Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diserahkan oleh Presiden kepada DPR, dan akan segera dibahas oleh DPR. Bahkan DPR menjanjikan akan menyelesaikan RUU tersebut pada tahun 2013 ini [link]. Banyak materi yang diatur dan penting untuk dikaji dari RUU tersebut, mengingat RUU ini akan menentukan bagaimana segala aspek hukum acara pidana kita ke depan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan mengupas seluruh materi dari RKUHAP tersebut, karena memang belum selesai juga membaca seluruh pasal-pasal yang ada di dalamnya. Namun setelah sekilas membaca materinya terdapat beberapa pasal yang cukup menarik perhatian saya. Materi tersebut terdapat dalam pasal 234 dan 254 rancangan tersebut. Dalam dua pasal tersebut diatur adanya kewajiban Kepala Kejaksaan Tinggi untuk memberikan dan membacakan konklusi atas beberapa perkara di tahap banding, dan kewajiban Jaksa Agung atas hal yang sama di tingkat kasasi. Seperti terlihat dalam dua pasal tersebut dibawah ini:
Pasal 234
- Sebelum pengadilan tinggi memutus perkara banding tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, pembacaan konklusi dilakukan oleh kepala Kejaksaan Tinggi.
- Ketua pengadilan tinggi memberitahukan kepada kepala kejaksaan tinggi mengenai waktu pembacaan konklusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Dalam hal kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, pembacaan konklusi dilakukan oleh wakil kepala Kejaksaan Tinggi atau salah seorang asisten Kejaksaan Tinggi yang ditunjuknya.
- Konklusi kepala Kejaksaan Tinggi menjadi salah satu pertimbangan putusan pengadilan tinggi.
Pasal 254
- Sebelum Mahkamah Agung memutus perkara kasasi tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, Jaksa Agung membacakan konklusi.
- Dalam hal Jaksa Agung berhalangan pembacaan konklusi dilakukan oleh wakil Jaksa Agung atau salah seorang Jaksa Agung Muda.
- Konklusi Jaksa Agung menjadi salah satu pertimbangan putusan kasasi Mahkamah Agung.
Apa itu ‘konklusi’? Tak ada penjelasan sama sekali mengenai hal ini. Tak ada dalam Ketentuan Umumnya, tak juga ada dalam penjelasan kedua pasal tersebut, karena dalam penjelasan kedua pasal tersebut tertulis “Cukup Jelas”. Entah apanya yang jelas. Tentunya sangatlah gegabah mengatur suatu materi tanpa kejelasan apa materi tersebut. Terlebih, dalam konteks ‘konklusi’ ini, konklusi tidak hanya sekedar harus dibuat oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung, namun juga akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pertimbangan putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Ok, mungkin Pemerintah (Kemenkum HAM) sebagai pihak yang menyusun RUU ini telah paham apa yang dimaksud dengan ‘konklusi’, hanya saja lupa dimasukkan definisinya. Mungkin. Entah. Tapi terlepas dari hal itu, hal lain yang menarik adalah ketentuan bahwa ‘konklusi’ tersebut harus dibacakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi untuk perkara pidana ditingkat banding, dan Jaksa Agung untuk perkara ditingkat Kasasi. Tidak untuk semua jenis perkara memang, hanya untuk beberapa jenis tindak pidana saja, yaitu Pelanggaran HAM Bert, Terorisme, Pencucian Uang atau Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Sangat menarik tentunya. Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung hadir dalam pemeriksaan Banding dan Kasasi dan membacakan sesuatu berkas yang namanya ‘Konklusi’. Terlebih di tingkat kasasi, karena berarti kini pemeriksaan kasasi tidak lagi hanya pemeriksaan berkas saja yang cukup dilakukan oleh para Hakim Agung, namun kini jadinya akan ada pemeriksaan dalam sidang terbuka, setidaknya untuk mendengarkan konklusi dari Jaksa Agung tersebut. Walaupun, sekali lagi, hanya untuk beberapa jenis perkara saja. Bravo!!!
Tapi tunggu dulu, berapa kira-kira jumlah perkara yang wajib ada pembacaan konklusinya tersebut? Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2011 MA menerima permohonan kasasi untuk perkara korupsi sebanyak 963 buah, Narkotika & Psikotropika sebanyak 701 buah, Pencucian Uang sebanyak 19 buah, Terorisme 8. Pelanggaran HAM Berat tidak ada, sementara Kejahatan Keamanan Negara tidak diklasifikasikan, sehingga belum diketahui jumlahnya. Jika dua jenis perkara ini kita anggap nol, maka jumlah perkara ‘khusus’ tersebut sebanyak 1771 buah perkara.
Ok, itu data perkara yang masuk pada tahun 2011. Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya? Tahun 2010, Korupsi 1053 buah, Narkotika & Psikotropika 512 buah, Terorisme 24 buah, Pencucian Uang 11. Total: 1600. …Apa masih perlu ditunjukan data 2009?
1600-1700 permohonan Kasasi per tahun, tiap permohonan Jaksa Agung harus membacakan Konklusinya (yang entah apa itu). Anggaplah Jaksa Agung nantinya akan dibantu oleh Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus, dan anggaplah 1 tahun terdapat 200 hari kerja. Berapa kira-kira beban untuk membaca Konklusi di Mahkamah Agung? 1650 dibagi 3, masing-masing 550 buah. Berarti per hari kerja masing-masing, Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda membacakan 2-3 buah konklusi di Mahkamah Agung. Mantap!!! Itu Jaksa Agung atau MC sih?
Bagaimana dengan beban Kepala Kejaksaan Tinggi? …masih perlu diurai?
Apa itu Konklusi dan Dari Mana Asalnya?
Entah memang dimaksudkan sama atau tidak, tapi konsep adanya konklusi dalam putusan ini terdapat juga dalam sistem hukum di Belanda serta Perancis. Bedanya, di Belanda Konklusi ini hanya ada di tingkat Kasasi.
Apa itu Konklusi di Belanda? Konklusi ringkasnya adalah opini dari Advokat General pada Hoge Raad atas permohonan Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (Hoge Raad). Konklusi ini berbeda dari pertimbangan Majelis, namun dia adalah semacam advice kepada Mahkamah Agung oleh badan lain. Konklusi ini kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari putusan kasasi itu sendiri.
Sebelum membahas lebih jauh, tentu muncul pertanyaan, apa itu Advokat General? Untuk menjawab ini sepertinya perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana struktur peradilan di Belanda.
Di Belanda susunan pengadilannya kira-kira serupa dengan kita, yaitu terdiri dari 3 jenjang, tingkat pertama (Pengadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) dan pengadilan kasasi (Mahkamah Agung). Di bagian ini memang tidak berbeda antara kita dengan mereka. Namun di sisi lain, terdapat perbedaan yang signifikan antara struktur kekuasaan kehakiman di Belanda dengan Indonesia. Perbedaan tersebut terdapat di struktur “Kejaksaan”.
Di Belanda terdapat dua jenis lembaga “kejaksaan” dengan peran dan fungsi yang berbeda. Jenis pertama memiliki fungsi penuntutan sebagaimana layaknya fungsi yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan kita. Jenis kedua, memiliki fungsi utama sebagai penasihat Mahkamah Agung (dan fungsi-fungsi lainnya). Di Belanda kedua jenis lembaga ini memiliki nama yang serupa, yaitu Parket Generaal. Bedanya, untuk yang pertama berada di bawah Ministry of Justice, sementara yang kedua, lembaga independen yang ada di Mahkamah Agung (Hoge Raad).
Untuk jenis yang pertama, Parket Generaal secara administrasi ada dibawah Ministry of Justice. Secara khusus Parket General ini berada di bawah organisasi yang bernama Openbaar Ministry (Public Prosecution Office). Parket Generaal ini dipimpin oleh beberapa orang Procureur General secara kolektif, yang namanya College van Procureurs Generaal. Ini untuk level pusat.
Selain di level pusat, di setiap pengadilan dan pengadilan tinggi melekat juga Parket (Kejaksaan). Di level pengadilan tinggi Parket ini memiliki fungsi mewakili negara dalam permohonan banding dalam perkara pidana. Di level ini ‘ketua/kepala’ dari parket (ressortparket) ini nomenklaturnya adalah Hoofdadadvocaat-general, sementara ‘jaksa-jaksa’ yang ada di dalamnya istilahnya adalah Advocaat General. Para Advocaat General ini lah yang akan hadir di sidang dalam pemeriksaan/persidangan banding.
Itu untuk jenis “Kejaksaan” yang pertama. Sekarang jenis “kejaksaan” yang kedua, yang melekat di Hoge Raad (bahkan berada dalam satu gedung dengan Hoge Raad). Jika jenis “kejaksaan” yang pertama memiliki fungsi penuntutan, jenis kedua ini hampir tidak memiliki fungsi penuntutan sama sekali, kecuali menjadi penuntut atas perkara dimana terdakwanya adalah orang-orang dalam jabatan tinggi negara. Selain itu “kejaksaan” jenis kedua ini tidak memiliki hubungan dengan jenis pertama. Tidak seperti hubungan antara Kejaksaan Tinggi dengan Kejaksaan Agung di sini. Lembaga ini bernama Het Parket bij de Hoge Raad.
Lembaga ini (setidaknya) memiliki 4 fungsi utama, yaitu:
- Sebagai penuntut untuk perkara dimana pelanggaran pidana dilakukan oleh pejabat negara dalam level tertentu (forum privilegiatum).
- Memberikan pendapat hukum (opini/konklusi) kepada Hoge Raad dalam kasasi.
- Mengajukan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
- Mengusulkan pemberhentian sementara atau tetap hakim agung
Het Parket bij de Hoge Raad ini diketuai oleh Procureur Generaal, dibantu oleh Plaatsvervangend Grocureur-Generaal (deputi), serta sejumlah Advocaat General.
Jika diperhatikan istilah-istilah tersebut memiliki kesamaan dengan struktur jabatan Parket general dalam jenis yang pertama, khususnya di tingkat Pengadilan Tinggi (Ressortparket). Lebih jauh lagi, jika istilah-istilah tersebut diterjemahkan dalam bahasa indonesia akan memiliki kesamaan juga dengan istilah di kejaksaan. Procureur Generaal – Prosecutor General (Inggris)– Jaksa Agung. Bedanya, jika “jaksa agung” di belanda ada banyak, ada di tingkat ‘kejaksaan tinggi’ sebagai kepala kejaksaan, ada di Openbaar Ministry, serta ada di Mahkamah Agung, di Indonesia hanya ada satu jabatan Jaksa Agung.
Nah, dalam kaitannya dengan fungsi memberikan pendapat hukum (opini/konklusi) prosesnya kira-kira seperti ini. Setiap permohonan kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung, sebelum berkas diserahkan kepada majelis hakim agung, berkas diserahkan dulu kepada 1 orang Advokat General. (Ada 21 orang Advokat General saat ini di lembaga tersebut). Berkas perkara tersebut tidak terbatas pada perkara kasasi pidana saja, namun semua jenis perkara (Pidana, Perdata dan Pajak). Advokat General tersebut kemudian membuat opini hukum atas permohonan tersebut. Setelah itu berkas diserahkan kepada Majelis beserta opini (konklusi) tersebut. Opini/Konklusi ini hanya bersifat pendapat hukum, tanpa disertai kesimpulan/putusan. Majelis Hakim Agung tidak terikat atas konklusi ini, namun konklusi akan menjadi bagian dari putusan. Selanjutnya Majelis akan memeriksa permohonan seperti biasa. O iya, satu lagi, di Hoge Raad, setelah majelis memeriksa dan memberikan pertimbangan, sebelum putusan diambil, pertimbangan tersebut akan diplenokan terlebih dahulu di masing-masing Kamar untuk mendengarkan pandangan dari seluruh anggota masing-masing kamar tersebut. Baru setelah itu proses selesai, dan putusan menjadi final.
Transplantasi Salah Kaprah
Sekarang, kembali ke konsep Konklusi di RKUHAP. Apakah konsep dalam RKUHAP yang dibayangkan oleh Pemerintah sebagaimana yang berlaku di Belanda? Sepertinya ya. Apakah akan berhasil? Tidak. Mengapa?
Jika kita memperbandingkan kewenangan Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membacakan Konklusi dalam permohonan Banding, konsep tersebut serupa dengan apa yang dilakukan oleh Advokat General pada Ressortparket. Perbedaannya, Advokat General pada ressortparket (kejaksaan tinggi) tersebut sebenarnya istilah untuk jaksa yang berada di ressortparket. Ia lah satu-satunya perwakilan negara yang mewakili negara di sidang banding. Semacam Jaksa/Penuntut Umum sebagai Pemohon/Termohon Banding di sini. Sementara itu dalam konstruksi RKUHAP, dengan adanya kewajiban pembacaan Konklusi oleh Kepala Pengadilan Tinggi, maka terdapat dua pihak yang mewakili negara sekaligus dalam pemeriksaan banding, yaitu Jaksa/Penuntut Umum dan Kepala Kejaksaan Tinggi itu sendiri. Hal ini selain tidak berimbang, juga menjadi janggal. Jika Negara telah diwakili oleh Penuntut Umum sebagai Pemohon/Termohon Banding, lalu untuk apa lagi ada Konklusi dari Kepala Kejaksaan Tinggi? Apakah masuk akal pendapat Penuntut Umum sebagai Pemohon/Termohon Banding nantinya akan berbeda dari pendapat (Konklusi) Kepala Kejaksaan Tinggi?
Jika itu Konklusi di tingkat Banding, bagaimana dengan Konklusi di tingkat Kasasi? Prinsipnya sama. Sangat mustahil pendapat Penuntut Umum sebagai Pemohon/Termohon Kasasi akan berbeda dengan pendapat Jaksa Agung dalam Konklusinya. Karena tidak akan berbeda, maka yang terjadi hanyalah redundancy.
Selain itu, dan ini yang terpenting, terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep konklusi di Hoge Raad dengan di RKUHAP ini. Problem mendasarnya terletak pada adanya perbedaan secara mendasar antara Jaksa/Kejaksaan Agung di Indonesia dengan Procureur/ Parket General pada Hoge Raad. Jaksa/Kejaksaan Agung kita sebenarnya tidak bisa disetarakan dengan Procereur/Parket General yang ada di Hoge Raad (Het Parket bij de Hoge Raad), namun dengan Openbaar Ministry (Public Prosecution Office) yang berisi College van Procureur-General yang merupakan bagian dari Ministry of Justice. Oleh karena lembaga ini lah yang merupakan lembaga tertinggi yang berwenang dalam urusan penuntutan.
Sebagai catatan tambahan, perbedaan yang terakhir ini, yang merupakan perbedaan secara struktural, yang juga mengakibatkan mengapa Upaya Hukum Luar Biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diatur dalam KUHAP maupun UU Mahkamah Agung tidak efektif dan ‘nyaris tak terdengar’ lagi. Khusus mengenai hal ini bisa lihat tulisan saya sebelumnya “Kasasi Demi Kepentingan Hukum, Penunjang Fungsi Mahkamah Agung yang Terlupakan”.
Konklusi – Barang Antik Dengan Nama Baru
Sedikit kembali lagi ke isu Konklusi. Konsep ini sebenarnya tidak benar-benar baru di Indonesia, hanya namanya saja yang baru. Konsep ini terdapat dalam UU Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 Jo. 5 Tahun 2004 jo. 3 Tahun 2009). Dalam UU tersebut diatur bahwa dalam pemeriksaan kasasi khusus untuk perkara pidana, sebelum MA memberikan putusannya, Jaksa Agung dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut. Apa itu pendapat teknis hukum yang dimaksud? Tidak jelas, dan tidak ada penjelasannya. Yang jelas pendapat teknis hukum ini berbeda dari Memori Kasasi atau Kontra Memori Kasasi, oleh karena untuk memori atau kontra memori kasasi telah diatur di KUHAP dan merupakan kewenangan Penuntut Umum. Kewenangan yang mirip konklusi tersebut dapat dilihat di Pasal 44 ayat (2) UU Mahkamah Agung di bawah ini:
Pasal 44
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat diajukan oleh :
a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung karena jabatannya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.
Apakah Pasal 44 ayat (2) ini pernah digunakan atau efektif digunakan oleh Jaksa Agung? Tidak. Mengapa? Ya penyebabnya seperti analisa di bagian sebelumnya, oleh karena konsep dalam Pasal 44 (2) tersebut sepertinya juga muncul karena tidak memahami perbedaan mendasar sistem dan struktur peradilan di Belanda. Pertanyaannya kini, jika ternyata kewenangan ini telah pernah ada dan tidak efektif, mengapa dihidupkan kembali?
Ulasan menarik, Sil. Ke depannya memang sebaiknya diperhatikan juga sejarah di Indonesia sendiri, karena konsep Konklusi (ataupun KDKH) itu kemungkinan di Hindia Belanda (serta kemudian Republik Indonesia sampai tahun 1950-an), nyatanya pernah bisa bekerja secara efektif. Tapi mengapa terus jadi usang? Kalau mau memperbaikinya, tentu harus ditelusuri juga apa penyebabnya. Salah satu penjelasannya, bisa jadi, ada pada pemegang kewenangan itu yang secara politik kelembagaan bermetamorfosa sampai menjadi seperti yang sekarang ini. Dengan demikian, cara kerja lembaganya juga otomatis berubah. Secara simbolik hal ini bisa dilihat, sedikit banyak, dari seragam jaksa yang mirip tentara..
Pingback: Tinjauan Kritis atas Peran Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung dalam Upaya Hukum di dalam RUU KUHAP | KRUPUKULIT