Pendahuluan
UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009 yang lalu mungkin merupakan salah satu UU yang pembahasannya paling besar mendapatkan perhatian publik ditahun 2009 ini disamping RUU Rahasia Negara. Tak kurang percepatan RUU Pengadilan Tipikor pun menjadi salah satu tema dalam kampanye Capres-Cawapres beberapa saat yang lalu. SBY sendiri yang saat ini menjadi Capres dalam Debat Terbuka menyatakan bahwa ia akan menerbitkan Perpu jika hingga bulan oktober RUU Pengadilan Tipikor tak kunjung selesai dibahas oleh DPR.
Berbagai isu mengemuka pada saat UU ini masih dalam tahap pembahasan, baik ketika masih di Pemerintah maupun ketika telah masuk ke DPR. Lambatnya pembahasan RUU ini dicurigai oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk memperlemah atau bahkan menghapuskan keberadaan pengadilan tipikor. Walaupun pada akhirnya UU ini dapat disahkan oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 29 September 2009 atau sehari sebelum berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2004-2009, UU ini pun tetap menuai banyak kritik dari masyarakat, khususnya penggiat anti korupsi.
UU Pengadilan Tipikor dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Terbitnya UU Pengadilan Tipikor ini tak lepas dari di’cabut’-nya pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya no. 12-16-19/PUU-IV/2006 yang diputus pada tanggal 19 Desember 2006. Pasal 53 UU KPK tersebut merupakan landasan hukum dari keberadaan Pengadilan Tipikor yang pada saat itu telah ada di Jakarta dimana kewenangannya mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa pasal 53 UU KPK tersebut bertentangan dengan konstitusi dikarenakan dua alasan, pertama, Pengadilan Tipikor yang kewenangannya terbatas pada perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK menimbulkan adanya dualisme penanganan perkara korupsi dimana untuk perkara-perkara tipikor yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap diadili di pengadilan biasa. Kedua, pengaturan Pengadilan Tipikor seharusnya tidak diatur dalam UU KPK namun diatur dengan undang-undang tersendiri oleh karena dalam pasal 24A ayat (5) amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa susunan, keududukan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang. Menurut MK frase “diatur dengan undang-undang” mengandung pengertian bahwa harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Namun walaupun MK telah menyatakan bahwa pasal 53 tersebut bertentangan dengan konstitusi, MK menunda efektivitas putusannya hingga 19 Desember 2009.
Ulasan Umum UU 46 Tahun 1999
Secara umum pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara Pengadilan Tipikor sebagaimana diatur dalam UU KPK dengan Pengadilan Tipikor sebagaimana diatur dalam UU ini. Perbedaan yang paling mencolok dari UU ini dengan pengaturan dalam UU KPK yaitu dari jumlah pasal yang mengaturnya, dimana pengaturan pengadilan tipikor dalam UU KPK hanya terdiri dari 10 pasal, sementara dalam UU ini diatur dalam 40 pasal. Sementara itu dari materi pengaturannya perbedaan utama terdapat pada masalah kewenangan, dimana kewenangan pengadilan tipikor diperluas, baik mengenai pihak yang dapat mengajukan penuntutan maupun jenis perkaranya hingga menjangkau tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, penentuan komposisi majelis hakim, jangka waktu pemeriksaan di pengadilan, serta diaturnya syarat pemberhentian hakim ad hoc yang sebelumnya tampaknya terlewat untuk diatur dalam UU KPK.
Berikut sekilas catatan atas beberapa materi pokok yang diatur dalam UU 46 Tahun 2009 ini:
1. Kewenangan Pengadilan Tipikor
a. Institusi yang Berwenang Mengajukan Penuntutan
Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 menyebutkan:
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi.
Sementara itu dalam penjelasannya disebutkan
Yang dimaksud dengan ”satu-satunya pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.
Rumusan pasal di atas mengandung pengertian bahwa pengadilan tipikor tidak lagi hanya berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, sebagaimana dalam pasal 53 UU KPK. Dengan rumusan tersebut maka berarti perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh pihak Kejaksaan juga diajukan pada pengadilan tipikor. Hal ini tentunya sesuai dengan putusan MK yang menghendaki agar tidak ada lagi dualisme pengadilan sistem peradilan tindak pidana korupsi.[1]
Namun pengaturan tersebut menurut penulis menimbulkan satu persoalan baru, yaitu apakah rumusan pasal 5 yang menyatakan bahwa pengadilan ini merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili tindak pidana korupsi berarti menghapuskan juga kewenangan Pengadilan Militer dalam menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI, serta kewenangan Pengadilan Anak dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh anak dibawah umur?[2] Jika dipandang bahwa ketentuan tersebut menghapuskan kewenangan pengadilan militer dalam menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI maka tentunya akan muncul pertanyaan baru, siapa yang berwenang mengajukan penuntutannya? Apakah Kejaksaan maupun KPK berwenang melakukan penuntutan tersebut? Apakah Oditur Militer sebagai penuntut umum pada lingkungan peradilan militer diluar perkara koneksitas dapat menjadi mengajukan penuntutan pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum?
Sementara jika dipandang bahwa ketentuan tersebut tidak menghapuskan kewenangan pengadilan militer dalam mengadili tipikor yang dilakukan oleh anggota TNI bukankah berarti tetap ada dualisme pengadilan sistem peradilan pidana korupsi? Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya hanya dapat dijawab oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karena MK-lah yang berpandangan bahwa ‘dualisme’ pengadilan bertentangan dengan konstitusi.
b. Perluasan Jenis Perkara
Berdasarkan pasal 6 UU 46 Tahun 2009 ini kewenangan Pengadilan Tipikor yang sebelumnya dalam UU KPK hanya dibatasi pada perkara korupsi sedikit diperluas pada perkara pencucian uang (money laundring), namun perkara pencucian uang yang dimaksud terbatas pada pencucian uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime) berasal dari tindak pidana korupsi.
Dimasukkannya perkara money laundring yang predicate crime-nya adalah tindak pidana korupsi merupakan salah satu kelebihan undang-undang ini. Namun penulis memprediksi bahwa ketentuan ini hanya akan efektif dalam perkara-perkara dimana perkara korupsinya telah terbukti, atau dalam perkara dimana dalam pengusutan perkara korupsi ditemukan dugaan bahwa uang hasil korupsi tersebut kemudian dialirkan/ diberikan pada pihak lain. Dalam perkara yang demikian maka penuntut umum dapat mendakwa secara akumulatif baik tindak pidana korupsi dan pencucian uang sekaligus dalam satu surat dakwaan. Hal ini berbeda dengan kewenangan pengadilan tipikor dalam UU KPK, dimana walaupun dalam penyidikan ditemukan fakta bahwa tersangka/terdakwa melakukan pencucian uang atas uang hasil korupsinya namun penuntut umum tidak dapat memasukkan dakwaan pencucian uang tersebut bersama-sama dengan dakwaan korupsinya, oleh karena Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan untuk memutus tindak pidana pencucian uangnya. Akan tetapi ‘kelebihan’ ini pun tampaknya juga hanya bisa ‘dinikmati’ oleh Penuntut Umum Kejaksaan, sementara untuk KPK hal ini tetap sulit untuk dilakukan, oleh karena kewenangan KPK dalam UU KPK dibatasi pada tindak pidana korupsi saja.
2. Kedudukan Pengadilan Tipikor
Masalah kedudukan pengadilan tipikor merupakan salah satu isu yang cukup banyak mendapatkan perhatian publik. Banyak pihak memandang bahwa diletakkannya pengadilan tipikor dalam pengdilan negeri merupakan upaya melemahkan pengadilan tipikor. Dalam Editorialnya tanggal 30 September 2009 yang lalu Media Indonesia misalnya menyatakan bahwa diletakkannya pengadilan tipikor sebagai subordinat dari Pengadilan Negeri merupakan upaya untuk memandulkan pengadilan tipikor.[3] Pandangan serupa juga datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang pada saat UU ini masih dalam bentuk RUU.[4]
Jika ditelusuri dalam UU ini, pandangan-pandangan tersebut timbul dari pengaturan dalam pasal 2 dan pasal 9. Dalam pasal 2 dinyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Sementara dalam pasal 9 intinya mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tipikor. Pengaturan ini menimbulkan persepsi bahwa terjadi pelemahan atas Pengadilan Tipikor. Secara keras Editorial Media Indonesia bahkan mengkritik pengaturan ini dengan menyatakan “Bisa dibayangkan pengadilan negeri yang gagal menghukum koruptor sekarang harus menjadi naungan Pengadilan Tipikor.”
Apakah benar demikian? Apakah benar penempatan Pengadilan tipikor sebagai ‘subordinat’ dari Pengadilan Negeri serta menjadikan Ketua dan Wakil Ketua PN sebagai pimpinan Pengadilan Tipikor merupakan bentuk pelemahan Pengadilan Tipikor? Mari kita bandingan pengaturan pasal 6 dan 9 UU ini dengan pengaturan Pengadilan Tipikor dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 30 Tahun 2002.
Pasal 54 ayat 1 dan 2 UU KPK berbunyi:
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dari ketentuan pasal 54 UU KPK di atas sebenarnya terlihat jelas bahwa selama ini Pengadilan Tipikor memang berada di bawah atau ‘subordinat’ dari Pengadilan Negeri.
Penempatan pengadilan khusus sebagai ‘subordinat’ dari pengadilan negeri sebenarnya bukan hal yang baru. Kecuali Mahkamah Syariah di Nanggroe Aceh Darussalam serta Pengadilan Pajak[5], semua pengadilan khusus atau yang dianggap sebagai pengadilan khusus yang pernah ada di Indonesia seperti Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan, sebenarnya memang telah mendudukan pengadilan-pengadilan tersebut tidak sebagai pengadilan sebagaimana halnya Pengadilan Negeri yang memiliki tempat maupun organisasi tersendiri namun sebagai ‘subordinat’ dari pengadilan negeri.
Selama ini memang cukup banyak kalangan yang menganggap bahwa Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UU KPK merupakan pengadilan tersendiri terlepas dari pengadilan negeri. Persepsi yang keliru ini timbul karena terpisahnya Pengadilan Tipikor dari PN Jakarta Pusat, padahal pemisahan tersebut sebenarnya dikarenakan masalah teknis semata, yaitu tidak mencukupinya lagi ruang-ruang sidang di PN Jakarta Pusat yang terletak di Jl. Hayam Wuruk untuk menyidangkan perkara korupsi yang dibawa oleh KPK. Persepsi yang keliru ini pun akhirnya melahirkan persepsi yang keliru pula mengenai Pengadilan Tipikor yang diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009; pengaturan yang sebenarnya normal akhirnya dianggap sebagai suatu upaya pelemahan.
3. Komposisi Majelis Hakim
Komposisi majelis hakim merupakan salah satu materi yang mendapatkan sorotan sangat besar dari masyarakat dari undang-undang ini. Masyarakat menginginkan agar komposisi 3 ad hoc dan 2 hakim ‘karier’ sebagaimana diatur dalam UU KPK atau setidaknya jumlah hakim ad hoc lebih banyak dari hakim ‘karier’ tetap dipertahankan, namun keinginan tersebut berbeda dengan kehendak dari pembuat undang-undang, baik DPR maupun Pemerintah, yang ingin mengurangi atau bahkan menghapuskan keberadaan hakim ad hoc ini dengan berbagai alasan. Setelah mengalami banyak perdebatan akhirnya DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengatur komposisi tersebut secara mengambang. Dimana dalam UU ini hanya ditentukan bahwa majelis hakim harus terdiri dari hakim ad hoc dan hakim karier, sementara yangmenetapkan berapa perbandingan antara hakim ad hoc dan karier tersebut dalam suatu perkara diserahkan pada ketua pengadilan. ‘Bola panas’ ini tampaknya tak mau ditanggung oleh DPR maupun Pemerintah. ‘Bola panas’ tersebut dilempar pada institusi yang tidak memiliki kewenangan untuk ikut campur dalam perumusan undang-undang, yaitu pihak yudikatif. Sungguh suatu keputusan politik yang sangat bertanggung jawab ditengah merosotnya kepercayaan publik terhadap pengadilan!
Tak kurang lemparan ‘bola panas’ kepada ketua pengadilan, Mahkamah Agung pun ikut menerima ‘bola panas’ tersebut, yaitu dengan diberikannya kewajiban bagi MA untuk menyusun Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur kriteria penentuan jumlah dan komposisi majelis hakim sebagai acuan bagi ketua pengadilan tanpa petunjuk sama sekali dalam undang-undang ini.
4. Jangka Waktu Penanganan Perkara
Jangka waktu penanganan perkara ditiap tingkatan pengadilan berbeda dari jangka waktu yang diberikan oleh UU KPK. Kecuali tingkat banding, penanganan perkara di tingkat pertama dan kasasi diperpanjang dari 90 hari sebagaimana diatur dalam UU KPK menjadi 120 hari. Selain itu dalam UU ini juga diatur jangka waktu pemeriksaan PK, yaitu 60 hari.
Diperpanjangnya jangka waktu penanganan perkara merupakan konsekuensi logis dari undang-undang ini, oleh karena dengan dihapuskannya dualisme pengadilan yang mengadili perkara korupsi maka akan bertambah banyaknya beban perkara yang akan ditangani pengadilan ini.
5. Pembentukan Pengadilan Tipikor
Mengenai pembentukan pengadilan tipikor diatur dalam bab Ketentuan Peralihan. Dalam pasal 35 dinyatakan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor dibentuk disetiap pengadilan negeri ibukota provinsi dengan kewenangan meliputi seluruh daerah hukum provinsi masing-masing. Undang-undang ini memberikan batas waktu pembentukan pengadilan tipikor tersebut dalam waktu paling lambat 2 tahun. Sebelum terbentuknya pengadilan tipikor pada setiap ibukota provinsi pengadilan negeri (pengadilan biasa) tetap berwenang menangani perkara korupsi yang menjadi kewenangan relatifnya.
Ketentuan peralihan ini secara khusus memiliki dampak pada penuntutan KPK, oleh karena dengan pengaturan demikian maka sejak disahkannya UU ini penuntutan perkara yang ditangani KPK tidak lagi semuanya diajukan pada Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, melainkan harus dilimpahkan pada pengadilan negeri sesuai dengan kompentensi relatifnya sampai terbentuknya Pengadilan Tipikor pada masing-masing ibukota provinsi
Satu catatan penting atas ketentuan peralihan dalam UU ini, walaupun pasal 35 ayat (4) memberikan batas waktu 2 tahun untuk membentuk pengadilan tipikor, namun tidak diatur secara jelas bagaimana jika dalam kurun waktu 2 tahun tersebut Mahkamah Agung tidak berhasil membentuk pengadilan pada seluruh ibukota provinsi. Apakah pengadilan-pengadilan tipikor yang sudah terbentuk yurisdiksinya akan diperluas melampaui daerah hukumnya, atau pengadilan negeri (biasa) tetap berwenang mengadili perkara korupsi sesuai dengan daerah hukumnya? Wallahu Alam.
* Artikel ini dimuat dalam Jurnal Hukum Jentera edisi Parlemen (lupa edisi berapa tapi linknya bisa dilihat di sini)
[1] Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 hal. 289.
[2] Walaupun terkesan janggal namun secara hipotetis anak dibawah umur bisa melakukan tindak pidana korupsi. Bentuk tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh anak dibawah umur misalnya penyuapan.
[3] Editorial Media Indonesia 30 September 2009, Pengadilan Tipikor Tidak Luar Biasa Lagi.
[4] Kompas 19 Agustus 2009 dengan judul RUU Tipikor Lemahkan Pemberantasan Korupsi.
[5] Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 sebenarnya tidak tepat dikatakan sebagai pengadilan khusus. Walaupun UU 14/2002 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah suatu lingkungan tersendiri namun dalam ketentuan-ketentuan di dalamnya pengadilan ini lebih tepat dipandang sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri. Hal ini terlihat misalnya diberikannya kewenangan pembinaan administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan pajak kepada Departemen Keuangan bukan kepada Departemen Kehakiman yang pada masa itu masih berfungsi sebagai pembina administrasi dari Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Pajak dinyatakan sebagai sebuah pengadilan khusus sebenarnya baru sejak tahun 2004, yaitu dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 UU 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pingback: Kisruh Pengadilan Tipikor « KRUPUKULIT