Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati

Satu hal yang membuat saya selalu tertarik untuk membaca-baca putusan Mahkamah Agung yang sejak tahun 2008 yang lalu telah cukup banyak tersedia di website resmi Mahkamah Agung yaitu tak jarang saya menemukan putusan dengan perkara yang unik, menarik, maupun pertimbangan yang menarik. Pernah saya menemukan sebuah putusan dengan perkara yang sebelumnya sepertinya tidak mungkin sampai berakhir di meja hijau di pengadilan di Indonesia, bukannya perkara tersebut tidak pernah terjadi namun sepertinya terlalu kecil untuk dibawa ke pengadilan bahkan hingga kasasi, seperti dalam kasus Pohon Mangga yang pernah saya muat juga di blog ini. Pernah juga saya menemukan putusan dengan pertimbangan hukum yang sangat progresif, dimana Mahkamah Agung menggugurkan putusan judex facti oleh karena pada saat dilakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan Terdaka (saat itu Tersangka) tidak didampingi oleh Penasihat Hukum [lihat ini]. Selain itu tak jarang juga dengan membaca-baca putusan Mahkamah Agung saya menemukan inkonsistensi Mahkamah Agung, yang tak jarang inkonsistensi tersebut terjadi dengan anggota majelis yang sama atau setidaknya terdapat sebagian anggota majelis yang sama.

Kini lagi-lagi saya menemukan lagi putusan Mahkamah Agung yang cukup membuat saya takjub. Kali ini terkait dengan hukuman mati. Hukuman mati memang selalu menjadi isu yang cukup menarik untuk dibahas. Sebagian masyarakat menganggap bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia oleh karenanya harus dihapuskan dari sistem hukum Indonesia, namun di saat yang sama terdapat sebagian lagi masyarakat yang tak hanya berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia bahkan mendorong hukuman mati ini diterapkan untuk beberapa jenis perkara, misalnya korupsi.

Konstitusionalitas hukuman mati ini sendiri pernah diuji di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 oleh beberapa orang yang merupakan terpidana mati atas perkara Narkotika, namun oleh MK melalui putusannya nomor 2-3/PUU-V/2007 dinyatakan hukuman mati tidak melanggar konstitusi, walaupun dalam perkara ini terdapat 3 orang Hakim Konstitusi yang melakukan Dissenting Opinion yang berpendapat bahwa hukuman mati inkonstitusional (dan satu orang Hakim Konstitusi dissenting atas dasar para pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan).

Continue reading

Peralihan Hak Keperdataan Melalui Putusan Pidana

Putusan Kasasi Nomor 1881 K/Pid/2010 (Sri Handayani)

Perkara ini cukup menarik oleh karena dalam perkara pidana Pengadilan mengalihkan hak keperdataan seseorang kepada orang lain, hal yang umumnya hanya dilakukan dalam peradilan perdata. Selain itu, yang lebih menarik adalah benda yang dialihkan status keperdataannya tersebut sedang dijaminkan.

Perkara ini berawal dari perjanjian jual beli mobil honda Jazz seharga Rp 100 juta antara Terdakwa, seorang Dosen STIA-LAN, yang bekerjasama dengan Michael Tjandrajaya (dalam berkas terpisah) dengan korban pada akhir tahun 2007. Setelah Korban melunasi pembayaran ternyata Terdakwa tidak kunjung menyerahkan mobil yang dijanjikan. Pada pertengahan 2008 karena mobil yang dijanjikan tidak kunjung dikirim Korban kemudian meminta Terdakwa mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkannya, Terdakwa kemudian menyerahkan selembar cek senilai Rp 100 juta, akan tetapi ketika dicairkan ternyata tidak ada isinya (kosong). Pada akhir 2008 Korban kembali menagih janji Continue reading

Kesaksian Polisi yang Tidak Dibenarkan

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus narkotika ini sangat menarik karena MA membatalkan putusan Judex Factie yang telah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 4 tahun. Alasan Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie tersebut oleh karena saksi-saksi yang memberatkan terdakwa ternyata dari pihak kepolisian itu sendiri. Mahkamah Agung memandang bahwa dalam kasus ini sangat mungkin kesaksian dari pihak kepolisian tersebut direkayasa, bahkan dalam pertimbangannya secara berani Mahkamah Agung menyatakan bahwa cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti yang terjadi dalam kasus ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan.

Putusan MA No. 1531 K/Pid.Sus/2010 (Ket San alias Chong Ket)

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Alasan keberatan Terdakwa angka 1 dapat dibenarkanbahwa saksi PRANOTO dan SUGIANTO yang berasal dari pihak kepolisian, keterangannya tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan dengan alasan-alasan :

  • Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara a quo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan bahwa bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 ayat (6 ) KUHAP) ;
  • Continue reading

Pengenyampingan Hasil Lab yang Tidak Dibenarkan

Putusan MA No. 908 K/Pid/2010

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat, bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :

  • Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian serta keliru menafsirkan pasal 263 ayat (2) KUHPidana, sehingga membebaskan Terdakwa dari dakwaan Penuntut Umum ;
  • Bahwa kesalahan dalam pertimbangan putusan a quo yaitu Judex Facti telah mengesampingkan hasil laboratoris Kriminalistik barang bukti dokumen No. Lab. 120/DTF/2008 tanggal 17 Mei 2008 Judex Facti tidak mempunyai cukup alasan objektif dan ilmiah untuk mengesampingkan hasil Lab. Kriminalistik, sebab Judex Facti sama sekali tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penelitian dan pendalaman soal perbedaan tanda tangan Terdakwa yang hanya berdasar pada tanda tangan pembanding (KT) yang tertera pada surat ketetapan pajak ;
  • Bahwa pengetahuan Judex Facti tidak didasari pada metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga hasilnya lebih cenderung bersifat subjektif dan spekulatif ; Continue reading

Putusan tentang Narkotika

Putusan MA No. 899 K/Pid.Sus/2010 (Rudini Hidayat)

Bahwa alasan Terdakwa dalam memori kasasinya bahwa dia tidak mengetahui kalau rokok lintingan itu terbua t dari daun ganja, keterangan Terdakwa tersebut tidak dapat diterima dengan alasan :

  1. Tidak biasanya satu batang rokok (lintingan daun ganja) dihisap bersama-sama secara bergantian ;
  2. Rokok yang di tawarkan M. Asrori dibuat dalam bentuk, tidak punya merek (pembungkus), kemasan sangat berbeda dengan yang biasanya dij ual di pasaran ;
  3. M. Asrori menawarkan rokok ganja ini kepada teman- temannya yang berada di teras rumah Asep yaitu Eful, Rudini dan Terdakwa ;
  4. Hasil visum Lab. No. 0905-0717 terbukti Mariyuana hasil positif ;

Atas dasar alasan tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa telah mengetahui , menduga, atau patut menduga atau menginsafi kalau rokok yang ditawarkan oleh Asrori untuk dihisap bersama-sama secara bergantian adalah terbuat dari lintingan daun ganja ;

Apabi la perbuatan Terdakwa menghisap rokok dari lintingan daun ganja dihubungkan dengan hasil visum menunjukkan bahwa Terdakwa dan kawan-kawan selain menghisap rokok ganja juga pengguna/pemakai Mariyuana. Kesimpulannya terdakwa dan kawan- kawan pemakai narkotika ;

Majelis Hakim Agung:

  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Pembebanan Biaya Jasa Kepada Pihak yang Kalah Dalam Permainan Tidak Termasuk Judi

Putusan MA No. 890 K/Pid/2010 (Busra Suklain)

Bahwa fakta hukum menunjukkan permainan biliar di tempat usaha Terdakwa, aturan mainnya adalah bahwa setiap pemain yang kalah harus membayar uang meja sebagai jasa pengelola sebesar Rp2.000, – (dua ribu rupiah) melalui uang koin yang di tukarkan sebelum permainan dimulai. Cara pengelolaan uang jasa semacam ini sudah merupakan hal biasa dan menjadi kelaziman di tempat hiburan mana pun. Adanya peraturan yang kalah membayar koin tidak dapat dikualifikasi sebagai taruhan atau judi, sebab sudah menjadi kewajiban yang kalah untuk membayar jasa, bahwa yang menang juga sama sekali tidak mendapat untung apa pun dari hasil permainan ;

Bahwa membayar koin Rp2.000, – (dua ribu rupiah ) sebagai jasa /uang sewa meja yang dibebankan kepada pihak yang kalah tidak dapat dikatakan sebagai taruhan Continue reading