Penyalahgunaan Kewenangan


1. Putusan Mahkamah Agung No. 742 K/Pid/2007

“bahwa sehubungan dengn pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001, Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari 1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir”

Terdakwa : Wahyono Herwanto & Yamirzal Azis Santoso

Susunan Majelis: 1. Parman Suparman; 2. Soedarno; 3. Imam Haryadi.

2. Putusan MA No. 979 K/Pid/2004

Terdakwa : Hendrobudiyanto (Mantan Direktur BI)

Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya ;

Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ;

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana ;

Majelis Hakim Agung : 1) Bagir Manan (Ketua); 2) Iskandar Kamil (Anggota); 3) Parman Suparman (Anggota)

3.No. 2257 K/Pid/2006 (terdakwa Lim Kian Yin)

bahwa, tentang apakah yang dimaksud jabatan atau kedudukan yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1919 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tidak diterangkan oleh Undang-Undang, oleh karena itu harus diartikan termasuk orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam hukum privat, misalnya seorang Direktur PT (bandingkan Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formiil korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan kedua, halaman 50) ;

Majelis Hakim Agung : 1) Parman Suparman (Ketua); 2) I Gusti Ngurah Adnyana (Anggota); 3) Prof. Dr. Krisna Harahap (Anggota); 4) Odjak Parulian Simandjuntak (Anggota); 5) Leopold Luhut Hutagalung (Anggota)

3 thoughts on “Penyalahgunaan Kewenangan

  1. Jadi, konteks penyalahgunaan wewenang, khususnya yang dimaksud pada pasal 3 UU Tipikor, apakah paralel dengan konsep penyalahagunaan dalam Hukum Administrasi? Lantas lebih tepat berada pada ranah mana pengujiannya? Mengingat jangkauan asas dalam penegakan hukum administrasi, bersifat alternatif saat norma tidak/belum mengatur secara jelas.

    Apakah asas De Autonomie van het Materiele Strafrecht dalam hukum pidana pun bersifat alternatif? Atau bisa mengalahkan aturan normatif UU?

  2. pengertian penyalahgunaan wewenang yang ada di tipikor pada dasarnya sama dengan pengertian penyalahgunaan wewenang dalam administrasi negara. Dimana ranah pengujiannya, tergantung tujuannya. Jika tujuannya adalah untuk menguji apakah keputusan pejabat TUN tersebut sah atau tidak, maka tentu di PTUN. Namun jika tujuannya adalah untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari si pejabat TUN tersebut, tentu di pengadilan tipikor.

    Jika pertanyaannya adalah apakah dengan demikian sebelum bisa masuk ke tipikor perlu menunggu putusan PTUN terlebih dahulu? tidak. Pengadilan pidana berwenang juga untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dianggap penyalahgunaan wewenang atau tidak.

    Kapan suatu penyalahgunaan wewenang dapat dianggap sebagai korupsi? jika penyalahgunaan wewenang tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain, dan hal tersebut dapat merugikan keuangan negara.

  3. Jadi apa menurut sdra disini adalah tepat jika “menyalah gunakan kewenangan” ini adalah pengertian yang bersifat karet? Lalu apakah mnrt anda jg bahwa jika menyalah gunakan kewenangan ini jg bisa di tempatkan di segala tempat yang berhubungan dengan pasal/UU yang berhubungan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara?atau apakah mungkin di gunakan pula untuk pihak swasta/korporasi?

    Trmksh sebelumnya…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s