingat kewenangan kepangakatan militer sepenuhya berada dibawah TNI maka peran Mabes TNI masih besar di Pengadilan Militer, atau dengan kata lain penyatuan atap tidak sepenuhnya terjadi pada lingkungan Peradilan Militer.

0

Jika kewenangan-kewenangan paska penyatuan atap ditafsirkan termasuk juga kewenangan pengaturan, misalnya pengaturan mengenai sistem kepangkatan hakim, formasi pengadilan, struktur organisasi pengadilan, pertanyaan selanjutnya adalah bentuk hukum apa yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Agung dalam melakukan pengaturan tersebut? Pejabat apa yang berwenang di Mahkamah Agung untuk mengeluarkan peraturan tersebut? Mekanisme hukum apa yang dapat dipergunakan untuk mengontrol kewenangan-kewenangan tersebut agar kewenangan tersebut tidak dipergunakan secara sewenang-wenang?

 

Di sisi lain jika ditafsirkan bahwa kewenangan-kewenangan pengaturan tersebut tetap berada dibawah Presiden selaku kepala pemerintahan apakah ada jaminan bahwa pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah sejalan dengan kebutuhan Mahkamah Agung untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal? PP No. 41/2002 dan segala ketentuan yang berkaitan dengan kepegawaian hakim yang pada prinsipnya tidak sejalan dengan UU No. 43/1999 telah menjadi contoh bahwa jaminan tersebut lemah.

 

Ketidakjelasan masalah-masalah di atas menunjukkan bahwa setidaknya penyatuan atap menyisakan permasalahan ketidakjelasan hubungan antara kekuasaan Mahkamah Agung, Pemerintah, dan mungkin DPR.  Sayangnya dalam konstitusi yang telah diamandemen sebanyak empat kali ini, yang telah merubah ketentuan Bab IX dari yang hanya tiga ketentuan saja menjadi 19 buah ketentuan sama sekali tidak dapat menggambarkan bagaimana permasalahan ini dapat diselesaikan, setidaknya Bab IX UUD 1945 yang ada saat ini belum mampu memberikan gambaran yang utuh bagaimana kekuasaan kehakiman ke depan.

 

Komisi Yudisial

Satu-satunya ketentuan dalam konstitusi yang pada awalnya dipandang dapat memiliki peran yang cukup besar dalam mendorong perubahan di wilayah peradilan, yaitu keberadaan Komisi Yudisial, dalam kenyataannya ternyata juga tidak dapat berperan banyak. Bahkan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial saat ini, yaitu kewenangan pengawasan terhadap hakim telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 005/PUU-IV/2006. Dibatalkannya kewenangan tersebut merupakan akibat dari ketidakjelasan pengaturan mengenai hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang menimbulkan ‘konflik’ antara kedua lembaga tersebut yang cukup intens pada akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 yang lalu.

 

Salah satu sumber masalah tersebut menurut penulis justru terletak pada konstitusi itu sendiri, khususnya pasal 24B yang hanya menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Apakah wewenang-wewenang lain itu? Tidak jelas. Yang jelas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disusun dalam periode legislatif yang sama dengan penyusun konstitusi hanya mengartikan wewenang-wewenang lain tersebut adalah wewenang untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada hakim. Sementara itu Mahkamah Konstitusi setidaknya telah menafsirkan bahwa kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan…dst tersebut seharusnya tidak diartikan semata-mata sebagai pengawasan (putusan MK  hal. 185). 

 

Akhir kata, penulis berpendapat konstitusi yang ada saat ini khususnya yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman masih belum memadai. Setidaknya amandemen konstitusi yang terjadi pada tahun 2001-2002 yang lalu tidak banyak berperan dalam memperbaiki kondisi peradilan yang ada saat ini.

 

 * Tulisan ini dibuat untuk Bulletin KHN agustus 2008, belum jelas apakah telah dimuat atau belum.

 


[1] Khusus mengenai pembubaran partai politik berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik Mahkamah Agung memang diberikan kewenangan untuk membekukan atau membubarkan Partai Politik, namun hal ini pun merupakan kewenangan baru bagi Mahkamah Agung. Sebelum tahun 1999 kewenangan pembubaran Parpol berada sepenuhnya di tangan Pemerintah. Pengaturan mengenai pembubaran Parpol dalam UU No. 2/1999 tersebut itu sendiri juga dirasa masih kurang jelas, dalam pasal 17 hanya dikatakan bahwa MA dapat membekukan atau membubarkan Parpol setelah mendengar keterangan dari Pengurus Pusat parpol tersebut serta setelah melalui proses peradilan. Namun tidak jelas bagaimana pengaturan proses peradilan itu sendiri, bagaimana hukum acaranya, apakah melalui suatu permohonan atau gugatan, siapa saja yang dapat mengajukan permohonan atau gugatan tersebut dan lain sebagainya. Kasus pertama yang muncul setelah diundangkannya UU ini adalah permohonan pembubaran Partai Golkar oleh pengacara R.O. Tambunan pada sekitar tahun 2000 yang lalu.

[2] Masalah-masalah tersebut selama ini telah diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s