Pengantar
Dalam perjalanannya proses seleksi Hakim Agung kali ini memang mengalami beberapa kendala yang cukup menarik perhatian publik, diantaranya yaitu polemik antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai calon Hakim Agung yang berasal dari kalangan hakim (karir), dimana KY berpandangan bahwa para hakim karir yang telah memenuhi syarat dapat diusulkan tidak oleh Mahkamah Agung namun juga oleh masyarakat maupun Pemerintah, sementara MA berpandangan bahwa para hakim tersebut harus diusulkan oleh MA. Selain itu hal lainnya yaitu dikembalikannya hasil seleksi yang telah dilakukan oleh KY pada akhir tahun 2006 lalu oleh DPR karena calon Hakim Agung yang diserahkan oleh KY kepada DPR kurang dari ‘kuota’ yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Tulisan ini mencoba melihat permasalahan-permasalahan yang muncul dari proses seleksi Hakim Agung diatas dari sudut pandang peraturan perundang-undangan, untuk melihat apakah faktor faktor perundang-undangan memiliki korelasi positif atas masalah-masalah tersebut. Hal ini dirasa penting karena saat ini Undang-Undang No. 22 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tengah dalam proses perubahan sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konsitusi No. 005/PUU-IV/2006.
Dasar Hukum Pemilihan Hakim Agung
Pengaturan mengenai syarat dan tata cara pemilihan Hakim Agung diatur dalam 2 (dua) Undang-Undang yang terpisah, yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pemilihan Hakim Agung diatur dalam tiga pasal, yaitu dalam pasal 6 ayat (2), pasal 7, dan pasal 8. Sementara ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemilihan calon Hakim Agung yang diatur dalam UU dalam enam pasal, yaitu pasal 14 s/d pasal 19 dan pasal 39 UU No. 22 Tahun 2004.
Sistem Rekrutmen Hakim Agung
Dalam pelaksanaan seleksi hakim agung yang lalu wacana mengenai calon hakim karir dan non-karir kembali muncul. Mahkamah Agung pada awal dimulainya tahap seleksi hakim agung menyatakan bahwa sebaiknya KY merekrut calon Hakim Agung dari kalangan karir. Hal ini terlihat dari pernyataan juru bicara MA Djoko Sarwoko[2] maupun Ketua MA Bagir[3] Manan pada pertengahan bulan April 2006 yang lalu. Usulan ini cukup mendapat reaksi yang keras, khususnya dari masyarakat, dan pada akhirnya pun usulan tersebut tidak dipenuhi oleh KY, bahkan oleh KY pada tahap seleksi 2006 yang lalu yang meloloskan 6 orang calon hakim agung, dari keenam calon tersebut ternyata hanya 2 calon yang berasal dari kalangan hakim karir. Lebih jauh lagi DPR pun pada akhirnya tidak memenuhi usulan MA tersebut, terbukti dengan dipilihnya 2 Hakim Agung yang berasal dari kalangan non karir, yaitu Prof. Dr. Komariah Emong Saparadjaja Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran dan Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah mantan Kepala BPHN.
Menurut penulis salah satu penyebab munculnya isu karir non karir berasal dari ketentuan perundang-undangan itu sendiri. Jika melihat pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2004 (suka atau tidak suka) terkesan kuat bahwa sistem rekrutmen Hakim Agung adalah sistem karir dengan pengecualian, maksudnya adalah pada prinsipnya calon hakim agung harus berasal dari hakim karir yang telah memenuhi syarat, namun dalam kondisi tertentu dapat juga direkrut dari kalangan non hakim. Hal tersebut terlihat dari rumusan ayat (2) yang menyatakan bahwa “apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier…”. Namun dari ketentuan tersebut terdapat 2 pertanyaan yang tidak terjawab dari baik UU Mahkamah Agung maupun UU Komisi Yudisial, yaitu jika dikatakan hakim non karir dapat direkrut apabila dibutuhkan lalu apa ukuran kebutuhan tersebut, serta yang lebih penting lagi adalah siapa atau lembaga mana yang berwenang untuk menentukan hal ini, apakah Mahkamah Agung, Komisi Yudisial atau DPR.
Dalam ketidakjelasan pengaturan pasal 7 UU MA tersebut UU Komisi Yudisial pun sebenarnya memiliki peran dalam menambah kerumitan masalah tersebut, khususnya dalam pasal 15 ayat (1) dan (2). Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa MA, Pemerintah dan Masyarakat dapat mengajukan calon hakim agung kepada KY. Rumusan ini memang terkesan netral, namun apabila dikaitkan dengan pasal 7 UU MA terkesan pasal 15 ini dapat mengaburkan prinsip rekrutmen yang terdapat pada pasal 7 UU MA tersebut, hal ini dikarenakan menjadi tidak jelas apakah (khususnya) masyarakat maupun pemerintah dalam mengusulkan calon hakim agung terikat juga dengan ketentuan pasal 7 UU MA atau tidak. Dalam pengumuman perndaftaran calon hakim agung yang dikeluarkan oleh KY Nomor: 01/PENG/P.KY/I/2007 hal tersebut terlihat dengan jelas. Dalam pengumuman tersebut memang dicantumkan pasal 7 ayat (1) dan (2) UU MA, namun terkesan bahwa persyaratan-persyaratan pasal 7 (1) dan (2) tersebut seakan ditujukan hanya untuk membedakan apa syarat bagi calon yang berasal dari kalangan hakim dan apa syarat bagi calon yang bukan berasal dari kalangan hakim. Sehingga dengan demikian makna ketentuan pada ayat 7 (2) yang berbunyi “apabila dibutuhkan…” menjadi kehilangan maknanya.[4]
Sebenarnya sistem rekrutmen berdasarkan sistem karir dengan pengecualian ini sebenarnya dalam sejarahnya baru diterapkan sejak tahun 1985 yaitu sejak diundangkannya UU No. 14 Tahun 1985, sebelumnya sistem rekrutmen yang berlaku di Indonesia pada dasarnya adalah sistem terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua perundang-undangan yang mengatur mengenai Mahkamah Agung sebelumnya, yaitu UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia dan UU No. 13 Tahun 1985 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Mahkamah Agung[5]. Dalam UU No. 1 Tahun 1950 persyaratan calon hakim agung diatur dalam pasal 4 yang berbunyi:
Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera Mahkamah Agung dan Jaksa Agung orang harus mempunyai ijazah penghabisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, kecuali jika Presiden memberi dispensasi.
Sementara dalam UU No. 13 Tahun 1965 persyaratan calon hakim agung diatur dalam Pasal 41 ayat (3) yang berbunyi:
(3) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat-pejabat tersebut dalam ayat (1) harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia;
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannya;
d. Sarjana Hukum;
e. Ahli Hukum-bukan Sarjana Hukum;
f. Berumur serendah-rendahnya 35 tahun;
g. Berpengalaman sedikit-dikitnya 10 tahun dalam bidang hukum.
Dari kedua ketentuan tersebut terlihat bahwa calon hakim agung tidak dipersyaratkan apakah harus berasal dari kalangan hakim atau tidak, atau dengan kata lain tidak membedakan calon hakim agung berdasarkan jalur apakah karir atau non karir.
Sebenarnya pengaturan rekrutmen dengan sistem karir dengan pengecualian seperti yang terdapat dalam pasal 7 UU MA memiliki beberapa permasalahan lain, selain masalah ketidakjelasan siapa yang menentukan dibutuhkannya hakim non-karir. Permasalahan tersebut yaitu apakah dimungkinkan calon yang pada dasarnya adalah hakim karir mendaftar atau didaftarkan melalui jalur non-karir. Sebagai ilustrasi, misalkan ada seorang hakim yang jika dilihat dari pengalamannya sebagai hakim sebenarnya baru berpengalaman sebagai hakim selama 20 tahun namun belum pernah manjadi hakim tinggi, akan tetapi hakim tersebut sebelum menjadi hakim sebenarnya pernah berprofesi sebagai advokat selama 5 tahun. Jika dilihat dari persyaratan pasal 7 ayat (1) UU MA maka hakim tersebut tentunya belum memenuhi persyaratan, namun jika dilihat dari pasal 7 ayat (2) dimana dipersyaratkan bahwa harus memiliki pengalaman kerja dibidang hukum selama minimal 25 tahun maka dengan demikian hakim tersebut berarti memenuhi syarat pasal 7 ayat (2), tentunya dengan asumsi bahwa hakim tersebut memenuhi persyaratan lainnya. Apakah hakim ini dengan demikian dapat juga diusulkan untuk menjadi calon hakim agung?
Permasalahan lainnya yaitu berkaitan dengan calon hakim agung yang berasal dari kalangan Peradilan Militer. Jika dilihat dari pengalaman hakim agung yang berasal dari peradilan militer sebenarnya umumnya tidak memenuhi persyaratan melalui jalur karir karena umumnya pengalaman sebagai hakim militer dibawah 20 tahun. Hal ini dikarenakan sistem karir dan kepegawaian hakim peradilan militer yang memang berbeda dari sistem karir dan kepegawaian pada badan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Agama, dan Tata Usaha Negara. Jika jabatan hakim merupakan jabatan terus-menerus yang diemban oleh hakim pada 3 lingkungan peradilan lainnya sejak pertama kali menjadi hakim, dalam sistem karir di Peradilan Militer tidak demikian. Jabatan Hakim pada lingkungan peradilan militer umumnya ditempuh setelah yang bersangkutan menjabat jabatan-jabatan hukum lainnya di lingkungan TNI. Hal ini mengakibatkan akan jarang –kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin- hakim yang berasal dari lingkungan peradilan militer dapat memenuhi persyaratan pengalaman 20 tahun berpengalaman sebagai hakim untuk menjadi hakim agung melalui jalur karir. Sementara jika harus melalui jalur non-karir maka berarti hakim militer tersebut harus berpengalaman selama 25 tahun dibidang hukum dan berijazah S-2[6]. Padahal berdasarkan pasal 11 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi dari empat lingkungan peradilan dibawahnya, dan di MA pun saat ini terdapat Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer/ TNI yang diketuai oleh hakim yang berlatar belakang peradilan militer.
Pada seleksi calon Hakim Agung yang lalu memang belum ada calon yang berasal dari kalangan militer, selain itu kebutuhan pengisian jabatan hakim agung tersebut memang kebetulan belum menyangkut hakim milter, sehingga permasalahan ini sepertinya belum terlihat. Namun kedepan, jika ternyata kursi jabatan hakim militer maka tentunya permasalahan diatas akan menjadi riil.
Kebutuhan Hakim Agung
Pertanyaan lainnya yang juga penting dalam rangka seleksi calon hakim agung adalah kapan seleksi dapat dilakukan, serta siapa yang menentukan bahwa pada suatu waktu diperlukan rekrutmen hakim agung. Mengenai hal ini Undang-Undang MA tidak mengaturnya, pengaturan yang lebih detil terdapat dalam Undang-Undang KY. Dalam pasal 14 ayat (2) dan (3) UU KY disebutkan:
(2) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung.
Dari kedua ayat tersebut terlihat bahwa seakan penentuan akan adanya rekrutmen hakim agung dilakukan secara mekanistis semata, maksudnya rekrutmen hakim agung diadakan hanya apabila MA memberitahukan kepada KY mengenai adanya Hakim Agung yang akan pensiun, baru setelah itu KY dapat melakukan proses seleksi. Namun dari pengaturan tersebut tidak terlihat bagaimana jika terdapat hakim agung yang meninggal dunia, apakah hal tersebut dapat dikategorikan seperti halnya pensiun atau berakhirnya masa jabatan, jika pun dapat timbul pertanyaan, apakah dengan demikian MA harus melaporkan kepada KY 6 bulan sebelum Hakim Agung tersebut meninggal dunia?
Kemudian, bagaimana jika dalam satu waktu dirasa dibutuhkan penambahan Hakim Agung walaupun tidak ada Hakim Agung yang pensiun atau meninggal dunia? Atau sebaliknya, bagaimana jika dalam satu waktu dirasa jumlah hakim agung yang ada terlalu banyak dan direncanakan untuk diadakan pengurangan jumlah hakim agung dengan cara tidak mengadakan rekrutmen Hakim Agung jika ada hakim agung yang meninggal dunia atau pensiun? Pengaturan dalam UU KY maupun MA tidak mengatur hal ini. Bahkan rumusan dalam pasal tersebut seakan membuat jumlah hakim agung akan selalu sebanyak 51 Hakim Agung, walaupun dalam pasal 4 ayat (3) UU MA dimungkinkan hakim agung berjumlah 60 orang.
Pertanyaan selanjutnya adalah, institusi mana yang berwenang untuk menentukan spesifikasi kebutuhan hakim agung yang akan direkrut, baik terkait dengan pengisian hakim agung dari latar belakang lingkungan peradilan tertentu maupun terkait dengan kebutuhan calon hakim agung yang memiliki keahlian tertentu. Sebagai ilustrasi misalnya dalam suatu dirasa dibutuhkan hakim agung baru yang memiliki keahlian dibidang perbankan, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menentukan kebutuhan tersebut, apakah MA, KY, atau DPR? Jika MA menyatakan bahwa karena perkara-perkara perbankan cukup banyak di MA maka MA merasa membutuhkan hakim agung yang memiliki keahlian tersebut, apakah KY maupun DPR terikat dengan ‘permintaan’ tersebut?
Dalam proses yang lalu hal ini ketidakjelasan ini sebenarnya terjadi. Jika dilihat dari hakim agung yang pensiun sebenarnya terdapat 1 hakim agung yang berlatar belakang PTUN. Namun dari 18 nama calon hakim agung yang diserahkan oleh KY ternyata hanya 1 calon yang berlatar belakang dari peradilan TUN, sementara tidak ada dari calon non karir yang background keahliannya hukum administrasi negara atau tata negara. Bahkan akhirnya pun DPR memang tidak memilih sama sekali calon hakim agung yang memiliki keahlian administrasi negara/ tata negara atau berlatar belakang peradilan TUN.
Pertanyaan mengenai spesifikasi kebutuhan keahlian khusus calon hakim agung menjadi kompleks jika dikaitkan dengan calon dari jalur non karir. Bagi calon yang berasal dari jalur karir memang akan lebih mudah untuk menentukannya, karena tinggal dilihat saja jika ‘kursi’ yang kosong di MA adalah kursi yang sebelumnya berasal dari lingkungan Peradilan Agama maka tinggal dilhat apakah ada calon yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama. Namun bagaimana jika calon berasal dari jalur non karir?
Petanyaan mengenai siapa yang menentukan kebutuhan spesifikasi calon hakim agung ini dirasa penting, karena hal ini akan menentukan calon-calon dengan kualifikasi khusus seperti apa yang diperlukan oleh MA dan pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana KY seharunya melakukan proses seleksi calon hakim agung. Jika katakanlah sudah ditetapkan bahwa kedepan dibutuhkan hakim agung yang memiliki keahlian dibidang hukum bisnis atau perbankan maka sudah selayaknya proses seleksi dan pemilihan hakim agung harus diarahkan untuk mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan tersebut.
Dimana Letak Pengaturan Syarat dan Tata Cara Pemilihan Hakim Agung?
Satu pertanyaan yang cukup menggelitik, sebenarnya UU apa yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pemilihan hakim agung. Jika dilihat dari pasal 6 ayat (2) UU MA dinyatakan “Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang ini”, yang artinya segala hal yang berkaitan dengan pemilihan hakim agung diatur dalam UU MA. Namun jika dilihat dari UU KY ternyata dalam UU KY pun diatur pula ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung, walaupun dalam UU KY tersebut tidak terdapat ketentuan yang membatalkan pasal 6 ayat (2) UU MA tersebut.
Dalam revisi UU MA dan KY hal ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan serupa. Bisa saja disusun mengenai syarat-syarat hakim agung diatur dalam UU MA, sementara untuk proses pemilihannya diatur dalam UU KY. Atau paling tidak, seandainya pun kedua hal itu tetap akan diatur dalam 2 UU, maka ketentuan pasal 6 ayat (2) harus diubah.
Penutup
Dari segi perundang-undangan pengaturan mengenai pemilihan calon hakim agung masih memiliki beberapa permasalahan. Permasalahan yang dimaksud antara lain mengenai prinsip sistem rekrutmen hakim agung yang menganut sistem tertutup dengan pengecualian, dimana didalamnya terdapat dua permasalahan, yaitu ketidakjelasan mengenai institusi mana yang berwenang untuk menetapkan dibutuhkannya hakim agung non karir, serta biasnya pengaturan tersebut dengan lingkungan peradilan umum, agama, dan Tata Usaha Negara. Dari sisi proses rekrutmen, kedua Undang-Undang yang mengatur mengenai pemilihan hakim agung juga memiliki permasalahan lainnya, khususnya yang terkait dengan kapan rekrutmen hakim agung dapat dijalankan dan institusi mana yang berwenang untuk menentukan adanya kebutuhan tersebut, termasuk didalamnya mengenai kebutuhan hakim agung seperti apa –khususnya mengenai aspek kualitas- yang dibutuhkan.
Dalam kaitannya dengan perubahan paket perubahan Undang-Undang khususnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mudah-mudahan permasalahan-permasalahan tersebut dapat menjadi perhatian juga bagi para penentu kebijakan negeri ini.
* Tulisan ini dimuat dalam Buku Seleksi Hakim Agung 2007, yang diterbitkan oleh ICW
[2]“MA Minta KY Rekrut Hakim Karir” ,Detik.com http://jkt3.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/ 2006/bulan/04tgl/21/time/163333/idnews/579780/idkanal/10
[3] “Bagir Minta Calon Hakim Agung Melamar ke MA, Bukan KY”, Detik.com http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/24/time/140215/idnews/581023/idkanal/10
[4] Dalam pengumuman tersebut bahkan rumusan “apabila dibutuhkan” yang terdapat pada pasal 7 ayat (2) secara nyata-nyata tidak dicantumkan oleh Komisi Yudisial.