Omnibus dan Ikan Gabus di Negara Civil Law


Sekitar tahun 2013an saat mulai menjelajahi putusan-putusan dan peraturan perundang-undangan di Belanda -via internet tentunya, bukan sekolah, studi banding ke sana atau sejenisnya- saya menemukan satu undang-undang yang menurut saya menarik pada saat itu dan menginspirasi. Undang-undang tersebut yaitu Wet van 21 december 1994 tot partiële wijziging van het Wetboek van Strafrecht en andere wetten in verband met de opheffing van het cumulatieverbod inzake de oplegging van hoofdstraffen Staatblad tahun 1995 No. 32. Ok, Bahasa inggrisnya: Act of 21 December 1994 amending the Criminal Code and other laws in part in connection with the abolition of the clause on the imposition of main penalties. Undang-undang ini saya temukan saat mencoba menelusuri sejarah Pasal 14a KUHP Belanda (WvS) yang sama dengan Pasal 14a KUHP Indonesia melalui situs wetten.overheidd.nl, situs resmi publikasi peraturan perundang-undangan pemerintah Belanda yang sangat informatif.

Yang menarik bagi saya dari Stb. 1995, 32 ini adalah, undang-undang ini berisi revisi dari sekian banyak undang-undang sekaligus, tidak hanya 1 undang-undang saja. Ada 13 undang-undang sekaligus yang direvisi dalam 1 undang-undang ini, yaitu WvS, WED (Wet op de Economische delicten), Opium Wet, Wet op de beroepen in de individuele gezondheidszorg, Effectenvernieuwingswet, dan 8 undang-undang lainnya. Struktur dari Stb. 1995, 32 ini cukup sederhana. Terdiri dari 14 pasal dimana masing-masing pasal langsung menyatakan merevisi masing-masing undang-undang dan pasal terakhir pasal penutup. Berikut sedikit cuplikan isi undang-undang dalam terjemahan Bahasa inggrisnya tersebut agar bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas.

ARTICLE I

The Criminal Code is amended as follows:

  • a.     Article 9, second paragraph, shall read as follows:
  • b. In case of conviction to imprisonment or detention, not including replacement custody, the judge can also impose a fine.
  • …etc

ARTICLE II

Article 6 of the Economic Offenses Act is amended as follows:

  1. In the first paragraph, under 1, the phrase “either with a term of imprisonment not exceeding six years and a fine of the fifth category or with one of these sentences” shall be replaced by: with a term of imprisonment not exceeding six years or a fine of the fifth category.
  2. …etc

Seluruh revisi yang ada dalam sekian banyak undang-undang yang direvisi oleh 1 undang-undang ini -stb. 1995, 32- berisi revisi yang terkait dengan pidana pokok. Seperti ada 1 kebijakan yang dibuat pemerintah atas aturan pemidanaan, dan karena aturan-aturan terkait pemidanaan tersebut terdapat dalam berbagai undang-undang maka mereka mengidentifikasi dan mengumpulkan undang-undang tersebut lalu semua direvisi dalam waktu bersamaan dan dibuat dalam 1 undang-undang yang sama. Sungguh suatu metode revisi undang-undang yang menarik.

Dari temuan saya atas stb. 1995, 32 ini kemudian saya mencoba menelusuri lagi, intinya mau mencari tahu apakah metode revisi undang-undang semacam ini hanya terjadi pada undang-undang ini saja atau tidak. Kemudian saya menemukan Stb. 1998, 430 Law of June 18, 1998 establishing a Penitentiary Principles Act and related withdrawal of the Principles of Prison Law with the exception of Articles 2 to 5 and amendments to the Penal Code and the Code of Criminal Procedure as well as any other laws (Penitentiary Principles Act). UU ini terdiri dari 95 pasal dimana di dalamnya UU ini merevisi setidaknya 13 undang-undang juga, mulai dari WvS, Sv (KUHAP), RO (Kekuasaan Kehakiman), hingga Basic Nursing Act (Beginselenwet Verpleging). Seluruh revisi atas sekian banyak undang-undang ini memiliki nafas yang sama, terkait penjara dan pemenjaraan. Sama seperti Stb. 1995, 32, UU ini seperti dibuat dengan adanya satu kebijakan yang dipandang untuk dapat kebijakan tersebut terimplementasi maka harus dilakukan sekian banyak undang-undang yang direvisi, dan untuk membuatnya harmonis maka semua uu tersebut direvisi dalam 1 undang-undang saja.

Sungguh suatu metode revisi undang-undang yang sangat cerdas pikir saya. Kenapa model seperti ini ga kepikiran ya selama ini di Indonesia? Tapi saya berfikir model semacam ini tentu akan menyulitkan pembacaan undang-undang, karena jika ada satu undang-undang yang merevisi sekian banyak undang-undang, bagaimana kita akan membaca undang-undang yang direvisi tersebut? Berarti kita harus membuka 2 atau lebih undang-undang, yaitu undang-undang yang direvisi dan yang merevisinya. Untuk membaca KUHP jadinya saya harus membuka KUHP aslinya dan kemudian setidaknya 2 UU lainnya, dalam contoh ini yaitu Stb. 1994,32 dan Stb. 1998,430 karena kedua yang terakhir ini merevisi KUHP. Rumit.

Eh tapi nanti dulu. Di situs wetten.overheard.nl ini saya bisa membuka KUHP maupun KUHAP Belanda yang sudah lengkap dengan seluruh revisinya, ternyata. Bahkan saya menemukan kedua staatblad yang merevisi WvS dan Sv tersebut ya dari saat membuka WvS dan SV itu sendiri. Jadi, ternyata tidak ribet, dan bahkan sangat memudahkan. Untuk mengetahui KUHP, KUHAP atau segala macam undang-undang belanda yang sudah lengkap dengan segala macam revisinya, saya bisa peroleh dengan mudah di situs ini. Saya tidak perlu membuka sekian banyak dokumen untuk membaca satu undang-undang walaupun undang-undang tersebut sudah direvisi puluhan kali seperti yang terjadi di KUHP Belanda. Ya, sudah puluhan kali si WvS direvisi sejak disahkan tahun 1881.

Berbeda dengan di Indonesia tentunya. Di sini untuk misalnya membaca undang-undang Mahkamah Agung saya harus membuka 3 plus undang-undang. Mengapa ada plusnya? Karena mungkin ada putusan Mahkamah Konstitusi yang “membatalkan, merevisi, atau bahkan menambah” substansi dari UU Mahkamah Agung tersebut. 3 UU itu yaitu UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009. Tidak ada publikasi resmi dari negara yang sudah memudahkan saya untuk membaca UU MA seperti membaca berbagai peraturan di Belanda (dan banyak negara lainnya). Rumit. Hidup saya semakin rumit ketika ada putusan MK. Putusan yang mana saja yang pada akhirnya sudah membuat ketiga UU tersebut berubah? Entah, harus ngubek-ngubek dulu di situs MK.

Kembali ke urusan peraturan Belanda di awal. Setelah saya menemukan kedua staatblad tersebut saat itu saya terinspirasi untuk membuat tulisan tentang itu, tentang bagaimana mensimplifikasi baik penyusunan maupun publikasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Saat itu istilah omnibus-omnibusan belum ramai dibicarakan. Yang ada hanya ikan gabus, debus atau minibus. Tapi karena satu dan lain hal rencana menulis itu saya tunda. Saat itu saya masih fokus ke RKUHP, tapi model yang diterapkan di Belanda ini coba saya praktikan di ide saya tentang KUHP. Sebagian ide tersebut saya buat (awalnya entah buat apa) tapi kemudian ICJR meminta saya menulis soal ide saya soal alternative reformasi KUHP, dan tulisan itu saya berikan ke ICJR. Bisa di unduh di sini.

Waktu mulai berjalan, saya lupa lagi dengan ide untuk menulis model revisi di belanda ini, dan tiba-tiba…jegeerrr…ramai lah isu Omnibus Law yang jadi UU Ciptakerja. Rencana untuk menulis tulisan ini saya tunda. Terlalu noisy. Wacana yang berkembang salah satunya “Omnibus tidak dikenal di tradisi Civil Law”, “Omnibus tidak dikenal di UU 12/2011” dll. Wacana yg ditujukan untuk mendorong agar RUU Ciptaker tidak disahkan. Omnibus sebagai sebuah Teknik perundang-undangan dan substansi RUU Ciptaker yang saat itu sedang dibahas seakan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Padahal seharusnya tidak. Akhirnya saya putuskan untuk tidak menulisnya terlebih dahulu. Lebih baik mendalami woodworking dan beternak kucing.

“Omnibus” Dalam Tradisi Civil Law

Apakah model Omnibus tidak dikenal di negara-negara Civil Law? Kalau saya coba googling Omnibus+Civil Law dan serupanya sih memang sepertinya saya tidak pernah menemukannya. Istilah ini memang sepertinya lebih populer di negara-negara Common Law. Tapi apakah kemudian berarti di Civil Law tidak mengenal konsep ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya tidak mau terjebak dengan sebatas istilah. Terlebih karena saya sudah mempunyai contoh-contoh undang-undang di Belanda seperti saya urai dibagian sebelumnya. Pertanyaan paling mendasar yang ingin saya cari tahu adalah, apakah model revisi sejumlah undang-undang yang dilakukan dalam satu undang-undang ada atau tidak di negara-negara Civil Law -dan karena saya sudah tahu bagaimana di Belanda, saya ingin tahu juga bagaimana di negara Civil Law lainnya. Jika jawaban tersebut positif, maka pertanyaan saya berikutnya adalah, sejak kapan. Apakah model perumusan demikian memang sudah sejak dahulu atau relative baru. Dari pertanyaan kedua ini yang ingin saya ketahui pada intinya adalah, apakah model seperti ini terjadi karena adanya pengaruh omnibus law di negara-negara Common Law atau tidak.

Untuk Belanda tentu saya sudah mendapatkan jawaban yang pertama. Ya, di Belanda model UU yang bisa merevisi sekian banyak UU ada, dan banyak. Mungkin istilahnya Revisi UU Secara Berjamaah. Pertanyaan sejak kapan model ini diterapkan di Belanda, itu pertanyaan yang agak sulit saya jawab. Peraturan perundang-undangan yang dipublikasikan di situs wetten.overheid.nl ini hanya tersedia setelah tahun 1990an. Tapi dari penelusuran atas risalah-risalah yang tersedia saya menemukan setidaknya pada tahun 1978 pernah ada UU yang merevisi setidaknya 2 UU sekaligus, yaitu WvS dan Sv (KUHAP), yaitu Stb. 1978, 155. Staatblad ini isinya merevisi beberapa pasal dalam bab penghinaan WvS dan juga Pasal 166a Sv. Selebihnya sejauh ini belum saya telusuri lagi.

Berikutnya saya coba dari ke negara bangkongnya Civil Law, Perancis. Untuk undang-undang Perancis ini saya menemukan LOI no 2003-239 tanggal 18 Maret 2003. UU ini merevisi cukup banyak UU lainnya. Di antaranya KUHP dan KUHAP Perancis. Untuk melihatnya bisa klik link ini LOI no 2003-239. Dalam Bahasa Perancis tentunya. Tapi tenang, ada Prof. Google Translate, S.Li, jadi bisa ditranslate ke Bahasa apa aja, termasuk jawa.

Untuk pertanyaan kedua, sejak kapan di Perancis modelnya seperti itu? Hmmm…agak susah dan cukup malas menelusurinya. Saya masih kurang familiar dengan sistem penelurusan perundang-undangan di negera ini.

Berikutnya, Jerman. Terdapat beberapa contoh, salah satunya adalah di Bundesgesetzblatt 2019 I No. 38, yang mengatur tentang revisi atas Inland Navigation Law, Sports Boat Law and Waterway Law (terjemahan Bahasa inggrisnya versi Prof. Google tentunya). Isinya serupa dengan contoh-contoh sebelumnya. Sejak kapan model seperti ini dimulai di Jerman? Entah. Sama seperti dengan Perancis, saya masih perlu belajar lagi bagaimana sistem perundang-undangan dan sistem penelusuruannya.

Yang mau sampaikan dari contoh-contoh di ketiga negara tersebut adalah, bahwa model revisi UU secara berjamaah ini – yang kemudian sekarang dikenal dengan istilah “Omnibus Law” ternyata tidak asing di negara-negara Civil Law. Bahkan sepertinya sudah lama praktik tersebut berlangsung. Dan saya sendiri tidak heran kalau praktik ini sudah lama berlangsung dan tidak dianggap janggal, karena sistem hukum yang bertumpu pada hukum tertulis, kodifikasi, ya negara-negara Civil Law. Pendekatan revisi undang-undang semacam ini adalah suatu pendekatan yang logis dari kacamata itu. Karena…simple dan efisien. Tidak perlu membuat 10 UU untuk merevisi 10 UU untuk substansi kebijakan yang sama. Cukup 1 UU yang isinya merevisi 10 UU. Simple.

Metode omnibus ini sebenarnya cukup baik jika dilakukan sebagai bagian dari ratifikasi suatu konvensi atau perjanjian internasional. Konvensi atau perjanjian internasional biasanya akan berdampak pada sekian banyak peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Si konvensi atau perjanjian internasional ini bisa menjadi pedoman dari arah perubahan legislasinya, dan karena misalnya akan ada sekian banyak UU yang terdampak dari konvensi tsb, yang harus direvisi, maka sangat tepat jika revisinya dilakukan dengan metode omnibus ini. Simpel, efisien dan dapat menghindari disharmoni antar revisi masing-masing UU yang sangat mungkin terjadi kalau dilakukan tidak secara bersamaan.

Omnibus dan UU Cipta Kerja

Kalau model omnibus ini sebenarnya ok-ok saja bahkan penting untuk mensimplifikasi revisi undang-undang dsb, apakah dengan demikian UU Cipta Kerja baik-baik saja? Weits…nanti dulu. Itu dua hal yang berbeda. Omnibus itu hanya metode atau mungkin bisa juga disebut sebagai pendekatan dalam Teknik perundang-undangan, sementara itu UU Cipta Kerja itu ya undang-undang yang sudah jadi. Untuk membahas baik buruknya UU ya harus dilihat substansinya, tidak bisa semata dilihat dari metode atau bahkan proses penyusunannya.

Saya sendiri punya satu catatan atas UU Cipta Kerja ini. UU ini terlalu ambisius. Untuk suatu metode yang belum pernah dilakukan di Indonesia, dia sudah mau memasukan puluhan undang-undang sekaligus dengan arah kebijakan yang tidak terlalu jelas. Setidaknya tidak jelas, apa makna cipta kerja itu sendiri. Mau ngatur apa sih sebenarnya UU ini? Ketidakjelasan arah ini akan -mungkin sudah- ketidakjelasan revisi dari masing-masing undang-undang yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, apa hubungannya cipta kerja -yang mungkin maksudnya ingin mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih mudah- dengan revisi UU Narkotika yang ada di dalamnya.

Sebagai suatu pendekatan atau metode baru (di negara ini, bukan di dunia, atau di sistem civil law), seharusnya ‘eksperimen’ omnibus ini dilakukan secara perlahan. Tidak perlu ambisius mau merevisi puluhan UU sekaligus, namun cukup beberapa UU yang bidangnya sejenis. Misal, bidang perbankan dan keuangan, di mana UU yang akan direvisi misalnya UU Perbankan, UU Asuransi, Perbankan Syariah dst. Bisa jadi hanya ada 5-10 UU saja. Lebih manageable. …Tapi ya saran ini sudah terlambat toh?

Omnibus dan Reformasi Sistem Publikasi Perundang-Undangan

Selain terlalu ambisius, penyusun UU Cipta Kerja yang mendorong metode omnibus ini juga melupakan satu komponen penting yang ada di negara-negara civil law lainnya yang sudah jauh lebih lama menerapkan metode ini: sistem publikasi peraturan perundang-undangannya.

Seperti telah saya sedikit singgung di bagian sebelumnya, di negara-negara (setidaknya) Civil Law yang hukum tertulis (perundang-undangan) sentris, walaupun tiap UU -baik isinya revisi atau suatu UU atau UU baru- dipublikasikan berdasarkan nomor lembaran negara, mereka juga akan mempublikasikan naskah utuh (kompilasi) dari UU yang telah direvisi. Jadi public bisa mudah mengetahui isi perundang-undangan, tanpa harus sudah payah mengumpulkan sekian UU untuk bisa mendapatkan gambaran utuh atas UU tersebut. Berbeda halnya dengan kita dimana publikasi perundang-undangan dilakukan berdasarkan nomor dan tahun perUUannya belaka, sehingga ketika suatu UU telah direvisi 5 kali maka kita harus membuka 5 UU sekaligus untuk bisa membacanya secara lengkap.

Agak susah dipahami? Begini, contoh sederhana adalah: KUHP dan BW yang anda pegang selama ini. Apakah KUHP dan BW yang berasal dari jaman Belanda tersebut isinya semua masih asli dari tahun 1915 (KUHP) atau 1847 (BW)? Nop. Untuk KUHP sendiri sejak 1915 s/d Indonesia merdeka -artinya selama masa pemerintahan kolonial Belanda- telah terjadi sekian kali revisi yang terjadi. Cara gampang untuk mengetahuinya adalah dengan cek pasal 14A s/d 14F KUHP, Pasal 70bis, 88bis, 101bis, 161bis dst. Pasal-pasal ini bukan lah pasal asli dari 1915, namun tambahan dari tahun-tahun berikutnya. Selain itu banyak juga pasal-pasal dalam KUHP yang direvisi maupun dicabut oleh UU No. 1 Tahun 1946. Bahkan dalam KUHP yang anda pegang terdapat 1 bab tambahan yang tidak ada di versi asli 1915, cek pasal XXIXA tentang Kejahatan Penerbangan. 1 bab ini merupakan tambahan dari UU No. 4 Tahun 1976. Semua perubahan-perubahan itu sudah dimerge dalam KUHP yang anda pegang ini sehingga memudahkan hidup anda. Kalau mau cek BW juga sama. Tapi males saya sebut satu persatu pasal mana saja perubahannya.

Publikasi perundang-undangan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh pemerintah, walaupun sebenarnya sangat sederhana dan sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Di bagian mana? Cek sendiri. Ketiadaan sistem publikasi semacam ini cukup fatal (ya, agak saya dramatisir) di UU Cipta Kerja. UU yang isinya adalah revisi entah berapa puluh UU ini, sepertinya antara 50-70an UU, dengan total halaman sebanyak 1187 halaman beserta penjelasannya, sangat membuat astagfirullah astagfirullah menelusuri masing-masing revisi UU di dalamnya. Kalau saya mau baca UU Lingkungan Hidup (No. 32 Tahun 2009) dan mau tahu pasal-pasal berapa saja yang sudah diubah oleh UU Cipta Kerja ini, agak setengah mampus mencarinya. Terlebih versi pdf pertama yang saya peroleh dulu bukan pdf text tapi image. Tidak bisa pake search text.

“Tapi kan anda bisa pakai fasilitas find/search di pdf, jangan males-males lah jadi orang”. …Makan pepes ikan gabus aja sana. Pointnya adalah seharusnya sistem publikasi perundang-undangan itu diubah, yang intinya adalah bagaimana memudahkan masyarakat bisa mengakses dan membaca perundang-undangan secara mudah. Bukan dibuat rumit atau membiarkannya tetap rumit.

Bayangkan bagaimana jika ada investor asing yang berencana berinvestasi di Indonesia, dan mereka mau tahu aturan-aturan yang ada di Indonesia yang relevan. Bagaimana cara mereka, yang tidak terlalu familiar dengan sistem perundang-undangan di Indonesia, bisa dengan mudah mencarinya? Apakah UU x ini isinya semua masih berlaku? Apakah ada yang sudah direvisi? Belum lagi: apakah ada putusan MK yang merevisi/membatalkannya? Jangan kan orang asing. Advokat Indonesia saja akan setengah mati menelusurinya.

Jadi, sistem publikasi perundang-undangan kita itu jelas harus dibongkar. Lahirnya UU Cipta Kerja yang mengenalkan metode yang baru ini seharusnya jadi momentum untuk itu. Perubahan sistem ini -dengan menyajikan perundang-undangan yang telah dikompilasi- akan mengubah juga cara publikasinya. Publikasi perundang-undangan berdasarkan nomor dan tahun sudah tidak akan sesuai lagi. Publikasi pada akhirnya akan dilakukan dengan berdasarkan nama peraturan perundang-undangannya. Dan nama perundang-undangan itu tidak harus sama dengan judul UU nya, melainkan nama singkatnya. Contoh ya di Belanda. Kalau melihat daftar UU nya ya isinya diurutkan berdasarkan nama singkat atau singkatannya. Seperti Wetboek van Strafrecht, Sv, Opiumwet dst yang judul aslinya sebenarnya umumnya jauh lebih panjang dari itu.

Ok, sekarang kita masuk ke nama singkat/lain UU. Apa sih maksudnya? Apa bedanya dengan judul UU/PerUUannya?

Nama singkat/lain dari suatu perundang-undangan ini sekarang memang sudah hampir tidak dikenal. Tenggelam akibat sistem publikasi berdasarkan nomor dan tahun. Tapi coba anda pikirkan, mengapa UU No. 8 Tahun 1981 yang judulnya adalah Hukum Acara Pidana, bisa kita sebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP? Apakah karena kebiasaan saja? Tidak. Cek pasal 285-nya. Isinya akan seperti ini:

Pasal 285

Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Cek juga penjelasannya:

Pasal 285

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ini disingkat “K.U.H A.P.”

Dari sini lah mengapa UU yang judulnya Hukum Acara Pidana tersebut kemudian kita sebut dan dalam dokumen-dokumen resmi lainnya, atau akademik, bisa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun KUHAP. Karena UU tersebut memang sudah mengatur demikian.

Pemberian nama lain yang berbeda dengan judul UU nya pada masa lalu itu cukup jamak terjadi, karena ya kita sebenarnya hanya mengikuti praktik yang terjadi di masa pemerintahan Belanda. Ga caya? Cek UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dalam UU tersebut di pasal ketentuan penutup ayat (2) nya dinyatakan “Undang-Undang Darurat ini disebutL “Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi”.

Banyak contoh lainnya. Tak jarang juga dalam pemberian nama lain/singkat tersebut ditambahkan juga tahun. Contohnya pada UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di ketentuan penutupnya dinyatakan UU ini disebut dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1971. Kenapa demikian? Entah.

Pemberian nama dalam ketentuan penutup ini pada dasarnya dimaksudkan untuk sistem publikasi perundang-undangan ke depannya. Jadi, seperti di Belanda, publikasi perundang-undangan akan dilakukan berdasarkan nama singkat/lain dari UU tersebut, bukan nomor dan tahun. Jadi, ada 2 pendekatan yang secara bersamaan terjadi dalam sistem publikasi yang terjadi di negara-negara eropa, yaitu berdasarkan nama UU nya dan berdasarkan nomor dan tahun Lembaran Negara. Kalau mau mengakses yang sudah lengkap, terkompilasi, bisa melalui kelompok nama, kalau mau mendapatkan aslinya per lembaran negara, misal untuk kepentingan penelusuran sejarah perundang-undangannya, maka bisa dilakukan dengan membuka lembaran negaranya.

Sistem publikasi berdasarkan nomor dan tahun ini sendiri sebenarnya sudah janggal. Setiap perundang-undangan sebenarnya dipublikasikan melalui lembaran negara, dan tiap lembaran negara ada nomor dan tahunnya sendiri, yang berbeda dengan nomor dan tahun UU nya. Nomor dan tahun lembaran negara ini lah sebenarnya yang sah. Kalau tidak, jadinya buat apa itu LN -yang di belanda disebut dengan Staatblad atau disingkat dengan Stb. Sekarang ini keberadaan Lembaran Negara semakin tidak jelas. Dalam penulisan ilmiah nomor dan tahun Lembaran Negara ini harus disebut, tapi dimaa barang itu sebenarnya berada/dipublikasikan, ga jelas juga. Lalu buat apa? Sungguh banyak kejanggalannya sistem publikasi perundang-undangan kita ini sebenarnya.

Tapi ya begitu lah.

Ikan Gabus

Sekarang kita masuk ke topik tentang ikan gabus. Apa yang mau saya bahas tentang ikan gabus ini? Begini, kita tidak punya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang ikan gabus. Ini faktanya. Pertanyaannya, apakah perlu ada undang-undang tentang Ikan Gabus? Menurut saya sih tidak. Lalu mengapa saya bahas? Ya sekedar memberitahukan itu saja. Kali aja belum tahu.

Sekian.

Leave a comment