Permasalahan Pengaturan Pidana Denda dalam RKUHP

Sebuah Catatan Parsial atas RKUHP

Secara umum penyusun RKUHP telah cukup baik dalam menyusun pidana khususnya pidana denda. Pidana denda diatur dalam sistem kategori sebagaimana dianut di Belanda saat ini. Sistem pengaturan denda dengan sistem ini memudahkan pemutakhiran nominal denda jika sewaktu-waktu dipandang nominal denda yang ada sudah tidak sesuai lagi, misalnya karena faktor inflasi. Perubahan akan dilakukan cukup dengan merevisi 1 (satu) pasal saja, yaitu pasal yang mengatur besaran kategori itu sendiri. Kelebihan lainnya dalam RKUHP yang patut diapresiasi adalah adanya dorongan agar pidana non pemenjaraan lebih diutamakan dibanding pidana penjara (pasal 57), dimana pidana denda adalah salah satu pidana non pemenjaraan yang utama.

Namun demikian pengaturan pidana denda dalam RKUHP ini bukan tanpa masalah. Permasalahan utama terkait pengaturan pengganti pidana denda itu sendiri, yaitu ketentuan yang mengatur konsekuensi jika pidana denda tidak dibayarkan oleh terpidana.

Continue reading

Tentang Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP

Ribut-ribut soal masuknya pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP jadi ingat secuplik tulisan yang dibuat tahun 2008 lalu sebagai bagian dari riset dengan Komisi Hukum Nasional. Berikut cuplikan tulisannya.

Pasal 265

Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

(catatan: pada saat itu pasal penghinaan presiden ini ada di Pasal 265 RUU KUHP, kini sudah berubah dan menjadi pasal 263)

Analisis

Ketentuan ini sama dengan pasal 134 KUHP yang telah dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 13-22/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa RKUHP harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP. Dengan demikian maka Pasal 265 RKUHP ini menurut Mahkamah Konsituti bertentangan dengan konstitusi.[1]

Prof. Muladi SH dalam beberapa artikelnya menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 265 RKUHP ini tetap perlu ada, walaupun Mahkamah Konstitusi telah menyatakan hal ini bertentangan dengan konstitusi. Dalam makalahnya yang berjudul Pembaruan Hukum Pidana Materiil Indonesia[2] Prof. Muladi menyatakan bahwa atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Panitia Penyusunan RUU telah mengadakan rapat pada tanggal 28 Januari 2008. Dalam makalah tersebut salah satu pertimbangan dari tetap dipertahankannya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yaitu bahwa dirasakan ada kejanggalan apabila penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bender/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap Presiden /Wakil Presiden secara khusus tidak, dengan alasan “Equality before the law”.

Continue reading

Tinjauan Kritis atas Peran Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung dalam Upaya Hukum di dalam RUU KUHAP


Tulisan ini merupakan tulisan versi serius dari tulisan sebelumnya “Konsep Konklusi dalam RUU KUHAP – Sebuah Kesembronoan Transplantasi Hukum” yang dimuat di blog ini. Tulisan versi serius ini dibuat untuk Jurnal Legislasi yang (katanya) terbit bulan april ini.

Abstrak

RUU KUHAP akhirnya diserahkan oleh Presiden kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. RUU ini direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2013 ini dan telah masuk dalam Prolegnas 2013. Cukup banyak hal baru yang diatur dalam RUU ini yang akan merubah jalannya acara pidana. Salah satu hal baru tersebut adalah diaturnya kewajiban bagi Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membacakan Konklusi sebelum pengadilan tinggi memutus permohonan Banding untuk beberapa jenis perkara tertentu. Kewajiban pembacaan konklusi juga diberikan kepada Jaksa Agung untuk jenis perkara yang sama di tingkat Kasasi. Tulisan ini akan mengulas khusus dua hal baru ini, mencoba melihatnya secara kritis untuk mengetahui apa maksud dan tujuan konsep baru ini serta sejauh mana dampaknya.

1.       Pengantar

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diserahkan oleh Presiden kepada DPR, dan akan segera dibahas oleh DPR. Bahkan DPR menjanjikan Continue reading

Delik Santet Dalam RUU KUHP?

Ada beberapa orang yang bertanya pada saya (beh, siapa loe?) apa benar santet diatur di RUU KUHP? Kalau benar, bagaimana cara membuktikannya?

Isu mengenai delik santet ini memang selalu mengemuka setiap kali terdapat pembahasan atas RUU KUHP ini. Seingat saya isu ini pernah menjadi perdebatan publik juga pada sekitar tahun 2003-2004 (atau sebelumnya?).

Pengaturan terkait “santet” ini memang tak jarang terjadi kesalahpahaman di masyarakat, seakan-akan yang diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan menyantet, menenun, menyihir orang, seperti pertanyaan beberapa orang di awal tulisan ini. Kesalahpahaman ini terjadi tidak hanya di kalangan awam hukum namun juga profesor-profesor hukum. Dua diantaranya misalnya prof. JE Sahetapy (baca ini) dan Prof. Gayus Lumbuun (baca ini). Kedua profesor hukum ini menyangka bahwa yang ingin diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan/tindakan Continue reading

Konsep Konklusi dalam RKUHAP – Sebuah Kesembronoan Transplantasi Hukum

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diserahkan oleh Presiden kepada DPR, dan akan segera dibahas oleh DPR. Bahkan DPR menjanjikan akan menyelesaikan RUU tersebut pada tahun 2013 ini [link]. Banyak materi yang diatur dan penting untuk dikaji dari RUU tersebut, mengingat RUU ini akan menentukan bagaimana segala aspek hukum acara pidana kita ke depan.

Dalam tulisan ini saya tidak akan mengupas seluruh materi dari RKUHAP tersebut, karena memang belum selesai juga membaca seluruh pasal-pasal yang ada di dalamnya. Namun setelah sekilas membaca materinya terdapat beberapa pasal yang cukup menarik perhatian saya. Materi tersebut terdapat dalam pasal 234 dan 254 rancangan tersebut. Dalam dua pasal tersebut diatur adanya kewajiban Kepala Kejaksaan Tinggi untuk memberikan dan membacakan konklusi atas beberapa perkara di tahap banding, dan kewajiban Jaksa Agung atas hal yang sama di tingkat kasasi. Seperti terlihat dalam dua pasal tersebut dibawah ini:

Pasal 234

  1. Sebelum pengadilan tinggi memutus perkara banding tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, pembacaan konklusi dilakukan oleh kepala Kejaksaan Tinggi.
  2. Ketua pengadilan tinggi memberitahukan kepada kepala kejaksaan tinggi mengenai waktu pembacaan konklusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Dalam hal kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, pembacaan konklusi dilakukan oleh wakil kepala Kejaksaan Tinggi atau salah seorang asisten Kejaksaan Tinggi yang ditunjuknya.
  4. Konklusi kepala Kejaksaan Tinggi menjadi salah satu pertimbangan putusan  pengadilan tinggi.

Pasal 254

  1. Sebelum Mahkamah Agung memutus perkara kasasi tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, Jaksa Agung membacakan konklusi.
  2. Dalam hal Jaksa Agung berhalangan pembacaan konklusi dilakukan oleh wakil Jaksa Agung atau salah seorang Jaksa Agung Muda.
  3. Konklusi Jaksa Agung menjadi salah satu pertimbangan putusan kasasi Mahkamah Agung.

Apa itu ‘konklusi’? Tak ada penjelasan sama sekali mengenai hal ini. Tak ada dalam Ketentuan Umumnya, tak juga ada dalam penjelasan kedua pasal tersebut, karena dalam penjelasan kedua pasal tersebut tertulis “Cukup Jelas”. Entah apanya yang jelas. Tentunya sangatlah gegabah mengatur suatu materi tanpa kejelasan apa materi tersebut. Terlebih, dalam konteks ‘konklusi’ ini, konklusi tidak hanya sekedar harus dibuat oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung, namun juga akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pertimbangan putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.

Continue reading

Ironi Atas Penerapan UU Perlindungan Anak

Agak prihatin membaca putusan-putusan perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Perlindungan Anak, khususnya perkara dengan dakwaan membujuk anak melakukan persetubuhan. Banyak saya temukan perkara seperti ini dimana terdakwanya juga merupakan anak dibawah usia 18 tahun.

Dalam perkara-perkara demikian umumnya dalam dakwaan diuraikan bahwa Terdakwa dan korban berpacaran, kemudian Terdakwa mengajak korban melakukan hubungan intim. Entah bagaimana kejadian sesungguhnya, namun umumnya dalam dakwaan disebutkan untuk meyakinkan agar korban yang merupakan pacarnya tersebut mau melakukan hubungan layaknya suami istri ia menjanjikan bahwa korban akan dinikahi. Tak jarang diuraikan juga oleh Penuntut Umum bahwa perbuatan tersebut dilakukan beberapa kali, hingga akhirnya korban hamil dan ternyata Terdakwa tidak menikahi korban, dan kemudian dilaporkan oleh keluarga korban ke kepolisian. Jadilah perkara.

Dalam perkara-perkara seperti ini umumnya terdakwa kemudian didakwa dengan menggunakan pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak y Continue reading

Catatan SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana

Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juni 2012 lalu menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA ini pada intinya menyatakan bahwa permohonan PK dalam perkara pidana (dalam sidang pemeriksaan permohonan PK di pengadilan negeri) harus dihadiri oleh Terpidana atau ahli warisnya secara langsung, tidak bisa hanya dihadiri oleh Kuasa Hukum.

SEMA ini tidak menjelaskan mengapa tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri) oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard / N.O.) permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK tersebut tidak dihadiri oleh Terpidana/Ahli Warisnya saat sidang pemeriksaan PK di pengadilan Negeri, hanya dihadiri oleh Penasihat Hukumnya. Dalam putusan ini suara MA tidak bulat, terdapat dua hakim anggota yang berbeda pendapat, yaitu Leopold Hutagalung (hakim ad hoc) dan Abbas Said yang berpendapat bahwa PK yang hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum diperbolehkan.

Tak lama setelah perkara Tamzil Zein tersebut MA kembali memutus dengan putusan serupa, kali ini dengan suara bulat, yaitu dalam perkara Setia Budi No. 74 PK/Pid.Sus/2010 (kutipan pertimbangan klik disini). Dalam putusan ini sangat terlihat jelas bahwa alasan Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima PK yang tidak dihadiri oleh Terpidana/Ahli Warisnya adalah karena dikhawatirkan PK dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri/bersembunyi seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya yaitu seperti dalam kasus Tommy Soeharto.

Sebelum SEMA ini terbit memang terdapat inkonsistensi dalam putusan-putusan MA terkait masalah ini. Terdapat dua pandangan di dalam tubuh Mahkamah Agung yang menafsirkan aturan-aturan mengenai PK dalam KUHAP, ada yang memandang kehadiran terpidana / ahli warisnya bersifat imperatif ada yang tidak. Hal ini juga diakui oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa (lihat Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK Oleh Advokat). Sebelum putusan Tazwin Zein memang MA sepertinya tidak mempermasalahkan ketidakhadiran terpidana/ahli warisnya dalam sidang pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri, hal ini terlihat secara jelas dalam perkara-perkara yang disebutkan dalam kasus korupsi PT Bulog Continue reading

Pelecehan Kekuasaan Kehakiman (Lagi)

Pelecehan demi pelecehan datang bertubi-tubi kepada kekuasaan yudikatif di negeri ini, satu cabang kekuasaan yang memang secara teoritis merupakan cabang kekuasaan terlemah. Setelah pelecehan dilakukan oleh Komisi III DPR dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Putusan, tidak dinaikannya gaji hakim sejak tahun 2008 hingga besarannya lebih rendah dari PNS, TNI dan Polri, kini pelecehan kembali akan diterima oleh kekuasaan yudikatif, melalui Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung.

RUU Mahkamah Agung? Ya. Sejak tahun lalu UU Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah sebanyak dua kali, yaitu melalui UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009 direncanakan akan direvisi kembali. Rencana awalnya memang hanya revisi, namun dalam perkembangan terakhir ternyata tidak hanya revisi namun undang-undang baru.

Untuk beberapa hal RUU ini memang cukup mengakomodir perkembangan baru yang cukup penting yang telah dimulai oleh Mahkamah Agung sendiri, misalnya Continue reading

Catatan Atas Teknik Penyusunan Ketentuan Pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

*Telah dipublikasikan di Jurnal Legislasi Indonesia Januari 2012 (Kementrian Hukum dan HAM)

Pengantar

Pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu DPR dan Pemerintah telah mensahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dengan judul yang sama. Cukup banyak perubahan yang terjadi terkait pembentukan peraturan perundang-undangan jika dibandingkan antara kedua undang-undang tersebut. Jika dilihat secara sekilas saja jumlah pasal yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 ini hampir 2 (dua) kali lipat jumlahnya, dari 58 pasal yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 menjadi 104. Perubahan terjadi baik dalam susunan (hirarki) peraturan perundang-undangan hingga proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah seluruh perubahan yang terjadi di Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tersebut namun secara khusus dimaksudkan untuk melihat satu aspek dari Undang-Undang ini saja, yaitu khusus yang terkait dengan pengaturan ketentuan pidana. Aspek ini dipilih oleh karena penulis melihat semakin banyaknya Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana dengan banyak persoalan di dalamnya, mulai dari ketidakjelasan rumusan atau unsur, duplikasi pengaturan dengan KUHP atau ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya, diabaikannya (atau terabaikannya) ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam Buku I KUHP, ketidakjelasan parameter pengaturan sanksi pidana dan lain sebagainya.

Teknik maupun panduan secara umum mengenai perumusan ketentuan pidana saat ini memang belum banyak menjadi perhatian. Literatur-literatur mengenai hal ini juga sejauh ini belum ditemukan oleh penulis. Untuk itu maka penting kiranya untuk secara spesifik mengkaji aspek pengaturan mengenai perumusan ketentuan pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini. Continue reading

UU Pengadilan Tipikor: Bola Panas Untuk Mahkamah Agung*

Pendahuluan

UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009 yang lalu mungkin merupakan salah satu UU yang pembahasannya paling besar mendapatkan perhatian publik ditahun 2009 ini disamping RUU Rahasia Negara. Tak kurang percepatan RUU Pengadilan Tipikor pun menjadi salah satu tema dalam kampanye Capres-Cawapres beberapa saat yang lalu. SBY sendiri yang saat ini menjadi Capres dalam Debat Terbuka menyatakan bahwa ia akan menerbitkan Perpu jika hingga bulan oktober RUU Pengadilan Tipikor tak kunjung selesai dibahas oleh DPR.

Berbagai isu mengemuka pada saat UU ini masih dalam tahap pembahasan, baik ketika masih di Pemerintah maupun ketika telah masuk ke DPR. Lambatnya pembahasan RUU ini dicurigai oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk memperlemah atau bahkan menghapuskan keberadaan pengadilan tipikor. Walaupun pada akhirnya UU ini dapat disahkan oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 29 September 2009 atau sehari sebelum berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2004-2009, UU ini pun tetap menuai banyak kritik dari masyarakat, khususnya penggiat anti korupsi.

UU Pengadilan Tipikor dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Terbitnya UU Pengadilan Tipikor ini tak lepas dari di’cabut’-nya pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002  tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya no. 12-16-19/PUU-IV/2006 yang diputus pada tanggal 19 Desember 2006. Pasal 53 UU KPK tersebut merupakan landasan hukum dari keberadaan Pengadilan Tipikor yang pada saat itu telah ada di Jakarta dimana kewenangannya mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.

Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa pasal 53 UU KPK tersebut bertentangan dengan konstitusi dikarenakan dua alasan, pertama, Pengadilan Tipikor yang kewenangannya terbatas pada perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK menimbulkan adanya dualisme penanganan perkara korupsi dimana untuk perkara-perkara tipikor yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap diadili di pengadilan biasa.  Kedua, pengaturan Pengadilan Tipikor seharusnya tidak diatur dalam UU KPK namun diatur dengan undang-undang tersendiri oleh karena dalam pasal 24A ayat (5) amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa susunan, Continue reading