Kejahatan Luar Biasa, Tindak Pidana Khusus dan KUHP

*Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Hukumpedia dengan judul yang sama http://hukumpedia.com/pidana/kejahatan-luar-biasa-tindak-pidana-khusus-dan-kuhp-hk5256714e59cd8.html

Dalam berita ini seorang profesor hukum pidana menyatakan bahwa korupsi akan kehilangan sifat keluarbiasaannya jika dimasukan ke dalam KUHP. “Korupsi akan menjadi kejahatan biasa” katanya. Pernyataan tersebut merupakan respon atas akan dimasukannya delik-delik korupsi ke dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini draftnya telah diserahkan Presiden ke DPR untuk dibahas.

Terlepas dari bagaimana pandangan saya tentang RKUHP yang ada –yang mana saya sendiri juga tidak setuju RKUHP yang ada namun dengan alasan yang berbeda- menurut saya pandangan tersebut menarik. Apakah benar sifat keluarbiasaan suatu tindak pidana menjadi hilang karena pengaturannya dipindahkan ke dalam KUHP?

Menurut saya tidak. Mengapa?

Continue reading

Pengebirian KPK Melalui RUU KUHP?

*Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Hukumpedia.com dengan nama penulis ‘Lisra Sukur” http://hukumpedia.com/pidana/pengebirian-kpk-melalui-ruu-kuhp-hk524d00f58f3ef.html

Agak kaget juga saya membaca berita di Hukumonline dengan judul KPK Ajak Akademisi Tolak RKUHP[1]. Dalam berita tersebut KPK menyatakan bahwa RKUHP memuat materi-materi yang akan mengebiri kewenangan KPK dalam mengusut tindak pidana korupsi. Apa pasal? Karena dalam RKUHP ini pasal-pasal tindak pidana korupsi yang saat ini diatur dalam UU 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 akan dimasukan ke dalam RKUHP. Lalu apa masalahnya?

Walaupun dalam berita tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut tapi kira-kira saya paham logikanya mengapa menurut KPK RKUHP akan mengebiri KPK –logika yang menurut saya tidak tepat. Kira-kira begini.

Kewenangan KPK dalam hal penindakan tindak pidana korupsi di atur dalam UU KPK (30 Tahun 2002). Tentang ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsinya sendiri tidak diatur dalam UU KPK, akan tetapi di atur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dalam UU Tipikor tidak diatur siapa atau siapa-siapa saja yang memiliki kewenangan penyidikan maupun penuntutan terhadap atas tipikor. Dalam Pasal 27 UU Tipikor hanya disebutkan “penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang ini.” Tidak disebutkannya siapa penyidik dan penuntut perkara tipikor dalam UU ini memang sangat wajar, karena kedua UU ini lahir sebelum lahirnya UU KPK. Terkait KPK, UU Tipikor ini khususnya UU 31 Tahun 1999 hanya memandatkan dalam pasal 43-nya bahwa paling lambat dalam waktu 2 tahun sudah harus ada komisi yang bernama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K Continue reading

Tentang Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP

Ribut-ribut soal masuknya pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP jadi ingat secuplik tulisan yang dibuat tahun 2008 lalu sebagai bagian dari riset dengan Komisi Hukum Nasional. Berikut cuplikan tulisannya.

Pasal 265

Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

(catatan: pada saat itu pasal penghinaan presiden ini ada di Pasal 265 RUU KUHP, kini sudah berubah dan menjadi pasal 263)

Analisis

Ketentuan ini sama dengan pasal 134 KUHP yang telah dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 13-22/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa RKUHP harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP. Dengan demikian maka Pasal 265 RKUHP ini menurut Mahkamah Konsituti bertentangan dengan konstitusi.[1]

Prof. Muladi SH dalam beberapa artikelnya menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 265 RKUHP ini tetap perlu ada, walaupun Mahkamah Konstitusi telah menyatakan hal ini bertentangan dengan konstitusi. Dalam makalahnya yang berjudul Pembaruan Hukum Pidana Materiil Indonesia[2] Prof. Muladi menyatakan bahwa atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Panitia Penyusunan RUU telah mengadakan rapat pada tanggal 28 Januari 2008. Dalam makalah tersebut salah satu pertimbangan dari tetap dipertahankannya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yaitu bahwa dirasakan ada kejanggalan apabila penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bender/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap Presiden /Wakil Presiden secara khusus tidak, dengan alasan “Equality before the law”.

Continue reading

Delik Santet Dalam RUU KUHP?

Ada beberapa orang yang bertanya pada saya (beh, siapa loe?) apa benar santet diatur di RUU KUHP? Kalau benar, bagaimana cara membuktikannya?

Isu mengenai delik santet ini memang selalu mengemuka setiap kali terdapat pembahasan atas RUU KUHP ini. Seingat saya isu ini pernah menjadi perdebatan publik juga pada sekitar tahun 2003-2004 (atau sebelumnya?).

Pengaturan terkait “santet” ini memang tak jarang terjadi kesalahpahaman di masyarakat, seakan-akan yang diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan menyantet, menenun, menyihir orang, seperti pertanyaan beberapa orang di awal tulisan ini. Kesalahpahaman ini terjadi tidak hanya di kalangan awam hukum namun juga profesor-profesor hukum. Dua diantaranya misalnya prof. JE Sahetapy (baca ini) dan Prof. Gayus Lumbuun (baca ini). Kedua profesor hukum ini menyangka bahwa yang ingin diatur dalam RUU KUHP adalah perbuatan/tindakan Continue reading