Beberapa hari yang lalu masyarakat kembali dikejutkan oleh sebuah kasus, kasus Pencurian Piring dan Sop Buntut, setelah beberapa minggu sebelumnya dikejutkan oleh kasus pencurian sandal jepit. Kasus Pencurian Piring dengan terdakwa seorang pembantu rumah tangga bernama Rasminah ini sebenarnya sudah menjadi bahan perbincangan di akhir tahun 2010 lalu namun kasus ini mencuat kembali setelah Mahkamah Agung akhirnya memutus Rasminah terbukti bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama 130 hari (4 bulan 10 hari). (link putusan bisa diunduh di sini)
Dalam kasus ini Rasminah di tingkat pertama diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang, namun Penuntut Umum pada Kejari Tangerang kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat Kasasi putusan tidak bulat, seorang hakim agung yang juga duduk sebagai ketua majelis dalam perkara tersebut, Artidjo Alkotsar memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat dua hakim anggota lainnya (dissenting). Artidjo berpendapat bahwa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan bebas PN Tangerang tersebut merupakan putusan bebas tidak murni, sehingga menurutnya seharunya permohonan kasasi Penuntut Umum tidak dapat diterima.
Setelah MA memutus dan mengabulkan kasasi Penuntut Umum hebohlah kasus ini. Cercaan demi cercaan ditujukan ke Mahkamah Agung. Bahkan seorang anggota Komisi III DPR dengan bodohnya menyatakan akan mengusulkan Komisi III untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menganalisa putusan-putusan MA[i].
Kelalaian Berjamaah
Mengapa kasus seperti ini muncul, apa yang salah? Tentunya saya tidak ingin mencoba menganalisa mengapa Rasminah mencuri, atau apakah benar ia mencuri. Bagi saya ini masalah lain yang bukan menjadi porsi saya. Saya hanya akan menyoroti aspek hukumnya semata. Setidaknya ada permasalahan hukum seputar kasus ini yang membuat kasus seperti ini menjadi heboh. Pertama tidak disesuaikannya batasan pencurian ringan yang diatur dalam pasal 364 KUHP hingga saat ini. Untuk masalah ini saya sudah pernah menuliskannya dalam blog ini, sila baca Nenek Minah dan Kelalaian Legislasi. Inti dari tulisan tersebut, jika batasan pencurian ringan yang diatur dalam pasal 364 KUHP disesuaikan, dari Rp. 250,00 menjadi katakanlah Rp 500.000,00 atau Rp. 1 Juta, maka perkara-perkara seperti ini mungkin tidak akan masuk sampai pengadilan, karena tidak ada ‘insentif’ bagi penyidik untuk mengusut perkara ini karena ancamannya ringan, 3 bulan yang mana tersangka tidak bisa dikenakan penahanan, atau, kalaupun akhirnya tetap diselesaikan melalui jalur hukum, acara persidangan yang digunakan adalah Acara Cepat yang prosesnya sangat sederhana, seperti sidang Tilang. Selain itu perkara ini juga tidak bisa diajukan kasasi.[ii] Pihak yang bertanggung jawab untuk merevisi pasal tersebut adalah DPR dan Pemerintah. Jadi DPR dan Pemerintah memiliki andil yang cukup besar atas perkara ini.
Kedua. Mengapa Penuntut Umum dalam perkara Rasminah ini mengajukan kasasi? Saya tidak ingin membahas mengenai apakah putusan bebas dapat diajukan kasasi atau tidak. Masalah ini sudah banyak yang membahas. Yang ingin saya angkat kali ini adalah mekanisme lain yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh Kejaksaan/Jaksa Agung dalam perkara ini (dan banyak perkara lainnya), yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH).
Apa itu KDKH? KDKH adalah upaya hukum luar biasa yang kewenangan pengajuannya dimiliki oleh Jaksa Agung yang tujuannya adalah mengoreksi putusan ditingkat pertama atau banding yang sudah berkekuatan hukum tetap demi terjaganya kesatuan penerapan hukum tanpa memiliki akibat hukum terhadap terdakwa (dalam perkara pidana) atau para pihak (dalam perkara selain pidana). Yang melakukan koreksi tentu bukanlah Jaksa Agung itu sendiri, namun tetap Mahkamah Agung. Jaksa Agung hanyalah pihak –satu-satunya pihak- yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan kasasi jenis ini. Seputar isu KDKH ini dapat dibaca di tulisan saya dan Yura Pratama di sini dan contoh-contoh kasus KDKH yang pernah ada di sini.
Apa relevansinya KDKH dengan perkara Rasminah ini? Kasus ini sejak ditingkat pertama telah menjadi sorotan masyarakat. Penolakan masyarakat atas dibawanya perkara ini ke pengadilan sudah cukup besar, terlebih pada saat itu masyarakat juga sudah dihebohkan dengan kasus Nenek Minah, Pencurian Semangka, Kapuk Randu, dan beberapa kasus kecil (dan dengan terdakwa orang miskin) lainnya. Tentunya Penuntut Umum (Kejaksaan) sudah dapat memperhitungkan untung ruginya jika perkara tersebut akan tetap dilanjutkan ke Mahkamah Agung melalui upaya hukum banding maupun Kasasi. Terlebih, apalah artinya memenjarakan seorang pembantu rumah tangga berusia 53 tahun hanya karena dianggap mencuri beberapa buah piring biasa dan sebungkus Sop Buntut. Hukum pidana bukan lah primum remedium, namun ultimum remedium.
Dalam kasus Rasminah ini setelah Pengadilan Negeri memutus terdakwa tidak terbukti, seandainya pun Penuntut Umum menganggap putusan tersebut mengandung kesalahan hukum yang harus dikoreksi, alangkah lebih baiknya jika upaya hukum yang dipilih oleh Penuntut Umum adalah kasasi (biasa), yang keputusannya dapat berdampak bagi terdakwa, namun mengusulkan Jaksa Agung untuk mengajukan upaya hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum ini. Jika langkah ini yang dipilih maka apapun putusannya KDKH tersebut Rasminah akan tetap bebas dan terbebas dari status sebagai mantan narapidana, masyarakat pun tidak akan geram, dan kepentingan hukum tetap dapat terpenuhi, yaitu meluruskan kesalahan (jika memang terbukti ada kesalahan penafsiran atau penerapan hukum oleh majelis hakim tingkat pertama). Sayang, langkah ini bukanlah langkah yang dipilih oleh pihak Kejaksaan pada saat itu. Jadi dalam kasus ini Kejaksaan memiiki andil yang cukup besar atas cercaan masyarakat (dan politisi) terhadap Mahkamah Agung.
Semoga kedepan kesalahan-kesalahan seperti ini tidak terulang kembali, DPR dan Pemerintah mulai melihat akar permasalahannya ada dimana, yaitu ada di pihak mereka sendiri yang abai atas tanggung jawabnya memelihara ketentuan-ketentuan pidana agar selalu sesuai dengan perkembangan jaman, dan Kejaksaan juga mulai merevitalisasi kembali kewenangan yang dimilikinya, yaitu mengajukan Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
[ii] Lihat pasal 205 ayat 3 KUHAP dan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Sebenarnya dalam kasus ini apa sih argumen jaksa bahwa putusan itu putusan bebas tidak murni? Terus terang saya tak bisa menemukannya. Apalagi kalau lihat pertimbangan hakim, kecuali yang dissenting, mereka hanya menyebut bahwa putusan itu bebas tidak murni (ini pernyataan, bukan penjelasan), serta menyebutkan penilaiannya atas kenyataan (sekali lagi ini pernyataan, bukan penjelasan).
Terkait KDKH, kalau lihat dalam kasus ini yang toh sebenarnya banyak mengajukan terkait fakta, bukan penerapan hukum, sepertinya jaksa juga tidak akan menggunakan instrumen itu. Yang harus dilakukan, benar seperti pendapat Artidjo, dalam kasus di mana jaksa sebenarnya hanya mempermasalahkan fakta, maka seharusnya permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima. Kalaupun ada fakta-fakta yang membimbangkan terkait dengan penerapan hukum, maka mau tidak mau harus lewat sidang lagi.
Oh, ya, untuk mencegah masalah sepele berlarut-larut di pengadilan, bagaimana kalau menggunakan pembatasan (nilai) perkara?
Pingback: Menimbang Kembali Kasus Pencurian Piring | Ars Aequi et Boni
Kalau soal pembatasan nilai perkara udah di tulisan gw sebelumnya. Di Nenek Minah dan Kelalaian Legislasi. Isu yang ingin gw angkat di tulisan ini memang khusus mengenai KDKH.
Kalau yang loe maksud pembatasan perkara untuk kasasi, dengan disesuaikannya nilai uang yang ada di 364 KUHP otomatis perkara seperti ini ga bisa di kasasi, karena berdasarkan pasal 45A UU MA perkara yang ancaman pidananya dibawah 1 tahun ga bisa kasasi, tapi masih bisa KDKH.