Saat Pertimbangan MA Tidak Nyambung dengan Yang Dipermasalahkan Pemohon Kasasi

Saat melakukan pendataan putusan saya menemukan putusan kasasi yang…agak membingungkan. Kasus ini adalah kasus narkotika dengan putusan kasasi nomor 74 K/Pid.Sus/2016. JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan subsidiaritas (berlapis legit), yaitu menyerahkan narkotika (Pasal 114 UU Narkotika), memiliki narkotika (Pasal 112) atau lebih subsidair mmenyalahgunakan narkotika. Dalam surat tuntutannya JPU menuntut terdakwa terbukti sebagai penyalahguna dan menuntut terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun.

Membaca tuntutan tersebut agak takjub, jarang-jarang saya temukan dalam dakwaan yang demikian jaksa menuntut terdakwa terbukti sebagai penyalahguna. Biasanya yang saya temukan kalaupun dakwaannya demikian hampir pasti JPU akan menuntut minimal memiliki narkotika (pasal 112).

Setelah membaca amar putusan tingkat pertama, tambah agak takjub, karena kali ini pengadilan memutus menyatakan terdakwa terbukti karena memiliki narkotika, bukan penyalahguna seperti tuntutan JPU. Pengadilan kemudian menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp. 1 M.

Continue reading

Dapat Tidaknya Pengadilan Menjatuhkan Hukuman Berdasarkan Pasal yang Tidak Didakwa – Fluktuasi Pandangan Hukum Mahkamah Agung

Pengantar sebelum pengantar. Tulisan ini merupakan tulisan saya yang membutuhkan waktu yang paling lama untuk menulisnya. Tulisan ini pertama kali saya susun pada pertengahan tahun 2015. Awalnya saya niatkan untuk membuat semacam model ringkasan atau digest dari sejumlah putusan MA yang memiliki kesamaan permasalahan hukum. Ide dasar ini yang kemudian menjadi model bagi penyusunan buku yurisprudensi MA 2018.[1]

Pada pertengahan tahun 2016 tulisan ini sebenarnya sudah selesai dan siap saya publish. Namun file terakhir ternyata hilang terhapus di dropbox. Setelah itu saya malas untuk meneruskan draft terakhir sebelum hilang. Penulisan baru saya lanjutkan kembali pada sekitar tahun 2019. Karena ada beberapa putusan MA baru saat itu akhirnya terpaksa harus sedikit rombak. Namun penulisan kembali terhenti karena ada kerjaan lain dan akhirnya terlupakan. Penulisan baru kembali saya lanjutkan 2 tahun kemudian, yaitu september-oktober 2021 yang akhirnya alhamdulilah kelar. Jadi, total waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan tulisan yang awalnya saya niatkan sebagai tulisan sederhana saja adalah 6 tahun. Jadi harap maklum kalau ada sedikit ‘patahan-patahan’ dalam struktur tulisan ini.

1. Permasalahan

Bagaimana jika dalam perkara tindak pidana narkotika JPU tidak mendakwakan terdakwa dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Psl 127 UU No. 35 Tahun 2009) namun dalam persidangan majelis hakim berkesimpulan bahwa seharusnya terdakwa dinyatakan bersalah sebagai penyalahguna bukan berdasarkan pasal yang didakwakan? Apakah dimungkinkan majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah atas pasal yang tidak didakwakan tersebut?

Continue reading

Anotasi Putusan Pembunuhan 1148 K/Pid/2015

Pada sekitar pertengahan tahun 2019 yang lalu saya diminta oleh kawan dari Kontras untuk menganalisa suatu putusan perkara pembunuhan. Permintaan tersebut dilakukan karena Kontras diminta oleh istri terpidana untuk melakukan sesuatu terhadap perkara tersebut, menurut sang istri suaminya tidak bersalah atas pembunuhan yang dituduhkan terhadapnya, dan sang suami saat itu telah divonis 12 tahun penjara di tingkat kasasi. Sang istri juga menyatakan kepada Kontras bahwa suaminya yang hanya seorang supir lepasan disiksa selama proses penyidikan dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan tersebut.

Singkat kata setelah membaca putusan kasasi dan tingkat pertama perkara tersebut, darah saya agak mendidih. Tapi belum sampai bisa memasak telur tentunya. Perkara ini di tingkat pertama diputus bebas, sang terdakwa saat itu diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan negeri Tasikmalaya. Saat membaca putusan PN Tasik tersebut saya cukup kagum dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Majelis seperti mengakui adanya penyiksaan atau setidaknya pemaksaan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh penyidik, mengakui bahwa terdapat bukti yang direkayasa dan lain sebagainya, sehingga pada akhirnya majelis menyatakan tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan terdakwa bersalah.

Continue reading

Common Sense di Negeri Uncommon Law

Sebuah cerita tentang putusan penghinaan

“Innalilahi wainailaihi rojiun. Dapat kabar berita duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”

Apa yang salah dengan 3 potong kalimat ini? Lebih jauh lagi, apakah layak 3 kalimat ini dinyatakan sebagai sebuah kejahatan dan yang menuliskannya dipenjara 3 bulan ditambah lagi dengan denda Rp. 10 juta?

3 potong kalimat pendek ini adalah kalimat-kalimat yang disampaikan seorang dosen dari suatu universitas negeri dalam sebuah whatsapp group yang berisi civitas akademika dari universitas negeri tersebut. 3 potong kalimat ini membuat sang dosen dihukum sebagaimana di atas. 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah.

Continue reading

Hukuman Terhadap Yang-Bukan-Terdakwa

(Sekali lagi) sungguh tidak masuk di akal saya yang sedikit ini membaca amar putusan No. 787 K/Pid.Sus/2014 (Indar Atmanto). Mengapa tidak, dalam perkara ini terdapat pihak ketiga yang bukan merupakan terdakwa dalam perkara ini yang turut dijatuhi hukuman, pihak tersebut yaitu PT. IM2. Hukuman yang dijatuhkan kepada Pihak Ketiga yang Bukan Terdakwa tersebut yaitu pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 1,3 Triliun lebih. Berikut kutipan amar putusan tersebut:

  1. Menyatakan Terdakwa Indar Atmanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA”;
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun dan menjatuhkan Pidana Denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
  3. Menghukum PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) membayar uang pengganti sebesar RP. 1.358.343.346.674,00 (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT. Indosat Mega Media (PT.IM2) tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut;
  4. Menetapkan lamanya penahanan kota…dst

Dalam perkara ini sebenarnya yang menjadi terdakwa hanyalah Indar Atmanto. Benar bahwa ia adalah Direktur Utama dari PT IM2, namun PT IM2 sendiri tidak lah menjadi terdakwa dalam berkas perkara ini.

Amar putusan MA tersebut memang tidak ujug-ujug muncul. Amar tersebut sebenarnya telah sesuai dengan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum yang memang meminta agar PT IM2 walaupun bukan sebagai Terdakwa dalam berkas perkara ini turut dijatuhi pidana, khususnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Dari amar tuntutan JPU ini lah juga bisa d Continue reading

Melawan Hukum, Korupsi, dan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006

Pada tanggal 24 Juli 2006 yang lalu MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor (31/99) bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi:

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Adapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1) adalah sebagai berikut:

Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;

Putusan MK tersebut memang telah dijatuhkan hampir 10 tahun yang lalu, namun isu seputar unsur “melawan hukum” ini tetap saja selalu menjadi isu yang menarik. Terlebih paska putusan MK tersebut Mahkamah Agung pun kerap mengabaikan putusan tersebut, walaupun kadang juga tetap mempedomaninya, tergantung siapa hakim agungnya[1].

Tak lama setelah MK menyatakan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau singkatnya MK membatasi bahwa yang dimaksud dengan “melawan hukum” adalah melawan hukum dalam pengertian formil saya pribadi telah memprediksi (atau mendorong?) bahwa putusan MK ini bisa disiasati sehingga pengertian melawan hukum tetap ditafsirkan sebagai melawan hukum dalam pengertian baik formil maupun materil. Sayangnya saya lupa tulisan tersebut ada dimana dan apakah tulisan tersebut akhirnya dimuat dalam jurnal yang juga saya lupa apa nama jurnalnya. Inti tulisan saya saat itu kira-kira serupa dengan pertimbangan MA dalam putusan No 2214 K/Pid/2006, yaitu tetap menafsirkan Continue reading

Anotasi Putusan Korupsi PN Bandung – Gatot Sutedjo

Anotasi Putusan Korupsi

No. 98/PID.SUS/TPK/2013/PN.Bdg (Gatot Sutedjo)

(Arsil dan Muhammad Rafi*)

RINGKASAN PERKARA

Perkara ini pada dasarnya merupakan perkara yang cukup sederhana, yaitu seorang pejabat pada Dinas Tata Ruang Kota Bekasi yang bertugas untuk memeriksa izin-izin penggunaan lahan di wilayah Kota Bekasi mendatangi sebuah pabrik yang sedang mendirikan suatu bangunan, menanyakan izin dari pendirian bangunan tersebut kemudian pada akhirnya menawarkan bantuan untuk memudahkan proses perizinan tersebut dengan imbalan sejumlah uang.

Pihak perusahaan pun kemudian tertarik dan menerima penawaran dari sang pejabat dan akhirnya menyerahkan uang sebesar +/- Rp. 196 juta, setelah sebelumnya pihak pejabat tersebut meminta imbalan sebesar +/- Rp. 390 juta. Namun setelah uang diserahkan, ternyata tidak seluruh izin berhasil keluar seperti yang dijanjikan, dari 14 jenis izin yang disepakati ternyata hanya 5 izin yang berhasil terbit. Karena 9 izin lainnya tidak kunjung-kunjung terbit akhirnya pihak perusahaan melaporkan sang pejabat tersebut ke Kejaksaan.

Atas peristiwa tersebut berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah perbuatan korupsi, yaitu antara pemerasan yang dilakukan pejabat (Pasal 12 huruf e), gratifikasi illegal (pasal 12B), atau menerima hadiah atau janji karena jabatan yang ada padanya, atau yang menurut orang member ada hubungannya dengan jabatannya (Pasal 11).

Continue reading

10 Tahun untuk Perkara dengan Bukti Minim

Catatan Atas Putusan 1672 K/Pid.Sus/2012 dan 1346/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM

Agak takjub membaca putusan kasus narkotika ini. Seorang terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dengan bukti yang sangat minim. berikut ringkasan dan catatan saya atas putusan ini.

 

Ringkasan Perkara

Perkara ini sebenarnya cukup sederhana, Terdakwa (Edih K) didakwa oleh JPU akan menerima sejumlah paket narkotika jenis shabu-shabu dari Iswadi Chandra yang dibantu oleh Kurniawan. Paket narkotika itu sendiri tidak pernah sampai ketangan Terdakwa, oleh karena pihak kepolisian keburu menangkap Terdakwa.

Perkara ini sendiri bermula saat Iswadi dan Kurniawan tanggal 13 Mei 2011 sedang berada di rumah Iswadi tiba-tiba “digerebek” oleh sejumlah polisi pada pukul 10 malam. Setelah melakukan penggeledahan para penyidik tersebut menemukan 2 paket narkotika jenis shabu-shabu masing-masing seberat 25 gr dan 29 gr di dalam rumah Iswadi. Setelah ditanya oleh penyidik Iswadi mengaku bahwa narkotika tersebut berasal dari seseorang yang bernama Riki. Oleh Riki Iswadi sebelumnya diperintahkan untuk mengambil paket narkotika tersebut di daerah Pulo Gadung dan kemudian diperintahkan untuk menyerahkannya kepada Terdakwa.

Kepada Penyidik Iswadi mengaku bahwa ia telah janjian untuk bertemu dengan Terdakwa di suatu diskotik di daerah Gadjah Mada malam itu. Oleh para penyidik kemudian Iswadi diminta mengantarkan mereka ke tempat Terdakwa. Iswadi menyanggupinya, lalu para penyidik membawa Iswadi dan Kurniawan menuju diskoktik tempat Terdakwa berada bersama barang bukti.

Continue reading

Catatan Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Sudjiono Timan

Hak Calon Ahli Waris dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Catatan Atas Putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan Terpidana Sudjiono Timan

  1. Pengantar

Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali Agung  Sudjiono Timan oleh Mahkamah beberapa waktu yang lalu cukup menghebohkan publik. Tak kurang selama lebih dari seminggu berturut-turut putusan tersebut menjadi headline beberapa media nasional terkemuka. Tak hanya itu beberapa mantan Ketua Mahkamah Agung dan mantan Hakim Agung pun turut memberikan komentar atas putusan tersebut, suatu hal yang cukup jarang terjadi dimana mantan Ketua Mahkamah Agung memberikan komentar atas putusan dari Mahkamah Agung terlebih dengan nada kritik yang cukup keras.[1] Kritikan keras juga datang dari Hakim Agung aktif, bahkan Hakim Agung aktif tersebut menyatakan bahwa putusan PK yang diputuskan oleh koleganya tersebut batal demi hukum, dan menyarankan Jaksa Agung untuk mengajukan PK atas putusan PK tersebut.

Beberapa hal yang membuat putusan PK tersebut (yang saat itu salinan putusannya belum terbit) menjadi heboh adalah karena Sudjiono Timan sendiri saat itu (dan hingga kini) masih dalam status buron. Kedua, permohonan PK diajukan oleh Istri Sudjiono Timan dimana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa selain Terpidana yang dapat mengajukan PK adalah Ahli Waris, sementara dalam kasus ini diduga Sudjiono Timan masih hidup sehingga menurut sebagian pihak pemohon seharusnya belum dapat dikategorikan sebagai ahli waris. Ketiga, seperti biasa, perkara ini adalah perkara korupsi. Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika tiap putusan yang pada akhirnya membebaskan atau melepaskan (onslag van alle rechtsvervolging) akan membuat kehebohan tersendiri di negeri ini.

Sudjiono Timan sendiri adalah terpidana kasus korupsi dengan dugaan nilai korupsi yang cukup besar, yaitu berkisar lebih dari 500 milyar rupiah dengan nilai rupiah pada tahun 1995-1997. Pada saat itu ia adalah Direktur Utama PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI), sebuah BUMN yang bergerak dibidang pengembangan sektor riil melalui pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menegah dan Koperasi.[2] Pada tahun 2002 ia didakwa melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dirut PT BPUI tersebut.

Di tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu memutus perbuatan yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga Sudjiono Timan dinyatakan lepas dari segala tuntutan (Onslag van alle rechtsvervolging). Putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada tahun 2003 dan dinyatakan Sudjiono Timan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi penjara selama 15 tahun dan denda Rp 50 juta serta uang pengganti sebesar $98 juta dan Rp +/- 370 milyar. Namun belum sempat putusan tersebut dieksekusi ia kemudian melarikan diri. Sembilan tahun kemudian, tahun 2012 istri Sudjiono Timan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi tersebut, dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan nomor putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan putusan yang serupa dengan putusan di tingkat pertama, yaitu menyatakan Sudjiono Timan lepas dari segala tuntutan. Putusan PK tersebut tidak bulat, 1 orang anggota majelis, yaitu Sri Murwahyuni memiliki pendapat yang berbeda (dissenting), menurutnya secara formil seharusnya permohonan Continue reading

Korupsi Tanpa Mens Rea?

Ada sesuatu yang salah saat saya membaca putusan Mahkamah Agung No. 2088 K/Pid.Sus/2012 ini. Dalam perkara korupsi ini secara tegas dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak pidana pada Terdakwa. Selain itu apa yang dilakukan Terdakwa dikatakan oleh MA terbukti bermanfaat, serta tidak Terdakwa (terbukti) sama sekali menikmati/memperoleh keuntungan dari perbuatannya. Akan tetapi, Mahkamah Agung tetap memandang bahwa perbuatan terdakwa terbukti merupakan korupsi (pasal 3 UU 31 Tahun 1999) dan dijatuhi pidana 1 tahun (tanpa denda).

Dengan putusan yang demikian, apakah artinya asas dalam hukum pidana yang berbunyi geen straf zonder schuld sudah tidak berlaku lagi? Entah lah. Menarik juga jika diperbandingkan dengan perkara No. 2437 K/Pid.Sus/2012 yang diputus oleh Majelis yang sama, dan perkara No. 2 K/Pid.Sus/2010 (lihat ini).

Berikut Kutipan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung dalam perkara 2088 K/Pid.Sus/2012 ini:

Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Continue reading