Beberapa hari lalu kita dihebohkan dengan berita Bupati dan Wakil Bupati Mesuji dilantik di penjara. Mengapa pelantikannya di penjara? Karena sang wakil ternyata telah diputus bersalah karena atas tindak pidana korupsi. Lalu mengapa jika ia telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, mengapa tak segera diberhentikan saja, atau dibatalkan statusnya sebagai wakil bupati terpilih? Saya kurang mengikuti kasus atau berita seputar isu ini, tapi bukan ini yang akan saya bahas.
Kasus seperti ini sebenarnya pernah terjadi juga sebelumnya, dimana seorang kepala daerah terpilih pada saat proses pemilihan ditetapkan menjadi tersangka atas suatu tindak pidana, dan setelah terpilih perkaranya diputus terbukti bersalah. Permasalahan seperti ini sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada kepala daerah, namun juga banyak jabatan-jabatan lainnya.
Sebagai masyarakat awam tentu kita akan bertanya, mengapa pejabat seperti itu masih saja dilantik atau tetap menjabat sih? Koruptor kok dilantik jadi pejabat? Negara ngawur!
Ok, sekarang bagaimana seandainya sang pejabat tersebut putusannya belum final? Belum in kraht van gewijsde dalam bahasa kerennya. Katakanlah sang pejabat terhukum tersebut ternyata mengajukan upaya hukum, entah banding entah kasasi, intinya masih terbuka kemungkinan bahwa dirinya ternyata diputus tidak bersalah.
Apa yang akan terjadi jika ternyata diputusan akhir sang pejabat ternyata diputus tidak bersalah, sementara sebelumya ia telah diberhentikan secara tetap? Dapatkah ia kemudian menjabat kembali? Sementara, jika ia diberhentikan secara tetap pastinya telah ada orang lain yang menggantikannya secara tetap. Jika ia otomatis menjabat kembali, lalu bagaimana nasib si pejabat penggantinya? Diberhentikan begitu saja? Apa dasarnya?
Itu baru persoalan dimana sang pejabat / kepala daerah tersebut putusan bebasnya diputus pada saat masa jabatan yang seharusnya ia jabat belum berakhir. Bagaimana jika sudah habis? Ambil contoh, misalnya seperti mantan Ketua KPK yang diadili karena kasus pembunuhan. Pada kasus AA ini ia diberhentikan secara tetap ketika kasusnya mulai dibawa ke pengadilan, atau ketika statusnya berubah dari Tersangka menjadi Terdakwa. Bagaimana jika di tingkat kasasi ia diputus bebas, sementara putusan tersebut baru keluar setelah masa jabatannya habis, akhir 2011 yang lalu? Ini hanya perumpamaan lho. Ruwet bukan?
Sekarang ke alternatif lainnya, pejabat yang terlibat kasus pidana baru dapat diberhentikan secara tetap jika putusannya telah berkekuatan hukum tetap (seperti yang berlaku saat ini). Permasalahan juga muncul. Contohnya ya di kasus Wakil Bupati Mesuji ini tentu. Nah, agar pikiran kita tidak bias dengan kasus Bupati Mesuji, atau kasus-kasus riil, misal karena ada yang menganggap kasus ini merupakan rekayasa dll, mari kita bayangkan suatu kasus imaginer.
Misal, ada seorang Gubernur yang baru saja terpilih, tiba-tiba menjadi tersangka atas suatu tindak pidana, katakanlah korupsi, kasusnya terjadi misalnya sebelum ia menjabat sebagai gubernur. Karena ia belum bisa diberhentikan secara tetap maka ia diberhentikan sementara. Sang wakil gubernur tentunya yang akan menggantikan posisinya sementara. Tentu kalau sang wakil juga tidak terkena kasus dan mengalami hal serupa, diberhentikan sementara. Propinsi yang dipimpinnya tentu tidak akan dipimpinnya secara langsung, namun tugas-tugasnya dilakukan oleh sang wakil. Sampai kapan? Sampai ada putusan yang berkeuatan hukum tetap, sehingga bisa diputuskan apakah sang gubernur kembali menjabat karena diputus bebas, atau diberhentikan secara tetap, karena putusan akhirnya menyatakan ia memang terbukti melakukan tindak pidana. Berapa lama jangka waktu hingga putusan finalnya keluar? Entah, undang-undang tidak menentukan, kecuali untuk korupsi. Bisa setahun, bisa dua tahun, bisa lebih. Fungsi yang seharusnya didudukinnya menjadi terganggu, sedikit banyak.
Kita mungkin bisa saja berkata, untuk apa memikirkan nasib atau hak si pejabat, lebih baik memikirkan nasib rakyat yang dipimpinnya, atau yang bergantung pada fungsi yang seharusnya dijalankannya sebagai pejabat. Betul. Kalau kita selalu berfikir bahwa sang rakyat selalu berseberangan dengan sang pejabat. Bagaimana jika sang pejabat yang terkena kasus tersebut ternyata pejabat yang dipiliih oleh mayoritas pemilihnya, dan mereka menghendaki agar sang pejabat segera kembali menjabat? Bukan kah dalam hal ini justru memikirkan nasib sang rakyat berarti kita harus memikirkan nasib sang pejabat juga? Rakyat yang pro sang pejabat tersebut hanya massa bayaran? Entah. Bagi saya itu hanya asumsi. Toh, ini hanya kasus imaginer. Dalam kasus imaginer asumsi tentu tidak tunggal. Dalam hal ini asumsi bahwa rakyat yang pro sang pejabat hanya masa bayaran hanyalah salah satu asumsi, asumsi yang lain tentu mereka benar-benar pro sang pejabat. Keduanya mungkin terjadi.
Lalu, bagaimana solusinya? Apakah berarti sang pejabat tidak boleh diproses?
Sebelum masuk ke solusi tentu kita harus melihat lebih jernih dimana titik persoalannya. Dari ilustrasi-ilustrasi kasus di atas dan juga kasus-kasus yang terjadi selama ini bisa kita ambil kesimpulan, bahwa titik persoalan sebenarnya berada pada soal… ‘waktu’. Mengapa persoalannya ada pada ‘waktu’?
Bayangkan jika untuk menyelesaikan seluruh proses peradilan tersebut ada mesin waktu yang dapat menghentikan waktu barang 1 hari namun seluruh proses tersebut tetap dapat dilaksanakan. Maksudnya, waktunya bisa difreeze tapi semua orang bisa tetap beraktifitas seperti biasa. Di saat kebekuan waktu tersebut penyidikan, persidangan, dan segala macam upaya hukum bisa diselesaikan saat itu juga, begitu waktu kembali berjalan, kejelasan status bagi sang pejabat telah dicapai. Keesokan harinya langsung dapat ditentukan, apakah sang pejabat tersebut harus diberhentikan secara tetap karena terbukti bersalah atau kembali menduduki jabatannya, karena ternyata ia tidak bersalah. Tentu jika seperti ini maka masalah yang saat ini dihadapi tidak akan ada lagi. Tak akan ada ribut-ribut soal apakah sang pejabat harus diberhentikan secara tetap atau sementara.
Tapi sayangnya mesin waktu semacam itu hingga saat ini belum ditemukan. Entah hilang dimana. Selama mesin waktu semacam itu belum ditemukan maka masalah seperti ini tetap terjadi. Alternatif lain harus dipikirkan. Yang jelas kunci persoalan telah ditemukan, yaitu waktu.
Jika sang waktu belum bisa dibekukan maka tentu setidaknya hal yang lain yang bisa dilakukan adalah memperpendeknya. Bagaimana memperpendeknya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka yang perlu ditanyakan terlebih dahulu adalah apa yang membuatnya lama? Dalam hal ini tentu yang berkaitan dengan isu pejabat yang diduga melakukan tindak pidana tadi.
Proses. Proses peradilan. Proses peradilan untuk pejabat saat ini tak berbeda dengan untuk orang biasa. Ya, tentu, persamaan dimuka hukum. Proses tersebut terdiri dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, persidangan di tingkat pertama, banding, dan kasasi. Peninjauan Kembali? Ah untuk yang satu ini tidak perlu kita hitung, karena toh PK merupakan upaya hukum luar biasa. Putusan telah dianggap final sekalipun ada upaya PK ini.
Dari proses tersebut, yang mana yang bisa dipersingkat atau dikorting? Penyelidikan? Penyidikan? Pra penuntutan? Sepertinya tidak, karena tahapan ini merupakan tahapan persiapan, tahapan untuk menentukan ada tidaknya dugaan tindak pidana dan pencarian bukti-bukti. Ya, tentu prosesnya bisa dipercepat, yaitu dengan cara para aparat yang terlibat di dalamnya bekerja dengan keras dan cepat. Tapi cepat atau lambatnya tentu juga akan bergantung pada tingkat kerumitan kasus itu sendiri.
Bagaimana jika persidangan di tingkat pertama? Sepertinya juga sulit untuk bagian ini di korting. Bagian ini merupakan bagian terpenting dalam proses peradilan pidana, karena disinilah seluruh bukti akan dibuka, dalil penuntut umum akan diuji, apakah benar dakwaan penuntut umum bahwa terdakwa memang telah melakukan tindak pidana.
Bagaimana dengan banding? Kasasi? Bukankah setiap terdakwa memiliki hak agar perkaranya dapat diuji kembali di peradilan yang lebih tinggi? Hmmm…
Ok, sekarang bagaimana jika proses persidangan sebagaimana yang terjadi di tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan yang tertinggi, Mahkamah Agung, pengadilan yang pada akhirnya juga akan memeriksa permohonan kasasi? Tentu sebagian proses peradilan dapat terpotong, waktu bisa diperpendek. Tapi, memang bisa seperti itu?
Kenapa tidak?
Forum Privilegiatum
Dalam sejarah Republik Indonesia sebenarnya kita pernah memiliki mekanisme acara yang sangat khusus dimana suatu jenis perkara pidana diperiksa dan diadili langsung oleh Mahkamah Agung, dimana pengadilan hanya terdiri dari satu tingkat dan putusannya langsung in kraht, yaitu pada masa UU RIS (Republik Indonesia Serikat) dan UUD S (Sementara), antara tahun 1949 sampai dengan 1959. Mekanisme seperti ini kita pinjam dari Belanda yang hingga kini masih memberlakukannya. Mekanisme ini dikenal dengan istilah Forum Privilegiatum (Pasal 119 Dutch Grundwet 2002.)
Dalam UUD RIS pengaturan mengenai Forum Priviligiatum ini diatur dalam pasal 148 (ayat 1). Pasal tersebut selengkapnya berbunyi:
Pasal 148
(1) Presiden, Menteri2, Ketua dan anggota2 Senat, Ketua dan anggota2 Dewan Perwakilan Rakjat, Ketua, Wakil-Ketua dan anggota2 Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah ini, Ketua, Wakil-Ketua dan anggota2 Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi serta pegawai2, anggota2 madjelis2 tinggi dan pendjabat2 lain jang ditundjuk dengan undangundang federal, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga dimuka Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan-dan pelanggaran-djabatan serta kedjahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang federal dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika ditetapkan lain dengan undang-undang federal.
UUD RIS tersebut memang tidak berumur panjang. Pada tahun 1950 UUD RIS tersebut diganti dengan UUD Sementara (diundangkan oleh UU No. 7 Tahun 1950). Dalam UUDS Forum Privilegiatum ini tetap dipertahankan, dan diatur dalam pasal 106 ayat 1.
(1) Presiden, Wakil-Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua, dan Anggauta Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan djuga pegawai-pegawai, anggauta-anggauta madjelis-madjelis tinggi dan pedjabat-pedjabat lain jang ditundjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran jabatan serta kedjahatan dan pelanggaran lain jang ditentukan dengan undang-undang dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika ditetapkan lain dengan undang-undang.
Sebagai perbandingan, pengaturan mengenai Forum Privilegiatum ini yang diatur dalam Pasal 119 Konstitusi Kerajaan Belanda:
Present and former members of the States General, Ministers and State Secretaries shall be tried by the Supreme Court for offences committed while in office. Proceedings shall be instituted by Royal Decree or by a resolution of the Lower House.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Forum Privilegiatum ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, yaitu dalam Bab IV UU tersebut. Pengaturan hukum acara Forum Privilegiatum dalam Bab IV dengan judul Jalan Pengadilan Dalam Tingkat Kesatu Dalam Perkara Hukuman Perdata[1] . Bab ini memuat 66 pasal, yaitu dari pasal 34 sampai dengan pasal 99. Cukup komperhensif.
Pasal 34
Pengusutan dan penuntutan perkara hukuman perdata (sic!) yang menurut Pasal 148 ayat (1) Konstitusi harus diadili oleh Mahkamah Agung dijalankan secara yang berlaku untuk perkara-perkara hukuman perdata di muka Pengadilan Negeri, dengan pengertian, bahwa hal pengusutan ini ada di bawah pimpinan Jaksa Agung dan penuntutannya dilakukan oleh Jaksa Agung atau Jaksa Agung Muda, dengan mengirimkan surat-surat pemeriksaan permulaan kepada Ketua Mahkamah Agung disertai surat penuntutan; dalam hal itu dibubuh penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, terutama perihal tempat dan waktu dilakukan, serta keadaan-keadaan dan hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan kesalahan tersangka.
Dalam Forum Privilegiatum ini pada intinya mengatur bahwa untuk pejabat-pejabat tertentu peradilan pidana dilakukan dengan mekanisme yang sangat khusus, dimana persidangan hanya terdiri dari satu tingkat tanpa banding atau kasasi. Namun, untuk menjamin atau meminimalisir kesalahan maka persidangan dilakukan langsung dihadapan Mahkamah Agung, bukan lagi pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), dimana majelisnya tentu saja terdiri dari para Hakim Agung yang merupakan hakim yang paling senior yang telah sangat berpengalaman dalam mengadili perkara di tingkat pertama dan banding. Selain diadili oleh Mahkamah Agung, penuntutan juga tidak dilakukan oleh Penuntut Umum biasa, namun oleh Jaksa Agung secara langsung atau Jaksa Agung Muda. Keduanya juga tentu diasumsikan merupakan jaksa yang sangat senior yang telah sangat berpengalaman dalam menjadi penuntut umum. Dengan turun gunungnya secara langsung Jaksa Agung atau Jaksa Agung Muda tentu kualitas penuntutan tidak akan ala kadarnya.
Apakah mekanisme seperti ini pernah efektif berjalan di Indonesia? Tentu. Beberapa anggota Kabinet antara tahun 1950 sampai dengan 1959 pernah diadili dengan mekanisme ini. Tercatat Menteri Negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan mekanisme ini dulu. Jadi secara praktek kita memiliki pengalaman atas mekanisme ini.
Sekarang mari kita bayangkan, bagaimana jika mekanisme ini kita perkenalkan kembali khusus untuk pejabat-pejabat tertentu, katakanlah untuk Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah, baik Tingkat I maupun Tingkat II, dan beberapa jenis jabatan pejabat negara lainnya. Sedikit banyak dapat mengurangi permasalahan yang selama ini dihadapi bukan?
Mekanisme ini melanggar asas persamaan dimuka hukum? Bisa saja kita tafsirkan demikian. Namun mari kita fikirkan, mana yang lebih utama dalam konteks ini, perlakuan yang sama untuk semua orang dengan konsekuensi terganggunya fungsi pemerintahan/pelayanan publik karena ketidakjelasan (lamanya) status pihak yang akan menjalankan jabatan dimana si pejabat sedang terkena kasus, atau sedikit perlakuan istimewa bagi pejabat-pejabat tertentu (yang belum tentu artinya adalah menguntungkan si pejabat) namun kepentingan publik dapat lebih terjamin karena masa ketidakjelasan kedudukan jabatannya dapat dipersingkat?
Pertanyaan selanjutnya, jenis jabatan apa saja yang bisa menggunakan mekanisme ini? Apakah terbatas pada Presiden, wakil presiden, atau kepala daerah? Tentu tidak. Soal ini bisa kita diskusikan tentunya.
Kira-kira demikian. Konsep ini masih konsep umum tentunya, dan tentu bukan satu-satunya alternatif dalam menyelesaikan permasalahan di atas. Banyak hal yang harus didetilkan tentu. Banyak asumsi yang masih bisa dikritisi.
Catatan Kaki:
[1] Entah kesalahan ada dimana, dokumen UU 1/1950 yang saya gunakan adalah dokumen elektronik yang bersumber dari Hukumonline.com. Dalam dokumen tersebut Bab IV disebut kata-kata ‘Perdata’. Penyebutan kata ‘perdata’ ini juga ditemukan dalam pasal 34 UU tersebut. Namun jika dibaca keseluruhan isi bab IV sebenarnyanya mengatur mengenai perkara Pidana. Kesalahan bisa terjadi di pihak Hukumonline.Com, namun bisa juga terjadi dari dokumen aslinya.