Misteri Uang Pengganti

Pengantar

Uang Pengganti, sebuah jenis Pidana Tambahan dalam sistem hukum pidana yang khusus ada dalam UU Tindak Pidana Korupsi kerap diartikan sebagai “uang pengganti kerugian negara”. Yang artinya kira-kira kewajiban bagi terpidana untuk memulihkan segala kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya.

Tentu anda juga berfikir seperti itu bukan? Dulu pun saya berfikir demikian. Tapi setelah saya pergi ke klinik Tong Fang pandangan saya berubah.

Di klinik Tong Fang saya diingatkan untuk membaca kembali rumusan pasal 18 Ayat (1) huruf b UU 31 Tahun 1999 secara lebih teliti, dan kemudian disuruhnya saya berfikir. Kemudian saya baca pasal tersebut, seperti tertulis di bawah ini:

Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan b:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

  1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
  2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

Begitu tertulis secara jelas. Tak ada kata-kata “sejumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkannya”. Tak ada juga pasal yang mengatur definisi Uang Pengganti ini. Lalu mengapa kita berfikir bahwa uang pengganti ini adalah uang pengganti kerugian keuangan negara? Tentu hal ini tidak terlepas dari adanya kesalahpahaman tentang apa itu korupsi, Continue reading

Hukuman Terhadap Yang-Bukan-Terdakwa

(Sekali lagi) sungguh tidak masuk di akal saya yang sedikit ini membaca amar putusan No. 787 K/Pid.Sus/2014 (Indar Atmanto). Mengapa tidak, dalam perkara ini terdapat pihak ketiga yang bukan merupakan terdakwa dalam perkara ini yang turut dijatuhi hukuman, pihak tersebut yaitu PT. IM2. Hukuman yang dijatuhkan kepada Pihak Ketiga yang Bukan Terdakwa tersebut yaitu pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 1,3 Triliun lebih. Berikut kutipan amar putusan tersebut:

  1. Menyatakan Terdakwa Indar Atmanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA”;
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun dan menjatuhkan Pidana Denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
  3. Menghukum PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) membayar uang pengganti sebesar RP. 1.358.343.346.674,00 (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT. Indosat Mega Media (PT.IM2) tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut;
  4. Menetapkan lamanya penahanan kota…dst

Dalam perkara ini sebenarnya yang menjadi terdakwa hanyalah Indar Atmanto. Benar bahwa ia adalah Direktur Utama dari PT IM2, namun PT IM2 sendiri tidak lah menjadi terdakwa dalam berkas perkara ini.

Amar putusan MA tersebut memang tidak ujug-ujug muncul. Amar tersebut sebenarnya telah sesuai dengan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum yang memang meminta agar PT IM2 walaupun bukan sebagai Terdakwa dalam berkas perkara ini turut dijatuhi pidana, khususnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Dari amar tuntutan JPU ini lah juga bisa d Continue reading

Melawan Hukum, Korupsi, dan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006

Pada tanggal 24 Juli 2006 yang lalu MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor (31/99) bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi:

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Adapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1) adalah sebagai berikut:

Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;

Putusan MK tersebut memang telah dijatuhkan hampir 10 tahun yang lalu, namun isu seputar unsur “melawan hukum” ini tetap saja selalu menjadi isu yang menarik. Terlebih paska putusan MK tersebut Mahkamah Agung pun kerap mengabaikan putusan tersebut, walaupun kadang juga tetap mempedomaninya, tergantung siapa hakim agungnya[1].

Tak lama setelah MK menyatakan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau singkatnya MK membatasi bahwa yang dimaksud dengan “melawan hukum” adalah melawan hukum dalam pengertian formil saya pribadi telah memprediksi (atau mendorong?) bahwa putusan MK ini bisa disiasati sehingga pengertian melawan hukum tetap ditafsirkan sebagai melawan hukum dalam pengertian baik formil maupun materil. Sayangnya saya lupa tulisan tersebut ada dimana dan apakah tulisan tersebut akhirnya dimuat dalam jurnal yang juga saya lupa apa nama jurnalnya. Inti tulisan saya saat itu kira-kira serupa dengan pertimbangan MA dalam putusan No 2214 K/Pid/2006, yaitu tetap menafsirkan Continue reading

Anotasi Putusan Korupsi PN Bandung – Gatot Sutedjo

Anotasi Putusan Korupsi

No. 98/PID.SUS/TPK/2013/PN.Bdg (Gatot Sutedjo)

(Arsil dan Muhammad Rafi*)

RINGKASAN PERKARA

Perkara ini pada dasarnya merupakan perkara yang cukup sederhana, yaitu seorang pejabat pada Dinas Tata Ruang Kota Bekasi yang bertugas untuk memeriksa izin-izin penggunaan lahan di wilayah Kota Bekasi mendatangi sebuah pabrik yang sedang mendirikan suatu bangunan, menanyakan izin dari pendirian bangunan tersebut kemudian pada akhirnya menawarkan bantuan untuk memudahkan proses perizinan tersebut dengan imbalan sejumlah uang.

Pihak perusahaan pun kemudian tertarik dan menerima penawaran dari sang pejabat dan akhirnya menyerahkan uang sebesar +/- Rp. 196 juta, setelah sebelumnya pihak pejabat tersebut meminta imbalan sebesar +/- Rp. 390 juta. Namun setelah uang diserahkan, ternyata tidak seluruh izin berhasil keluar seperti yang dijanjikan, dari 14 jenis izin yang disepakati ternyata hanya 5 izin yang berhasil terbit. Karena 9 izin lainnya tidak kunjung-kunjung terbit akhirnya pihak perusahaan melaporkan sang pejabat tersebut ke Kejaksaan.

Atas peristiwa tersebut berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah perbuatan korupsi, yaitu antara pemerasan yang dilakukan pejabat (Pasal 12 huruf e), gratifikasi illegal (pasal 12B), atau menerima hadiah atau janji karena jabatan yang ada padanya, atau yang menurut orang member ada hubungannya dengan jabatannya (Pasal 11).

Continue reading

Korupsi Tanpa Mens Rea?

Ada sesuatu yang salah saat saya membaca putusan Mahkamah Agung No. 2088 K/Pid.Sus/2012 ini. Dalam perkara korupsi ini secara tegas dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak pidana pada Terdakwa. Selain itu apa yang dilakukan Terdakwa dikatakan oleh MA terbukti bermanfaat, serta tidak Terdakwa (terbukti) sama sekali menikmati/memperoleh keuntungan dari perbuatannya. Akan tetapi, Mahkamah Agung tetap memandang bahwa perbuatan terdakwa terbukti merupakan korupsi (pasal 3 UU 31 Tahun 1999) dan dijatuhi pidana 1 tahun (tanpa denda).

Dengan putusan yang demikian, apakah artinya asas dalam hukum pidana yang berbunyi geen straf zonder schuld sudah tidak berlaku lagi? Entah lah. Menarik juga jika diperbandingkan dengan perkara No. 2437 K/Pid.Sus/2012 yang diputus oleh Majelis yang sama, dan perkara No. 2 K/Pid.Sus/2010 (lihat ini).

Berikut Kutipan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung dalam perkara 2088 K/Pid.Sus/2012 ini:

Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Continue reading

Harta Benda yang Tidak Terkait Tindak Pidana Korupsi Sebagai Jaminan Pembayaran Uang Pengganti

Putusan Kasasi No. 2190 K/Pid.Sus/2010 (Fathor Rasjid)

Ringkasan Perkara
Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi karena pada saat menjabat sebagai Ketua DPRD Propinsi Jawa Timur telah menerima kick back dari dari sejumlah lembaga penerima hibah dalam dalam Program Penanganan Sosial Ekonomi (P2SEM) dimana lembaga-lembaga tersebut mendapatkan hibah karena rekomendasi Terdakwa.

Dalam perkara ini terdakwa dinyatakan terbukti bersalah disemua tingkatan pengadilan. Namun salah satu materi yang dipermasalahkan disemua tingkat pengadilan hingga kasasi adalah barang bukti berupa rumah milik terdakwa yang sebelumnya telah disita oleh penyidik yang ternyata diperoleh oleh terdakwa sebelum tindak pidana ini terjadi.

Di tingkat pertama, Continue reading

Pemungutan Parkir Liar Sebagai Korupsi

Nomor 2498 K/Pid.Sus/2010 (Muhammad Zainal Abidin)

Dalam perkara ini Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya melakukan pemungutan parkir tanpa izin di RSUD Kota Cilegon pada tahun 2007 s/d 2009. Perbuatan tersebut berawal dari dilakukannya kerjasama antara Terdakwa selaku Direktur CV Rawi Jaya Abadi dengan Koperasi Medika Mandiri untuk mengelola parkir di RSUD Kota Cilegon. Dari kesepakatan antara CV RJA dan Koperasi MM disepakati pengelolaan parkir di RSUD Kota Cilegon dilakukan oleh CV RJA dengan kesepakatan bahwa CV RJA akan menyetorkan hasil pungut parkir sebesar Rp 3 juta per bulannya kepada Koperasi MM.

Dalam melakukan usaha perparkiran tersebut CV RJA menetapkan tarif dua kali lipat dari yang ditetapkan oleh Pemda Cilegon. Selain itu CV RJA juga tidak mendapatkan izin dari Walikota Cilegon. Akan tetapi walaupun tidak pernah mendapatkan izin pengelolaan parkir CV RJA menyetorkan retribusi kepada Dinas Perhubungan Kota Cilegon Rp 500 ribu setiap bulannya selama 11 bulan, yaitu sejak bulan April 2007 s/d februari 2008, setoran tersebut dilakukan agar seolah-olah pengelolaan parkir yang dilaksanakan CV RJA sah. Setoran retribusi tersebut Continue reading

Problema Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor (2)

Dalam tulisan sebelumnya saya menguraikan permasalahan antara Pasal 3 dan Pasal 8 Tipikor di sini. Melengkapi tulisan tersebut berikut ini contoh lain dari permasalahan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pid.Sus/2009 (Kristiani Mei Puji Astutik)

Dalam perkara ini Terdakwa pada saat menjabat sebagai Pemegang Kas Sekretariat DPRD Kab. Blora Tahun anggaran 2006 didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada intinya menggunakan dana yang berasal dari Pos Belanja Tidak Langsung sebesar +/- Rp 77 Juta tanpa bisa mempertanggungjawabkannya, dari total anggaran sebesar +/- Rp 9 milyar. Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan berlapis (primair-subsidair) dimana dalam dakwaan primair PU mendakwa dengan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Subsidair dengan Pasal 3 UU Tipikor, Lebih Subsidair dengan Pasal 8 UU Tipikor.

Dalam Tuntutannya Penuntut Umum berkesimpulan bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Subsidari, yaitu yang diancam dengan Pasal 3 UU Tipikor. Tuntutan hukuman yang dituntut yaitu penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp 50 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar +/- 77 juta dengan penjara pengganti selama 1 tahun.

Continue reading

Problematika Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor

UU Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya mengandung beberapa permasalahan. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti mengenai permasalahan tumpang tindih pengaturan delik/tindak pidana yang diatur di dalamnya. Sebenarnya ada cukup banyak ketentuan pidana yang tumpang tindih dalam UU ini, namun kali ini saya hanya akan menyoroti tumpang tindihnya pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena kebetulan baru menemukan suatu putusan yang terkait masalah ini, yaitu Putusan No. 293 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making.

Sebelum masuk bagaimana perkara di atas tentunya sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang diatur dalampasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Continue reading

Hukuman Percobaan yang Dibatalkan Mahkamah Agung (2)

Putusan MA No. 2446 K/Pid.Sus/2009 (Agustinus Agus Kristanto)

Pertimbangan MA:

Bahwa Judex Facti tidak menerapkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) b Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dalam Undang- Undang Nomor : 20 Tahun 2001, yang menerangkan secara jelas tentang sanksi pidana yang menyatakan pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, namun Judex Facti telah menjatuhkan pidana 1 tahun dengan subsider masa percobaan 2 tahun dengan demikian Judex Facti telah jelas keliru dalam menerapkan hukumnya;

Bahwa pertimbangan Judex Facti yang mendasari ditetapkannya pidana percobaan sesuai Pasal 14a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Sic-ed) karena menurut Judex Facti bahwa adanya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan bank tersebut (BPR) telah dianggap selesai dengan dipekerjakannya Terdakwa di BPR tersebut ;

Continue reading