Kewenangan KPK – Antara Putusan MK dan MA


 

 

Tertangkapnya Jaksa Urip atau yang lebih populer UTG oleh KPK dua hari setelah dinyatakan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung memang telah menarik perhatian publik selama 2 minggu terakhir ini. Kontan reaksi publik terhadap penangkapan tersebut menuntut agar KPK mengambil alih kasus-kasus dugaan korupsi terkait BLBI yang selama ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Tuntutan tersebut tidak hanya dikumandangkan oleh masyarakat, tak urung cukup banyak anggota DPR RI yang juga menuntut agar KPK mengambil alih kasus-kasus BLBI tersebut.

 

Namun sayangnya tuntutan yang cukup besar tersebut kurang ditanggapi dengan serius oleh KPK. Tercatat hingga kini pihak yang menyatakan bahwa KPK tidak bisa mengambil alih kasus-kasus tersebut hanyalah KPK sendiri. Alasan utama KPK “merasa” dirinya tidak berwenang menangani kasus BLBI terkait dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 069/PUU-II/2004 dengan pemohon Bram Manopo, terdakwa korupsi yang melibatkan gubernur Aceh Ir. Abdullah Puteh.

 

Dalam putusannya di halaman 70 MK menyatakan :

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.  Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002.  Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002.  Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan.  Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;  

 

Selanjutnya dihalaman 73 MK menyatakan bahwa KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan setelah diundangkannya UU KPK hingga terbentuknya KPK. Kedua hal ini diartikan oleh KPK bahwa KPK tidak berwenang untuk menangai perkara yang terjadi sebelum 2003, kalaupun bisa maka terbatas hanya pada perkara korupsi yang terjadi setelah desember 2002 dan itu pun hanyalah apabila perkara tersebut telah diusut oleh kepolisian atau kejaksaan.

 

Uniknya memang, dalam putusan tersebut tidak ada satu pasal pun yang dinyatakan oleh MK tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, atau dengan kata lain permohonan Bram Manopo tersebut ditolak oleh MK. Kini setelah selang 3 tahun setelah putusan MK tersebut diputus, “bom waktu” yang ditanam oleh MK meletus, dan ini menimpa kasus BLBI, kasus yang menyangkut dana trilyunan rupiah.

 

Kini polemik mengenai kewenangan KPK terhadap perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum 2002 atau 2003 kembali mencuat, seakan tanpa adanya penyelesaian hukum. Sebagian usulan bahkan hingga mengusulkan agar sebaiknya dikeluarkan Perpu untuk menyelesaikan dispute hukum ini, dimana didalamnya mungkin dimasukkan klausul bahwa KPK berwenang untuk menangani perkara sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002.

 

Putusan Mahkamah Agung

Menurut penulis dari sisi hukum sebenarnya masalah kewenangan ini telah selesai beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2005. Jika kita ingat permohonan Hak Uji Materil oleh Bram Manopo tentunya kita teringat dengan kasus korupsi yang menimpanya, yaitu pembelian helikopter di NAD yang melibatkan Gubernur NAD pada saat itu, yaitu Ir. Abdullah Puteh.

 

Sebelum Bram Manopo mengajukan Hak Uji Materil, keduanya sempat mengajukan eksepsi di Pengadilan Tipikor dengan alasan bahwa KPK seharusnya tidak berwenang menangani perkara tersebut karena tempus delictinya terjadi sebelum KPK. Tepatnya pertengahan tahun 2001. Atas eksepsi tersebut Pengadilan Tipikor dalam putusan selanya menolak eksepsi para terdakwa. Setelah keluarnya putusan MK tersebut pendapat di Majelis hakim memang terpecah, sebagian Hakim Tipikor dalam putusan akhirnya sependapat dengan pertimbangan MK, namun mayoritas Hakim Tipikor tidak dan memutus para terdakwa terbukti bersalah.

 

Dalam setiap upaya hukum yang diajukan oleh terdakwa, khususnya Ir. Abdullah Puteh putusan MK tersebut selalu dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara yang menimpanya. Hingga tingkat kasasi.

 

Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung pada putusan No. 1344 K/Pid/2005 sebenarnya memberikan pertimbangan hukum yang seharusnya menjadi rujukan bagi polemik yang saat ini mengemuka terkait kewenangan KPK. Pada halaman 80 MA menyatakan

Menimbang, bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 UU No. 20 Tahun 2002, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kotra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan UU No. 30 Tahun 2002 dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, MA memandang perlu mempertimbangkan apakah MK berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 UU 30 Tahun 2002…dst.

 

Selanjutnya dihalaman 82 MA menyatakan bahwa pertimbangan MK tersebut adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan pada akhirnya MA menyatakan bahwa keberatan pemohon kasasi (Abdullah Puteh) terkait pertimbangan MK tersebut ditolak.

 

Dari putusan MA tersebut dapat diartikan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk menangani perkara yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 30 Tahun 2002, tidak hanya dalam bentuk pengambilalihan namun juga untuk menangani sendiri perkara-perkara tersebut, karena kasus Abdullah Puteh itu sendiri bukanlah kasus pengambilalihan, namun kasus yang ditangani sendiri oleh KPK sejak awal.

 

Yang menarik, kasus Abdullah Puteh adalah kasus yang dibawa oleh KPK, dan putusan MA tersebut sudah diperoleh KPK (saya mendapatkan salinannya dari KPK). Semua jawaban hukum sudah ada didepan batang hidungnya sendiri, tapi seakan KPK tidak melihatnya.

 

Mungkin KPK khawatir jika kasus BLBI ini ditangani oleh KPK maka para pengacara dari para terdakwa akan protes dan mengajukan eksepsi. Tapi mengapa harus khawatir, jika Mahkamah Agung sendiri telah menerimanya? Yang perlu dilakukan Penuntut Umum KPK dalam menjawab eksepsi pengacara tersebut hanyalah dengan menunjukkan pertimbangan hukum MA dalam putusan No. 1344 K/Pid/2005 tersebut. Tokh hanya eksepsi yang dapat dilakukan oleh para pengacara tersebut. Dan memang segala sengketa hukum khususnya sengketa mengenai penerapan atau penafsiran undang-undang merupakan kewenangan dari pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang dipersengketakan, dalam hal ini merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung.

 

Jadi, seharusnya KPK tidak ragu-ragu lagi dalam menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum 2003, kecuali jika memang tidak ada niatan dari pimpinan KPK sendiri untuk menuntaskan kasus-kasus terkait BLBI ini.

 

 * Tulisan ini dibuat pada awal tahun 2008

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s