Dapat Tidaknya Pengadilan Menjatuhkan Hukuman Berdasarkan Pasal yang Tidak Didakwa – Fluktuasi Pandangan Hukum Mahkamah Agung

Pengantar sebelum pengantar. Tulisan ini merupakan tulisan saya yang membutuhkan waktu yang paling lama untuk menulisnya. Tulisan ini pertama kali saya susun pada pertengahan tahun 2015. Awalnya saya niatkan untuk membuat semacam model ringkasan atau digest dari sejumlah putusan MA yang memiliki kesamaan permasalahan hukum. Ide dasar ini yang kemudian menjadi model bagi penyusunan buku yurisprudensi MA 2018.[1]

Pada pertengahan tahun 2016 tulisan ini sebenarnya sudah selesai dan siap saya publish. Namun file terakhir ternyata hilang terhapus di dropbox. Setelah itu saya malas untuk meneruskan draft terakhir sebelum hilang. Penulisan baru saya lanjutkan kembali pada sekitar tahun 2019. Karena ada beberapa putusan MA baru saat itu akhirnya terpaksa harus sedikit rombak. Namun penulisan kembali terhenti karena ada kerjaan lain dan akhirnya terlupakan. Penulisan baru kembali saya lanjutkan 2 tahun kemudian, yaitu september-oktober 2021 yang akhirnya alhamdulilah kelar. Jadi, total waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan tulisan yang awalnya saya niatkan sebagai tulisan sederhana saja adalah 6 tahun. Jadi harap maklum kalau ada sedikit ‘patahan-patahan’ dalam struktur tulisan ini.

1. Permasalahan

Bagaimana jika dalam perkara tindak pidana narkotika JPU tidak mendakwakan terdakwa dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Psl 127 UU No. 35 Tahun 2009) namun dalam persidangan majelis hakim berkesimpulan bahwa seharusnya terdakwa dinyatakan bersalah sebagai penyalahguna bukan berdasarkan pasal yang didakwakan? Apakah dimungkinkan majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah atas pasal yang tidak didakwakan tersebut?

Continue reading

Common Sense di Negeri Uncommon Law

Sebuah cerita tentang putusan penghinaan

“Innalilahi wainailaihi rojiun. Dapat kabar berita duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”

Apa yang salah dengan 3 potong kalimat ini? Lebih jauh lagi, apakah layak 3 kalimat ini dinyatakan sebagai sebuah kejahatan dan yang menuliskannya dipenjara 3 bulan ditambah lagi dengan denda Rp. 10 juta?

3 potong kalimat pendek ini adalah kalimat-kalimat yang disampaikan seorang dosen dari suatu universitas negeri dalam sebuah whatsapp group yang berisi civitas akademika dari universitas negeri tersebut. 3 potong kalimat ini membuat sang dosen dihukum sebagaimana di atas. 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah.

Continue reading

Tentang Penghinaan dan Penahanan dalam Kasus Penghinaan

Seorang ibu rumah tangga menjadi tersangka kasus dugaan penghinaan, oleh pihak Kejaksaan ia pun dikenakan penahanan. Kini ia menjalani persidangan. Ia menjadi tersangka karena status facebooknya yang berbunyi : “ “Alhamdulillah Akhirnya Selesai Juga Masalahnya. Anggota DPRD Tolo (bodoh dalam bahasa Makassar), Pengacara Tolo (bodoh). Mau nabantu (membantu) orang bersalah, nyata nyata tanahnya Ortuku pergiko ganggui poeng.” (detik.com)

Apakah penghinaan merupakan tindak pidana atau dengan kata lain perbuatan yang dapat dipidana, tentu ya. Hukum pidana kita baik di KUHP (Bab XVI) maupun beberapa UU lain (salah satunya UU ITE) memang mengatur demikian. Penghinaan dimana salah satu bentuk perbuatannya adalah fitnah (menuduhkan sesuatu yang tidak benar kepada seseorang) merupakan salah satu bentuk perbuatan yang melanggar hak asasi, yaitu hak atas kehormatan. Perbuatan menghina khususnya memfitnah dapat merusak reputasi seseorang, kerusakan reputasi ini dapat berakibat fatal, seperti rusaknya kepercayaan publik atau orang lain terhadap orang yang dihina atau difitnah tersebut, bahkan pada titik tertentu dapat mengancam keselamatan jiwa. Yang menjadi permasalahan, jika Continue reading

Misteri Uang Pengganti

Pengantar

Uang Pengganti, sebuah jenis Pidana Tambahan dalam sistem hukum pidana yang khusus ada dalam UU Tindak Pidana Korupsi kerap diartikan sebagai “uang pengganti kerugian negara”. Yang artinya kira-kira kewajiban bagi terpidana untuk memulihkan segala kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya.

Tentu anda juga berfikir seperti itu bukan? Dulu pun saya berfikir demikian. Tapi setelah saya pergi ke klinik Tong Fang pandangan saya berubah.

Di klinik Tong Fang saya diingatkan untuk membaca kembali rumusan pasal 18 Ayat (1) huruf b UU 31 Tahun 1999 secara lebih teliti, dan kemudian disuruhnya saya berfikir. Kemudian saya baca pasal tersebut, seperti tertulis di bawah ini:

Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan b:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

  1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
  2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

Begitu tertulis secara jelas. Tak ada kata-kata “sejumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkannya”. Tak ada juga pasal yang mengatur definisi Uang Pengganti ini. Lalu mengapa kita berfikir bahwa uang pengganti ini adalah uang pengganti kerugian keuangan negara? Tentu hal ini tidak terlepas dari adanya kesalahpahaman tentang apa itu korupsi, Continue reading

Aspek Lain Pencabutan Hak “Politik” Putusan LHI

Mantan Presiden PKS LHI divonis 18 tahun penjara oleh MA di tingkat Kasasi, entah dendanya berapa. Satu hal yang menarik dari putusan ini, MA mengabulkan tuntutan JPU atas pidana tambahan pencabutan hak dipilih (entah apakah hak memilih juga ikut dicabut atau tidak, karena sejauh ini sumber informasi baru didapat dari media massa belaka). Dan belum jelas juga untuk berapa lama hak tersebut dicabut. Putusan pidana tambahan pencabutan hak ini memang sangat jarang dijatuhkan, entah karena hukuman tersebut dianggap terlalu berat, jenis pidana tambahan ini memang sudah terlupakan, atau karena faktor lain, seperti yang pernah saya tulis di artikel ini misalnya (Negeri Tanpa Ampunan).

Banyak pihak bersorak sorai gembira atas putusan ini, khususnya pencabutan hak politik tersebut. Saya pada dasarnya juga, tapi untuk alasan yang berbeda, bukan karena saya senang LHI dicabut hak politiknya, namun karena akhirnya pidana tambahan ini mulai dilirik lagi. Semoga kedepan mekanisme ini lebih dikedepankan dibanding mencabut hak-hak tertentu warga negara melalui peraturan perundang-undangan seperti dalam artikel Negeri Tanpa Ampunan di atas yang cenderung melanggar hak asasi warga negara.

Pidana Tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih (hak politik) merupakan salah satu sub jenis dari pidana tambahan yang di atur di KUHP. KUHP mengenal 3 jenis pidana tambahan, yaitu Pencabutan Hak-Hak Tertentu, Perampasan Continue reading

10 Tahun untuk Perkara dengan Bukti Minim

Catatan Atas Putusan 1672 K/Pid.Sus/2012 dan 1346/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM

Agak takjub membaca putusan kasus narkotika ini. Seorang terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dengan bukti yang sangat minim. berikut ringkasan dan catatan saya atas putusan ini.

 

Ringkasan Perkara

Perkara ini sebenarnya cukup sederhana, Terdakwa (Edih K) didakwa oleh JPU akan menerima sejumlah paket narkotika jenis shabu-shabu dari Iswadi Chandra yang dibantu oleh Kurniawan. Paket narkotika itu sendiri tidak pernah sampai ketangan Terdakwa, oleh karena pihak kepolisian keburu menangkap Terdakwa.

Perkara ini sendiri bermula saat Iswadi dan Kurniawan tanggal 13 Mei 2011 sedang berada di rumah Iswadi tiba-tiba “digerebek” oleh sejumlah polisi pada pukul 10 malam. Setelah melakukan penggeledahan para penyidik tersebut menemukan 2 paket narkotika jenis shabu-shabu masing-masing seberat 25 gr dan 29 gr di dalam rumah Iswadi. Setelah ditanya oleh penyidik Iswadi mengaku bahwa narkotika tersebut berasal dari seseorang yang bernama Riki. Oleh Riki Iswadi sebelumnya diperintahkan untuk mengambil paket narkotika tersebut di daerah Pulo Gadung dan kemudian diperintahkan untuk menyerahkannya kepada Terdakwa.

Kepada Penyidik Iswadi mengaku bahwa ia telah janjian untuk bertemu dengan Terdakwa di suatu diskotik di daerah Gadjah Mada malam itu. Oleh para penyidik kemudian Iswadi diminta mengantarkan mereka ke tempat Terdakwa. Iswadi menyanggupinya, lalu para penyidik membawa Iswadi dan Kurniawan menuju diskoktik tempat Terdakwa berada bersama barang bukti.

Continue reading

Korupsi Tanpa Mens Rea?

Ada sesuatu yang salah saat saya membaca putusan Mahkamah Agung No. 2088 K/Pid.Sus/2012 ini. Dalam perkara korupsi ini secara tegas dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak pidana pada Terdakwa. Selain itu apa yang dilakukan Terdakwa dikatakan oleh MA terbukti bermanfaat, serta tidak Terdakwa (terbukti) sama sekali menikmati/memperoleh keuntungan dari perbuatannya. Akan tetapi, Mahkamah Agung tetap memandang bahwa perbuatan terdakwa terbukti merupakan korupsi (pasal 3 UU 31 Tahun 1999) dan dijatuhi pidana 1 tahun (tanpa denda).

Dengan putusan yang demikian, apakah artinya asas dalam hukum pidana yang berbunyi geen straf zonder schuld sudah tidak berlaku lagi? Entah lah. Menarik juga jika diperbandingkan dengan perkara No. 2437 K/Pid.Sus/2012 yang diputus oleh Majelis yang sama, dan perkara No. 2 K/Pid.Sus/2010 (lihat ini).

Berikut Kutipan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung dalam perkara 2088 K/Pid.Sus/2012 ini:

Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Continue reading

Kompensasi Pencabutan Laporan Pengaduan Korupsi atau Pemerasan?

No. 381 K/Pid/2011 (Welly Walewangko & Achmad Sofyan)

Ringkasan Perkara:

Dalam perkara ini kedua Terdakwa didakwa melakukan pemerasan kepada Ir. Surya Wjaya (Direktur PT Indo Jaya Pan Pratama) selaku Pelaksana Proyek Air Bersih / Sumur Arthesis Pemkot Cirebon sebesar Rp. 9 juta. Dalam perkara ini para Terdakwa akhirnya diputus bebas.

Perkara ini berawal dari dilaporkannya Saksi Korban oleh para Terdakwa ke kepolisian atas dugaan korupsi dalam pelaksanaan Proyek Air Bersih tersebut. Setelah membuat laporan, para Terdakwa kemudian bertemu dengan Saksi Korban. Dalam pertemuan tersebut para Terdakwa menyatakan bahwa mereka siap melakukan mediasi dengan Saksi Korban (terlapor) dan mencabut kembali laporannya. Saksi Korban dan Para Terdakwa akhirnya bersepakat untuk melakukan mediasi tersebut, dimana Para Terdakwa meminta uang Rp. 10 juta sebagai imbalan pencabutan laporan korupsinya ke kepolisian. Atas jumlah tersebut Saksi Korban keberatan, akhirnya disepakati Saksi Korban akan memberikan imbalan Rp. 9 juta.

Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Surat Perjanjian. Dalam Surat Perjanjian (dengan dibubuhkan materai) dituangkan kesepakatan bahwa Para Terdakwa bersedia mencabut laporan pengaduannya, sementara Saksi Korban bersedia memberikan uang kompensasi atas prestasi Para Terdakwa tersebut sebesar Rp. 9 juta. Namun entah apa yang terjadi selanjutnya (dalam putusan ini tidak dijelaskan) Para Terdakwa kemudian diproses atas dakwaan melakukan pemerasan.

Continue reading

Penjatuhan Hukuman yang Tidak Jelas

No. 2520 K/Pid.Sus/2011 (La Rusu)

Agak aneh membaca putusan perkara pidana perikanan ini. Perkara ini sendiri merupakan perkara tindak pidana perikanan berupa pelanggaran, yaitu melakukan penangkapan ikan tanpa disertai Surat Persetujuan Berlayar yang dilakukan oleh nelayan kecil (Pasal 100B jo. Pasal 42 (3) UU 31 Tahun 2004 jo. UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan). Yang menarik dari putusan ini menurut saya bukanlah pada permasalahan hukum dalam pokok perkara itu sendiri, namun bagaimana tuntutan Penuntut Umum dan kemudian hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

Berikut kutipan sebagian Tuntutan Penuntut Umum dan Putusan Pengadilannya:

Tuntutan Penuntut Umum:
Membaca Tuntutan Pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sorong tanggal 28 Juli 2010 sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa LA RUSU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Perikanan melanggar Pasal 100B Jo Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No.45 Tahun 2009 Tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Perikanan ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan atau denda sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) ;
3. …dst

Continue reading

Ultra Petitum yang Dibenarkan

Putusan No. 808 k/pid.sus/212 (Idris Lukman)

Putusan ini merupakan putusan Kasasi yang memperkuat putusan judex facti yang menjatuhkan vonis diluar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam perkara narkotika. Sebelumnya Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif dimana dalam Dakwaan Kesatu JPU menggunakan pasal 114 (1) UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Dakwaan Kedua dengan menggunakan pasal 112 (1) UU 35 Tahun 2009. Atas dakwaan tersebut PN Surabaya memutus terdakwa tidak terbukti baik atas dakwaan alternatif kesatu maupun alternatif kedua, namun menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 127 (1) UU Narkotika, yaitu terbukti menyalahgunakan narkotika. Terdakwa kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 1,5 tahun serta diperintahkan menjalani rehabilitasi medis. Putusan ini dikoreksi oleh PT Surabaya, namun khusus mengenai lamanya hukuman, yaitu menjadi 1 tahun penjara, selain itu PT Surabaya juga memperjelas lamanya masa waktu rehabilitasi medis yang harus dijalani Terdakwa, yaitu selama 1,5 tahun.

Kasus ini sendiri berawal dari ditangkapnya Terdakwa sehari setelah diketahui membeli dan menggunakan shabu-shabu bersama 2 orang rekannya di rumah salah seorang rekannya tersebut. Setelah dilakukan penangkapan tersebut penyidik kemudian melakukan penggeledahan terhadap rumah tempat tersangka diduga menggunakan shabu-shabu tersebut. Dari penggeledahan tersebut ditemukan shabu-shabu seberat 0,3 gram beserta alat penghisapnya di bawah tempat tidur.

Di tingkat kasasi Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Judex Facti yang memutus tidak berdasarkan pasal yang didakwakan tidak salah, oleh karena Continue reading