Pelecehan Kekuasaan Kehakiman (Lagi)


Pelecehan demi pelecehan datang bertubi-tubi kepada kekuasaan yudikatif di negeri ini, satu cabang kekuasaan yang memang secara teoritis merupakan cabang kekuasaan terlemah. Setelah pelecehan dilakukan oleh Komisi III DPR dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Putusan, tidak dinaikannya gaji hakim sejak tahun 2008 hingga besarannya lebih rendah dari PNS, TNI dan Polri, kini pelecehan kembali akan diterima oleh kekuasaan yudikatif, melalui Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung.

RUU Mahkamah Agung? Ya. Sejak tahun lalu UU Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah sebanyak dua kali, yaitu melalui UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009 direncanakan akan direvisi kembali. Rencana awalnya memang hanya revisi, namun dalam perkembangan terakhir ternyata tidak hanya revisi namun undang-undang baru.

Untuk beberapa hal RUU ini memang cukup mengakomodir perkembangan baru yang cukup penting yang telah dimulai oleh Mahkamah Agung sendiri, misalnya mengenai Sistem Kamar, serta beberapa materi lainnya. Akan tetapi secara umum sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan dalam RUU ini, sebagian besar materi sebenarnya sama saja dengan UU Mahkamah Agung yang telah berlaku.

Mengenai review secara umum RUU ini mungkin suatu saat bisa saya tulis, tapi untuk kali ini bukan itu fokusnya. Yang akan saya soroti dalam RUU MA versi 11 April 2012 khusus terkait dengan yang saya katakan di paragraf awal, materi yang isinya sebenarnya merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap kekuasan kehakiman. Apa saja kah?

Terdapat materi-materi dalam RUU MA versi 11 April 2012 ini yang menurut saya bernuansa pelecehan terhadap kekuasaan kehakiman. Materi-materi tersebut terdiri dari 3 bab yang berisi 5 buah pasal, yaitu pada Bab VII Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIII Larangan, dan Bab IX Ketentuan Pidana, atau dari pasal 94 s/d Pasal 98. Mengapa?

Bab VII Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Substansi dari bab ini telah secara salah kaprah menempatkan apa sebenarnya fungsi pengawasan (control) yang dimiliki oleh DPR. Fungsi pengawasan DPR yang pada dasarnya merupakan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif, kini hendak diarahkan juga menjadi kepada kekuasaan yudikatif. Apakah pengawasan legislatif tidak dimungkinkan terhadap kekuasaan yudikatif? Tentu dimungkinkan, sepanjang mengenai administrasi non teknis yudisial, seperti administrasi kepegawaian, keuangan dll, tapi tidak pada wilayah yang merupakan inti dari kekuasaan yudikatif itu sendiri, yaitu fungsi teknis yudisial. Dalam RUU MA ini yang justru hendak dimasuki oleh DPR. Coba lihat pasal 94 ayat 2 dibawah ini:

Bab VII
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 94

(1) DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang
(2) Selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR RI juga melakukan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
(3) Hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI diteruskan kepada Pimpinan Mahkamah Agung serta Lembaga Tinggi Negara.
(4) Dalam melakukan tugas pengawasan DPR RI secara periodik selalu melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung.

DPR ingin diberikan fungsi pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Apa arti dibalik kata-kata ini? Artinya DPR dapat menilai apakah suatu putusan dipandang telah melanggar undang-undang atau tidak. Hebat kali DPR. Lebih hebat lagi ternyata putusan yang bisa diperiksa oleh DPR tersebut adalah putusan Mahkamah Agung, pengadilan tertinggi.

Ok, mungkin ayat ini lahir dari pertanyaan apakah pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara boleh atau tidak melanggar undang-undang (contra legem). Debatable tentunya. Pada prinsipnya memang tidak dimungkinkan, namun dalam kasus-kasus spesifik tak jarang contra legem diperlukan untuk memberikan keadilan.

Anda tidak sependapat dengan pendapat saya diatas? Bisa saja. Seperti saya bilang, debatable. Tapi terlepas dari perdebatan tersebut mari kita bayangkan, penilaian bahwa suatu putusan Mahkamah Agung, putusan yang dibuat oleh para Hakim-Hakim Agung, yang mana persyaratan untuk menjadi Hakim Agung tersebut sudah sangat ketat, minimal magister hukum dengan pengalaman selama 20 tahun menjadi hakim atau minimal doktor dengan pengalaman selama 20 tahun dibidang hukum (menurut RUU ini sendiri), telah melanggar undang-undang atau tidak dilakukan oleh DPR yang para anggotanya belum tentu paham apalagi ahli dibidang hukum (dan memang tidak harus ahli hukum)? Apa yang akan terjadi?

Tentu anda bisa berkata, pengalaman 20 tahun dan gelar tinggi-tinggi tersebut belum tentu menjamin tingkat intelektual para Hakim Agung. Betul. Sepakat. Pertanyaannya, dengan persyaratan menjadi anggota DPR apakah juga menjamin tingkat intelektualitas anggota DPR pasti lebih baik dari para hakim agung?

Diberikannya kewenangan bagi DPR untuk bisa mengawasi apakah suatu putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang atau tidak pada akhirnya mengangkangi independensi peradilan. Anda tidak setuju dengan istilah itu, independensi peradilan? Ok, silahkan. Tapi bagaimana kalau kita ubah statemen saya tersebut menjadi: Diberikannya kewenangan bagi DPR untuk bisa mengawasi apakah suatu putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang atau tidak pada akhirnya membuka peluang (yang sangat besar) terjadinya intervensi (partai) politik terhadap Mahkamah Agung. Bahasa awamnya: mengatur perkara.

Supermasi Hukum vs Kehendak Mayoritas
Selain pengkerdilan independensi peradilan melalui mekanisme pengawasan DPR terhadap putusan Mahkamah Agung, menempatkan supremasi politik diatas supremasi hukum, RUU ini juga telah menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak mayoritas. Lihatlah Pasal 97 huruf b dan c dibawah ini:

Pasal 97
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dilarang:
a. Membuat putusan yang melanggar undang-undang;
b. Membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara;
c. Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan;
d. Dilarang merubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak

Mahkamah Agung dilarang membuat putusan kasasi yang menimbulkan keonaran, kerusuhan, huru-hara, atau tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat dst. Keren bukan? Sangat pro rakjat! Kedaulatan kini benar-benar berada di tangan rakjat! Tapi…

Masih ingat kasus GKI Yasmin? Cikeusik? Ariel? Dan segudang kasus lainnya dimana publik telah menetukan kehendaknya atas suatu perkara yang sedang diadili?

Tirani mayoritas. Konsekuensi logis dari ditundukkannya hukum dibawah kehendak mayoritas. Seingat saya dalam kuliah-kuliah Ilmu Negara dulu diajarkan, bahwa konsep Kedaulatan Hukum lahir karena ekses negatif dari konsep Kedaulatan Rakyat yang memungkinkan terjadinya tirani mayoritas ini. Tapi mungkin saya salah, mungkin saya dulu tertidur di kelas.

Pasal di atas memang tidak secara langsung mengatur bahwa Mahkamah Agung harus menuruti kehendak mayoritas, namun itu yang akan terjadi. Bagaimana para Hakim Agung bisa memprediksi, apakah putusan yang akan dibuatnya akan menimbulkan keonaran, kerusuhan atau huru-hara atau tidak? Pada akhirnya ukuran hanya dilakukan dengan ada demonstrasi yang menuntut agar suatu putusan x atau y. Ketika ada atau tidaknya demonstrasi yang pada akhirnya menjadi ukuran, maka…bisnis demonstrasi akan semakin berkembang (mungkin perlu difasilitasi dalam bentuk Perseroan Terbatas).

Hukum tidak selalu dan tidak boleh selalu berpihak pada mayoritas, hukum juga harus bisa melindungkin hak-hak minoritas, karena Mayoritas belum tentu benar. Seperti dalam lagu Nofx yang berjudul The Idiots Are Taking Over, ‘majority rule don’t work in mental institution’. Seseorang yang memang tidak bersalah dalam perkara pidana harus tetap dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, walaupun seluruh dunia menghendaki ia dinyatakan bersalah. Bukan tugas pengadilan pula untuk memastikan bahwa jika si terdakwa dinyatakan tidak bersalah tidak akan terjadi kerusuhan akibat masyarakat menolak putusan tersebut, itu tugas pemerintah, tugas pemerintah lah menjaga keamanan dan ketertiban. By the way, bukan kah pasal 160 KUHP masih berlaku?

Para anggota DPR sepertinya telah lupa dengan adagium ‘fiat justicia pereat mundus’. Mungkin.

Ok, sekian dulu. Untuk yang mau baca RUU MA ini lebih lengkapnya bisa unduh di sini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s