Tentang Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Seleksi Hakim

Sejak 2009 khususnya sejak disahkannya UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum kewenangan Komisi Yudisial bertambah. Penambahan kewenangan tersebut yaitu ikut terlibat dalam proses seleksi hakim di tingkat pertama. Berikut bunyi pasal yang memberikan kewenangan baru tersebut:

Pasal 14A

(1) Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Ketentuan ini belum pernah berjalan efektif sejak UU tersebut disahkan, belum pernah seleksi calon hakim tingkat pertama yang dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut. Tahun 2010 lalu memang seleksi hakim tingkat pertama pernah dilaksanakan, namun belum menggunakan mekanisme “seleksi bersama” tersebut. Seleksi calon hakim tingkat pertama saat itu masih menggunakan mekanisme yang lama, yang intinya belum melibatkan Komisi Yudisial.

Kini Pasal 14A tersebut dan pasal-pasal dengan rumusan yang sama dalam UU No. 50 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan Agama) dan UU No. 51 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan TUN) diajukan pengujian materil oleh IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Alasannya, keterlibatan KY menghambat rekrutmen calon hakim. Tak kunjung-kunjungnya selesai pembahasan antara MA dan KY dalam soal rekrutmen sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 14A tersebut membuat regenerasi hakim ke depan menjadi terhambat.[1]

Continue reading

Kewenangan Komisi Yudisial

Seleksi Calon Hakim Agung

Tiga kali Komisi Yudisial telah melakukan seleksi calon hakim agung. 12 orang Hakim Agung baru sejak KY berdiri telah terpilih, enam diantaranya belum dilantik. Saat ini KY sedang melakukan proses seleksi lagi. Di setiap seleksi Komisioner KY selalu mengeluh “calonnya ga layak”, “stok dari MA-nya begitu”, ujung-ujungnya ngasih komen “DPR tidak usah terikat kuota!”. Dan komentator di luar akan berseru hal yang sama. Anak bungsu memang akan selalu dibela. benar atau salah, baik atau buruk.

 

Tapi pernah kah kita berfikir, apakah metode, parameter, alat uji dll Komisi tersebut sudah tepat atau tidak? Apaklah ada jaminannya bahwa Komisioner KY dalam melakukan seleksi calon orang-orang yang akan mengisi puncak kekuasaan kehakiman negara ini tidak menyalahgunakan kewenangannya? Siapa yang berwenang untuk menyusun metode seleksi tersebut? siapa yang berwenang untuk menilai apakah metode yang digunakan KY memadai atau tidak? siapa yang berwenang untuk mengaudit untuk melihat apakah dalam pelaksanaannya memang metode tersebut dipergunakan atau tidak?

Apa ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?