Anotasi Putusan Korupsi
No. 98/PID.SUS/TPK/2013/PN.Bdg (Gatot Sutedjo)
(Arsil dan Muhammad Rafi*)
RINGKASAN PERKARA
Perkara ini pada dasarnya merupakan perkara yang cukup sederhana, yaitu seorang pejabat pada Dinas Tata Ruang Kota Bekasi yang bertugas untuk memeriksa izin-izin penggunaan lahan di wilayah Kota Bekasi mendatangi sebuah pabrik yang sedang mendirikan suatu bangunan, menanyakan izin dari pendirian bangunan tersebut kemudian pada akhirnya menawarkan bantuan untuk memudahkan proses perizinan tersebut dengan imbalan sejumlah uang.
Pihak perusahaan pun kemudian tertarik dan menerima penawaran dari sang pejabat dan akhirnya menyerahkan uang sebesar +/- Rp. 196 juta, setelah sebelumnya pihak pejabat tersebut meminta imbalan sebesar +/- Rp. 390 juta. Namun setelah uang diserahkan, ternyata tidak seluruh izin berhasil keluar seperti yang dijanjikan, dari 14 jenis izin yang disepakati ternyata hanya 5 izin yang berhasil terbit. Karena 9 izin lainnya tidak kunjung-kunjung terbit akhirnya pihak perusahaan melaporkan sang pejabat tersebut ke Kejaksaan.
Atas peristiwa tersebut berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah perbuatan korupsi, yaitu antara pemerasan yang dilakukan pejabat (Pasal 12 huruf e), gratifikasi illegal (pasal 12B), atau menerima hadiah atau janji karena jabatan yang ada padanya, atau yang menurut orang member ada hubungannya dengan jabatannya (Pasal 11).
Terhadap perbuatan terdakwa tersebut diputus bebas oleh Majelis Hakim PN Bandung yakni Syamsudin (Hakim Ketua) Yanuar Anadi dan Daniel Panjaitan (Hakim Anggota). Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
1. Atas Dakwaan Alternatif Kesatu Primair (Pasal 12 huruf e UU 20 Tahun 2001)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Atas dakwaan yang mendasarkan pada Pasal 12 huruf e UU 20 Tahun 2001 Majelis Hakim menilai unsur memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu…dst tidak terbukti. Unsur ini dipandang oleh Majelis tidak terbukti dengan pertimbangan bahwa walaupun terbukti ada pembayaran yang dilakukan oleh Korban (pihak perusahaan) kepada Terdakwa, namun inisiatif awal untuk melakukan pengurusan izin dilakukan oleh Korban bukan oleh terdakwa. Selain itu dalam menentukan besaran biaya (fee) atas ‘jasa’ Terdakwa terbukti dilakukan dengan negosiasi. Hal ini menurut Majelis bukan lah termasuk bentuk pemaksaan. (hal 36-37).
2. Atas Dakwaan Alternatif Kesatu Subsidair (Pasal 12B ayat (1) UU 20 Tahun 2001)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Atas dakwaan ini Majelis Hakim menilai bahwa baik unsur pemberian hadiah/gratifikasi maupun unsur berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawananan dengan kewajiban atau tugasnya tidak terbukti.
Mengenai unsur pemberian hadiah Majelis berpendapat bahwa walaupun terbukti Terdakwa menerima sejumlah uang dari Korban, namun uang tersebut bukan sebagai pemberian (hadiah), melainkan merupakan pembayaran biaya pengurusan perijinan terkait dengan pembangunan pabrik milik Korban, yang mana besaran biaya tersebut didasarkan pada hasil kesepakatan yang didahului dengan proses tawar menawar atau negosiasi dan pembayarannya dilakukan secara terbuka, tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi (rahasia).
Selain itu unsur berhubungan dengan jabatannya…dst pun tidak terpenuhi oleh karena ternyata Terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan terkait dengan semua perijinan yang diurusnya, sehingga menurut Majelis apa yang diterima oleh Terdakwa tidak memiliki motif untuk mempengaruhi keputusan terdakwa (sic!) (yang dimaksu, tidak mempengaruhi keputusan akan diterbitkan atau tidaknya izin-izin yang dimaksud).
3. Atas Dakwaan Alternatif Kedua (Pasal 11)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
Atas dakwaan ini Majelis berpendapat bahwa unsur “diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya..dst” tidak terbukti. Berikut kutipan pertimbangan hukum majelis:
“Bahwa selain itu berdasarkan fakta persidangan ternyata kapasitas Terdakwa adalah seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Perintahan Kota Bekasi, dan sekalipun jabatan Terdakwa adalah selaku Kepala Seksi IPPL Perumahan Pemukiman pada Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, akan tetapi dalam kapasitasnya tersebut Terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan/kebijakan terkait dengan seluruh perijinan yang diurusnya berupa 14 dokumen perijinan termasuk IMB, sehingga apa yang diterima oleh Terdakwa dari pihak PT. Pioneer Beton Industri menurut hemat Majelis seperti telah dipertimbangkan di atas adalah tidak memiliki motif untuk mempengaruhi keputusan Terdakwa atau tidak ada hubungan dengan jabatan Terdakwa;”
ANALISIS
Dari putusan PN Tipikor Bandung ini terdapat dua permasalahan pokok yang akan disoroti, pertama tentang amar putusan majelis yang menyatakan terdakwa diputus bebas, dan kedua, tentang alasan atau dasar pertimbangan mengapa menurut majelis terdakwa dinyatakan tidak bersalah
1. “Bebas” atau “Lepas”?
Dengan point-point pertimbangan hukum sebagaimana diringkas di bagian sebelumnya, yang menjadi pertanyaan adalah terlepas dari apakah kita setuju dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, apakah sudah cukup tepat majelis menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak)? Menurut penulis tidak.
Putusan dalam perkara pidana terdiri dari 3 jenis, bebas, lepas dan menghukum. Dua jenis putusan pertama merupakan putusan yang pada akhirnya tidak menjatuhi hukuman kepada Terdakwa. Dalam hukum acara pidana perbedaan antara putusan bebas dan lepas terletak pada apa yang sebenarnya tidak terbukti.
Putusan bebas atau pembebasan terjadi jika perbuatan yang didakwakan setelah proses pembuktian ternyata tidak terbukti, atau tidak terdapat cukup bukti yang meyakinkan bahwa perbuatan tersebut telah terjadi atau telah dilakukan oleh Terdakwa.
Sebagai ilustrasi, misalkan JPU mendakwa A telah melakukan pencurian, A dituduh telah mencuri mobil milik X. Dalam proses pembuktian kemudian tidak terdapat cukup bukti bahwa A lah yang telah mengambil mobil tersebut, karena misalnya ternyata pada hari atau jam terjadinya pencurian tersebut A ternyat sedang berada di tempat lain dan terdapat saksi-saksi yang bisa menguatkan hal tersebut. Dalam kondisi yang demikian maka berarti dakwaan atau perbuatan yang didakwa tidak terbukti, dan oleh karenanya putusannya adalah putusan bebas.
Sementara itu dalam putusan Lepas, pada dasarnya perbuatan yang didakwakan terbukti telah terjadi dan benar-benar dilakukan oleh Terdakwa. Akan tetapi terdakwa tidak dapat dianggap memiliki pertanggungjawaban pidana atasnya. Tidak terdapatnya unsur pertanggungjawaban pidana ini bisa terjadi karena ternyata perbuatan yang didakwa tersebut bukan lah perbuatan pidana, atau sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut dihapuskan baik karena adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf.
Sebagai ilustrasi, misalkan dalam kasus pencurian mobil tersebut terdakwa ternyata benar bahwa A memang mengambil mobil milik X tersebut, namun dalam proses pembuktian terbukti bahwa hal tersebut dilakukan oleh A karena mobil tersebut milik temannya. Misalnya ternyata sebelumnya A diminta oleh temannya, B, untuk mengambil mobil yang menurut pengakuan B adalah miliknya. Ternyata B telah mengelabui A. Mobil tersebut bukan milik B dan B telah memiliki kunci duplikatnya, jadi ketika A mengambil mobil tersebut tidak ada niat sama sekali untuk mengambil mobil milik X, karena yang ada dalam pikirannya mobil tersebut milik B dan ia diminta oleh B untuk mengambilnya. Di sini maka perbuatan yang dituduhkan benar terbukti, namun sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut tidak nyata ada.
Dalam perkara korupsi yang didakwakan JPU pada dasarnya seluruh peristiwa-peristiwa pokok yang diurai JPU telah diakui oleh Majelis Hakim. Hal ini terlihat dari fakta-fakta (hukum) yang diakui oleh Majelis, sebagaimana tertuang dalam halaman 29-33 putusan No. 98/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Bdg ini, yaitu pertama, bahwa Terdakwa adalah Kepala Seksi IPPL. Kedua, bahwa Terdakwa pernah bertemu dengan Saksi (RMIK) dari pihak Perusahaan. Ketiga, bahwa telah terjadi permintaan dari Saksi agar terdakwa membantu melakukan pengurusan 14 izin dan Terdakwa menyetujuinya. Keempat, terjadi proses tawar menawar biaya pengurusan izin tersebut. Kelima, bahwa Terdakwa telah menerima uang melalui transfer rekening sebesar Rp 100 juta dari Saksi dari Rp 196 juta yang sebelumnya telah disepakati.
Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan peristiwa inti yang didakwa oleh JPU. Dengan diakuinya peristiwa tersebut sebagi fakta hukum maka pada dasarnya dakwaan telah terbukti. Dengan demikian maka seharusnya amar putusan yang diputus oleh Majelis Hakim bukan lah putusan bebas.
Benar bahwa menurut Majelis terdapat unsur delik yang tidak terpenuhi. Dalam dakwaan Alternatif Kedua (Pasal 11) misalnya, menurut Majelis unsur “hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” tidak terpenuhi. Namun hal ini pada dasarnya hanyalah masalah penilaian hukum semata, bukan mengenai benar tidaknya peristiwa yang didakwa terbukti atau tidak. Atas fakta adanya pemberian sejumlah uang (100 juta) majelis menilai bahwa pemberian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hadiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU 20 Tahun 2001, namun merupakan pembayaran biaya pengurusan izin. Selain itu menurut Majelis juga sifat melawan hukum atas perbuatan tersebut tidak nyata karena menurut Majelis dari pemberian tersebut tidak terdapat motif untuk mempengaruhi keputusan Terdakwa (sic!) (sepertinya yang dimaksud adalah motif untuk mempengaruhi terbit atau tidaknya izin-izin yang dimintakan).
Dengan uraian seperti di atas maka seharusnya putusan yang dijatuhkan oleh Majelis bukan lah putusan bebas namun putusan Lepas. Atau dengan kata lain, putusan bebas ini pada dasarnya adalah putusan bebas tidak murni.
2. Anotasi Atas Substansi Pertimbangan
Dengan tidak menghilangkan perdebatan atas bebasnya terdakwa dari dakwaan Pertama dan Kedua, disini penulis melihat adanya kesalahan majelis hakimdalam menafsirkan maksud dari Pasal 11 sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Ketiga. Hal ini terlihat dari pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa uang yang diterima oleh terdakwa tidak memiliki motif untuk mempengaruhi keputusan terdakwa dikarenakan terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin sebagaimana yang diinginkan pengusaha. Pertimbangan ini didasarkan pada unsur pasal yang mensyaratkan adanya hubungan antara uang yang diberikan dengan kewenangan yang dimiliki terdakwa. Unsur Pasal 11 UU Tipikor sebagai berikut:
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan”
Dalam unsur pasal tersebut, terdapat unsur yang tidak di pertimbangkan oleh majelis hakim dalam memutus perkara, yakni unsur “…yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan”yang sifatnya alternatif dengan unsur sebelumnya dan memiliki penafsiran lebih luas. Yaitu dalam unsur ini tidak mensyaratkan adanya hubungan antara uang yang diberikan dengan kewenangan yang berhubungan dengan terdakwa, melainkan sepanjang menurut pemikiran pemberi hadiah bahwa uang yang diberikannya kepada Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara itu dapat mempermudah urusannya apakah itu berhubungan dengan kewenangannya atau tidak.
Hal ini semakin janggal ketika kita melihat pertimbangan hakim dibagian sebelumnya yang menyatakan bahwa uang yang diberikan oleh pengusaha kepada terdakwa bukanlah hadiah, melainkan biaya administrasi pengurusan, dimana jumlahnya ditentukan dari proses tawar menawar. Jika kita bandingkan dengan pertimbangan hakim sebelumnya yang menyatakan bahwa terdakwa bukanlah pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan surat izin, apakah lantas terdakwa memiliki kewenangan untuk melakukan tawar-menawar kepada pengusaha terkait biaya(terlepas dari jumlahnya yang tidak normal) yang akan dibayarkan untuk administrasi pengeluaran surat izin yang notabene bukan kewenangannya?
Jika permasalahan ini disederhanakan pertanyaan inti dari perkara ini yang akan menentukan bersalah tidak nya terdakwa adalah sebagai berikut, pertama, jika uang yang diberikan oleh Saksi adalah benar merupakan biaya administrasi, mengapa untuk biaya administrasi yang jumlahnya seharusnya tetap terjadi tawar menawar antara Saksi dan Terdakwa? Kedua, jika Terdakwa bukan lah seorang pejabat di kantor Dinas Tata Ruang, apakah Saksi akan mau menerima tawaran ‘jasa’ dari Terdakwa yang dilanjutkan dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya melampaui biaya yang seharusnya? Ketiga, ini merupakan pertanyaan terpenting, apakah Terdakwa berhak menerima uang tersebut?
Dengan fakta hukum yang diakui oleh Majelis Hakim maka kesimpulannya, yang dimaksud dengan biaya pengurusan perizinan sebagaimana dimaksud oleh Majelis Hakim dalam hal 41 pada dasarnya bukanlah biaya resmi, dan Terdakwa mendapatkan keuntungan dari besaran biaya tersebut. Selain itu, sangat lah tidak mungkin Saksi akan memberikan sejumlah uang tersebut jika Terdakwa tidak bekerja di lingkungan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, dan Terdakwa tentunya mengetahui bahwa jika ia tidak bekerja di instansi tersebut terlebih menjabat sebagai Kepala Seksi IPPL Saksi tidak akan memberikan uang tersebut atau bahkan mencari dan menemui terdakwa sejaka awal. Hal ini seharusnya berarti telah memenuhi unsur yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 20 Tahun 2001.
—
*Muhammad Rafi adalah peneliti muda pada LeIP, mahasiswa akhir FHUI.
* Arsil adalah Krupukulit.
kak mohon maaf saya sangat tertarik untuk bisa mengkaji putusan ini untuk bahan skripsi saya , karena kalau suda di kasasi dosen kadang cari dari tingkat pertama, saya suda cari di direktori tapi tidak ada , mohon bantuannya kak. tolong di email di rassatyautomo@gmail.com terimakasiih kak mohon bantuannya
Kak , saya mau nanya , it jika kita membahas tentang hadiah, sebenrnya brp sih biaya resmi untuk mengurus surat perizinan itu? Kenapa di putusan ga ada perinciannya ya kak? Mohon dijawab
biaya resmi pengurusan perizinan berbeda-beda untuk masing-masing jenisnya. Seharusnya besarnya tarif resmi diumumkan pada papan pengumuman yang tersedia di setiap loket pendaftaran izin.
Putusan PN ini sudah ada kok, dan sudah saya masukan juga linknya. Tinggal klik di nomor perkara di atas, bawah judul.
terimakasih kak atas jawaban sebelumnya , kak saya mau nanya lagi apakah bisa terdakwa dikatakan salah karena telah mentransaksionalkan jabatannya?
dari semua putusan yang saya baca, semua keterangan saksi menyatakan bahwa hanya IMB yang belum keluar. jika saya lihat lagi memang disini terdakwa memiliki wewenang untuk mengurus perizinan tetapi tidak dengan IMB. makanya terdakwa dilaporkan di pihak kejaksaan. kalau boleh saya bertanya apakah kakak tau uu apa yang tidak memperbolehkan pejabat mentransaksionalkan jabatannya. mohon bantuannya kak untuk skripsi saya
Tidak ada UU yg membolehkan mentraksasikan jabatannya. Jabatan diberikan bukan u/ dimanfaatkan demi kepentingan pribadi si pejabat, namun u/ menjalankan fungsi negara.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
berarti boleh kak jika terdakwa ini salah karena beliau mentransaksionalkan jabatannya? boleh tahu dasar hukum pasti ttg pejabat yang tidak boleh mentransaksionalkan jabatannya kak?
kak boleh minta email kakak untuk berdiskusi? saya masih kebingungan untuk mencari satu rumusan masalah.
makasih banyak sebelumnya]
Alasannya ya pasal 11 itu. Di psl tsb bahkan menerima hadiah krn pemberian tsb diberikan krn jabatannya saja sudah mnjd pidana.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
makasih kak saya akan pahami lagi
makasiih banyak atas bantuannya ya kak
sukses krupukulitnya kak
kak mohon maaf nih, bisa kakak kirim ke email saya putusan kasasinya, soalnya saya sudah cari di directory mahkamah agung tapi gak dapat yang kasasinya yang ada cuman tingkat pertama, kirim ke email hanabi.ryuka@gmail.com
saya juga belum punya putusan kasasinya kak.