Permasalahan Seputar Pasal 56 KUHAP


Di pengadilan-pengadilan hingga kini masih sering terlihat adanya persidangan-persidangan pidana khususnya dalam kasus-kasus yang terdakwanya berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah di mana para terdakwa tersebut tidak didampingi oleh penasihat hukum. Para terdakwa tersebut biasanya menggunakan kemeja putih, terkadang tanpa memakai alas kaki, dan sebelum masuk ke ruang sidang maka biasanya mereka menunggu di ‘ruang tunggu’ terdakwa atau ruang tahanan bersama ‘rekan-rekan’nya yang lain yang juga menunggu panggilan sidang. Setelah datang panggilan sidang mereka kemudian masuk ke ruang sidang dengan di dampingi oleh Jaksa Penuntut Umum yang akan mendakwanya, setelah masuk kemudian terdakwa tersebut duduk di tengah-tengah ruang sidang, sementara itu Jaksa Penuntut Umumnya duduk ditempat yang telah disediakan yaitu di sisi kirinya, sementara itu di sisi sebelah kanan yang merupakan tempat bagi Pembela atau Penasihat Hukum kosong tidak terisi. Hakim kemudian membuka persidangan, melihat terdakwa tanpa di dampingi penasihat hukum biasanya hakim menanyakan apakah terdakwa di dampingi penasihat hukum atau tidak, terdakwa menjawab tidak dengan alasan biaya, lalu kemudian hakim melanjutkan persidangan hingga akhirnya keluar vonis putusan bagi terdakwa.

Biasanya untuk kasus-kasus seperti di atas proses persidangannya tidak memakan waktu lama. Bisa dalam sidang pertama materi persidangan sudah langsung masuk hingga acara pemeriksaan saksi, kemudian dalam sidang berikutnya dilanjutkan kembali dengan acara pemeriksaan saksi serta pembuktian yang lainnya. Pada sidang ketiga acara dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan atau requisitor dari JPU, tak jarang pada hari itu juga putusan bisa langsung di bacakan oleh majelis hakim, tak jarang juga pembacaan putusan baru dilakukan pada persidangan berikutnya atau pada sidang keempat. Hambatan-hambatan persidangan biasanya untuk kasus-kasus seperti ini bukan berasal dari si terdakwa, akan tetapi biasanya justru datang dari kalau tidak JPU-nya yang tidak hadir atau hakimnya yang tidak masuk karena sakit atau karena keperluan yang lain; dari pihak terdakwa biasanya tidak ada masalah oleh karena biasanya ia ditahan oleh JPU sehingga tentunya ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti apa kata dari JPU-nya.

Alpanya penasihat hukum yang berfungsi membela hak-hak terdakwa tersebut umumnya tidak hanya terjadi pada proses pemeriksaan di persidangan saja, ataupun pada tingkat kejaksaan, biasanya hal ini terjadi sejak pada tahapan penyidikan di kepolisian. Tidak adanya akses bagi terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut tentunya sangat-sangat merugikan pihak terdakwa oleh karena selain ia menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh baik pihak penyidik, penuntut umum maupun kehakiman, kesempatan bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan hak-haknya dalam tahapan di semua tingkat peradilan juga menjadi sangat kecil. Tentunya sangat-sangat tidak mungkin bagi terdakwa terutama yang dikenakan tahanan untuk bisa membuat pembelaan secara tertulis, untuk membuat ekspesi, mencari saksi-saksi yang meringankannya serta hal-hal lainnya yang berguna bagi dirinya dalam melakukan pembelaan hukum.

Hal ini sebenarnya tidak saja merugikan terdakwa akan tetapi juga merugikan seluruh proses peradilan itu sendiri. Dengan tidak adanya penasihat hukum yang mendampingi tersangka pada proses pemeriksaan atau pembuatan BAP di kepolisian maka hal ini mendorong pihak penyidik untuk secara sungguh-sungguh dalam melakukan penyidikan, atau paling tidak tidak ada dorongan yang memaksa pihak penyidik untuk mengusut perkara tersebut secara mendalam oleh karena seakan-akan dengan tidak adanya penasihat hukum di pihak terdakwa  maka di atas kertas penyidik telah berada dalam posisi ‘menang’. Akibat yang sangat mungkin timbul dari proses penyidikan yang tidak mendalam ini maka fakta-fakta hukum yang dapat digali oleh penyidik menjadi minim, alat bukti yang didapatnya juga minim. Dari fakta-fakta hukum serta alat-alat bukti yang minim tersebut kemudian oleh penyidik dibuatkan BAP-nya (Berita Acara Pemeriksaan), BAP tersebut kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan Penuntutan. Karena pada tingkat penuntutan ini kembali tersangka juga tidak memiliki penasihat hukum maka sangat mungkin terjadi dari BAP yang dilimpahkan oleh penyidik tadi yang sangat minim tersebut JPU langsung membuatkan Surat Dakwaannya tanpa melakukan penyidikan tambahan yang mungkin diperlukan oleh karena seakan-akan dengan tidak hadirnya penasihat hukum dari terdakwa maka pihak JPU di telah ‘menang atas kertas’. Dan Surat Dakwaan yang juga minim tersebut kemudian oleh JPU dijadikan dasar bagi penuntutan di pengadilan.

Dengan tidak adanya pihak penasihat hukum atau pembelaan dari pihak terdakwa (kecuali mungkin pengakuan bersalah) serta minimnya alat bukti serta fakta-fakta hukum yang diajukan oleh JPU dalam Surat Dakwaannya tentunya hakim mengalami kesulitan di dalam mengadili atau memutus perkara. Di satu sisi ia harus memutus perkara tersebut, di sisi lain ia harus memutus perkara tersebut berdasarkan kebenaran materil yang mana kesalahan kecil dalam menjatuhkan vonis tentunya akan berakibat kerugian yang sangat besar bagi terdakwa. Akhirnya, oleh karena hakim juga tetap harus menjatuhkan vonis maka tak jarang penjatuhan vonis tersebut didasarkan lebih kepada pertimbangan keyakinan semata berdasarkan pengalaman-pengalaman sehari-harinya dalam menghadapi kasus-kasus serupa dan dengan bukti-bukti yang minim, sehingga dasar pertimbangan yang tertuang dalam surat putusannya pun menjadi kurang berbobot.

Persidangan-persidangan pidana seperti di atas tadi sebenarnya tidak hanya terjadi sekali dua kali saja, walaupun penulis tidak dapat mengajukan data berapa banyak kasus-kasus seperti itu akan tetapi dirasa jumlahnya sangat banyak, hal ini bisa dilihat dari jenis-jenis perkara pidana yang masuk ke pengadilan yang umumnya di dominasi oleh perkara-perkara kejahatan terhadap benda seperti pencurian, kejahatan terhadap nyawa serta kejahatan psikotropika, yang mana umumnya ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara, dan bisa diduga bahwa perkara-perkara tersebut pihak terdakwanya umumnya berasal dari golongan ekonomi lemah.

Dari hal-hal tersebut penulis berpendapat bahwa sangatlah penting peranan penasihat hukum di dalam proses peradilan pidana guna terciptanya peradilan khususnya peradilan pidana yang fair serta ‘berbobot’, karena dengan adanya penasihat hukum sebagai counter-part dari pihak penyidik maupun penuntut umum maka tentunya dapat mendorong keduanya untuk melakukan tugasnya semaksimal mungkin –terlepas dari kenyataan bahwa akhir-akhir ini penyimpangan-penyimpangan hukum juga dilakukan oleh banyak pengacara yang juga kini menjadi permasalahan tersendiri. Akan tetapi tentunya hal tersebut kini masih menjadi sesuatu yang ideal belaka. Kenyataan mengatakan bahwa walaupun di Indonesia sekarang ini khususnya di Jakarta jumlah pengacara sudah jauh meningkat dari beberapa dekade yang lalu, masyarakat khususnya yang berasal dari golongan menengah kebawah masih sulit untuk mendapatkan akses untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut ketika ia berhadapan dengan hukum khususnya hukum pidana.

Untuk mengantisipasi hal ini sebenarnya dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana telah diatur mengani Bantuan Hukum, khususnya bagi tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun. Dalam pasal 56 KUHAP disebutkan bahwa :

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atu ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Sedangkan dalam penjelasannya disebutkan :

(1) Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam pasal 21 ayat 4 huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenga penasihat hukum di tempat itu.

Dari pasal tersebut terlihat bahwa pada dasarnya pejabat yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk memberikan penasihat hukum walaupun dengan pertimbangan tambahan yang terlihat dalam penjelasannya bahwa penunjukan penasihat hukum tersebut disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di tempat itu. yang menjadi permasalahan kini adalah sejauh mana para pejabat terkait tersebut seperti pihak penyidik, JPU, maupun hakim melaksanakan ketentuan tersebut, bagaimana mekanismenya, kompensasi apa yang akan diterima oleh penasihat hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut, konsekuensi hukum apa yang akan diterima oleh pejabat terkait yang tidak melaksanakan ketentuan ini, sejauh mana batasan dari pertimbangan tambahan seperti yang tertulis dalam bagian penjelasan pasal tersebut, hingga kini masih belum jelas. Sudah menjadi kewajiban dari negara lah untuk mendorong pelaksanaan pasal 56 KUHAP tersebut oleh karena negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negaranya sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Rights yang dalam pasal 14 ayat 3d dikatakan bahwa ‘kepada tersangka/terdakwa diberikan jaminan “diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini, jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran.”

Memang benar bahwa walaupun kini di setiap pengadilan telah ada Pusat Bantuan Hukum yang berfungsi sebagai penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa yang tidak mampu tersebut, akan tetapi sejauh mana keefektifan lembaga tersebut juga di rasa masih belum terlihat dengan jelas, apakah dalam prakteknya keberadaannya memiliki peran yang positif dalam menciptakan dunia peradilan yang sehat serta kondusif atau justru sebaliknya, justru memperparah wajah peradilan kita belum diketahui, penulis berpendapat perlu kajian yang lebih mendalam untuk hal ini.

Yang dapat dikatakan oleh penulis sebagai penutup adalah bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan penasihat hukum bagi mereka yang tidak mampu demi terciptanya peradilan yang sehat, fair, serta lebih berkualitas, dan untuk itu perlu kekuatan dari masyarakat untuk dapat mendorong negara melaksanakan kewajibannya tersebut.

 

* Tulisan ini ditulis pada tahun 2002, essay dalam rangka rekrutmen LeIP.

8 thoughts on “Permasalahan Seputar Pasal 56 KUHAP

  1. wah kalo yang ini bukan putusan mas, ini tulisan saya. Kalo mau cari putusan dimana tersangka/terdakwa yang berdasarkan pasal 56 wajib didampingi advokat namun ternyata tidak, ya nonton sidang di pengadilan aja mas, perhatikan kasus2 pencurian. ada lawyernya ga? hehehe

  2. oh iya mas.,.,.
    maaf ya,.,
    cos Q masiswa baru fak hukum.,.,
    jadi kurang ngerti.,.,
    cuman di kasih tugas ma dosen.,.,
    di suruh nyari RQ dalam persidangan apakah ada yang bertentangan ato ada benturan2 terhadap KUHAP.,.,
    thanks atas infonya.,.,.

  3. jujur lg binuuun nie cari data dan referansi,jdl proposal skripsi saya,jdlnya persis bgt dngn tema tulisan ini mengenai implementasi pasal 56 KUHAP…..aku di minta buat dpt case and putusannya mas….dr mulai tinggt penyidikn sampai di pengadilan…can U help Me…heheheh

  4. @ farah : sorry baru bisa menanggapi sekarang. saat ini saya juga lagi akan membuat riset kecil soal implementasi pasal 56 kuhap ini. metode yang akan saya pakai yaitu observasi di 3 pengadilan dalam waktu 2 minggu dan survey ke tahanan dan LP. saya juga agak kesulitan untuk mendapatkan data siap pakai-nya, jadi harus riset sendiri.

  5. Helpful information. Lucky me I discovered your web
    site by accident, and I’m stunned why this coincidence didn’t took place in advance!
    I bookmarked it.

  6. Pernasalahan penangkapan tersangka buron dg cara melumpuhkan, apakah tdk ada upaya hukum dari pihak kel tersangka apabila tersangka luka berat atau dlm banyak kasus tersangka meninggal dunia? ?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s