Soal Eksekusi Hukuman Mati

Soal hukuman mati memang selalu menarik, banyak debatnya. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang pro dengan alasan (seakan) perintah agama, supaya ada efek jera, dll, ada yang kontra dengan alasan HAM. Saya sendiri? Ah, ga pro maupun kontra. Ga menolak kalau mau dihapus, ga mendukung juga sama yang mati-matian pertahanin jenis hukuman ini.

Tapi bukan soal pro kontra hukuman mati ini yang saya mau bahas kali ini, tapi soal alasan Jaksa Agung yang diberita ini. Dalam berita tersebut Jaksa Agung berdalih kalau pihak kejaksaan kesulitan untuk melakukan eksekusi terpidana mati karena tersandera putusan MK yang memungkinkan Terpidana mengajukan PK lebih dari sekali, setelah MK memutuskan menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kenapa Kejaksaan menjadi merasa tersandera?

Selama ini Kejaksaan memang tidak mau mengeksekusi terpidana mati jika masih ada upaya hukum luar biasa yang masih dapat digunakan oleh Terpidana. Begitu juga jika permohonan grasi belum diputuskan oleh Presiden. Khusus untuk grasi, dalam UU Grasi (2/2002 jo 5/2010) khususnya dalam pasal 13 memang dinyatakan bahwa untuk hukuman mati, permohonan grasi menunda pelaksanaan eksekusi pidana mati, namun untuk upaya hukum luar biasa, khususnya Peninjauan Kembali, tidak ada ketentuan yang menyatakan permohonan PK akan menunda pelaksanaan eksekusi pidana mati. Jadi, secara hukum, jika permohonan grasi telah ditolak oleh Presiden, maka eksekusi dapat dilakukan, terlepas dari apakah terpidana sedang atau belum mengajukan PK ke Mahkamah Agung.

Continue reading

Keterangan Ahli Hukum Sebagai Alat Bukti?

Melanjutkan diskusi tentang (Saksi) Ahli di Hukumonline beberapa hari lalu (klik Ahli Hukum Tak Perlu Lagi Dihadirkan di Sidang) salah satu isu yang didiskusikan dalam diskusi tersebut adalah tentang layak atau tidaknya Ahli Hukum dihadirkan dalam persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai Ahli. Isu ini memang kerap menjadi polemik dilakangan ahli hukum atau pemerhati hukum itu sendiri. Sebagian pihak menilai tidak lah tepat jika ahli hukum menjadi ahli dalam persidangan karena prinsip ius curia novit (hakim harus dipandang tahu hukum), namun sebagian pihak berpendapat masih bisa dengan pandangan bahwa faktanya tidak semua hakim (ternyata) tahu hukum, atau setidaknya perkembangan hukum baru.

Setidaknya 10-15 tahun terakhir memang muncul fenomena yang cukup masif dimana hampir di semua kasus-kasus besar, khususnya korupsi dalam persidangan selalu hadir Ahli Hukum untuk didengar keterangannya sebagai alat bukti keterangan Ahli. Fenomena ini kemudian melahirkan sindiran kepada para ahli tersebut dengan munculnya istilah “Ahli Bersaksi”, entah artinya keahliannya bersaksi atau apa, yang jelas istilah tersebut berkonotasi negatif. Menjadi ‘ahli’ dalam persidangan kini memang seakan sudah menjadi suatu profesi baru bagi kalangan akademisi hukum, mungkin karena honornya lumayan (besar).

Tepat kah ahli hukum didengar keterangannya sebagai ahli dalam persidangan? Menurut saya tidak. Mengapa?

Fungsi pembuktian adalah untuk membuktikan segala tuduhan perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dilakukan oleh Terdakwa, serta peristiwa-peristiwa lainnya yang relevan dengannya. Dalam setiap perkara yang pertama kali Continue reading

Tentang Rehabilitasi

Pembuka

Bayangkan jika tiba-tiba beberapa orang aparat kepolisian mendatangi rumah atau kantor anda, menyampaikan suatu surat yang isinya meminta anda untuk datang ke kantor kepolisian untuk memberikan keterangan atas dugaan tindak pidana. Anda yang sedang enak-enak di rumah atau bekerja di kantor terpaksa harus meluangkan waktu anda beberapa jam atau bahkan seharian penuh untuk memenuhi permintaan tersebut. Dan setelah melalui berjam-jam proses pemeriksaan ternyata anda ditetapkan sebagai Tersangka oleh penyidik, lalu anda di tahan. Seluruh tetangga, keluarga, rekan-rekan anda mengetahuinya, mengetahu bahwa anda adalah Tersangka atas suatu kejahatan. Omongan miring terhadap anda tak terhindarkan.

Anda membaca surat perintah penahannya, tertulis untuk jangka waktu 20 hari, dan bisa diperpanjang. Entah untuk berapa kali perpanjangannya. 20 hari di dalam sel. Apa yang anda harus katakan kepada kantor anda? Tidak masuk 1 hari saja kadang sudah jadi masalah, ini 20 hari, dan belum jelas apakah hanya 20 hari atau akan lebih. Belum lagi, bagaimana jika nantinya pengadilan akan menyatakan anda bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama sekian bulan atau sekian tahun. Tak akan ada kantor yang mau mempertahankan status anda sebagai pegawai Continue reading

Penyederhanaan Proses Peradilan untuk Pejabat Negara Tertentu

Beberapa hari lalu kita dihebohkan dengan berita Bupati dan Wakil Bupati Mesuji dilantik di penjara. Mengapa pelantikannya di penjara? Karena sang wakil ternyata telah diputus bersalah karena atas tindak pidana korupsi. Lalu mengapa jika ia telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, mengapa tak segera diberhentikan saja, atau dibatalkan statusnya sebagai wakil bupati terpilih? Saya kurang mengikuti kasus atau berita seputar isu ini, tapi bukan ini yang akan saya bahas.

Kasus seperti ini sebenarnya pernah terjadi juga sebelumnya, dimana seorang kepala daerah terpilih pada saat proses pemilihan ditetapkan menjadi tersangka atas suatu tindak pidana, dan setelah terpilih perkaranya diputus terbukti bersalah. Permasalahan seperti ini sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada kepala daerah, namun juga banyak jabatan-jabatan lainnya.

Sebagai masyarakat awam tentu kita akan bertanya, mengapa pejabat seperti itu masih saja dilantik atau tetap menjabat sih? Koruptor kok dilantik jadi pejabat? Negara ngawur!

Ok, sekarang bagaimana seandainya sang pejabat tersebut putusannya belum Continue reading

Terobosan MA atas Kelalaian Legislator

Setelah 50 tahun lebih seluruh besaran uang yang ada di KUHP tidak disesuaikan, akhirnya selasa 28 Februari yang lalu Mahkamah Agung mengambil langkah penting untuk menyesuaikan besaran uang dalam KUHP. Tidak oleh Undang-Undang atau Perpu, namun Peraturan Mahkamah Agung. Suatu langkah berani yang diambil oleh Mahkamah Agung.

Tepatnya saat peluncuran Laporan Tahunan 2011 Ketua MA Harifin A Tumpa mengumumkan bahwa MA telah menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma berisi 5 pasal ini pada dasarnya hanya mengatur tentang penyesuaian besaran-besaran uang yang ada dalam pasal-pasal di KUHP, yang terakhir kali disesuaikan pada tahun 1960. Penyesuaian besaran uang dilakukan dengan perbandingan harga emas pada masa itu dengan saat ini. Hasilnya, seluruh uang yang ada di KUHP harus dibaca dengan dikalilipatkan sebanyak 10.000 kali.

Arti Penting Perma ini     

Perma ini berdampak pada ketentuan-ketentuan pidana dalam KUHP yang terkait dengan besaran uang, yaitu beberapa tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penggelapan ringan dan beberapa ketentuan lainnya. Tindak pidana ringan Continue reading

PK Yang Diajukan Jaksa (2)

Putusan MA No. 15 PK/Pid/2006 (Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih)

Diputus tanggal 19 Juni 2006

Perkara : Perusakan Barang

Lokasi : Tanjung Pinang

Majelis Hakim

  1. Parman Suparman
  2. Arbiyoto
  3. Imam Haryadi

Resume Perkara:

Terdakwa merupakan pemilik sewa atas suatu rumah. Pada tahun 1965 terdakwa menyewakan rumahnya kepada saksi korban. Pada bulan juni 2002 saksi korban/penyewa meninggalkan rumah sewanya selama kurun waktu 2 bulan (tidak terlalu jelas apakah yang dimaksud 2 bulan atau kurun waktu juni s/d november). Pada bulan November 2002 terdakwa membongkar pintu rumah yang disewa tersebut dengan merusak kusen, pintu dan kunci rumah, kemudian menggantinya dengan kunci rantai sepeda. Ketika saksi korban mengetahui kejadian tersebut saksi korban mengganti kunci rantai sepeda yang dipasang Terdakwa dengan dengan kunci baru. Ketika saksi korban tidak ada dirumah Terdakwa kembali memaksa masuk ke rumah dengan jalan merusak kunci yang baru dipasang saksi korban. Atas perbuatan tersebut terdakwa didakwa dengan pasal 200 ayat 1 KUHP, pasal 406 KUHP, dan pasal 335 KUHP. Continue reading

Permasalahan Seputar Pasal 56 KUHAP

Di pengadilan-pengadilan hingga kini masih sering terlihat adanya persidangan-persidangan pidana khususnya dalam kasus-kasus yang terdakwanya berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah di mana para terdakwa tersebut tidak didampingi oleh penasihat hukum. Para terdakwa tersebut biasanya menggunakan kemeja putih, terkadang tanpa memakai alas kaki, dan sebelum masuk ke ruang sidang maka biasanya mereka menunggu di ‘ruang tunggu’ terdakwa atau ruang tahanan bersama ‘rekan-rekan’nya yang lain yang juga menunggu panggilan sidang. Setelah datang panggilan sidang mereka kemudian masuk ke ruang sidang dengan di dampingi oleh Jaksa Penuntut Umum yang akan mendakwanya, setelah masuk kemudian terdakwa tersebut duduk di tengah-tengah ruang sidang, sementara itu Jaksa Penuntut Umumnya duduk ditempat yang telah disediakan yaitu di sisi kirinya, sementara itu di sisi sebelah kanan yang merupakan tempat bagi Pembela atau Penasihat Hukum kosong tidak terisi. Hakim kemudian membuka persidangan, melihat terdakwa tanpa di dampingi penasihat hukum biasanya hakim menanyakan apakah terdakwa di dampingi penasihat hukum atau tidak, terdakwa menjawab tidak dengan alasan biaya, lalu kemudian hakim melanjutkan persidangan hingga akhirnya keluar vonis putusan bagi terdakwa.

Continue reading