Anotasi Putusan Pembunuhan 1148 K/Pid/2015


Pada sekitar pertengahan tahun 2019 yang lalu saya diminta oleh kawan dari Kontras untuk menganalisa suatu putusan perkara pembunuhan. Permintaan tersebut dilakukan karena Kontras diminta oleh istri terpidana untuk melakukan sesuatu terhadap perkara tersebut, menurut sang istri suaminya tidak bersalah atas pembunuhan yang dituduhkan terhadapnya, dan sang suami saat itu telah divonis 12 tahun penjara di tingkat kasasi. Sang istri juga menyatakan kepada Kontras bahwa suaminya yang hanya seorang supir lepasan disiksa selama proses penyidikan dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan tersebut.

Singkat kata setelah membaca putusan kasasi dan tingkat pertama perkara tersebut, darah saya agak mendidih. Tapi belum sampai bisa memasak telur tentunya. Perkara ini di tingkat pertama diputus bebas, sang terdakwa saat itu diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan negeri Tasikmalaya. Saat membaca putusan PN Tasik tersebut saya cukup kagum dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Majelis seperti mengakui adanya penyiksaan atau setidaknya pemaksaan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh penyidik, mengakui bahwa terdapat bukti yang direkayasa dan lain sebagainya, sehingga pada akhirnya majelis menyatakan tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan terdakwa bersalah.

Tentu bukan pertimbangan hukum tingkat pertama seperti itu yang membuat darah saya agak mendidih, melainkan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung di tingkat kasasi lah. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang sangat baik dari tingkat pertama tersebut seakan diabaikan begitu saja oleh Mahkamah Agung. Terdakwa diputus bersalah oleh MA dengan mendasarkan pada keterangan-keterangan saksi yang sumir maupun barang bukti berupa besi yang menurut penuntut umum adalah alat yang digunakan oleh terdakwa untuk membunuh yang sudah dinyatakan tidak dapat dipergunakan oleh pengadilan karena tidak dilengkapi dengan hasil uji laboratorium untuk mengetahui apakah benar besi tersebut adalah alat yang digunakan untuk membunuh para korban.

Tak hanya itu, MA mengabaikan sama sekali dugaan adanya penyiksaan dalam perkara ini yang jika dilihat secara cermat baik keterangan terdakwa maupun pertimbangan majelis hakim PN sangat kental terlihat. Tak ada sepatah kata pun dari MA menyinggun persoalan tersebut. Padahal sudah bukan rahasia lagi praktik untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan yang demikian itu kerap terjadi, terutama jika tersangkanya adalah orang yang tidak mampu dan tidak didampingi oleh penasihat hukum yang baik, yang umumnya hanya didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh penyidik itu sendiri. Tentu tidak lupa kita dengan bagaimana akhirnya terungkap adanya penyiksaan pada kasus 3 pengamen di Cipulir yang akhirnya diakui oleh pengadilan bahwa itu terjadi. Cipulir, masih di Jakarta, ibukota negara, dan praktik tersebut masih ada, tentu sangat tidak tertutup kemungkinan praktik-praktik seperti ini juga terjadi di daerah yang jauh dari pusat ibukota seperti dalam perkara pembunuhan ini. Majelis hakim tingkat pertama tidak menutup mata adanya kemungkinan praktik demikian, tapi sayangnya MA seperti menutup mata. Dan yang lebih disayangkan adalah ketua majelis di tingkat MA ini adalah mantan aktivis hak asasi manusia.

Terdakwa, Dani Susanda, seorang supir lepasan, warga kampung biasa di daerah Tasikmalaya, harus kehilangan kemerdekaannya selama 12 tahun dan akan mendapatkan cap sebagai pembunuh seumur hidupnya, hanya dengan bukti-bukti yang sangat sumir -kalau tidak bisa dikatakan tidak ada.

Ok, kembali lagi, singkat kata atas perkara tersebut saya mencoba membuat anotasi atas putusan dalam perkara ini. Anotasi ini kemudian saya serahkan pada Kontras untuk menjadi bahan mengajukan PK. Entah apakah jadi PK atau tidak.

Berikut anotasi yang saya buat. Silahkan dinikmati. Lumayan panjang.

Sedikit tambahan, format-format numbering di anotasi ini banyak yang ngawur karena wordpress. Agak ribet wordpress sekarang. Sok cerdas.

Anotasi Putusan Kasasi No. 1148 K/Pid/2015

Perkara Pembunuhan dengan Terdakwa Dani Susanda

Oleh Arsil[1]

Ringkasan Perkara

Dalam perkara ini Dani Susanda didakwa karena menyebabkan kematian  atas dua korban bersama-sama dengan Indra Graha yang terjadi pada bulan nopember 2014 di daerah Tasikmalaya. Keduanya didakwa secara terpisah (splitsing). Dalam perkara ini DS didakwa secara subsidiaritas dan alternatif, yaitu berdasarkan pasal 340 KUHP (Primair), 339 KUHP (Subsidair), 338 KUHP (lebih subsidair), 355 (2) KUHP (lebih lebih subsidair), 354 (2) (lebih lebih lebih subsidair) atau 365 (4) KUHP.

Kedua korban merupakan ibu dan anak, yaitu Ai Cucu dan Euis. Motif pembunuhan menurut dakwaan dilakukan atas dasar dendam karena Ai Cucu yang merupakan saudara dari istri terdakwa pernah menagih hutang saudara isterinya, dan terdakwa tersinggung atas peristiwa tersebut.

Pembunuhan yang dilakukan terhadap kedua korban tersebut menurut dakwaan JPU dilakukan pada malam hari dengan cara memukul bagian kepala kedua korban yang saat itu sedang tertidur dengan sepotong besi hingga mati. Setelah melakukan pembunuhan tersebut keduanya juga kemudian mengambil beberapa barang milik para korban, diantaranya yaitu sebuah mobil, motor, 3 buah handphone dan sebuah kaleng yang berisi uang.

DS menjadi terdakwa karena sebelumya pelaku lainnya, yaitu Indra Graha 4 hari setelah pembunuhan dilakukan ditangkap saat sedang mengendarai mobil milik korban. Indra mengaku kalau pembunuhan tersebut dilakukan atas ajakan dari terdakwa (DS) dengan imbalan uang sebesar Rp. 2 juta. Keduanya kemudian disidangkan secara terpisah. Indra Graha diputus oleh PN Tasikmalaya terbukti melakukan pembunuhan berencana dengan hukuman penjara selama 20 tahun pada tanggal 10 Juni 2015 dengan nomor putusan 27/Pid.B/2015/PN.Tsm. Sementara terdakwa diputus tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari dakwaan pada tanggal 16 Juni 2015 melalui putusan nomor 28/Pid.B/2015/PN.Tsm. Keduanya diperiksa oleh majelis hakim yang sama, yaitu Motur Panjaitan, SH sebagai ketua majelis, Edy Wibowo, SH, MH dan Agus Pancara, SH, MH sebagai anggota majelis. Namun dalam putusan ini salah seorang anggota majelis, Edy Wibowo, SH, MH berbeda pendapat dan mengajukan dissenting opinion tertulis yang pada intinya berkesimpulan bahwa terdakwa terbukti bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana.[2]

Atas putusan bebas ini JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh Mahkamah Agung putusan PN Tasikmalaya tersebut dibatalkan, Dani Suganda kemudian dinyatakan terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana dan dijatuhkan hukuman penjara selama 12 tahun.

A. Pertimbangan PN Tasikmalaya

Dalam putusannya PN Tasikmalaya memutus terdakwa Dani Susenda tidak terbukti atas dakwaan yang diajukan JPU. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pertimbangan PN Tersebut, yaitu:

1. Hubungan Terdakwa dengan Saksi Indra Graha

Majelis Hakim meragukan keterangan Saksi Indra Graha (terdakwa dalam berkas perkara lainnya) yang menyatakan bahwa ia melakukan pembunuhan tersebut bersama-sama dengan Terdakwa dan menyatakan bahwa Saksi dan terdakwa saling mengenal. Keterangan ini dibantah oleh Terdakwa yang menyatakan bahwa ia tidak mengenal Saksi.

2. Sidik Jari pada Kaleng Khong Guan

Majelis Hakim meragukan hasil pemeriksaan sidik jari terdakwa yang diperoleh dari kaleng Khong Guan berisi uang milik korban. Pemeriksaan sidik jari ini dilakukan penyidik untuk membuktikan bahwa terdakwa ada di TKP.

Keraguan Majelis Hakim disebabkan karena pada kaleng tersebut hanya terdapat 1 (satu) buah jari-jari terdakwa yang menurut Majelis janggal karena tidak mungkin untuk membuka kaleng hanya 1 jari yang menempel di kaleng tersebut. Majelis Hakim menduga bahwa adanya 1 jari pada kaleng tersebut terjadi karena rekayasa penyidik yang sengaja menaruh kaleng tersebut dihadapan terdakwa pada saat diperiksa (di BAP) sehingga menggeser kaleng tersebut dengan 1 jarinya. (hal. 132 dan 121)

Selain itu Majelis Hakim juga mempertanyakan proses pengambilan sidik jari tersebut, mengapa dari sekian banyak benda-benda yang ada di TKP hanya kaleng khong guan tersebut yang diperiksa.

3. Landasan Penetapan Tersangka Penyidik Atas Terdakwa

Majelis Hakim meragukan dasar penyidik menetapkan terdakwa sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi, karena sebelumnya terdapat 2 orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai pelaku yaitu Maman dan Lajim namun dilepaskan oleh penyidik. Penyidik menyatakan bahwa mereka menetapkan terdakwa sebagai pelaku (tsk) saat itu berdasarkan temuan adanya baju koko warna hitam yang baru dibeli terdakwa yang diduga dibeli dari hasil pencurian yang dilakukan di TKP. Namun saat baju tersebut dihadirkan ternyata baju tersebut bukan lah baju baru namun sudah kumal, sehingga majelis mengenyampingkan bukti tersebut. (hal. 132).

4. Cara Memasuki Rumah TKP

Majelis Hakim meragukan hasil penyidikan penyidik yang menyatakan terdakwa memasuki rumah TKP melalui jendela dengan mencongkel jendela tersebut, dimana sebelumnya Kapolda Jawa Barat saat pers rilis menyatakan bahwa para pelaku masuk ke TKP dengan cara baik-baik. Adanya dua keterangan yang berbeda tersebut menimbulkan keraguan bagi majelis, terlebih ternyata tidak ditemukan adanya kerusakan pada jendela tersebut.

Atas dasar hal tersebut majelis hakim meragukan rekonstruksi yang dilakukan penyidik, dan meyakini keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa rekonstruksi dilakukan berdasarkan hasil arahan penyidik. (hal. 133)

5. Keraguan atas BAP Keterangan Terdakwa

Majelis Hakim meragukan keterangan terdakwa dalam BAP yang mengakui bahwa ia melakukan perbuatan yang didakwa. Keraguan tersebut timbul karena selain terdakwa mencabut keterangan dalam BAP tersebut di persidangan juga karena BAP dilakukan sebanyak 3 kali dimana hanya pada BAP ketiga terdakwa didampingi penasihat hukum, dan keterangannya berubah-ubah. (hal. 134)

Majelis meyakini bahwa pengakuan terdakwa di BAP tersebut diberikan karena penyiksaan.

6. Keraguan atas Keterangan Rosadi (anggota polisi) yang menyatakan Terdakwa Pernah Meminta Saksi untuk Meminta Maaf ke Keluarga Korban

Majelis hakim meragukan keterangan Rosadi yang merupakan anggota polisi Unit Narkoba yang menyatakan pernah dimintakan terdakwa untuk menyampaikan permintaan maaf ke keluarga korban dan pernah mengakui dihadapannya bahwa ia yang melakukan pembunuhan tersebut.

Saksi ini tidak masuk dalam tim penyidik karena masih memiliki hubungan keluarga dengan korban (hal. 101).

7. Keraguan Atas Barang Bukti Besi yang Diduga Sebagai Alat Untuk Membunuh

Majelis hakim meragukan besi yang dinyatakan JPU sebagai alat terdakwa untuk membunuh para korban. Besi ini diambil dari mobil milik terdakwa (besi dongkrak). Besi ini dikesampingkan sebagai barang bukti oleh majelis karena nampak bersih dan tidak pernah dilakukan uji lab atau identifikasi lainnya yang dapat menerangkan benar tidaknya besi tersebut yang dipergunakan untuk memukul para korban. (hal. 135).

B. Alasan Kasasi Jaksa Penuntut Umum

Secara garis besar alasan kasasi JPU pada dasarnya adalah mempermasalahkan penilaian kesimpulan PN Tasikmalaya atas proses pembuktian dan mengambil pendapat dari dissenting opinion anggota majelis PN Tasikmalaya yang berkesimpulan bahwa terdakwa terbukti bersalah. JPU berpendapat bahwa putusan bebas dalam kasus ini bukanlah putusan bebas murni karena adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan tersebut.

“Bahwa putusan tersebut bukan putusan bebas murni (vrijspraak), yaitu dengan adanya perbedaan pendapat antara Ketua Majelis Hakim dan Anggota-1 dengan Anggota-2 tentang fakta hukum yang dianggap terbukti dipersidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum…” Hal. 51

Pada intinya JPU permasalahan pokok yang diajukan oleh JPU dalam alasan kasasinya yaitu seputar benar tidaknya terdakwa tidak mengenal Saksi Indra Graha, yang juga duduk sebagai terdakwa dalam perkara terpisah.

C. Pertimbangan Mahkamah Agung

Atas alasan kasasi JPU tersebut Mahkamah Agung dengan majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar serta beranggotakan Maruap Dohmatiga Pasaribu dan Eddy Army pada tanggal 21 Desember 2015 mengabulkan permohonan kasasi tersebut. Dalam pertimbangannya MA menilai PN Tasikmalaya telah salah dalam menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu:

Keterangan saksi INDRA GRAHA Bin RIJAN RATIZAN yang dengan tegas mengatakan bahwa saksi melakukan pembunuhan terhadap AI CUCU DAN EULIS bersama-sama dengan Terdakwa dan atas ajakan Terdakwa. Terdakwa membantah kenal dengan Saksi INDRA GRAHA namun Saksi YAYAT BIN JANA mengkonfirmasi Terdakwa kenal dengan Saksi INDRA GRAHA yang mana dikuatkan dengan alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Perbandingan Persamaan Sidik Jari Nomor BAP 11/XI/2014/Dit Reskrimum Kepolisian Daerah Jawa Barat tanggal 19 November 2014 yang pada kesimpulannya menyatakan bahwa sidik jari yang ditemukan pada tutup kaleng kue merek Khong Guan warna merah dengan sidik jari tangan kanan dan tangan kiri Terdakwa Dani Susanda Bin Rahmat dinyatakan sama (identik). Keberadaan sidik jari Terdakwa di TKP menandakan kehadiran Terdakwa di TKP yang berkesuaian dengan keterangan Saksi INDRA GRAHA;

Saksi NONOK ROHYANI BINTI JUMIATI meyakini bahwa Terdakwa adalah pelaku pembunuhan terhadap para korban karena pipa besi sebagai alat untuk membunuh para korban adalah milik Terdakwa dan Terdakwa mengakui pipa besi tersebut adalah milik Terdakwa. Terdakwa mencabut pernyataan yang telah diberikan dalam BAP, namun Mahkamah Agung berpendapat pencabutan pernyataannya tidak beralasan menurut hukum, karena Terdakwa telah didampingi oleh penasehat hukum JONO SUJONO, SH. (hal. 59)

Berdasarkan pertimbangan sebanyak 2 (dua) paragraf tersebut MA kemudian menyatakan terdakwa Dani Susenda terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana dan dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun.

D. Analisa Hukum

1. Majelis Kasasi Melakukan Penilaian Hasil Pembuktian

Pengadilan Kasasi pada dasarnya adalah pengadilan yang kewenangannya lebih terbatas dibandingkan pengadilan tingkat pertama maupun banding. Berbeda dengan pengadilan tingkat pertama maupun banding, kasasi tidak berwenang untuk memeriksa kembali fakta-fakta, menilai apakah suatu peristiwa benar terjadi atau tidak. Kewenangan yang dimiliki pengadilan kasasi adalah terbatas untuk menilai apakah pengadilan tingkat pertama dan atau banding telah menerapkan peraturan dengan benar atau tidak, atau diterapkan sebagaimana mestinya atau tidak, apakah cara mengadili pengadilan tersebut dilakukan sesuai undang-undang atau tidak, atau apakah pengadilan telah melampaui kewenangannya atau tidak.[3] Kewenangan yang demikian membuat pengadilan kasasi disebut sebagai judex jurist, sementara pengadilan ditingkat pertama dan banding sebagai judex facti, atau pengadilan atas fakta.

Dalam perkara ini kasasi yang diajukan merupakan kasasi atas putusan bebas. Sejak tahun 1983 kasasi memang dalam praktiknya dimungkinkan diajukan atas putusan bebas, walaupun dalam Pasal 244 KUHAP dinyatakan putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Putusan bebas menurut yurisprudensi Mahkamah Agung sejak putusan Natalegawa (273 K/Pid/1983) dapat diajukan kasasi apabila putusan bebas tersebut merupakan bebas tidak murni, yang mana yang dimaksud putusan bebas yang tidak murni tersebut selalu dijelaskan oleh MA dalam putusan-putusannya dahulu sebelum tahun 2013, seperti tertuang dalam kutipan dibawah ini.

Menimbang, bahwa namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ) tersebut, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima ;

Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya ( meskipun hal ini tidak diajukan sebagai alasan kasasi ), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut ;[4]

Dalam pertimbangan MA atas permohonan kasasi atas putusan bebas tersebut terlihat bahwa putusan bebas dapat diajukan kasasi sepanjang permasalahan hukum yang diajukan jaksa memang masih dalam wilayah kewenangan pengadilan kasasi, yaitu sebatas pada penerapan hukum, atau question of law dan tidak pada question of fact atau penilaian atas terbukti tidaknya suatu unsur perbuatan yang didakwakan.

Perihal pasal 244 KUHAP khususnya frase “kecuali terhadap putusan bebas” ini telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 26 Maret 2013 melalui putusannya nomor 114/PUU-X/2012, yang dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah putusan bebas dapat diajukan kasasi atau tidak. Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apakah dengan dihapuskannya frase tersebut maka berarti Mahkamah Agung ditingkat kasasi dapat bertindak selaku judex facti juga atau tidak, atau tetap pada kewenangannya sebagai judex jurist.

Atas pertanyaan di atas penulis berpendapat bahwa dengan putusan MK tersebut tidak berarti bahwa kasasi atas putusan bebas Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi dapat menjadi judex facti, namun tetap pada fungsinya sebagai judex jurist. Pendapat penulis ini didasarkan pada dua hal, pertama, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut didasarkan semata pada alasan kepastian hukum, dimana dalam prakteknya Mahkamah Agung telah menyimpangi pasal 244 KUHAP, sehingga untuk menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan antara norma dan praktek MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Hal ini terlihat dalam pertimbangan MK sebagaimana dibawah ini:

[3.13.2] Bahwa tanpa bermaksud melakukan penilaian atas putusan-putusan Mahkamah Agung, kenyataan selama ini menunjukkan bahwa terhadap beberapa putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, memang tidak diajukan permohonan banding [vide Pasal 67 KUHAP], akan tetapi diajukan permohonan kasasi dan Mahkamah Agung mengadilinya. Padahal, menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh dilakukan upaya hukum kasasi. Hal itu mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam praktik karena terjadinya kontradiksi dalam implementasi pasal tersebut. Di satu pihak pasal tersebut melarang upaya hukum kasasi, namun di lain pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP khususnya frasa “kecuali terhadap putusan bebas”;

Kedua, pasal 244 itu sendiri mengatur mengenai kasasi yang mana kewenangan kasasi dibatasi pada hal-hal yang diatur dalam pasal 253 KUHAP sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dengan demikian maka pada dasarnya sejalan dengan yurisprudensi Natalegawa, dimana kasasi atas putusan bebas hanya dapat dilakukan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 253 KUHAP, dan tidak dapat mengadili fakta kembali. [5]

Kembali ke putusan kasasi Dani Susanda ini yang menjadi pertanyaan pertama adalah apakah dalam putusan ini Mahkamah Agung masih mengadili dalam fungsinya sebagai judex jurist atau telah melampai kewenangannya dengan bertindak sebagai judex facti.

Dalam pertimbangannya majelis hakim agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar ini memang menyatakan bahwa pengadilan negeri Tasikmalaya telah melakukan kesalahan penerapan hukum, yang seakan majelis hakim masih bertindak sebagai judex jurist. Namun jika dilihat pada uraian pertimbangan hukumnya yang sebanyak 2 paragraf tersebut sangat terlihat bahwa yang dimaksud dengan kesalahan penerapan hukum oleh PN Tasikmalaya tersebut bukan lah kesalahan penerapan hukum namun penilaian atas pembuktian.

Terdapat beberapa hal yang menunjukan bahwa majelis hakim agung telah melampaui kewenangannya ini. Pertama, majelis hakim agung mempermasalahkan penilaian PN atas cukup atau tidaknya bukti untuk menyatakan bahwa terdakwa Dani Susenda mengenal saksi Indra Graha.

Pertanyaan apakah benar Terdakwa kenal dengan Indra Graha memang merupakan salah satu kunci untuk melihat apakah terdakwa bersalah atau tidak. Karena dalam kasus ini Indra Graha mengakui bahwa ia diminta oleh terdakwa untuk membantunya membunuh Ai Cucu. Sementara itu terdakwa Dani Susenda menyangkal ia mengenal Indra. Apabila terbukti bahwa Terdakwa mengenal Indra maka penyangkalan tersebut akan menjadi janggal dan akan menimbulkan kecurigaan, karena berarti untuk apa ia bohong jika memang kenal, berarti terdapat sesuatu hal yang hendak ia tutup-tutupi.

Perihal benar/tidaknya terdapat cukup bukti untuk menyatakan terdapat hubungan perkenalan antara terdakwa dan saksi jelas merupakan pertanyaan atas fakta (question of fact) bukan soal pertanyaan hukum (question of law). Mengenai benar atau tidaknya terdapat cukup bukti mengenai hubungan perkenalan ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Kedua, majelis hakim kasasi juga mempermasalahkan pertimbangan PN perihal terbukti tidaknya terdakwa berada di rumah terdakwa. Benar atau tidaknya terdakwa berada di TKP jelas merupakan permasalahan fakta bukan  permasalahan penerapan hukum.

Pertanyaan benar atau tidaknya terdapat cukup bukti yang dapat menunjukan terdakwa berada di TKP memang juga merupakan pertanyaan yang penting dalam perkara ini. Untuk membuktikan hal ini JPU menghadirkan bukti sidik jari pada kaleng khong guan, namun bukti tersebut diragukan oleh majelis hakim. Keraguan majelis PN tersebut dijelaskan secara rinci. Sementara itu majelis kasasi seakan menerima begitu saja perihal sidik jari ini tanpa menunjukan dimana letak kesalahan argumentasi dari PN.

Ketiga, perihal benar atau tidaknya barang bukti berupa besi dongkrak yang disita dari terdakwa adalah alat untuk membunuh para korban.

Apakah benar besi tersebut adalah alat yang digunakan oleh terdakwa untuk membunuh? Jelas pertanyaan ini merupakan pertanyaan atas fakta (question of fact). PN menyatakan mengesampingkan bukti ini dikarenakan tidak dilakukan pemeriksaan lab atau forensik yang dapat menunjukan bahwa besi tersebut memang digunakan untuk membunuh para korban. Namun sebaliknya MA meyakini begitu saja walaupun tidak dilakukan uji lab semata karena meyakini bahwa besi tersebut benar milik terdakwa. Padahal tidak semata itu yang menjadi pokok persoalannya, karena selain apakah benar besi dongkrak tersebut adalah milik terdakwa, pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar besi tersebut adalah alat yang digunakan untuk membunuh para korban.

Dari setidaknya ketiga permasalahan di atas sangat jelas terlihat bahwa dalam kasus ini pada dasarnya majelis kasasi telah melampaui kewenangannya sebagai judex jurist dan memasuki ranah judex facti; Majelis kasasi telah melakukan penilaian atas fakta yang selama ini dituliskan dalam berbagai pertimbangan hukumnya. Seperti kutipan pertimbangan di bawah ini:

Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan,..dst (putusan MA no. 1300 K/Pid/2009)

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; (putusan kasasi nomor 1098 K/Pid/2009)

Bahwa selain itu, alasan kasasi Terdakwa selebihnya tidak dapat dibenarkan, karena mengenai penilaian terhadap hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkannya suatu peraturan hukum atau peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, serta apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981; (putusan kasasi nomor 849 K/Pid/2018)

2. Penilaian atas Fakta tidak Didukung Alat Bukti yang Cukup

Seandainya pun Kasasi dapat melakukan penilaian terhadap hasil pembuktian, pertimbangan Mahkamah Agung yang menyatakan terdapat cukup bukti untuk menyatakan terdakwa Dani Susanda terbukti bersalah turut serta melakukan pembunuhan bersama-sama dengan Indra Graha adalah prematur. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Bukti Hubungan Antara Dani Susanda dengan Indra Graha

Dalam pertimbangannya pada intinya Mahkamah Agung membantah putusan judex facti yang pada intinya menyatakan bahwa tidak terdapat cukup bukti yang menunjukan terdakwa Dani Susanda mengenal saksi Indra Graha.

Permasalahan apakah terdapat hubungan antara Dani Susanda dengan Indra Graha merupakan salah satu pertanyaan kunci. Dakwaan terhadap Dani Susanda pada dasarnya dibangun atas dugaan ini yang mana dugaan tersebut timbul bukan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan penyidik dalam penyidikan namun berdasarkan keterangan dari Indra Graha itu sendiri.

Menurut Mahkamah Agung bantahan terdakwa bahwa ia mengenal Indra Graha terbantahkan berdasarkan adanya 2 alat bukti, yaitu keterangan saksi Yayat bin Jana yang mengkonfirmasi adanya hubungan antara Dani Susanda dan Indra Graha. Bukti lainnya yaitu terkait dengan laporan hasil pemeriksaan sidik jadi pada kaleng Khong Guan.

Pertanyaannya, apakah benar terdapat keterangan yang menyatakan Yayat bin Jana mengetahui apakah Dani Susanda dan Indra Graha saling mengenal?

Yayat bin Jana adalah seorang tukang becak yang kerap mangkal di dekat counter handphone Dani Konter. Ia menjadi saksi tambahan baik dalam perkara Indra Graha maupun Dani Susanda. Dalam keterangannya di perkara Indra Graha tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa ia mengetahui bahwa Indra Graha dan Dani Susanda saling mengenal. Ia hanya menyatakan bahwa ia mengenal dekat dengan Indra Graha dan Dani Konter[6]. Dani Konter bukan lah Dani Susanda namun orang lain yang juga hadir menjadi saksi.

Sementara itu dalam keterangannya di persidangan Dani Susanda Yayat bin Jana juga tidak menyatakan bahwa ia mengetahui bahwa Indra Graha mengenal Dani Susanda. Bahkan dalam keteranganya tersebut ia justru menyatakan bahwa sepengetahuannya Dani Susanda tidak mengenal Indra Graha[7]. Yang ia ketahui Indra Graha kenal dengan Dani Konter. Bahwa benar menurutnya Dani Susanda dan Dani Konter masih memiliki hubungan famili dan Dani Susanda sering mampir ke konter HP milik Dani Konter, namun tentunya hal ini belum dapat disimpulkan bahwa karena Indra Graha mengenal Dani Konter dan Dani Susanda sering ke konter Dani Konter maka berarti terdapat hubungan perkenalan antara Dani Susanda dengan Indra Graha.

Keterangan Yayat bin Jana yang menyatakan bahwa antara Dani Susanda dan Indra Graha tidak saling mengenal juga diperkuat oleh keterangan Dani Konter (Dhany Nuryansyah bin Asep Rustandi). Dalam keterangannya ia menyatakan bahwa sepengetahuannya baik Dani Susanda maupun istrinya (Dede) tidak mengenal Indra Graha. Bahwa benar ia pernah melihat Dani Susanda duduk bersebelahan dengan Indra Graha saat Indra Graha mengecat motornya, namun ia tidak melihat keduanya saling mengobrol. Dari keterangan ini pun belum dapat disimpulkan bahwa antara Dani Susanda dengan Indra Graha saling mengenal.  

Sebagai tambahan, dalam Memori Kasasinya JPU menyatakan bahwa salah satu adanya bukti bahwa antara Indra Graha dan Dani Susanda saling mengenal adalah berdasarkan keterangan dari Saksi Sugeng Waluyo dan Urip Ali Fauzi. Berikut keterangan JPU dalam memori kasasinya tersebut:

“b. Petunjuk:

1. Adanya persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya:

Bahwa benar menurut keterangan saksi URIP dan SUGENG serta keterangan Terdakwa, bahwa pada hari minggu tanggal 9 November 2014 sekitar jam 02.00 WIB, Terdakwa dengan sepeda motor Honda Beat warna merah miliknya berada disekitar rumah korban AI CUCU, kemudian pada saat Terdakwa berusaha untuk mengambil sepeda motor milik korban di Pasar Cikurubuk akan tetapi dihalang-halangi oleh saksi SUGENG telah menunjukan bahwa Terdakwa adalah salah satu pelakunya, sedangkan saksi DANI diduga melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Terdakwa” [8]

Alasan kasasi di atas memang tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung, namun kiranya perlu juga dibahas apakah benar klaim JPU atas keterangan tersebut.

Dari rumusan alasan kasasi JPU di atas terdapat kesan bahwa keterangan tersebut bukan berasal dari persidangan terhadap Dani Susanda melainkan dalam persidangan Indra Graha. Hal ini terlihat dari kedudukan Dani Susanda dalam tertulis sebagai Saksi.

Dalam putusan Indra Graha keterangan Sugeng Waluyo yang merupakan seorang penjaga toko di pasar Cikurubuk Tasikmalaya terdapat di halaman 56. Ia diperiksa sebagai saksi dalam kaitannya dengan upaya Indra Graha mengambil motor milik korban yang dititipkan oleh Nandang, seorang Satpam penjaga motor di Pasar Cikurubuk. Upaya pengambilan motor tersebut terjadi di tanggal 10 November 2014 atau 1 (satu) hari setelah pembunuhan dilakukannya. Motor tersebut saat itu tidak diketahui pemiliknya baik oleh Nandang maupun Sugeng Waluyo. Saat itu Indra Graha akan membawa motor tersebut namun dihalang-halangi oleh Sugeng Waluyo karena tidak membawa surat-surat motor sehingga tidak diketahui apakah ia adalah pemiliknya atau bukan. Di kemudian hari diketahui bahwa motor tersebut adalah milik korban, yaitu Ai Cucu.

Dalam keterangannya di putusan Indra Graha, tidak terdapat keterangan sama sekali yang menunjukan bahwa saat Indra Graha berusaha mengambil motor milik Ai Cucu tersebut dilakukan bersama-sama dengan Dani Susanda.[9] Bahkan dalam keterangannya di putusan Dani Susanda, Sugeng Waluyo menyatakan bahwa Indra Graha datang sendirian, tidak bersama orang lain maupun Dani Susanda.[10]

Selain itu dalam keterangan Urip Ali Fauzi, tukang nasi goreng yang sering berjualan melewati rumah korban Ai Cucu baik dalam putusan Dani Susanda maupun Indra Graha tidak terdapat keterangan sama sekali yang menunjukan bahwa ia melihat proses pengambilan motor tersebut oleh Indra Graha apalagi Dani Susanda.

Dengan keterangan Sugeng dan Urip dalam kedua putusan tersebut terlihat jelas bahwa klaim JPU bahwa terdapat bukti petunjuk dari kedua saksi tambahan ini yang dapat menunjukan bahwa Indra Graha dan Dani Susanda saling mengenal adalah tidak berdasar.

Dengan demikian maka pertimbangan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdapat cukup bukti yang menunjukan bahwa antara Indra Graha dan Dani Susanda saling mengenal juga tidak berdasarkan bukti-bukti yang ada.

b. Permasalahan Sidik Jari pada Kaleng Khong Guan

Perihal adanya sidik jari pada kaleng Khong Guan yang menurut Mahkamah Agung merupakan salah satu bukti yang menunjukan terdakwa Dani Susanda berada pada TKP sebenarnya telah dipertimbangkan oleh PN Tasikmalaya. Majelis Hakim pada PN Tasikmalaya dalam pertimbangannya pada intinya meragukan sidik jari tersebut bukan pada apakah sidik jari tersebut benar milik Terdakwa Dani Susanda atau bukan, melainkan pada kejanggalan pada sidik jari tersebut dimana sidik jari tersebut hanya terdapat 1 buah jari dan kejanggalan mengapa penyidik tidak melakukan pemeriksaan ada atau tidaknya sidik jari pada barang-barang lainnya di rumah korban.

Pertimbangan PN atas dikesampingkannya sidik jari tersebut sebenarnya sudah cukup baik, namun Mahkamah Agung seakan tidak mempertimbangkan pertimbangan PN tersebut. Seharusnya jika menurut Mahkamah Agung pertimbangan tersebut tidak tepat disertai dengan alasan yang jelas dimana letak kesalahan pertimbangan PN tersebut.

c. Perihal Barang Bukti berupa Besi

Dalam pertimbangannya selain hal-hal di atas sebelumnya Mahkamah Agung juga mendasarkan pertimbangannya pada barang bukti berupa pipa besi sebagai alat untuk membunuh korban dimana pipa besi tersebut merupakan pipa besi milik terdakwa. Seakan Mahkamah Agung ingin menyatakan bahwa karena pipa besi tersebut milik Terdakwa maka sulit untuk dipungkiri bahwa terdakwa adalah pelakunya.

Yang menjadi permasalahan adalah, bahwa perihal barang bukti pipa pesi ini di tingkat pertama telah dipertimbangkan oleh PN Tasikmalaya. Dalam pertimbangannya PN Tasikmalaya mengesampingkan barang bukti tersebut karena terhadap pipa besi yang disita dari mobil milik terdakwa belum dapat disimpulkan bahwa pipa besi tersebut benar merupakan alat untuk memukul kepala kedua korban, karena tidak dilakukan uji lab.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana Mahkamah Agung tiba-tiba bisa menyimpulkan bahwa pipa besi milik terdakwa tersebut memang benar merupakan alat yang digunakan untuk memukul kepala korban?

Kesimpulan

Berdasarkan analisa di bagian sebelumnya penulis berkesimpulan bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung nomor 1148 K/Pid/2015 dengan terdakwa Dani Susanda ini mengandung beberapa kecacatan yuridis. Kecacatan tersebut yaitu:

  1. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi ini telah melampaui kewenangannya sebagai judex jurist karena telah melakukan penilaian atas hasil pembuktian, bukan lagi penerapan hukum.
  2. Seandainya pun di tingkat kasasi khusus dalam perkara ini kasasi dimungkinkan untuk melakukan penilaian atas hasil pembuktian, penilaian hasil pembuktian yang dilakukan Mahkamah Agung di kasus ini pun tidak dilakukan sesuai hukum pembuktian. Mahkamah Agung telah menarik kesimpulan terbukti tidaknya suatu peristiwa hanya berdasarkan 1 alat bukti semata, yaitu keterangan 1 orang saksi yang juga merupakan terdakwa dalam perkara terpisah tanpa didukung alat-alat bukti lainnya.

Bahwa apabila memang terdapat permasalahan pembuktian, misalnya judex facti tidak melakukan tata cara pembuktian sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku maka hal tersebut juga tidak menjadi alasan Mahkamah Agung langsung melakukan pemeriksaan sendiri. Jika hal ini memang terjadi maka berdasarkan pasal 255 ayat (2) KUHAP perkara harus diserahkan kembali ke pengadilan asal untuk dilakukan pemeriksaan ulang, atau MA menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk melakukan hal tersebut.

Catatan pembuktian:

Terdapat dua orang yang bernama Dani. Dani Counter dan Dani Susanda

  1. Keterangan Sugeng Waluyo. Penjaga parkiran motor.

Dalam Putusan Indra (hal. 56) tidak menyebutkan perihal Dani, hanya Indra.

Dalam Putusan Dani Susanda (hal. 90) tidak menyebut perihal Dani.

Pada alasan kasasi JPU:

Hal. 58 menyebut pengambilan motor dilakukan oleh indra dan diduga dilakukan juga oleh Dani.

  • Keterangan Urip Ali fauzi (tukang nasi goreng)

Tidak ada keterangan mengenai dani.

  • Keterangan Yayat (saksi tambahan) (tukang becak)

Putusan Dani Susanda: Dani Susanda tidak kenal dengan indra

Putusan Indra: yayat pernah bekerja dengan Dani pemilik counter dan Indra.

Saksi verbalisan Rusdiyanto, Kasatreskrim

Melakukan hipnoterapi (hal. 108)

Diperkuat terdakwa (hal. 114)

Dugaan penyiksaan

Pencekikan, setrum, masuk kantong mayat


[1] Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Staf Pengajar Jurusan Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

[2] Dissenting Opinion hal. 138-142 Putusan No. 28/Pid.B/2015/PN.Tsm

[3] Lihat Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

[4] Diambil dari putusan Mahkamah Agung nomor 1300 K/Pid/2009. Pertimbangan ini merupakan pertimbangan yang selalu ada dalam putusan kasasi atas putusan bebas baik yang diputus oleh tingkat pertama maupun banding. Beberapa contoh putusan kasasi atas putusan bebas lainnya yang memuat pertimbangan serupa dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung nomor 1829 K/Pid/2008, 463 K/Pid.Sus/2008, dan 539 K/Pid/2010.

[5] Sebelum adanya putusan MK no. 114 di atas dalam hal MA menyatakan JPU tidak dapat membuktikan bahwa putusan bebas judex facti adalah putusan bebas tidak murni maka MA akan menyatakan “permohonan kasasi JPU tidak dapat diterima”. Setelah putusan MK tersebut terjadi perubahan bunyi putusan, MA tidak lagi menyatakan “permohonan kasasi JPU tidak dapat diterima” namun “menolak permohonan kasasi”.

[6] Putusan  Nomor 27/Pid.B/2015/PN.Tsm dengan terdakwa Indra Graha, hlm. 61

[7] Putusan Nomor 28/Pid.B/2015/PN.Tsm dengan terdakwa Dani Susanda, hlm. 107

[8] Alasan Kasasi JPU dalam Putusan Kasasi Nomor. 1148 K/Pid/2015, hlm. 58

[9] Lihat keterangan Sugeng Waluyo dalam putusan Nomor 27/Pid.B/2015/PN.Tsm dengan terdakwa Indra Graha, hlm. 56.

[10] Lihat keterangan Sugeng Waluyo dalam putusan Nomor 28/Pid.B/2015/PN.Tsm dengan terdakwa Dani Susanda, hlm. 90-91.

Leave a comment