Penyederhanaan Proses Peradilan untuk Pejabat Negara Tertentu

Beberapa hari lalu kita dihebohkan dengan berita Bupati dan Wakil Bupati Mesuji dilantik di penjara. Mengapa pelantikannya di penjara? Karena sang wakil ternyata telah diputus bersalah karena atas tindak pidana korupsi. Lalu mengapa jika ia telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, mengapa tak segera diberhentikan saja, atau dibatalkan statusnya sebagai wakil bupati terpilih? Saya kurang mengikuti kasus atau berita seputar isu ini, tapi bukan ini yang akan saya bahas.

Kasus seperti ini sebenarnya pernah terjadi juga sebelumnya, dimana seorang kepala daerah terpilih pada saat proses pemilihan ditetapkan menjadi tersangka atas suatu tindak pidana, dan setelah terpilih perkaranya diputus terbukti bersalah. Permasalahan seperti ini sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada kepala daerah, namun juga banyak jabatan-jabatan lainnya.

Sebagai masyarakat awam tentu kita akan bertanya, mengapa pejabat seperti itu masih saja dilantik atau tetap menjabat sih? Koruptor kok dilantik jadi pejabat? Negara ngawur!

Ok, sekarang bagaimana seandainya sang pejabat tersebut putusannya belum Continue reading

Beberapa Pemikiran tentang Bagaimana Mengatasi Kemacetan di DKI

Tanpa banyak basa-basi, berikut dibawah ini beberapa pemikiran saya tentang alternatif cara mengurangi kemacetan di DKI. Pemikiran ini bukan pemikiran ilmiah, ga pake riset, hanya ide. Saya bukan ahli tata kota or whatever, hanya warga jakarta yang muak melihat kemacetan yang ada, dan sepertinya tidak ada tawara solusi  yang diajukan Pemda DKI kecuali bikin jalan baru.

Konsep dasar yang saya tawarkan adalah pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan mengembalikan tempat tinggal warga jakarta ke jakarta.

  1. Bangun apartemen untuk PNS yang ada di Jakarta sebagai rumah dinas

Pembangunan rumah dinas untuk PNS akan selalu berlangsung. Dulu perumahan dinas PNS dari instansi-instansi pemerintahan dibangun di jakarta. Karena lahan semakin sempit dan sepertinya juga untuk mengembangkan daerah pinggiran jakarta, pembangunan perumahan dinas mulai dialihkan ke daerah-daerah seperti tangerang, ciputat, bekasi dan depok. Setelah itu Continue reading

Reformasi Denda

Denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang selama ini terabaikan. Coba saja lihat berapa jumlah denda yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana kita. Jumlahnya masih sangat kecil, berkisar antara 450 s/d 9.000 rupiah. Jumlah tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini. Akibatnya sanksi denda tersebut menjadi tidak efektif, jaksa penuntut umum tentu tidak mau menuntut terdakwa dengan tuntutan denda dengan jumlah sebesar itu, begitu juga dengan pengadilan, tak mungkin pengadilan akan menjatuhkan hukuman denda sekecil itu.

Apa akibatnya? Sanksi penjara menjadi satu-satunya pilihan jenis hukuman yang tersedia dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Ketika penjara menjadi 1-1 nya pilihan penghukuman maka jangan heran jika jumlah narapidana kita menjadi tidak seimbang dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan atau penjara. Besarnya jumlah narapidana hingga melampaui kapasitas lembaga pemasyarakatan menimbulkan permasalahan lain, besarnya anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai penjara, korupsi di LP dengan cara memperjualbelikan fasilitas kepada narapidana yang mampu, terlanggarnya hak-hak asasi narapidana, masalah kesehatan, tidak efektifnya pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana dan segudang masalah lainnya. Belum lagi penjara akan meninggalkan stigma terhadap mantan Continue reading

Kerumitan Kecil yang Tak Penting dalam Undang-Undang Kita

Pernahkan anda mengalami kesulitan dalam menuliskan undang-undang sebagai referensi, baik sebagai footnote, daftar pustaka atau bentuk lainnya? Saya sering. Terutama jika undang-undang yang akan saya kutip adalah undang-undang yang telah diubah beberapa kali. Misalnya saya mau merujuk pasal yang mengatur tentang persyaratan calon Hakim Agung, maka saya harus menulikan Pasal x UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah sebanyak dua kali terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009. (apakah penulisan tersebut ada kesalahan saya juga kurang tahu detilnya).

Contoh di atas mungkin agak sedikit lebih mudah mengingat nama UU tersebut hanya 2 kata, Mahkamah Agung. Itu pun sudah menghabiskan lebih dari 10 kata untuk menuliskannya. Bagaimana jika nama UU asalnya itu sendiri sudah cukup panjang? Mungkin kita akan menghabiskan 1 paragraf sendiri hanya untuk menuliskannya. Rumit dan tidak efisien.

Pernahkah anda mencoba mencari undang-undang dimana anda mengetahui nama undang-undang tersebut, atau dapat mengira-ngira nama undang-undangnya namun tidak tahu nomor dan tahunnya (apalagi nomor Lembaran Negara-nya)?  Apa yang anda harus lakukan? Mencari di situs-situs yang menyediakan peraturan perundang-undangan tentunya, seperti Hukumonline.com, Setneg.go.id, legalitas.org maupun situs-situs kementerian.

Continue reading

Konsep Perubahan KUHP khusus untuk Denda dan TP Ringan

Rancangan Undang Undang

PERUBAHAN JUMLAH HUKUMAN DENDA DAN TINDAK PIDANA RINGAN

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Menimbang:

  1. bahwa dianggap perlu mengubah pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana berhubungan nilai harga barang yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang;
  2. bahwa jumlah-jumlah hukuman denda baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 21 tahun 2007 (Lembaran Negara tahun 2007 No. 58), terakhir kali disesuaikan pada tahun 1960 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 18 Tahun 1960 yang disahkan menjadi Undang Undang melalui UU No. 1 Tahun 1961 adalah tidak setimpal lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman hukuman denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai uang pada waktu ini, sehingga jumlah-jumlah itu perlu dipertinggi;

Mengingat:

  1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  3. Pasal-pasal yang bersangkutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut;

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERUBAHAN JUMLAH HUKUMAN DENDA DAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Pasal 1

Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah);

Pasal 2

  1. Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 10.000 (sepuluh seribu) kali.
  2. Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, dan pasal 3030 bis ayat 1 dan ayat 2 dilipatgandakan menjadi 10 (sepuluh) kali.

Pasal 3

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Continue reading

Suatu Pemikiran tentang Partai Politik Lokal

Suatu Pemikiran tentang Partai Politik Lokal

Draft Kasar

Tujuan: Mendekatkan Partai Politik dengan konstituen melalui perubahan Sistem Pemilu

Apa itu Parpol Lokal? Yang saya maksud dengan Parpol Lokal di sini sebenarnya bukanlah suatu nama atau bentuk Partai Politik, namun lebih kepada dimungkinkannya suatu Partai Politik yang hanya memiliki perwakilan di beberapa daerah saja untuk ikut dalam Pemilihan Umum. Tujuan dari konsep “Parpol Lokal” ini adalah untuk membuka akses kepada rakyat untuk dapat lebih berpartisipasi dalam pemerintahan.

Anda tentu akan bertanya, “bukankah saat ini sudah tidak seperti masa Orde Baru dimana tidak dimungkinkan untuk membentuk parpol selain yang telah ada dan disebutkan dalam undang-undang khususnya UU No. 3 Tahun 1975? Bukankah saat ini rakyat sudah bebas membentuk partai politik, bahkan sudah terlalu banyak?”

Ya dan tidak. Itu jawaban saya. Ya, bahwa saat ini sudah tidak dilarang lagi membentuk Partai Politik seperti yang terjadi di masa Orde Baru. Tapi bebas? Belum tentu. Coba kita lihat UU No. 2 Tahun 2008 bagaimana syarat pendirian Parpol. Continue reading

Putusan PK Syahril Sabirin dan Joko S Tjandra

Bagi yang ingin membaca putusan PK dalam kasus Bank Bali dengan terdakwa Sjahril Sabirin dan Joko S Tjandra silahkan klik.

Dalam waktu dekat mudah-mudahan saya bisa membuat anotasi atas kedua putusan ini, khusus pada aspek Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (untuk tulisan saya sebelumnya bisa dicari pada kategori Anotasi Putusan dengan judul Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa).

Secara umum dapat saya sedikit jelaskan, bahwa pada prinsipnya kedua putusan ini tidak banyak mengalami perkembangan dari putusan-putusan MA sebelumnya yang menerima Peninjauan Kembali yang diajukan oleh JPU. Fokus pertanyaan hukum yang coba dijawab oleh MA masih seputar apakah JPU berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Total perkara PK yang diajukan oleh JPU hingga saat ini berjumlah 11 buah (termasuk putusan SS dan DT ini), yaitu:

  1. No. 55 PK/Pid/1996 (Muchtar Pakpahan – Perkara Penghasutan),
  2. No. 03 PK/Pid/2001 (Ram Gulumal – Perkara pemalsuan akte Gandhi Memorial School)
  3. No. 15 PK/Pid/2006 (Soetiyawati – Perkara Perusakan Barang berupa kunci rumah, pintu rumah, kusen dan pintu wc)
  4. No. 109 PK/Pid/2007 (Polycarpus – Pembunuhan alm. Munir)
  5. No. 07 PK/Pidsus/2009 (Sjahril Sabirin – Korupsi)
  6. No. 12 PK/Pidsus/2009 (Joko S Tjandra – Korupsi),
  7. No. 84 PK/Pid/2006 (Mulyar bin Sjamsi – Ilegal Loging)
  8. No. 16 PK/Pid/2010 (Zaki Toya Bawazier)
  9. No. 190 PK/Pid.Sus/2011 (Marten Yapen – Perikanan)

Pada putusan No. 84 PK/Pid/2006 dan 16 PK/Pid/2010 MA menolak permohonan PK JPU dengan alasan JPU tidak berwenang untuk mengajukan PK.

Kecuali 2 putusan pertama semua putusan terdapat di http://putusan.mahkamahagung.go.id/

Problema Komisi baru

Anggota LPSK sudah terpilih, sudah lebih dari 3 bulan kira-kira. tapi hingga kini belum bisa berjalan. aturan kerja belum ada, pegawai katanya juga belum ada. gaji juga belum ada, belum keluar kepresnya katanya. ga usah aturan kerja, pegawai dll, lha wong gedung aja katanya juga belum ada. masalah klasik lembaga / komisi negara baru. setelah punya gedung, terus nunggu ada pegawai. setelah ada pegawai nunggu pejabat eselonnya. setelah itu nunggu anggaran cair. setelah cair nunggu sistem administrasi….lewat 1 tahun, baru bisa kerja.

bolak-balik masalah ini selalu muncul. kenapa kita ga pernah belajar ya?

undang-undang yang mengamanatkan adanya komisi atau lembaga negara baru biasanya hanya menentukan kapan paling lambat lembaga / komisi tersebut harus sudah terbentuk. apa yang dimaksud dengan terbentuk? biasanya diartikan komisionernya sudah terpilih. itu saja. setelah kepilih baru dipikirin masalah-masalah berikutnya. siapa yang mikirin? para komisionernya. sementara itu komisioner pun harus menghadapi suatu masalah, bagaiamana menyatukan visi diantara lima atau tujuh kepala dari latar belakang yang berbeda, yang kadang sebelumnya belum pernah kenal. pusing lah tujuh keliling pada akhirnya. sementara yang diluar (publik) udah ga sabar nunggu actionnya si komisi baru ini…gara-gara kelamaan dijalan hilanglah kepercayaan publik sama komisi yang belum jadi ini.

mungkin kah masalah ini dipecahkan? mungkin. gimana caranya?

sebelum komisioner terpilih seharusnya pemerintah sudah mengerjakan PR nya, menyiapkan infrastruktur dari komisi tersebut. pada masa ini pemerintah dapat saja mengangkat Sekjen Sementara, yang tugasnya semata untuk menyiapkan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan. mulai dari gedung, pedoman2 adminitrasi, rekrutmen pegawai, dll kecuali kebijakan lembaga, karena yang ini porsinya para komisioner. perkiraan lamanya waktu untuk sang sekjen mempersiapkan ini semua seharusnya yang menjadi dasar penghitungan kapan uu dimaksud baru dapat diberlakukan secara efektif. dengan demikian maka setelah komisioner terpilih dan dilantik semua urusan tetek bengek sudah selesai, kantor udah ada, staf udah ada, kendaraan dinas udah ada, gaji udah ada…tinggal rumusin kebijakan deh dan pilih lagi Sekjennya, karena yang sebelumnya hanya sekjen sementara. rincian ini lah yang seharusnya masuk atau setidaknya tergambar dalam ketentuan peralihan uu seperti ini.

apa mungkin bisa seperti ini? yang dibutuhkan sedikit imaginasi…dan banyak-banyak minum kopi.

Sedikit Pemikiran Mengenai Organisasi Advokat

(editan ke4)

Peradi dan KAI ribut di Mahkamah Agung! Di ruangan Pejabat Sementara Ketua MA!!! Para advokat senior ini saling meributkan organisasi siapa yang sebenarnya di akui oleh Undang-Undang. Lucu memang, agak jarang juga mendengar orang-orang tua ribut. Mungkin sebaiknya kita sarankan agar mereka sering-sering lah ribut, pukul-pukulan lah sekalian kalo bisa. Atau sekalian jambak-jambakan? (sayangnya sebagian advokat sudah botak).

“Apakah mereka tidak bisa duduk bersama menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin?” …preettt! Akar masalah konflik ini bukan sekedar birahi politik dari para advokat, ya itu mungkin salah satunya, tapi menurut saya masalah intinya terletak pada UU Advokat itu sendiri.

UU menyatakan Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat (pasal 28 ayat 1). Apa artinya rumusan ini? Apakah maksudnya Organisasi Advokat hanya ada satu, atau jika advokat ingin membentuk organisasi profesi harus berbentuk Organisasi Advokat seperti yang diatur dalam UU ini? Jika tafsirannya yang pertama yang manakah yang satu itu? Undang-undang sama sekali tidak menjelaskan. Hanya dalam pasal 32 ayat 4 disebutkan dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya UU ini Organisasi Advokat sudah terbentuk. Sudah terbentuk? Siapa yang membentuknya? Tuhan? Tak ada sama sekali clue dalam UU ini.

Lalu kalau bukan Tuhan, lalu siapa? Advokat kah? Logikanya ya. Tapi Advokat yang mana yang diberikan kewenangan untuk membentuk Organisasi Advokat yang dimaksud pasal 28 (1) tersebut? Apa syarat-syarat pembentukannya? Di mana harus didaftarkan? Apa wewenang Organisasi ini? Apa hak dan kewajibannya? Bagaimana jika Organisasi ini melenceng dari tujuannya? Jika advokat melanggar Kode Etik maka Advokat dapat dijatuhkan sanksi oleh Organisasi tersebut. Tapi, bagaimana jika Organisasi Advokat itu sendiri yang melindungi Advokat yang melanggar Kode Etik yang dibuatnya sendiri? Apa bisa dibubarkan? No Clue!

Pertanyaan lalu berkembang, kalau saya seorang advokat dan ingin membentuk organisasi advokat yang baru karena aspirasi saya sebagai advokat tidak tersalurkan dalam organisasi yang ada apakah bisa? Jika tidak mengapa? Bukankah dalam konstitusi pasal 28E ayat 3 dinyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat? Namun jika jawabannya adalah boleh, pertanyaan selanjutnya adalah apa persyaratannya? Di mana organisasi saya harus didaftarkan? Apa hak dan kewajibannya? Apa kewenangannya? Apakah bisa dibubarkan? Apa syarat pembubarannya? Puih…dari 36 pasal yang ada ternyata sama sekali tak ada pasal yang bisa menjawabnya. Ini undang-undang atau undangan ya?

Sedikit clue dalam UU ini mengenai Organisasi Advokat ada dalam pasal 28 (2), susunan organisasi ditetapkan oleh advokat dalam AD/ART. Tapi apa-apa saja yang harus diatur dalam AD/ART tersebut selain susunan organisasinya? Apakah AD/ART ini dapat dibatalkan oleh negara jika ternyata mengandung unsur-unsur diskriminatif? Misalnya hanya advokat bersuku terntu saja atau advokat jenis tertentu (advokat pasar modal, syariah, HAKI dll) saja yang bisa duduk menjadi pengurusnya. Tak ada pengaturannya sama sekali!

UU Advokat telah memberikan cek kosong kepada…ternyata kepada siapanya juga masih kosong. Peradi menafsirkan bahwa Cek Kosong tersebut ditujukan padanya. KAI menafsirkan lain. Besok lusa mungkin muncul organisasi lainnya, GAI misalnya, Gerombolan Advokat Indonesia, atau yang lainnya. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari masalah ini? Yang diuntungkan tentunya organisasi yang memiliki afiliasi politik yang kuat, baik ke Pemerintah, DPR maupun MA/MK. Ya, dengan pengaturan UU seperti ini justru membuka ruang intervensi kekuasaan jauh lebih besar dibanding kondisi sebelumnya.

Siapa yang paling dirugikan? Kita (atau kami), warga negara biasa non advokat. Mengapa? Dengan cek kosong tersebut maka segala urusan antara warga negara dengan advokat diserahkan sepenuhnya kepada Organisasi Advokat. Perlindungan hukum bagi Warga Negara atas kesewenangan-wenangan Advokat seakan diserahkan sepenuhnya kepada Organisasi Advokat. Namun jika Organisasi yang diberikan kewenangan tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik, atau menjalankan kewenangannya secara sewenang-wenang tentunya kita sebagai warga negara yang akan dirugikan. Di satu sisi Negara memang wajib melindungi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul, namun di sisi lain warga negara juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara atas potensi kesewenang-wenangan suatu serikat, perkumpulan atau organisasi.  Pada titik inilah seharusnya negara memiliki peran, peran untuk memastikan bahwa organisasi semacam ini menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuannya, serta memastikan bahwa hak-hak warga negara dalam hal ini klien tidak dirugikan.

Apakah organisasi advokat harus dalam bentuk wadah tunggal atau majemuk? Kira-kira selalu ini pertanyaannya. Apa untung ruginya pengaturan dalam bentuk wadah tunggal atau majemuk. Ini juga pertanyaan selanjutnya. ..dst. Tak bisa kah kita keluar dari pertanyaan seperti ini?

Mengapa kita tidak mulai pembahasan dari prinsip-prinsip pengaturan organisasi advokatnya dulu?

Prinsip pertama yang saya usulkan yaitu setiap orang yang menjalankan fungsi advokat atau yang dapat bertindak sebagai advokat harus tergabung dalam satu organisasi advokat yang diakui keabsahannya oleh negara. Apa fungsi dan tindakan yang merupakan tindakan advokat kita bisa bahas selanjutnya. Sebaliknya, hanya organisasi advokat yang telah diakui keabsahannya yang dapat mengeluarkan licence untuk menjadi advokat.

Mengapa prinsip ini penting? Profesi advokat sebagaimana profesi lainnya merupakan profesi yang memerlukan pengetahuan dan keahlian khusus. Tidak semua orang dapat melakukan apa yang dilakukan oleh advokat, sehingga unsur kepercayaan (trust) sangat penting dalam profesi ini. Klien harus dapat mempercayai bahwa advokat yang mendampinginya benar-benar mewakili kepentingan hukumnya, bukan kepentingan hukum dari pihak lawan atau lainnya. Posisi klien dengan demikian sangat rentan dihadapan advokatnya (sebagaimana halnya posisi pasien dengan dokternya); tidak mudah bagi klien untuk mengetahui apakah advokatnya melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Oleh karenanya maka profesi ini harus diatur untuk melindungi kepentingan warga negara (baca: klien).

Namun disisi lain, karena kekhususan masalah ini pula lah maka negara tidak dapat mengatur advokat secara langsung. Negara tidak dapat langsung menghukum atau menyatakan tidak bersalah sang advokat ketika dianggap merugikan kepentingan warga negara. Yang dapat mengetahui apakah advokat telah melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak pada akhirnya adalah profesi advokat itu sendiri. Untuk itu maka diperlukan keberadaan Organisasi Advokat, untuk menjembatani masalah ini.

 

Prinsip kedua. Setiap advokat dapat membentuk organisasi advokat.

Mengapa setiap advokat harus dapat membentuk organisasi advokat? Karena pada dasarnya advokat adalah warga negara juga yang memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul. Negara tidak boleh melarang warga negara untuk berorganisasi, kewenangan negara sebatas mengaturnya saja. Larangan tersebut hanya dimungkinkan hak tersebut dipergunakan untuk merugikan hak asasi orang lain.

Prinsip ketiga. Harus ada pengaturan secara jelas persyaratan untuk membentuk organisasi advokat. Persyaratan tersebut harus mengatur juga syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi, misalnya, minimum jumlah anggota pertama kali, memiliki kode etik, dewan etik, mekanisme pengaduan, mekanisme penyelesain dugaan pelanggaran etik, kejelasan sumber pendanaan dll. Detilnya kita bisa bahas selanjutnya.

Prinsip keempat. Setiap organisasi advokat harus didaftarkan pada instansi negara untuk diakui keabsahannya, apakah Depkum atau yang lainnya bisa kita bahas berikutnya.

Prinsip kelima. Organisasi advokat hanya dapat mengeluarkan izin / licence di kota / kabupaten dimana telah terdapat dewan etik daerah, sebaliknya licence tersebut juga hanya berlaku di wilayah2 yang telah terdapat dewan etik tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan pengguna jasa (klien) apabila terjadi malpraktek atau pelanggaran kode etik yang merugikan kliennya untuk mengadukan / komplain kepada organisasinya. Sangatlah tidak masuk akal jika seorang klien yang berlokasi di papua misalnya dirugikan oleh pengacaranya dan ia harus mengadukan pengacaranya tersebut ke Jakarta!

Prinsip keenam. Organisas Advokat harus memiliki program-program peningkatan kapasitas anggotanya, dalam bentuk training, PKPA atau lainnya, terserah. Informasi atas program-program tersebut harus dapat diakses publik.

Tujuan prinsip ini adalah untuk memastikan bahwa anggota dari organisasi tersebut berkualitas, yang pada akhirnya dapat melayani kepentingan warga negara (klien) secara optimal.

Prinsip ketujuh. Organisasi Advokat harus memiliki sumber pendanaan yang jelas. Sumber pendanaan utama Organisasi Advokat harus berasal dari iuran anggota. Anggota yang tidak melaksanakan kewajiban iuran tersebut harus diberikan peringatan hingga dapat dapat dikeluarkan dari keanggotaan.

Tujuan dari prinsip ini adalah bahwa organisasi tetap berbasiskan anggota, serta untuk menghindari dominasi sebagian kelompok atau adanya intervensi dari non anggota. Dominasi maupun intervensi terhadap organisasi ini akan merusak organisasi, yang pada akhirnya akan dapat berdampak juga bagi masyarakat secara luas (klien).

Prinsip kedelapan. Seluruh informasi yang berkaitan dengan organisasi advokat harus dapat diakses publik. UU harus mengatur informasi-informasi minimum yang harus diumumkan oleh Organisasi Advokat.

Tujuan prinsip ini…apa masih perlu dijelaskan?

Prinsip kesembilan. Pengawasan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Peran Negara adalah melakukan pengawasan terhadap Organisasi Advokat, bukan advokatnya. Peran pengawasan dari Negara harus terbatas pada tujuan untuk menjamin organisasi advokat memenuhi persyaratan minimum yang harus dipenuhi, kewajiban-kewajiban organisasi. Misalnya untuk memastikan prinsip keempat s/d kedelapan tetap dipenuhi oleh organisasi advokat. Harus ditetapkan dengan jelas instansi mana yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut. Instansi ini haruslah instansi pemerintah, bukan badan peradilan.

Prinsip kesepuluh. Organisasi Advokat harus bisa dibubarkan. Syarat pembubaran harus jelas dan limitatif. Pembubaran hanya dapat dilakukan dengan dua cara, voluntary (karena kehendak organisasi itu sendiri) atau jika terus-menerus melakukan pelanggaran. Setiap tindakan pembubaran harus dapat di bawa ke pengadilan, atau bisa juga diatur Pemerintah dalam hal ini instansi pengawas memiliki kewenangan untuk mengusulkan pembubaran melalui lembaga yudikatif.

Sejauh ini sepuluh hal ini yang perlu diatur dalam UU yang mengatur mengenai advokat (jumlah sepuluh hanyalah kebetulan belaka). Mungkin masih ada materi lainnya yang dapat diatur, kita bisa diskusikan.

Apa artinya pengaturan seperti diatas? Apakah berarti hanya ada satu atau lebih organisasi advokat? Jawabannya bisa keduanya. Dengan pengaturan seperti ini maka hanya waktu yang akan menjawabnya apakah hanya akan ada satu atau lebih organisasi advokat. Organisasi advokat yang akan bertahan pada akhirnya adalah organisasi advokat yang sehat, di satu sisi yang melindungi dan mendorong para advokatnya untuk profesional, di sisi lain yang juga melindungi malpraktek atau pelanggaran kode etik yang merugikan kepentingan publik (klien). Ada sepuluh atau seratus organisasi advokat pun pada akhirnya tidak akan menjadi masalah, jika dua kepentingan tersebut dapat terpenuhi.

Apa sebenarnya dasar pemikiran di balik ide ini? Saat ini saya belum bisa menuliskannya, masih ada di kepala dan belum bisa dituangkan dengan baik dalam bentuk tulisan. Intinya adalah pengaturan hubungan hukum antara warga negara dan negara.  Paradigma dari UU Advokat yang ada menurut saya salah konsep, karena hubungan hukum yang diatur adalah hubungan hukum antara Negara dan Advokat. Paradigma ini akhirnya mengabaikan hak-hak dari warga negara itu sendiri. …penjelasan selanjutnya tunggu tanggal mainnya.   

nb: tulisan ini masih konsep kasar (sketch), jadi harap maklum kalau masih kurang sistematis dan kasar. Maklum, fresh from the otak. tulisan ini akan berkembang terus… sesuai dengan mood gue.