Kisruh Pengadilan Tipikor

Ricuh pengadilan tipikor. Semua orang seakan mempermasalahkan pengadilan khusus yang baru terbentuk –tidak baru-baru amat sih, sebelumnya sudah ada, tapi karena Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 bertentangan dengan konstitusi maka kasus korupsi tidak boleh lagi diadili di dua pengadilan yang berbeda, pengadilan tipikor yang saat itu hanya ada di Jakarta dan pengadilan umum. Apa pasal pengadilan khusus ini yang undang-undangnya baru disahkan pada tahun 2009 yang lalu melalui UU No. 46 Tahun 2009 dipermasalahkan? Tak lain dan tak kurang adalah karena ternyata beberapa putusan pengadilan ini di beberapa daerah diluar ekpektasi publik yaitu memutus bebas sejumlah terdakwa kasus korupsi. Publik terperanjat, “kok bisa koruptor dibebaskan?”, berbeda dengan pengadilan tipikor sebelumnya (yang hanya ada di jakarta) dimana tidak ada putusan yang bersifat pembebasan.

Sejumlah aktivis anti korupsi menuntut agar dilakukan evaluasi atas keberadaan pengadilan ini, khususnya evaluasi atas para hakimnya, baik karir maupun ad hoc. Sejumlah tokoh hukum bahkan menuntut agar sebaiknya dibubarkan saja, atau setidaknya dihentikan ‘pendirian’ pengadilan-pengadilan tipikor di daerah atas masalah ini. Yang bagi saya mengherankan adalah pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menyatakan sebaiknya Pengadilan Tipikor hanya ada di Jakarta saja untuk mengadili perkara-perkara korupsi tertentu, sementara perkara-perkara korupsi biasa sebaiknya tetap diadili dimasing-masing pengadilan umum (negeri) sebagaimana sebelumnya. Intinya, Ketua MK yang satu ini mendorong agar ada dualisme lagi dalam pemeriksaan kasus korupsi di pengadilan. Dualisme yang dulu oleh institusi yang sama dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Continue reading

Sekelumit Masalah Pengadilan Khusus*

Artikel ini dapat juga dibaca di web resmi kantor saya: http://leip.or.id/artikel/92-sekelumit-masalah-pengadilan-khusus.html

Pengantar

Dalam pasal 15 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal ini beberapa waktu yang lalu (dan hingga kini) telah menimbulkan suatu persoalan. Berbagai pakar menyatakan bahwa pasal tersebut mengandung arti bahwa pengadilan khusus (selain harus berada dalam satu lingkungan peradilan yang telah ada) juga harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Pendapat tersebut mengeruak ketika permohonan Uji Materil atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan oleh Mulyana W Kusuma beserta para anggota KPU dan Capt. Tarsisius Walla.[1]

Inti persoalan dari masalah ini sebenarnya sederhana, yaitu para pakar hukum tata negara termasuk hakim Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa dengan menggunakan kata-kata “diatur dengan undang-undang” dalam frase terakhir pasal 15 ayat 1 tersebut maka harus diartikan bahwa pengadilan khusus harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.[2] Sementara itu pihak Pemerintah maupun DPR berpandangan lain, menurut kedua institusi pembentuk undang-undang ini pengadilan khusus tidak harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri namun bisa dibentuk melalui undang-undang lainnya sepanjang dalam bentuk undang-undang.

Dalam tulisan ini penulis tidak ingin memperdebatkan masalah penafsiran frase ’diatur dengan undang-undang’ atau ’diatur dalam undang-undang sebagaimana dalam putusan MK tersebut. Permasalahan yang jauh lebih menarik bagi penulis justru pada masalah apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus itu sendiri, bagaimana kita bisa menyatakan suatu ‘pengadilan’ termasuk sebagai pengadilan khusus atau tidak. Mengapa hal ini penting? Continue reading

FAQ mengenai Pengadilan Khusus

  

1.       Apakah pendirian Pengadilan Khusus melanggar konstitusi, khususnya Pasal 24 ayat 1 yang menyatakan bahwa hanya ada 4 lingkungan peradilan?

 

Tidak. Sepanjang Pengadilan Khusus dibentuk di salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer atau Peradilan Tata Usaha Negara.

 

2.       Apa landasan hukum pembentukan pengadilan khusus?

Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelumnya yaitu Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada bagian penjelasan pasal 10 tersebut. Namun dalam UU 14 Tahun 1970 istilah yang dipergunakan bukanlah “Pengadilan Khusus” tapi “pengkhususan pada peradilan umum”. Istilah “Pengadilan Khusus” baru dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan di UU No. 4 Tahun 1998 (UU Kepailitan) yang membentuk Pengadilan Niaga.

 

3.       Apa saja pengadilan khusus yang ada dan pernah ada di Indonesia?

  Continue reading