*Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Hukumpedia.com dengan nama penulis ‘Lisra Sukur” http://hukumpedia.com/pidana/pengebirian-kpk-melalui-ruu-kuhp-hk524d00f58f3ef.html
Agak kaget juga saya membaca berita di Hukumonline dengan judul KPK Ajak Akademisi Tolak RKUHP[1]. Dalam berita tersebut KPK menyatakan bahwa RKUHP memuat materi-materi yang akan mengebiri kewenangan KPK dalam mengusut tindak pidana korupsi. Apa pasal? Karena dalam RKUHP ini pasal-pasal tindak pidana korupsi yang saat ini diatur dalam UU 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 akan dimasukan ke dalam RKUHP. Lalu apa masalahnya?
Walaupun dalam berita tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut tapi kira-kira saya paham logikanya mengapa menurut KPK RKUHP akan mengebiri KPK –logika yang menurut saya tidak tepat. Kira-kira begini.
Kewenangan KPK dalam hal penindakan tindak pidana korupsi di atur dalam UU KPK (30 Tahun 2002). Tentang ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsinya sendiri tidak diatur dalam UU KPK, akan tetapi di atur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dalam UU Tipikor tidak diatur siapa atau siapa-siapa saja yang memiliki kewenangan penyidikan maupun penuntutan terhadap atas tipikor. Dalam Pasal 27 UU Tipikor hanya disebutkan “penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang ini.” Tidak disebutkannya siapa penyidik dan penuntut perkara tipikor dalam UU ini memang sangat wajar, karena kedua UU ini lahir sebelum lahirnya UU KPK. Terkait KPK, UU Tipikor ini khususnya UU 31 Tahun 1999 hanya memandatkan dalam pasal 43-nya bahwa paling lambat dalam waktu 2 tahun sudah harus ada komisi yang bernama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara tentang kewenangan KPTPK tersebut pasal tersebt juga tidak menyebutkan secara spesifik, hanya dinyatakan “sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku”.
Lalu, darimana KPK memiliki kewenangan pengusutan perkara tipikor? Ya dari UU KPK itu sendiri. Ambilah pasal 6 huruf c UU KPK yang menyatakan “KPK memiliki tugas: …melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”, sementara apa yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi” diatur dalam Pasal 1-nya, “yang dimaksud dengan… Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Nah, dari ketentuan itu kira-kira logika “pengebirian KPK via RKUHP” menurut KPK berasal. Dengan di ‘pindahkannya’ ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi khususnya yang diatur dalam Bab II UU Tipikor ke RKUHP maka berarti Bab II UU Tipikor tersebut akan dihapuskan, sehingga Pasal 1 Jo. Pasal 6 huruf c UU KPK kehilangan ‘cantolannya’ secara substansial, dan KPK tidak lagi bisa mengusut tipikor.
Apakah benar demikian? Ada beberapa argumen yang bisa membantah logika tersebut.
Pertama, dalam Bab Ketentuan Peralihan di RKUHP sebenarnya sudah dijelaskan bagaimana implikasi-implikasi dari RKUHP yang menarik hampir semua ketentuan pidana yang ada diluar KUHP ke dalam KUHP (rekodifikasi), seperti terlihat dalam pasal 762 dibawah ini:
Pasal 762
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. jika ketentuan pidana dalam suatu undang-undang menunjuk pada pasal-pasal tertentu yang diatur dalam KUHP Lama maka penerapan ketentuan pidana tersebut disesuaikan dengan perubahan yang ada dalam Undang-Undang ini.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a juga berlaku bagi materi atau unsur-unsur tindak pidana yang sama antara Undang-Undang ini dan undang-undang tersebut.
Apa arti kedua ketentuan tersebut? Huruf a menjawab masalah bagaiman jika ada suatu UU di luar KUHP yang merefer suatu pasal dalam KUHP yang ada sekarang, apakah berarti UU atau suatu pasal di UU tersebut menjadi tidak berlaku lagi karena KUHP nya sudah diganti dengan yang baru. Sebagai contoh misalnya dalam Pasal 21 KUHAP (UU 8/81) yang mengatur tentang penahanan. Pasal ini mengatur bahwa atas tindak pidana yang ancamannya 5 tahun atau lebih dapat dikenakan penahanan. Selain itu untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu yang ancamannya dibawah 5 tahun bisa juga dikenakan penahanan (ayat 4), khusus untuk:
Pasal 21 Ayat (4)
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Dengan adanya Pasal 762 huruf a RKUHP di atas maka Pasal 21 ayat (4) tersebut tetap efektif, tinggal dilihat misalnya Pasal 282 ayat (3) KUHP substansinya masih ada atau tidak di RKUHP, jika ada, ada di pasal berapa? Jika sudah ditemukan maka selanjutnya kata-kata “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3)…dst” dalam Pasal 21 ayat (4) tersebut harus dibaca “sebagaimana dimaksud dalam Pasal [nomor pasal dan ayat yang baru yang ada dalam RKUHP]..dst”.
Itu fungsi dari huruf a. Sementara fungsi dari huruf b ya seperti masalah Tipikor-KPK ini. Ketika pasal-pasal dari UU Tipikor dipindahkan ke RKUHP, maka tinggal dicari, dimana letak pasal-pasal tersebut, selanjutnya ketenuan Pasal 1 huruf a UU KPK harus dibaca menjadi “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dimaksud dalam [pasal-pasal dalam RKUHP]…dst”. Sesederhana itu. Mudah bukan? Jadi apakah dengan dipindahkannya ketentuan-ketentuan tipikor di UU Tipikor akan membuat kewenangan KPK hilang?
Kedua, tanpa keberadaan Pasal 762 pun kewenangan KPK dalam hal pengusutan tipikor tidak lah hapus dengan dipindahkannya ketentuan tipikor dari UU Tipikor ke KUHP. Pasal 1 huruf a UU Tipikor tidak lah harus dibaca secara letterlijk. Memang benar bahwa pasal tersebut menyebutkan secara tegas nomor dan tahun UU-nya, “sebagaimana dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999…dst”. Jika ketentuan tersebut dibaca hanya secara letterlijk maka ya tafsirnya akan seperti tafsir KPK saat ini. Tapi, seperti kata dosen saya, bu Hafni, untuk memahami hukum dan perundang-undangan tidak cukup hanya dengan “lulus pemberantasan buta huruf”. Karena kalau memahami hukum dan perundang-undangan hanya cukup dengan bisa baca-tulis saja, ya ga perlu ada fakultas hukum, cukup Kejar Paket A.
Memang ada ke-lebay-an dalam Pasal 1 huruf a UU KPK ketika mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi” dengan juga menyebut tahun dan nomor undang-undangnya. Tapi menganggap pembuat UU memang hanya memaksudkan bahwa tipikor hanyalah apa yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut lebih lebay lagi. Kalau mau main ‘letterlijk-letterlijk’-an maka dari dulu KPK tidak akan bisa mengusut tipikor. Bahkan tidak hanya KPK, polisi maupun kejaksaan juga tidak bisa, untuk seluruh tindak pidana bahkan. Kok bisa?
Pasal 1 huruf a UU KPK menyatakan “yang dimaksud tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999…dst”. Sekarang, sebut undang-undang yang menjelaskan apa itu “tindak pidana”? Apakah dalam KUHP, KUHAP maupun UU Tipikor ada pasal atau ayat yang menjelaskan apa itu “tindak pidana”? Sampai blo’on juga ga akan ketemu. Lalu, apakah perlu kita perdebatkan bahwa berarti KPK atau polisi maupun kejaksaan tidak berwenang menangani perkara tidak hanya korupsi, bahkan semua tindak pidana karena tidak ada satu undang-undang pun yang menjelaskan apa itu tindak pidana?
Sekarang mari kita masuk ke KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini. Dalam kedua UU tidak ada satu ketentuan pun yang mendefinisikan apa itu Kejahatan dan Pelanggaran. Yang ada hanyalah pembagian buku di KUHP ke dalam 3 buku, Buku I tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan, Buku III tentang Pelanggaran. Adanya pembagian buku tersebut mengandung arti bahwa seluruh tindak pidana yang masuk atau diatur dalam Buku II KUHP adalah Kejahatan, sementara yang diatur dalam Buku III KUHP adalah Pelanggaran. Itu lah sebabnya dalam pasal 19 ayat (2) KUHAP tidak perlu lagi dijelaskan apa itu Pelanggaran ketika ayat tersebut mengatur: Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Atau ketika Pasal 203 KUHAP mengatur: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.” Tidak lah perlu dijelaskan apa itu Kejahatan dan Pelanggaran di ketentuan tersebut.
Dalam legislasi hukum pidana sudah lah menjadi jamak perujukan pada suatu ketentuan berdasarkan kategori besar (“tindak pidana”), pembagian judul buku dalam KUHP (kejahatan/pelanggaran), judul Bab dari tindak pidana (Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Kejahatan Penghinaan, Tindak Pidana Korupsi, dll), nama yang diberikan oleh undang-undang yang diatur dalam masing-masing pasalnya (pencurian – pasal 362 KUHP, penggelapan – 372, pembunuhan – 338, pembunuhan dengan rencana – 340 dll) tanpa harus menyebutkan ayat, pasal, bab, atau undang-undangnya. Jadi ketika UU Tipikor mengatur bab tentang Tindak Pidana Korupsi (Bab II) dan Tindak Pidana Lain (Bab III) maka hal tersebut berarti yang dimaksud Tipikor dalam UU Tipikor adalah seluruh ketentuan pidana yang diatur dalam Bab II UU tersebut. Namun terbatas pada bab II UU Tipikor saja, dimungkinkan juga tipikor yang diatur di luar UU Tipikor. Ga percaya? Coba cek pasal 14 UU 31 Tahun 1999 ini:
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari Pasal 14 tersebut terlihat bahwa di luar UU Tipikor dimungkinkan juga ada tindak pidana yang diberikan nama tindak pidana korupsi. Dan jika terdapat suatu ketentuan tindak pidana yang kemudian oleh UU tersebut dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi, maka segala ketentuan baik yang mengatur prinsip-prinsip maupun hukum acara yang diatur dalam UU Tipikor juga diterapkan atasnya. Yang dengan demikian KPK pun juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan, penuntutan dll terhadap perbuatan yang melanggar tipikor di luar UU tipikor tersebut (konstruksi pasalnya: Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 1 huruf a UU KPK jo. Pasal 27 jo. Pasal 14 UU Tipikor).
Model perumusan sebagaimana Pasal 14 UU Tipikor ini serupa dengan model perumusan dalam Pasal 1 sub 3e UU Tindak Pidana Ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955) yang mengatur:
Yang disebut tindak pidana ekonomi adalah: … pelanggaran sesatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekadar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak-pidana ekonomi.
Dengan pengaturan yang demikian maka kemudian jika ada perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana dimana disebut secara tegas bahwa ketentuan pidana tersebut disebut sebagai Tindak Pidana Ekonomi maka segala ketentuan dalam UU Drt 7/55 dan segala perubahannya diterapkan juga bagi ketentuan pidana tersebut. Salah satu contoh penerapan pasal 1 sub 3e UU TPE tersebut adalah Perpu 8 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan. Dalam pasal tersebut dinyatakan “Pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya adalah tindak pidana ekonomi.” (salah satu peraturan pelaksana dari Perpu ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 21/M-DAG/PER/6/2008).
Kembali ke RKUHP, KPK dan UU Tipikor. Jika tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi dalam UU Tipikor dipindahkan ke RKUHP, maka tinggal dilihat saja apakah dalam RKUHP tersebut ketentuan-ketentuan dengan norma yang sama tersebut disebut sebagai Tindak Pidana Korupsi atau tidak, atau setidaknya dikelompokan dalam satu bab tersendiri yang diberi judul bab “Tindak Pidana Korupsi” atau “Korupsi” atau “Kejahatan Korupsi” atau sejenisnya. Jika ada, maka KPK berwenang mengusut perbuatan yang melanggar seluruh tindak pidana yang disebut sebagai tindak pidana korupsi atau diatur dalam bab Tindak Pidana Korupsi.
Nah di titik ini memang ada problem di RKUHP terkait pengaturan mengenai tindak pidana korupsi, tapi problem itu menurut saya bukan ditujukan untuk melemahkan KPK, namun semata karena kesembronoan perancang RKUHP. Apa problemnya? Duplikasi pengaturan.
Dalam sejarahnya lebih dari 80% ketentuan tindak pidana dalam UU Tipikor berasal dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP. Mulai dari Perpu 24 Tahun 1960, UU 3 Tahun 1971, hingga UU 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah oleh UU 20 Tahun 2001. Entah pada masa sebelumnya, tahun 1958 ketika korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 karena hingga saat ini saya belum pernah mendapatkan dokumennya. Dari 16 jenis delik yang diatur dalam UU Tipikor 13 diantaranya berasal dari delik yang ada di KUHP. Atau kalau dilihat dari jumlah pasal korupsi yang ada di UU Tipikor saat ini, dari pasal 2-3, dan Pasal 5-13 yang merupakan pasal-pasal korupsi, pasal 5-12 adalah pasal pengadopsian dari KUHP. Sumber dari pasal-pasal tersebut adalah pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. Selain 4 pasal yang disebut pertama, seluruhnya berasal dari delik yang diatur dalam Bab 28 tentang Kejahatan Jabatan.
Nah, sejak tahun 2007-2008 yang lalu Pemerintah menyusun RUU Tipikor yang rencananya akan menggantikan UU 31/1999 dan 20/2001, sebagai implementasi ratifikasi UNCAC. Secara umum mayoritas substansi yang ada dalam RUU Tipikor tersebut sebenarnya masih sama dengan apa yang ada dalam UU Tipikor, namun dengan rumusan yang sedikit berbeda. Sebagai contoh ketentuan mengenai suap. Dalam draft UU Tipikor yang baru (versi 2011) ketentuan terkait suap menyuap tersebut diatur demikian:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik suatu keuntungan yang tidak semestinya untukkepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (duaratus lima puluh juta rupiah).
(2) Pejabat Publik yang meminta atau menerima secara langsungatau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinyauntuk kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidakberbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahundan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikitRp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Sementara itu ketentuan terkait suap menyuap yang ada dalam UU Tipikor selama ini yang merupakan pengadopsian dari pasal 209 dan 419 yang kemudian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan 12 huruf a dan b UU Tipikor dirumuskan demikian:
Pasal 5 (20/2001)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 (20/2001)
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Dari ketiga pasal tersebut terlihat bahwa secara substansial apa yang hendak diatur sebenarnya sama, yaitu apa yang saat ini dikenal dengan istilah Suap. Nah, duplikasi pengaturan terjadi ketika Tim Perumus RKUHP mencoba ‘menarik’ substansi RUU Tipikor ke dalam RKUHP dan kemudian dimasukan dalam bab tersendiri, Bab 32 tentang Tindak Pidana Korupsi namun ketentuan yang sebelumnya ada dalam KUHP dalam Bab 28 tentang Kejahatan Jabatan tidak disisir ulang, namun seluruhnya dipertahankan, yaitu dalam Bab 31 tentang Tindak Pidana Jabatan. Walhasil terjadi banyak duplikasi pengaturan dengan rumusan yang sedikit berbeda namun dengan esensi yang sama dan ancaman hukuman yang berbeda.
Contoh kecerobohan lainnya yang berakibat pada duplikasi pengaturan dalam bagian lain di RKUHP yang teramat sangat konyol karena berada dalam 2 pasal yang berdampingan ada dalam pasal 636 dan 637 RKUHP ini. Coba perhatikan Pasal 636 ayat (1) huruf c dan d dan Pasal 637, dan sebutkan apa perbedaan kedua ketentuan tersebut kecuali ancaman hukumannya.
Pasal 636
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori V:
a. pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud pada huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 637
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang :
a. dengan perbuatan curang menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, yang dapat mengakibatkan bahaya bagi keselamatan negara dalam waktu perang; atau
b. diwajibkan mengawasi penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada huruf a, membiarkan perbuatan curang tersebut dilakukan.
Apakah duplikasi pengaturan ini disengaja? Saya rasa tidak. Kecerobohan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memang kerap terjadi di negeri ini. Duplikasi pengaturan yang timbul dari kecerobohan pun ada dalam UU Tipikor saat ini. Coba perhatikan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan b UU 20 Tahun 2001 yang saya kutip sebelumnya. Cek juga antara Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf c dan d UU 20 Tahun 2001. Lalu jika dianggap duplikasi pengaturan tersebut dimaksudkan untuk melemahkan KPK, selain saya belum bisa mencerna apa kaitannya, jika melihat pada duplikasi pengaturan yang ada di UU 20 Tahun 2001 sendiri ternyata tidak terbukti KPK menjadi lemah atau terkebiri.
Atas isu-isu di atas, pertanyaannya lalu dimana letak pengebirian kewenangan KPK di RKUHP ini ya?
Ah ya, dalam berita di Hukumoline tersebut disebutkan juga mengenai pasal 763 RKUHP. Selengkapnya kutipan berita tersebut demikian
“Kepala Biro Hukum KPK, Chatarina Muliana Girsang menilai banyak aturan dalam draf revisi KUHP ni kontraproduktif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia mencontohkan Pasal 763 yang berupaya menghilangkan kewenangan KPK dalam menindak pencuri uang rakyat. Demikian pula materi dalam Bab 31 yang berisi pasal-pasal yang tumpang tindih satu dengan yang lain.”
Ok, mari kita lihat apa isi pasal 763 tersebut.
Pasal 763
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, undang-undang di luar Undang-Undang ini yang mengatur hukum acara yang menyimpangi Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan hukum acaranya tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana yang baru.
Dari rumusan pasal 763 di atas pertanyaannya, dibagian mana yang menyatakan kewenangan KPK akan dikebiri ya? Wallahualam.
Pingback: Kejahatan Luar Biasa, Tindak Pidana Khusus dan KUHP | KRUPUKULIT
Terimakasih atas informasinya… sangat bermanfaat sbg referensi…. smga Krupuk Kulit makin jaya dan eksis
________________________________ Dari: KRUPUKULIT Kepada: alandikaputra@yahoo.co.id Dikirim: Minggu, 13 Oktober 2013 7:47 Judul: [New post] Pengebirian KPK Melalui RUU KUHP?
WordPress.com krupukulit posted: “*Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Hukumpedia.com dengan nama penulis ‘Lisra Sukur” http://hukumpedia.com/pidana/pengebirian-kpk-melalui-ruu-kuhp-hk524d00f58f3ef.html Agak kaget juga saya membaca berita di Hukumonline dengan judul KPK Ajak A”
Reblogged this on Sukses Bisnis Community.