Cerita Lama Yang (Sayangnya) Tidak Basi-Basi


Seorang teman yang berprofesi sebagai advokat bercerita tentang kejadian yang baru ia alami. Ia diminta untuk membayar 50 juta rupiah jika perkaranya ingin dilimpahkan ke tahap penuntutan. Kliennya adalah pihak korban dari suatu penipuan. Dalam kasus ini teman saya adalah kuasa hukum dari pihak korban yang ingin agar pelaku segera diproses di pengadilan. Proses penyidikan sebenarnya sudah selesai, namun berkas perkara tak kunjung dilimpahkan juga oleh sang penyidik. Berbagai alasan diungkapkan, tapi pada intinya hanya ingin ‘uang pelicin’.

Ia bertanya kepada saya, apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mau memenuhi keinginan sang penyidik tersebut. Karena idealisme dan juga karena kasihan dengan kliennya. Sudah menjadi korban kejahatan, harus mengeluarkan biaya untuk advokat, kini harus membayar “biaya penyidikan” yang seharusnya, di atas kertas-kertas Lembaran Negara, tidak dipungut biaya. Kliennya pun juga bukan orang yang berada-berada amat. Kelas menengah yang pas-pasan yang kalau tidak terpaksa tidak akan mau berurusan dengan masalah hukum. Masalah yang di mata sebagian besar orang adalah masalah yang gelap, penuh ketidakpastian. Istilah jaman dulunya, kalau lapor kehilangan kambing malah akan nambah hilang motor.

“Apa yang musti saya lakukan?”. Pertanyaan sederhana yang sangat sulit untuk menjawabnya. Saya tahu masalah seperti adalah seperti jalan buntu. Jawaban normatif seperti yang akan dijawab oleh para pejabat, “adukan ke pengawas ini itu, komisi ini komisi itu” tak akan membantu. Hanya membuang-buang waktu, tenaga dan uang. Seakan upaya yang bisa dilakukan hanya tinggal berdoa atau memenuhi keinginan sang penyidik, bayar aja. Tapi keduanya juga tetap penuh ketidakpastian. Seandainya saya percaya dengan santet dan kenal dengan tukang santet mungkin itu yang akan saya usulkan. Mungkin.

“Coba lapor ke jaksa p16 nya” dengan nada tak yakin dan terasa hanya membuang-buang oksigen. Saya sudah yakin langkah ini juga akan sia-sia, tapi ya dari pada tidak menjawab. “Hehe, jaksanya akan dapat 10 juta dari 50 itu”. Tanggapan yang sudah bisa saya duga, hanya soal jumlahnya saja yang belum saya duga.

Ya, tidak ada yang baru dari peristiwa ini. Hanya cerita lama yang terus berulang, dari sebelum reformasi hingga kini yang sudah lebih dari 20 tahun reformasi. Masalah yang terjadi sehari-hari, yang dialami banyak pelapor korban tindak pidana, dan juga para advokat.

Cerita lama yang terus berulang, di situ lah masalahnya itu sendiri. Segala macam institusi telah didirikan selama era reformasi ini, KPK, PPATK, dan K K lainnya, segala macam program anti korupsi juga telah dibuat, Stranas PPK, Gugus Tugas Pungli, RAN PK, dan entah berapa puluh program lainnya. Begitu juga ribuan poster, baliho, stiker antikorupsi telah dibuat, yang mungkin sebagian besar kini sudah berakhir menjadi sampah yang sulit terurai di tempat-tempat penampungan sampah. Tapi cerita lama yang terus berulang setiap harinya ini seperti tidak juga berakhir. Suatu anomaly dalam sistem yang telah lama menjadi kenormalan itu sendiri, menjadi norma yang tidak tertulis. Kalau perkara anda mau ditangani dengan cepat -belum tentu baik juga- ada biayanya.

Sejenak terpintas di kepala, “adukan saja ke KPK”, tapi juga terasa sia-sia. Perkara seperti ini tidak akan diproses juga oleh KPK. Bukan karena “pelemahan KPK” yang sekarang, dari dulu juga demikian. Keyakinan saya KPK akan menindaklanjuti perkara-perkara “receh” tapi tiap hari ini terjadi ini sudah sedemikian rendah. Bagaimana tidak, pernah menyinggung isu ini saja seperti tidak pernah terdengar. Tak pernah juga terdengar ada kampanye-kampanye yang mendorong para masyarakat khususnya para advokat sebagai pihak yang sehari-hari menghadapi permasalahan seperti ini untuk melaporkannya ke KPK. Bukti yang seperti ini tidak akan kemana-mana juga di KPK? Tinggal berhitung secara matematika saja, selama 18 tahun KPK berdiri mengapa cerita lama yang terus berulang ini tak berakhir-berakhir atau minimal surut. KPK hanya tertarik dengan “Big Fish”, perkara semacam ini hanyalah perkara ikan teri. Tapi seperti halnya ikan teri, dia sangat banyak, dan nyata di mata masyarakat sehari-hari.

Organisasi Advokat. Terlintas juga di kepala ini untuk mengusulkan ke teman yang berprofesi sebagai advokat ini untuk mengadukan ke organisasi advokatnya. Tapi ya organisasi advokat itu sendiri sibuk dengan entah urusan apa, rebutan kekuasaan, rebutan menjadi “satu-satunya organisasi advokat yang diakui negara”, yang ujungnya adalah rebutan menjadi pihak yang bisa menentukan siapa yang bisa menjadi advokat atau tidak. Sementara setelah itu, setelah para advokat ini menjadi anggota dari organisasi tersebut kepentingan-kepentingan para anggotanya yang salah satunya adalah untuk bisa menjalankan profesinya tanpa harus membayar pungli dsb juga tidak diperhatikan. Organisasi advokat yang seharusnya bisa menjadi “serikat advokat” dalam menghadapi kendala-kendala administrasi, birokrasi dsb dalam sistem peradilan dalam kenyataannya tidak melakukan -mungkin bahkan tidak pernah kepikiran- untuk melakukan apa-apa. Padahal jika para advokat ini bisa melaporkan setiap praktik-praktik yang seperti yang dihadapi teman saya ini ke organisasi advokatnya dan organisasinya tersebut melaporkan ke institusinya -polri, kejaksaan, MA dst- dan secara terus menerus mengadvokasikan agar praktik-praktik tersebut dikikis, tentu permasalahan ini akan dapat jauh berkurang. Setidaknya orang-orang seperti teman saya ini menjadi tidak putus asa dan terjebak pada lingkaran setan pungli/korupsi karena mengetahui ada institusi yang efektif untuk menindaklanjuti permasalahannya.

Hatespeech kepada institusi-institusi negara atau penghinaan terhadap lembaga negara

Saat membuat tulisan ini tentu saya menyadari, walaupun tulisan ini “tidak begitu-begitu amat”, tidak ada maksud untuk menghina dsb, hanya sekedar mengungkapkan keluh kesah atas realita yang ada guna mengingatkan kita semua atas permasalahan akut yang ada. Namun tulisan ini sangat mungkin akan dipermasalahkan dan dianggap sebagai sebuah tindak pidana. Terserah. Kalau pun itu yang terjadi, kalaupun kemudian saya diproses -semoga tidak- hanya akan menguatkan tulisan ini sendiri, sistem hukum kita yang sedemikian bobrok. Kapan kita bisa mengekspresikan keluhan kita atas kondisi yang ada, semakin hari semakin tak jelas.

…“Indonesia adalah negara hukum”. Kalimat yang hampir selalu ada di skripsi, tesis dan disertasi mahasiswa-mahasiswa hukum. Kalimat ini semakin lama tidak lagi sekedar terdengar klise, tapi sudah seperti hinaan atas akal sehat itu sendiri.

Reformasi? Mungkin kita semua perlu melihat kaleng reformasinya lagi, mungkin disitu akan terlihat kapan masa daluarsanya. Karena sepertinya reformasi ini sudah basi. Waktunya beli yang baru lagi.

Leave a comment