Common Sense di Negeri Uncommon Law


Sebuah cerita tentang putusan penghinaan

“Innalilahi wainailaihi rojiun. Dapat kabar berita duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”

Apa yang salah dengan 3 potong kalimat ini? Lebih jauh lagi, apakah layak 3 kalimat ini dinyatakan sebagai sebuah kejahatan dan yang menuliskannya dipenjara 3 bulan ditambah lagi dengan denda Rp. 10 juta?

3 potong kalimat pendek ini adalah kalimat-kalimat yang disampaikan seorang dosen dari suatu universitas negeri dalam sebuah whatsapp group yang berisi civitas akademika dari universitas negeri tersebut. 3 potong kalimat ini membuat sang dosen dihukum sebagaimana di atas. 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah.

3 bulan penjara. 90 hari, siang dan malam. Dalam sebuah sel bersama dengan pencuri, pembunuh, pemerkosa dan pelaku kejahatan-kejahatan lainnya. Mungkin para pencuri, pembunuh, pemerkosa yang ada di dalam penjara dimana sang dosen nantinya menjalani hukuman tersebut akan speechless ketika mendengar jawaban atas pertanyaan: “Kenapa kau masuk? Ngebunuh orang? Ngerampok bank? Merkosa orang? Atau korupsi? Ah pasti kau korupsi, necis soalnya kau!”. “Bukan bang, nulis begini bang di wag: “Innalilahi wainailaihi rojiun. Dapat kabar berita duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”. Agak cukup yakin, sebagian penjahat-penjahat bertato tengkorak ayam, atau tato burung elang yang gagal jadi lebih mirp burung gereja, akan terjengkang mendengarnya. “Kayak gitu aja kau masuk sini??!!! MENUHI-MENUHIN SEL INI AJA!!!” *plak*.

Entah apa yang dipikirkan penyidik saat mendapatkan pengaduan dari pihak-pihak yang merasa menjadi korban dari tulisan di wag tersebut, mungkin dalam hati mereka akan berkata “Ih, sensitif kali ini orang, gini aja lapor ke polisi, waktu kecil ga boleh keluar rumah ya sama mamanya makanya tipis kali kupingnya kayak gini? Nambah-nambah kerjaan aja!”. Tapi apapun yang ada di dalam hati mereka, faktanya ternyata aduan tersebut tetap diproses, “Walau langit runtuh hukum harus ditegakkan!” Begitu mungkin pikir para penyidik. Polri memang dikenal sebagai lembaga yang berintegritas, tidak pandang bulu, professional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga tentunya perkara ini harus tetap diproses dan penjahat harus dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera.

Entah apa juga yang dipikirkan oleh penuntut umum saat menerima berkas perkara ini dari penyidik, begitu juga dengan para hakim di pengadilan negeri yang mengadili perkara ini. Malas saya membayangkannya. Tidak rumit perkaranya, hanya membutuhkan akal sehat, common sense, untuk menilai 3 potong kalimat itu apakah tindak pidana -terlebih kejahatan- atau bukan. Tak perlu ahli bahasa segala untuk menganalisa 3 potong kalimat tersebut, seperti yang ada dalam persidangan atas perkara ini. Ya, dalam persidangan ini penuntut umum pake menghadirkan ahli bahasa segala. Seakan ia sendiri, 3 orang hakim, para advokat sang dosen tidak akan sanggup mencerna apa isi 3 potong kalimat tersebut. Mungkin mereka semua sebenarnya adalah bangsa Klingon, jadi perlu ahli bahasa Indonesia untuk mencernanya. Mungkin.

Permasalahan dalam perkara ini sangat sederhana, tak ada masalah pembuktian. Bahkan sebelum berbicara soal pembuktian itu sendiri, apa saja bukti-buktinya, perkara ini sudah bisa dinilai. Cukup dengan menjawab pertanyaan, apakah 3 potong kalimat tersebut adalah tindak pidana, terlebih kejahatan? Apa yang jahat dari 3 kalimat tersebut, seberapa jahat, seberapa layak pernyataan-pernyataan tersebut dibawa ke persidangan, dan terakhir, apakah layak pernyataan dalam wag semacam ini berujung pada penjara yang kapasitasnya sudah tidak memungkinkan lagi ditambah penghuni baru? Pesan apa yang mau disampaikan ke publik dengan memidana kata-kata semacam ini?

Pengadilan negeri memutuskan bahwa 3 potong kalimat tersebut adalah kejahatan, 3 bulan penjara dan 10 juta untuk sang dosen. Ok lah, walaupun seperti itu toh masih bisa diputuskan berbeda ditingkat banding. Tentu para hakim tinggi lebih bijak dari hakim tingkat pertama. Eh tapi ya kok ternyata sama saja, pengadilan tinggi malah menguatkan putusan PN itu. Tapi ya sudah lah, masih ada kasasi di Mahkamah Agung. Permasalahan ini jelas masuk kewenangan kasasi, karena jelas, pertanyaannya adalah pertanyaan tentang hukumnya, lebih tepatnya tentang penerapan hukum, yang sederhananya pertanyaannya seperti sebelumnya saya sampaikan: apakah perkataan semacam itu, 3 kalimat tersebut termasuk penghinaan atau tidak. Murni question of law, tidak ada isu dengan soal fakta, bukti, prosedur; apakah benar sang dosen memposting kata-kata tersebut di wag, dst. Karena tentang ini -selain dalam kasus seperti ini itu adalah masalah secondary, dalam persidangan juag telah terbukti.

Di tingkat kasasi di Mahkamah Agung perkara ini ditangani oleh majelis hakim agung yang diketuai oleh seorang hakim agung yang berasal dari jalur non karier, seorang akademisi bergelar doktor di salah satu universitas islam yang bergengsi di Yogyakarta, sebagai pengajar mata kuliah hukum pidana, filsafat hukum, dan hak asasi manusia. Harapan tentu tinggi atas sang hakim agung ini. Terlebih perkara dengan pertanyaan hukum semacam ini tentu penting, tidak hanya bagi sang dosen itu secara personal, namun juga bagi arah perkembangan hukum dan hak asasi manusia ke depan di negeri yang katanya menjunjung tinggi pancasila, hukum, dan hak asasi manusia. Negeri yang punya kementerian sendiri soal hak asasi manusia, komisi negara sendiri soal hak asasi manusia, dan undang-undang sendiri tentang hak asasi manusia. Keren lah pokoknya. Putusan sang hakim ini akan membantu memberikan batasan yang lebih jelas kapan suatu pernyataan termasuk penghinaan kapan masih dalam ranah kebebasan berekspresi. Lebih jauh lagi, bagaimana kita bisa menerapkan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana.

Besar harapan -setidaknya saya- atas sang hakim agung tersebut atas perkara ini. Akal sehat saya berpandangan 3 potong kalimat tersebut belum lah cukup untuk masuk dalam kategori penghinaan. Kita bisa berdebat tentang unsur-unsur, tapi common sense perlu tetap dijaga agar tidak terjebak dalam perdebatan semantik, debat unsur dengan memenggal-menggal unsur-unsur hingga lupa pada esensi ketentuan pidananya itu sendiri secara utuh. Lupa atas alasan mengapa ketentuan itu ada. Dan terlebih, lupa pada alasan mengapa ada hukum pidana itu sendiri.

Tapi harapan saya ternyata tinggal harapan. Majelis hakim agung ditingkat kasasi yang dipimpin oleh sang dosen juga tersebut memutuskan menolak permohonan kasasi tersebut, yang artinya menguatkan putusan PN yang menyatakan bahwa 3 potong kalimat tersebut termasuk sesuatu yang jahat yang pantas untuk dipidana. Tak hanya itu, hukuman 3 bulan penjara dan denda tersebut dianggap memang patut diganjar kepada sang dosen yang berkeluh kesah di wag itu. Kali ini, tak merasa perlu lagi saya membaca pertimbangan hukum dari majelis kasasi ini. Persoalan sangat sederhana, sekedar membaca kesimpulannya belaka “menolak permohonan kasasi” sudah cukup terang benderang bagi saya. 3 potong kalimat yang biasa-biasa saja, yang kalimat-kalimat semacam ini dalam kehidupan masyarakat pada umumnya mungkin akan dianggap sedikit menyinggung, tapi bukan kejahatan. Bukan sesuatu yang jahat yang perlu dipidana, oleh jenis sanksi pidana apapun.

Indonesia adalah negera hokum. Autocorrect dari microsoft word saya. Memang ms word ini sangat tepat memaksa untuk mengganti kata hukum menjadi hokum, karena hokum menurut google translate, mirriam webster ternyata berarti humor murahan atau omong kosong. Karena itu yang sebenarnya sedang dipraktikan dalam penegakan hukum di negeri ini.

Catatan:

Untuk membaca putusan atas perkara ini dapat dilihat di 432/Pid.Sus/2019/PN Bna dan 104/PID/2019/PT BNA. Untuk putusan kasasi saat ini belum tersedia di direktori putusan, baru ada petikan putusan dengan nomor perkara 1909 K/Pid.Sus/2021.

Leave a comment