Sekelumit Masalah Pengadilan Khusus*


Artikel ini dapat juga dibaca di web resmi kantor saya: http://leip.or.id/artikel/92-sekelumit-masalah-pengadilan-khusus.html

Pengantar

Dalam pasal 15 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal ini beberapa waktu yang lalu (dan hingga kini) telah menimbulkan suatu persoalan. Berbagai pakar menyatakan bahwa pasal tersebut mengandung arti bahwa pengadilan khusus (selain harus berada dalam satu lingkungan peradilan yang telah ada) juga harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Pendapat tersebut mengeruak ketika permohonan Uji Materil atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan oleh Mulyana W Kusuma beserta para anggota KPU dan Capt. Tarsisius Walla.[1]

Inti persoalan dari masalah ini sebenarnya sederhana, yaitu para pakar hukum tata negara termasuk hakim Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa dengan menggunakan kata-kata “diatur dengan undang-undang” dalam frase terakhir pasal 15 ayat 1 tersebut maka harus diartikan bahwa pengadilan khusus harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.[2] Sementara itu pihak Pemerintah maupun DPR berpandangan lain, menurut kedua institusi pembentuk undang-undang ini pengadilan khusus tidak harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri namun bisa dibentuk melalui undang-undang lainnya sepanjang dalam bentuk undang-undang.

Dalam tulisan ini penulis tidak ingin memperdebatkan masalah penafsiran frase ’diatur dengan undang-undang’ atau ’diatur dalam undang-undang sebagaimana dalam putusan MK tersebut. Permasalahan yang jauh lebih menarik bagi penulis justru pada masalah apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus itu sendiri, bagaimana kita bisa menyatakan suatu ‘pengadilan’ termasuk sebagai pengadilan khusus atau tidak. Mengapa hal ini penting?

Mencari Definisi Pengadilan Khusus

Apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus? Pertanyaan ini terkesan sederhana. Tapi apakah benar sesederhana itu? Berikut penjelasan pasal 15 ayat 1 UU No. 4/2004 menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan pengadilan khusus:

Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Dari penjelasan tersebut terlihat ternyata UU 4/2004 tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus namun hanya memberikan contoh-contoh dari pengadilan khusus itu sendiri, yang mana semua contoh pengadilan ’khusus’ tersebut  sebenarnya telah ada sebelum UU 4/2004 itu sendiri lahir. Pengadilan Anak diatur melalui UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga diatur melalui Perpu No. 1 Tahun 1998, Pengadilan HAM diatur melalui UU No. 26 Tahun 2000, Pengadilan Hubungan Industrial diatur melalui UU No. 2 Tahun 2004 dan Pengadilan Pajak diatur melalui UU No. 14 Tahun 2002. Selain pengadilan-pengadilan tersebut terdapat satu pengadilan lagi yang dinyatakan sebagai pengadilan khusus, yaitu Peradilan Syari’ah[3].

Dengan pendefinisian suatu konsep dengan memberikan contoh-contoh dari sesuatu yang telah ada sebelumnya maka sangatlah logis jika yang dimaksud dengan konsep tersebut dapat dilihat dari persamaan diantara contoh-contoh yang diberikan. Jika ditelusuri dari masing-masing undang-undang yang melandasi pengadilan-pengadilan yang disebutkan baik dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 maupun pasal 15 ayat 2 sebenarnya hanya terdapat satu kesamaan yang menghubungkan pengadilan-pengadilan ’khusus’, yaitu pengadilan tersebut memiliki nama tertentu yang dinyatakan dalam undang-undangnya. Mengapa demikian?

Secara sekilas memang terlihat bahwa terdapat setidaknya dua persamaan lainnya yang menghubungkan antara pengadilan-pengadilan ’khusus’, yaitu adanya hakim khusus dan kompentensi khusus. Persamaan ini sebenarnya tidak terdapat pada semua pengadilan yang disebut pada pasal 15. Pengadilan yang dalam undang-undanganya diatur adanya hakim khusus baik berupa hakim ad hoc[4] maupun hakim (karir) yang memiliki kualifikasi khusus, hanya terdapat pada Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Untuk Pengadilan Pajak dalam undang-undangnya memang disebutkan kriteria-kriteria hakim (Bab II Bagian Kedua UU 14/2002), akan tetapi khusus mengenai hakim pengadilan pajak sebenarnya tidak dapat dipersamakan dengan hakim-hakim pengadilan khusus lainnya. Lebih jauh lagi kedudukan Pengadilan Pajak (dan juga Peradilan Syari’ah) sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan pengadilan-pengadilan ’khusus’ yang disebut dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 UU 4/2004. Kedudukan Pengadilan Pajak lebih tepat disejajarkan dengan Peradilan Umum, Agama, Tata Usaha Negara maupun Militer, sehingga dengan demikian hakim pengadilan pajak setara dengan hakim pengadilan negeri, dan lainnya, atau dengan kata lain hakim-hakim yang disebutkan dalam dalam pasal 8 UU Pengadilan Pajak sebenarnya merupakan hakim ’umum’ itu sendiri, walaupun tidak seperti hakim ’karir’ pada umumnya yang masa jabataannya ditentukan berdasarkan usia pensiun, hakim pengadilan pajak dibatasi dengan masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat diangkat lagi untuk 1 kali masa jabatan.

Pengadilan Pajak dinyatakan sebagai pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya baru pada tahun 2004, yaitu melalui penjelasan pasal 15 ayat 1 itu sendiri. Sejak awal pengadilan ini sebenarnya memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri yang sejajar dengan 4 lingkungan peradilan yang telah ada. Indikasi bahwa pengadilan ini sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri yaitu pertama dari tidak dicantumkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN dalam bagian konsideran mengingatnya, walaupun dua undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung secara tegas dicantumkan. Kedua, dalam pasal 5 ayat 2 UU 14/2002 dinyatakan bahwa Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, padahal pada saat itu departemen yang membawahi lingkungan peradilan Tata Usaha Negara adalah Departemen Kehakiman. Ketiga, dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain…dst. Jika UU 14/2002 merupakan pengadilan yang berada di lingkungan peradilan TUN maka tentunya dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 tersebut cukup hanya menyebutkan bahwa putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN. Selain itu indikasi bahwa Pengadilan Pajak sedari awal memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri juga dinyatakan oleh anggota MPR/DPR Zein Badjebber yang merupakan anggota PAH I Badan Pekerja MPR. Pada saat pembahasan amandemen konstitusi khususnya mengenai bab Kekuasan Kehakiman Zein Badjeber menyatakan:

…”Kami ingin mengkaji kembali bersama Tim Ahli, apakah hal-hal tersebut sesuai dengan kebutuhan negara kita sehingga nantinya dan sekarang ini di DPR sedang dibicarakan adanya Badan Peradilan Pajak yang menghendaki merupakan lingkungan peradilan tersendiri, yang menurut kami bertentangan dengan Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14 Tahun 1970…”[5]

Selain pengadilan pajak, Peradilan Syari’ah khususnya konsep peradilan syari’ah yang berjalan pada saat dibahasnya UU No. 4 Tahun 2004 juga sebenarnya tidak mengenal konsep hakim khusus. Dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang menjadi landasan hukum Peradilan/Mahkamah Syai’ah bahkan tidak terdapat pengaturan sama sekali mengenai hakim dari pengadilan tersebut kecuali dalam pasal 26 ayat 3 UU 18/2001 yang menyatakan bahwa Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur NAD dan Ketua MA. Pengaturan lebih jauh mengenai hakim mahkamah syariah ini, termasuk keberadaan hakim ad hoc baru terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, undang-undang yang lahir dua tahun setelah lahirnya UU No. 4 Tahun 2004. Selain itu, seperti halnya Pengadilan Pajak, Peradilan Syari’ah ini sepertinya pada awalnya juga tidak dimaksudkan sebagai suatu pengadilan khusus, tetapi sebuah badan peradilan khusus sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970. Hal ini terlihat dari selain tidak disebutkannya lingkungan peradilan yang membawahinya, juga terlihat dalam pasal 27 yang menyatakan bahwa sengketa wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir. Peradilan Syari’ah baru benar-benar masuk dalam suatu lingkungan peradilan pada tahun 2006 dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006. Berbeda dengan Pasal 15 ayat 2 yang menyatakan bahwa Peradilan Syari’at masuk dalam dua lingkungan peradilan, dalam UU No. 11/2006 dinyatakan bahwa peradilan ini masuk dalam lingkungan peradilan agama saja[6].

Mungkin terkesan terlalu tidak masuk akal jika pada akhirnya yang dimaksud dengan pengadilan khusus hanyalah pengadilan yang diberikan nama tertentu oleh undang-undang yang mengaturnya, namun jika bukan sekedar bernama yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa lagi yang bisa kita jadikan parameter untuk menilai suatu pengadilan merupakan pengadilan khusus atau bukan? Adanya hakim ad hoc? Parameter ini juga tampaknya tidak begitu valid, selain tidak semua pengadilan ‘khusus’ memiliki hakim ad hoc, seperti pengadilan anak dan pengadilan ekonomi[7], hakim ad hoc juga sebenarnya bukan ‘monopoli’ dari pengadilan ‘khusus’ itu sendiri mengingat hal ini juga terdapat dalam Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer[8].

Parameter berikutnya yang bisa kita pakai mungkin kembali dengan menggunakan parameter adanya hakim khusus –dengan asumsi bahwa pembuat UU No. 4/2004 bermaksud ‘memerintahkan’ agar undang-undang yang menjadi dasar hukum dari pengadilan pajak maupun peradilan syari’ah untuk segera diubah[9], kini yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan ‘pengadilan’ yang mengadili perkara pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD? Dalam undang-undang tersebut memang tidak disebutkan adanya pengadilan yang ‘bernama’, misalnya Pengadilan Pemilu, namun dalam pasal 254 ayat 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dilakukan oleh hakim khusus[10]. Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain pengadilan khusus yang disebut dalam UU 4/2004 (dan Pengadilan Perikanan yang diatur dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan) terdapat pengadilan khusus Pemilu?

Sejarah Pengaturan Pengadilan Khusus Dalam UU Kekuasaan Kehakiman

Penggunaan istilah ‘pengadilan khusus’ sebenarnya dimulai pada tahun 1998, tepatnya dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Tentang Kepailitan yang menjadi landasan hukum dari pengadilan niaga yang kemudian disahkan menjadi undang-undang melalui UU No. 4 Tahun 1998. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam konsideran Menimbang huruf f yang selengkapnya berbunyi:

bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-piutang tersebut diatas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya;

Jika dilihat dari penjelasan umumnya sebenarnya pengadilan ini merupakan bentuk pengkhususan yang dimungkinkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 UU tersebut dinyatakan

Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.

Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.

UU No. 14/1970 sendiri tidak menjelaskan lebih jauh maksud dari dimungkinkannya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) itu sendiri, apakah yang dimaksud pengkhususan tersebut adalah pengkhususan atau penyimpangan dari hukum acara yang berlaku umum dari hukum acara yang berlaku bagi masing-masing lingkungan peradilan atau bidang perkara atau termasuk misalnya membentuk pengadilan tersendiri. Sebagaimana halnya pasal penjelasan pasal 15 UU No. 4/2004, penjelasan pasal 10 ayat 1 UU 14/1970 juga hanya memberikan contoh dari pengadilan-pengadilan yang merupakan bentuk pengkhususan itu sendiri dimana pada saat itu setidaknya memang telah ada salah satu dari tiga contoh pengadilan yang disebutkan, yaitu pengadilan ekonomi (UU Drt No. 7/1955).

Ketidakjelasan maksud pembuat undang-undang juga ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 1964 yang juga mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Hanya saja dalam UU ini tidak disebutkan baik istilah pengadilan khusus maupun pengkhususan, penjelasan pasal 7 UU ini langsung menyebutkan bahwa peradilan umum antara lain Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, dan Pengadilan Korupsi, sementara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain meliputi juga Peradilan Kepegawaian, yang saat itu telah dinyatakan dalam UU No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian[11].

Penggunaan istilah pengadilan khusus sendiri tak jarang ‘tertukar’ dengan istilah peradilan khusus. Pengadilan Niaga sendiri yang pada bagian konsideran menimbangnya disebut sebagai pengadilan khusus, namun dalam penjelasan umumnya justru dinyatakan sebagai peradilan khusus.

Penjelasan umum Perpu No. 1/1998

Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan Hakim-hakim yang dengan demikian juga akan bertugas secara khusus…dst

Istilah peradilan khusus sendiri memang terdapat dalam UU No. 14/1970. Selain dari penjelasan pasal 10 ayat 1 yang menyebutkan Peradilan Militer, Agama, maupun Tata Usaha Negara sebagai peradilan khusus, dalam pasal 13 nya juga dinyatakan bahwa Badan-badan Peradilan khusus disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-undang. Ketentuan pasal 13 ini memang seakan menyiratkan bahwa disamping 4 badan peradilan yang disebut dalam pasal 10 dapat dibentuk badan peradilan lainnya. Hal ini tampaknya menjadi salah satu faktor yang membuat persepsi bahwa pengadilan-pengadilan khusus yang saat itu baru dibentuk seperti pengadilan niaga dan HAM seperti sebuah badan peradilan sebagaimana halnya peradilan umum, terlebih setelah akhirnya lingkungan peradilan dibatasi pada konstitusi tak lama kemudian ternyata UU Pengadilan Pajak (14/2002) tetap membuat pengadilan ini sebagai lingkungan peradilan tersendiri bukan dibawah lingkungan peradilan TUN sebagaimana sebelumnya disepakati oleh MPR.[12] Adanya perbedaan persepsi terhadap kedudukan pengadilan-pengadilan khusus (yang tidak semuanya dinyatakan dalam undang-undangnya sebagai pengadilan khusus) serta ‘kekeliruan’ UU No. 14/2002 tersebut tampaknya yang melandasi perubahan rumusan pengaturan penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 15 UU 4/2004 seperti yang ada saat ini. Atau dengan kata lain, pengaturan pasal 15 UU No. 4/2004 sebagaimana halnya penjelasan pasal 7 UU No. 19/1964 dan penjelasan pasal 10 UU No. 14/1970 lebih didasari pada pertimbangan memperjelas kedudukan pengadilan-pengadilan ‘bernama’ yang telah ada dibanding memberikan kerangka hukum bagi pengaturan dimasa mendatang.

Pesan Dibalik Dorongan Atas Segera Diundangkannya RUU Pengadilan Tipikor

Sorotan publik atas lambatnya DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kian gencar. Hampir habisnya usia Pengadilan Tipikor yang ada saat ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat bahwa hal ini merupakan masa berakhirnya era pemberantasan korupsi. Dapat dikatakan Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan khusus atau ‘ bernama’ yang mendapatkan sorotan begitu besar dibandingkan pengadilan-pengadilan khusus yang ada lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuatnya berbeda baik dari pengadilan khusus lainnya maupun dari pengadilan lainnya yang juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara korupsi?

Jika melihat pada pengaturan yang ada mengenai pengadilan Tipikor ini, khususnya yang ada dalam Bab VII UU No. 30 Tahun 2002 yang menjadi landasan dari pengadilan ini sebenarnya tidak ada pengaturan yang berbeda dari penanganan perkara korupsi pada umumnya, mengingat pada dasarnya pengkhususan hukum acara bagi perkara tindak pidana korupsi sebenarnya terdapat dalam UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001 yang juga berlaku bagi perkara korupsi yang diadili pada pengadilan biasa. Satu hal yang secara signifikan membedakan pengadilan ini dengan ‘pengadilan tipikor biasa’ sebenarnya hanyalah pengaturan mengenai komposisi hakim yang berwenang mengadilinya, dimana dalam pengadilan ini terdapat hakim ad hoc yang komposisinya lebih besar dari hakim biasa atau karir. Lantas dengan perbedaan yang hanya sebatas ini apa yang membuat begitu besarnya harapan masyarkat terhadap pengadilan tipikor ini?

Besarnya dorongan masyarakat agar segera diundangkannya RUU Pengadilan Tipikor ini sebenarnya menyiratkan satu pesan, yaitu belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap para hakim yang ada saat ini. Atas ‘pesan’ ini Mahkamah Agung tentunya harus melakukan pembenahan-pembenahan. Namun tampaknya segala upaya mengembalikan kepercayaan publik yang dilakukan maupun akan dilakukan oleh MA tak akan banyak berarti dimata masyarakat ketika satu-satunya parameter untuk menilai keberhasilan tersebut masih terbatas pada seberapa banyak pengadilan menghukum terdakwa korupsi.

* Dimuat di Jurnal Panta Rei KRHN Edisi …(lupa)

[1] Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006

[2] Prof. Philipus M Hadjon dalam keterangannya sebagai ahli di halaman 208 putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Pandangan serupa juga dikemukakan Prof. Maria Farida Indrarti, SH, MH (hal. 229), serta Mahkamah Konstitusi sendiri (hal. 283). Khusus mengenai MK, dalam pertimbangannya di hal. 283 sebenarnya mengandung ambiguitas. Pada awalnya MK berpendapat bahwa pembentukan pengadilan tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri tidak serta merta bertentangan dengan konstitusi. Namun selanjutnya MK menyatakan bahwa frase diatur dengan undang-undang berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri.  Pandangan hakim MK yang secara tegas menyatakan bahwa salah satu alasan inkonstitusionalitasnya pasal 53 UU KPK dikarenakan pengadilan tipikor tidak diatur dengan undang-undang tersendiri dikemukakan oleh HM. Laica Marzuki yang termuat dalam disenting opinionnya di halaman 294.

[3] Dalam pasal 15 ayat 2 disebutkan :

Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Ketentuan ayat 2 ini terlihat menunjukkan ambiguitas dari UU 4/2004. Sebelumnya dalam ayat 1 dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang ada, namun ayat 2 ini khusus untuk Peradilan Syariah dinyatakan masuk dalam 2 lingkungan peradilan sekaligus.

[4] Tidak semua pengadilan khusus memiliki hakim ad hoc. Pengadilan Anak dan Peradilan/Mahkamah Syari’ah tidak disebutkan memiliki atau dapat diadakan hakim ad hoc. Hakim ad hoc baru ada dalam Peradilan/Mahkamah Syari’ah dalam undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

[5] Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 5 Juli 2001 hal. 23. Dalam pembahasan Rapat Pelno Panitia Ad Hoc BP MPR pada tanggal 26 september 2001 sebenarnya telah disepakati bahwa nantinya pengadilan pajak yang pada saat itu masih dalam tahap rancangan tidak dijadikan lingkungan peradilan tersendiri namun berada dalam lingkungan peradilan TUN, namun entah mengapa 6 bulan kemudian UU Pengadilan Pajak akhirnya diterbitkan dengan tetap menjadikannya sebagai lingkungan peradilan tersendiri yang mana hal tersebut bertentangan dengan pasal 24 ayat 2 konstitusi. Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-36 PAH Ad Hoc Tanggal 26 September 2001 hal. 25.

[6] Pasal 1 angka 15 UU No. 11 Tahun 2006.

[7] Pengadilan Ekonomi dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 sama sekali tidak disebut. Pengadilan Ekonomi diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Sejauh ini belum ditemukan adanya undang-undang yang menyatakan UU Drt 7/1955 tersebut tidak berlaku lagi, akan tetapi setidaknya dapat dikatakan hingga tahun 1999 undang-undang tersebut masih dipergunakan sebagai salah satu dasar hukum dari Kepres No. 86 Tahun 1999 yang mengatur mengenai susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Agung.

[8] Keberadaan hakim ad hoc pada Pengadilan TUN diatur dalam pasal 135 UU No. 5 Tahun 1986, sementara hakim ad hoc pada lingkungan peradilan militer diatur dalam 134 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

[9] Saat ini RUU yang direncanakan akan menggantikan UU 14 tahun 2002 tengah dipersiapkan oleh pemerintah.

[10] Pasal 254 UU No. 10/2008 ayat (1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. (2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.

[11] Khusus untuk Pengadilan Ekonomi pada saat itu memang telah ada, namun untuk Pengadilan Subversi maupun Korupsi tidak terlalu jelas apakah yang dimaksud dua pengadilan terakhir ini adalah acara Subversi yang diatur dalam PNPS No. 3 Tahun 1963 dan Perpu No. 24/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua aturan terakhir memang tidak disebutkan adanya Pengadilan Subversi dan Korupsi, namun khusus pada PNPS Subversi ditemukan aturan mengenai susunan pengadilan.

[12] Pada tahun 2002 ketika dilakukan pembahasan atas rencana amandemen Ke-4 UUD 1945 Bambang Widjajanto salah satu perwakilan dari NGO menyatakan ”…Tetapi, amendemen tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan ain yang secara faktual yang telah ada, seperti pengadilan niaga, pengadilan Ad Hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syari’ah (lihat Undang-Undang Nangroe), pengadilan adat  (lihat  Undang-Undang  Otonomi  Khusus).  Pertanyaannya,  apakah berbagai peradilan itu akan dimasukkan ke dalam salah satu lingkungan peradilan saja atau harus dikualifikasi sebagai suatu peradilan khusus? Dan seandainya itu dikualifikasi, di mana itu harus diletakkan, apa, tidak ada  rumusannya  yang  secara  limitatif  mengatur  itu.  Amendemen  juga tidak   mengatur   dan   memberi   tempat   pada   gagasan-gagasan   yang menghendaki  adanya  peradilan  khusus  atau  tertentu  lainnya,  seperti sekarang  sedang  dibahas  mengenai  Komisi  Anti  Korupsi  yang  di  situ dipadankan dengan ada gagasan mengenai pengadilan korupsi. Juga ada berbagai gagasan lain yang sekarang berkembang mengenai pengadilan lingkungan, pertahanan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada 1 dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan yang sudah saya sebutkan tadi atau peradilan-peradilan lainnya. Sementara itu, ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan juga tidak disebutkan di dalam, secara tegas di dalam amendemen. Padahal, mekanisme  itu  menjadi  penting  guna  menguji  dan  menapis  berbagai gagasan  dan  tuntutan  yang  menghendaki  dibentuknya  suatu  peradilan tertentu untuk mengatasi masalah tertentu atau mengakumulasi dinamika perkembangan kebutuhan. Risalah Rapat Pleno Ke-7 PAH I BP MPR Tanggal 27 Februari 2002, hal. 13

1 thought on “Sekelumit Masalah Pengadilan Khusus*

  1. Pingback: Kisruh Pengadilan Tipikor « KRUPUKULIT

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s