Catatan Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Sudjiono Timan


Hak Calon Ahli Waris dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Catatan Atas Putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan Terpidana Sudjiono Timan

  1. Pengantar

Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali Agung  Sudjiono Timan oleh Mahkamah beberapa waktu yang lalu cukup menghebohkan publik. Tak kurang selama lebih dari seminggu berturut-turut putusan tersebut menjadi headline beberapa media nasional terkemuka. Tak hanya itu beberapa mantan Ketua Mahkamah Agung dan mantan Hakim Agung pun turut memberikan komentar atas putusan tersebut, suatu hal yang cukup jarang terjadi dimana mantan Ketua Mahkamah Agung memberikan komentar atas putusan dari Mahkamah Agung terlebih dengan nada kritik yang cukup keras.[1] Kritikan keras juga datang dari Hakim Agung aktif, bahkan Hakim Agung aktif tersebut menyatakan bahwa putusan PK yang diputuskan oleh koleganya tersebut batal demi hukum, dan menyarankan Jaksa Agung untuk mengajukan PK atas putusan PK tersebut.

Beberapa hal yang membuat putusan PK tersebut (yang saat itu salinan putusannya belum terbit) menjadi heboh adalah karena Sudjiono Timan sendiri saat itu (dan hingga kini) masih dalam status buron. Kedua, permohonan PK diajukan oleh Istri Sudjiono Timan dimana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa selain Terpidana yang dapat mengajukan PK adalah Ahli Waris, sementara dalam kasus ini diduga Sudjiono Timan masih hidup sehingga menurut sebagian pihak pemohon seharusnya belum dapat dikategorikan sebagai ahli waris. Ketiga, seperti biasa, perkara ini adalah perkara korupsi. Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika tiap putusan yang pada akhirnya membebaskan atau melepaskan (onslag van alle rechtsvervolging) akan membuat kehebohan tersendiri di negeri ini.

Sudjiono Timan sendiri adalah terpidana kasus korupsi dengan dugaan nilai korupsi yang cukup besar, yaitu berkisar lebih dari 500 milyar rupiah dengan nilai rupiah pada tahun 1995-1997. Pada saat itu ia adalah Direktur Utama PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI), sebuah BUMN yang bergerak dibidang pengembangan sektor riil melalui pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menegah dan Koperasi.[2] Pada tahun 2002 ia didakwa melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dirut PT BPUI tersebut.

Di tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu memutus perbuatan yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga Sudjiono Timan dinyatakan lepas dari segala tuntutan (Onslag van alle rechtsvervolging). Putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada tahun 2003 dan dinyatakan Sudjiono Timan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi penjara selama 15 tahun dan denda Rp 50 juta serta uang pengganti sebesar $98 juta dan Rp +/- 370 milyar. Namun belum sempat putusan tersebut dieksekusi ia kemudian melarikan diri. Sembilan tahun kemudian, tahun 2012 istri Sudjiono Timan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi tersebut, dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan nomor putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan putusan yang serupa dengan putusan di tingkat pertama, yaitu menyatakan Sudjiono Timan lepas dari segala tuntutan. Putusan PK tersebut tidak bulat, 1 orang anggota majelis, yaitu Sri Murwahyuni memiliki pendapat yang berbeda (dissenting), menurutnya secara formil seharusnya permohonan PK yang diajukan oleh Istri Terpidana tersebut tidak dapat diterima.

Banyak aspek hukum yang menarik untuk dikaji dalam putusan PK Sudjiono Timan ini, baik pada aspek formil maupun materil. Namun dalam kajian ini saya hanya akan membatasi analisa pada satu masalah dalam aspek formil putusan ini, yaitu alasan diterimanya permohonan PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan.

Permasalahan Hukum

Secara ringkas permasalahan hukum terkait aspek formil dalam putusan ini adalah sebagai berikut:

Dalam pasal 263 Ayat (1) KUHAP disebutkan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.

Atas ketentuan tersebut yang menjadi pokok permasalahan adalah:

  • Apa yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam ketentuan tersebut, apakah pengertian ahli waris dalam konteks ini merujuk pada hubungan antara Pewaris-Ahli Waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata?
  • Apakah hak untuk mengajukan PK bagi (para) ahli waris baru timbul jika Terpidana (pewaris) telah meninggal dunia atau tidak?
  1. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung tentang Sah Tidaknya Permohonan PK oleh Istri Terpidana

Pertimbangan hukum MA tentang sah tidaknya permohonan PK yang diajukan oleh Istri terpidana dimana terpidana sendiri belum meninggal dunia terdapat dalam halaman 160-162 putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 ini (versi online).

Berikut kutipan pertimbangan hukum tersebut:

“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permintaan Peninjauan kembali berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

  • Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya ;
  • Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akte Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991) ;
  • Bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut ;
  • Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya ;
  • Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan kembali ;
  • Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana ;
  • Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak ; lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris ;
  • Bahwa Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang didampingi oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan kembali pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan masing-masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari 2012 ;

Bahwa dengan demikian, permintaan Peninjauan kembali Pemohon secara formil dapat diterima”

Sementara itu pendapat berbeda dari hakim agung Sri Murwahyuni terkait permasalahan sah tidak nya permohonan Istri Terpidana terdapat pada halaman 165-166. Berikut kutipan lengkap dissenting opinion tersebut:

“Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan :

  • Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ;
  • Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia ;
  • Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara ;
  • Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan ;”
  1. Analisa

Dari pendapat hukum majelis PK (mayoritas) maka dapat ditarik beberapa poin utama mengapa menurut Majelis PK permohonan yang diajukan oleh Istri Terpidana saat terpidana masih hidup secara formal dapat diterima. Poin-poin tersebut yaitu:

  1. Bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Ahli Waris sebagaimana disebut dalam Pasal 263 Ayat (1);
  2. Bahwa pengertian Ahli Waris dalam Pasal 263 (1) bukan dalam pengertian waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan ditujukan pada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan PK;
  3. Menurut M. Yahya Harahap hak PK Ahli Waris bukan lah hak substitusi dari Terpidana setelah terpidana meninggal, melainkan hak orisinal demi kepentingan Terpidana;
  4. Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap tersebut maka tanpa Terpidana dan Ahli Warisnya sama-sama dapat mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah Terpidana telah meninggal atau tidak.

Argumentasi Majelis PK di atas menurut saya mengandung beberapa kelemahan dan permasalahan. Kelemahan dan permasalahan tersebut yaitu:

  1. Kesimpulan yang Melompat atas Pendapat M. Yahya Harahap

Memang benar di dalam KUHAP tidak terdapat pejelasan apa yang dimaksud dengan Ahli Waris, oleh karena itu maka dibutuhkan suatu penafsiran hukum atas masalah ini. Akan tetapi terlihat bahwa dalam melakukan penafsiran hukum tersebut Majelis PK melakukan lompatan konklusi/kesimpulan (jumping to conclusion). Lompatan kesimpulan ini terlihat ketika Majelis PK mengutip pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan PK bukanlah hak substitusi namun merupakan hak orisinil. Dari pendapat ini Majelis PK kemudian langsung mengambil kesimpulan bahwa dengan demikian maka berarti baik terpidana maupun Ahli Warisnya sama-sama memiliki hak untuk mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak.

Ada beberapa alasan mengapa menurut saya kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang melompat. Pertama, M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Majelis sebenarnya tidak sedang membahas apa yang dimaksud dengan Ahli Waris dalam konteks Pasal 263 (1) tersebut, namun seperti terlihat dari kutipan tersebut beliau sedang membahas apakah hak pengajuan PK oleh Ahli Waris diperoleh dari hak substitusi yang diberikan oleh terpidana (pewaris) atau bukan (hak orisinil). Jika jawabannya adalah yang pertama, maka berarti Ahli Waris hanya dapat mengajukan PK jika Terpidana sebelumnya memberikan kuasa kepadanya untuk mengajukan PK. Sementara itu jika ia adalah hak orisinil, maka Ahli Waris dapat mengajukan PK terlepas dari apakah sebelumnya Terpidana memberikan kuasa kepadanya (ahli waris/para ahli waris) untuk mengajukan PK atau tidak. Atas permasalahan ini maka M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan PK bukan lah hak substitusi namun hak orisinil.

Pendapat M. Yahya Harahap tersebut sebenarnya memiliki relevansi serta sejalan dengan pertimbangan Majelis PK dipoint sebelumnya, yang menyatakan bahwa Ahli Waris yang dimaksud dalam Pasal 263 (1) ini bukanlah dalam pengertian waris-mewaris harta benda (atau hak –penulis) namun ditujukan untuk pada orang-orang (selain Terpidana itu sendiri) yang mempunyai hak untuk mengajukan PK juga.  Mengapa demikian? Jika penggunaan kata “ahli waris” dalam Pasal 263 (1) tersebut dimaksudkan dalam pengertian waris-mewaris harta benda (atau suatu hak), maka perpindahan hak tersebut akan terjadi sesuai dengan hukum pewarisan, yang artinya tidak semua ahli waris akan memperoleh hak PK yang sebelumnya ada pada Terpidana tersebut namun hanya ahli waris yang memang secara khusus memperoleh/diwarisi hak tersebut saja. Atau, jika hak tersebut tidak diberikan pada salah seorang ahli waris namun pada beberapa ahli waris, maka masing-masing ahli waris tidak dapat menggunakan hak PK tersebut kecuali dengan persetujuan para ahli waris yang juga memperoleh hak tersebut.  Atas kerumitan ini maka Majelis PK sangat tepat ketika menyatakan bahwa konteks penggunaan kata ‘Ahli Waris’ tidak lah dimaksudkan dalam pengertian waris mewaris, namun untuk menunjukan pihak-pihak mana saja selain terpidana yang (akan) memiliki hak untuk mengajukan PK.

Dari permasalahan di atas maka tentu apa yang dimaksud dengan ‘ahli waris’ dalam Pasal 263 ayat (1) ini khususnya dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah hak PK dari (para) ahli waris baru dapat digunakan setelah Terpidana meninggal atau dapat digunakan saat Terpidana masih hidup belum lah terjawab. Oleh karenanya ketika Majelis PK menyimpulkan bahwa Ahli Waris dapat mengajukan PK sebelum Terpidana meninggal adalah kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion) atau setidaknya belum memiliki basis argumentasi yang kuat.

  1. Pengaburan Perbedaan Makna “Keluarga” dan “Ahli Waris”

Kedua, Majelis PK mengaburkan adanya perbedaan antara “keluarga” dan “Ahli Waris” padahal dalam KUHAP kedua istilah tersebut sama-sama digunakan dalam beberapa ketentuan yang berbeda. Jika dilihat lebih komperhensif sebenarnya KUHAP menggunakan dua istilah/term yang berbeda dalam beberapa ketentuannya terkait pemberian suatu hak kepada pihak selain Terpidana itu sendiri, yang bisa jadi penggunaan istilah yang berbeda tersebut memiliki arti serta maksud dan tujuan yang berbeda. Kedua istilah tersebut yaitu Ahli Waris dan Keluarga. Penggunaan istilah Ahli Waris dalam KUHAP digunakan pada 4 ketentuan, yaitu Pasal 95 ayat (2), 95 ayat (3), Pasal 263 Ayat (1), dan Pasal 268 ayat (2). 

Pasal 95 Ayat (2) dan (3)

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

Pasal 268 Ayat (2)

Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya

Sementara itu penggunaan istilah “Keluarga (nya)” digunakan pada 37 ketentuan, namun yang ketentuan yang serupa dengan pasal 263 ayat (1) dimana keluarga diberikan suatu hak untuk melakukan sesuatu selain terpidana, terdapat dalam 3 ketentuan, yaitu pasal 79, 123 ayat (1) dan ayat (3).

Berikut pasal-pasal tersebut:

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

123 ayat (1)

(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.

(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.

Khusus untuk pengertian “Keluarga” ini berbeda dengan istilah Ahli Waris yang tidak dijelaskan baik dalam penjelasan pasal maupun pada bagian Ketentuan Umum, istilah Keluarga dijelaskan dalam bagian Ketentuan Umum, yaitu Pasal 1 angka 30.

Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Dari beberapa ketentuan di atas maka terlihat adanya perbedaan penggunaan istilah yang berbeda. Ketika mengatur mengenai hak untuk mengajukan praperadilan atas dugaan penangkapan dan penahanan yang tidak sah (Pasal 79) pembentuk KUHAP menggunakan istilah “Keluarga” bukan “Ahli Waris”, begitu juga ketika mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan keberatan kepada Penyidik dan atasan Penyidik ketika Penyidik melakukan penahanan terhadap Tersangka (Pasal 123 ayat (1) dan (2)). Namun pada bagian lain (selain Pasal 263 ayat (1)) istilah “keluarga” tidak lagi digunakan, namun yang digunakan adalah “Ahli Waris”, seperti pada ketentuan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan atau tindakan lain yang tidak sah yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (Pasal 95 ayat (2)).

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Majelis PK tidak mencoba menggali terlebih dahulu mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda tersebut. Apakah kedua penggunaan dua kata dalam beberapa ketentuan yang berbeda tidak memiliki arti sama sekali atau dengan kata lain hanyalah ketidakkonsistenan pembuat KUHAP semata atau tidak? Jika memang penggunaan dua istilah yang berbeda tersebut hanyalah ketidakkonsistenan semata maka tentu dapat diterima pendapat Majelis PK yang menyatakan bahwa Istri Terpidana berhak menjadi pemohon PK dalam perkara a quo walaupun Terpidana masih hidup. Namun jika tidak, maka tentu makna hak bagi “Ahli Waris” dalam seluruh ketentuan di KUHAP adalah hak yang baru timbul jika Tersangka/Terdakwa/Terpidana telah meninggal dunia.

Indikasi bahwa pembuat KUHAP mengartikan “Keluarga” dan “Ahli Waris” sebagai dua konsep yang berbeda dan memaksudkan bahwa dengan menggunakan kata “ahli waris” berarti tersangka/terdakwa/terpidana telah meninggal salah satunya terlihat pada Pasal 268 (2) yang menyatakan apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya (cetak tebal oleh penulis). Dari ketentuan ini terlihat bahwa kata ahli waris jelas dimaksudkan untuk merujuk pada pihak tertentu yang dapat berarti keluarga atau lebih luas lagi, dan dalam konteks dimana Terpidana telah meninggal dunia. Pasal 268 ayat (2) tersebut terletak tidak jauh dari pasal 263 ayat (1) bukan kah terlalu janggal jika diasumsikan pembuat KUHAP tidak memaksudkan hal yang sama untuk kata yang sama di 5 pasal sebelumnya?

Selain itu kemungkinan bahwa pembuat KUHAP memang sengaja menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu antara Keluarga dan Ahli Waris juga dapat terlihat dari pasal 79 dan 123 ayat (1) dan (3) di satu bagian, dan 95 ayat (2) di bagian lain. Di pasal 79 dan 123 ayat (1) dan (3) saat mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan maupun keberatan mengenai sah tidaknya penahanan atau penangkapan, kata yang digunakan adalah “keluarga” bukan “ahli waris”. Mengapa demikian? Mungkin karena jika yang dipermasalahkan adalah sah tidak nya penangkapan maupun penahanan yang mana tujuan dari keberatan maupun praperadilan tersebut pastinya adalah agar pihak yang dikenakan penangkapan atau penahanan menjadi bebas dari penangkapan atau penahanan tersebut maka otomatis Tersangka masih hidup.

Sementara di asal 95 ayat (2) saat mengatur mengenai ganti kerugian atas tindakan baik penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasar pada undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, kata yang digunakan adalah “Ahli Waris” bukan keluarga. Mengapa demikian? Karena pada tahap ini berbeda ketika yang dipermasalahkan adalah ganti kerugian atas tindakan-tindakan tersebut maka belum tentu pihak yang secara langsung terkena tindakan tersebut  (tersangka, terdakwa atau terpidana) itu sendiri masih hidup, oleh karenanya istilah yang dipergunakan tidak lagi “keluarga” namun “ahli waris”. Karena istilah “Ahli Waris” memang mengandung arti bahwa si ‘pewaris’ telah meninggal.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa pendapat saya di atas tentang mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu “keluarga” dalam beberapa ketentuan dan “ahli waris” dalam beberapa ketentuan lainnya adalah sudah pasti benar. Yang ingin saya katakan adalah mengapa Majelis PK seakan mengabaikan adanya fakta tersebut dan tidak mencoba untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan atas alasan digunakannya dua istilah yang berbeda tersebut. Pengabaian fakta tersebut menurut saya berkesimpulan bahwa penafsiran kata “ahli waris” ada pasal 263 ayat (1) sebagaimana dalam putusan ini belum dilakukan secara matang.

  1. Inkonsistensi dengan Kebijakan Mahkamah Agung Melalui SEMA No. 1 Tahun 2012

Selain hal-hal di atas tidak berlebihan jika dikatakan penafsiran Majelis PK dalam perkara ini tidak konsisten dengan kebijakan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. SEMA ini memang tidak mengatur mengenai apakah Istri, suami atau calon ahli warisnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali untuk kepentingan Terpidana saat terpidana itu sendiri masih hidup. SEMA ini hanya mempertegas bahwa hak  untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya ada pada Terpidana atau Ahli Warisnya sendiri, dan permintaan PK oleh Kuasa Hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Selain itu SEMA ini juga mempertegas kehadiran Terpidana dalam sidang pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri yang tanpanya permintaan tersebut juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sekilas SEMA ini memang tidak bersinggungan langsung dengan perkara ini, atau bahkan sama sekali tidak bertentangan mengingat dalam pertimbangannya Majelis PK juga menyatakan bahwa Istri Sudjiono Timan sebagai Pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan PK di PN Jakarta Selatan yang dibuktikan dengan tanda tangannya dalam Berita Acara Persidangan tanggal 20 dan 29 Februari 2012. Namun jika SEMA ini dipahami dengan melihat sejarah dan latar belakang munculnya SEMA tersebut maka akan terlihat dimana letak permasalahannya.

Walaupun SEMA No. 1 Tahun 2012 tidak menjelaskan apa maksud dan tujuan dari diterbitkannya SEMA tersebut, namun SEMA  ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya dualisme pandangan di MA pada sekitar tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu terdapat dua permohonan PK dimana kedua terpidana merupakan terpidana atas perkara yang sama namun berkas perkaranya di split, yaitu permohonan PK dengan Terpidana Abdul Hadi Djamal (No. 45 PK/Pid.Sus/2010) dan permohonan PK dengan Terpidana Dedy Suwarsono. Kedua permohonan PK tersebut tidak diajukan sendiri oleh Terpidana, namun oleh Kuasa Hukumnya. Pada kasus Abdul Hadi Djamal Majelis PK menyatakan permohonan PK yang tidak diajukan oleh Terpidana sendiri namun oleh kuasa hukumya harus dikesampingkan karena dianggap tidak memuhi syarat formal, yaitu harus diajukan sendiri oleh Terpidana. Akan tetapi putusan tersebut tidak bulat, 2 orang hakim agung yaitu R. Imam Harjadi dan Mansyur Kartayasa (Ketua Majelis) yang walaupun tetap menyatakan permohonan PK tidak dapat dikabulkan (syarat materil) namun berpandangan bahwa secara formil permohonan PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terpidana tetap dapat diterima.

Putusan tersebut khususnya mengenai dapat tidaknya permohonan dianggap memenuhi syarat formil bertolak belakang dengan putusan PK yang dengan Terpidana Dedy Suwarsono. Dalam putusan PK Dedy Suwarsono permohonan secara formil dinyatakan dapat diterima, walaupun putusan tersebut juga tidak bulat. Satu orang Hakim Ad Hoc yang juga duduk sebagai anggota Majelis dalam PK Abdul Hadi Djamal, Krisna Harahap, tetap pada pendiriannya sebagaimana di kasus PK Abdul Hadi Djamal, yaitu menyatakan permohonan secara formil tidak memenuhi syarat.

Adanya dua pandangan atas bisa atau tidaknya permohonan PK diajukan tidak oleh Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa Hukumnya  diakui oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, yaitu Harifin A. Tumpa[3]. Sebelum kedua kasus tersebut sebenarnya sudah cukup lama MA tidak mempersoalkan apakah permohonan PK diajukan sendiri oleh Terpidana atau diajukan oleh Kuasa Hukumnya. Sebagai contoh misalnya putusan PK No. 63 PK/Pid/2005[4] dan putusan PK No. 47 PK/Pid/2009[5]. Kedua permohonan PK tersebut tidak diajukan oleh Terpidana namun oleh Kuasa Hukumnya, dan keduanya dipandang memenuhi syarat formil oleh Mahkamah Agung dan dalam pokok perkara permohonan dikabulkan. Namun setelah adanya pandangan yang baru dari para Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung khususnya dalam perkara PK Abdul Hadi Djamal secara perlahan namun pasti mayoritas Hakim Agung (dan Hakim Ad Hoc) mulai merubah pandangannya mengikuti pendapat para Hakim Ad Hoc tersebut dalam menafsirkan ketentuan mengenai syarat formal permohonan PK dalam KUHAP.

Adanya perubahan pandangan tersebut terlihat dalam putusan PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terpidana lainnya yaitu Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010) yang hanya berjarak 4 bulan setelah putusan PK Abdul Hadi Djamal. Dalam perkara ini ketua Majelis PK Artidjo Alkotsar yang juga merupakan Ketua Majelis dalam perkara PK No. 47 PK/Pid/2009 yang sama sekali tidak mempersoalkan mengenai apakah pemohon PK dalam perkara 47 PK/Pid/2009 tersebut diajukan sendiri oleh Terpidana atau Kuasa Hukumnya, dalam perkara Setia Budi ini terlihat telah merubah pandangannya. Dan setelahnya mulai banyak permohonan-permohonan PK yang diajukan tidak oleh Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa Hukumnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA dengan alasan yang serupa dengan pertimbangan dalam kasus PK Abdul Hadi Djamal[6]. Dan akhirnya setelah hampir seluruh –jika tidak dapat dikatakan seluruhnya- Hakim Agung berpandangan yang sama, Ketua Mahkamah Agung pada pertengahan Juni 2012 lalu akhirnya memperkuat pandangan tersebut dengan menerbiktan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini.

Dari pemaparan di atas dapat terlihat adanya hubungan antara SEMA No. 1 Tahun 2012 dengan pertimbangan MA dalam putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 tersebut. Permasalahan tidak berhenti di sini. Permasalahan berlanjut pada mengapa secara tiba-tiba 3 Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung pada kasus Abdul Hadi Djamal menganggap penting permohonan PK diajukan sendiri oleh Terpidana atau Ahli Warisnya, serta mengapa kehadiran pemohon dalam persidangan pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri merupakan kewajiban. Jawaban atas pertanyaan ini terdapat dalam pertimbangan Majelis PK Abdul Hadi Djamal tersebut pada halaman 89. Berikut kutipan pertimbangannya:

“Bahwa khusus mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi, permohonan PK seyogianya dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 263 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 265 ayat (3) untuk menjaga kemungkinan permohonan diajukan oleh kuasa sedang Terpidana sendiri melarikan diri dan bersembunyi sehingga putusan Pengadilan tidak dapat di eksekusi ; “

Dari kutipan pertimbangan hukum putusan PK Abdul Hadi Djamal tersebut terlihat bahwa mengapa majelis menafsirkan permohonan PK harus diajukan sendiri oleh Terpidana (atau Ahli Warisnya) serta Pemohon harus (setidaknya pernah) hadir dalam siding pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri adalah untuk memastikan bahwa Terpidana sedang tidak melarikan diri.

Alasan tersebut kemudian diperkuat dalam putusan putusan PK Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010) yang mana dalam putusan ini Majelis memberikan beberapa contoh kasus dimana Terpidana melarikan diri. Berikut kutipan pertimbangan hukum MA yang tertuang di halaman 66-67:

  • “Bahwa ditaatinya ketentuan-ketentuan seperti ditetapkan di dalam KUHAP mengenai permohonan Peninjauan Kembali/Terpidana, khusus terkait perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi, mempunyai arti tersendiri di dalam rangka menghindari kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali oleh Kuasa sedangkan yang bersangkutan bersembunyi atau lari ke Negara-Negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Republik Indonesia. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengacu kepada beberapa peristiwa yang terjadi, diantaranya :
    • Kasus PT. Goro Batara Sakti dan BULOG yang merugikan Negarahingga Rp.96.000.000.000,- (sembilan puluh enam milyar). Dari tempat persembunyiannya Terpidana Tommy Soeharto mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ;
    • Kasus Djoko Tjandra yang terlibat kasus cessie Bank Bali Rp.546.468.000.000,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta rupiah) Mahkamah Agung memeriksa peninjauan kembali yang diajukan Jaksa dan menjatuhkan hukuman 2 (dua) tahun penjara dan denda Rp.15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Sehari sebelum putusan itu diputuskan dalam Musyawarah dan Ucapan para Hakim Agung, Djoko Tjandra yang sudah mengetahui terlebih dahulu, memutuskan lari ke luar negeri dengan menggunakan pesawat carteran dari tempat persembunyiannya di luar negeri, ia mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ;
    • Kasus Adelin Lis, pembalak hutan di Mandailing, Tapanuli Selatan. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 31 Juli 2008 menghukum Adelin Lis 10 (sepuluh) tahun penjara, uang pengganti Rp. 119.800.000.000,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus juta rupiah), dana reboisasi US $ 2,938 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan Dollar Amerika) dan denda Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsider 6 (enam) bulan. Putusan kasasi ini tidak dapat dieksekusi karena Terpidana melarikan diri ;
  • Bahwa khusus dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, kehadiran Terpidana dan keharusan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, memiliki makna tersendiri, dalam rangka mencegah larinya Terpidana yang mengakibatkan putusan yang sudah inkracht tidak dapat dieksekusi ;”

Dengan inti pertimbangan kedua putusan tersebut yang kemudian mengubah sebagian besar pandangan para Hakim Agung dan hingga akhirnya dikeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2012 maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diterbitkannya SEMA tersebut adalah untuk menghindari adanya permohonan PK demi kepentingan Terpidana sementara Terpidananya sendiri sedang melarikan diri atau tidak menaati putusan pengadilan.

Yang kini menjadi permasalahan adalah, bukankah jika Ahli Waris dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ditafsirkan semata sebagaimana menafsirkan pengertian “keluarga”, yang mana “ahli waris” tersebut memiliki hak PK terlepas dari apakah Terpidana (Pewaris) telah meninggal dunia atau belum, secara tidak langsung akan menggugurkan tujuan dari diterbitkannya SEMA 1/2012 itu sendiri? Sebagaimana dalam kasus PK Sudjiono Timan ini, tentu akan sangat mudah bagi Terpidana yang sedang melarikan diri untuk mengajukan permohonan PK, cukup meminta salah satu anggota keluarganya, bisa suami/istri, anak, atau orang tua untuk mengajukan PK tersebut. Pada akhirnya SEMA 1/2012 serta putusan-putusan MA sebelumnya menjadi tidak ada artinya.

Sekali lagi, sayangnya Majelis sepertinya tidak mencoba mengeloborasi penafsiran terhadap dapat tidaknya “keluarga” atau calon Ahli Waris mengajukan PK dan implikasinya terhadap kemungkinan ketidakefektifan SEMA 1/2012 tersebut.

  1. Catatan Atas Dissenting Opinion

Seperti telah dinyatakan dibagian awal, dalam putusan PK Sudjiono Timan ini putusan tidak diputus secara bulat, terdapat 1 orang Hakim Agung yang berbeda pendapat (dissenting), yaitu Sri Murwahyuni. Dalam dissenting opinionnya pada intinya Hakim Agung Sri Murwahyuni berpendapat bahwa seharusnya permohonan PK oleh Istri Sudjiono Timan tidak dapat diterima. Dalam bagian ini secara khusus saya akan menyoroti bagaimana dissenting opinion beliau. Berikut saya kutip kembali pendapat dari Hakim Agung Sri Murwahyuni:

 Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia ;

Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara ;

Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan ;

Dari pendapat tersebut walaupun pada akhirnya beliau menyatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan PK demi kepentingan Terpidana hanya dapat diajukan jika Terpidana telah meninggal dunia namun sayangnya pendapat tersebut tidak disertai bantahan atas penafsiran yang diajukan mayoritas anggota majelis, atau setidaknya pendapat yang dapat menggambarkan mengapa beliau tidak setuju dengan penafsiran majelis mayoritas tersebut. Akan sangat menarik dan akan memperkaya perkembangan hukum tentu jika beliau memberikan setidaknya sedikit pendapat misalnya bagaimana posisinya atas penfasiran M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip pertimbangan dari Majelis mayoritas.

Selain itu pendapat beliau pada bagian akhir menimbulkan kerancuan, apakah alasan beliau sebenarnya berpendapat bahwa secara formal permohonan tidak dapat diterima disebabkan karena pemohon belum memiliki legal standing untuk mengajukan PK karena Terpidana belum meninggal atau sebenarnya dikarenakan Terpidana melarikan diri? Kejelasan mengenai hal ini penting, karena dalam pendapat terakhir beliau dapat ditafsirkan jika Terpidana melarikan diri, maka hak ahli waris walaupun Terpidana telah meninggal dunia tetap harus dinyatakan tidak dapat diterima.

  1. Kesimpulan

Dari uraian di atas saya berkesimpulan:

  1. Pendapat Mahkamah Agung dalam putusan No. 97 PK/Pid.Sus/2012 khususnya pedapat majelis mayoritas yang menafsirkan bahwa hak atau legal standing (calon) ahli waris telah ada walaupun Terpidana (calon Pewaris) masih hidup belum disertai dengan argumentasi yang cukup memadai. Majelis mengambil kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion) ketika menarik kesimpulan dari pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak ahli waris dalam Pasal 263 ayat (1) adalah hak orisinil bukan hak substitusi bahwa dengan demikian maka berarti ahli waris memiliki legal standing untuk mengajukan PK walaupun Terpidana belum meninggal.
  2. Ketika menyatakan bahwa ahli waris dapat mengajukan PK walaupun Terpidana masih hidup majelis secara tidak langsung telah mempersamakan makna Ahli Waris dengan Keluarga yang mana kedua istilah tersebut dipergunakan dalam KUHAP. Dipergunakannya dua istilah tersebut dalam KUHAP sangat mungkin memang dimaksudkan memiliki makna yang berbeda, sayangnya dalam putusan ini Majelis tidak berupaya untuk menggali kemungkinan tersebut.
  3. Mengingat penafsiran mengenai legal standing Istri untuk mengajukan PK saat Terpidana belum meninggal dunia belum didasari oleh argumentasi yang cukup serta mengingat penafsiran tersebut belum mengelaborasi alasan mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu “Keluarga” dan “Ahli Waris” dalam ketentuan yang berbeda, maka menurut penulis pendapat Majelis mayoritas dalam putusan ini belum cukup dasar untuk dikemudian hari dipandang sebagai yurisprudensi.

[1] footnotes

[2] http://www.bahana.co.id/bpui/

[3] Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK Oleh Advokat, Hukumonline.com 12 Maret 2010 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b9a65f16afe3/sikap-ma-terbelah-tentang-pengajuan-pk-oleh-advokat

[4] Pada hal putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan dan tambahan permohonan peninjauan kembali bertanggal 15 maret 2005 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Kolaka pada tanggal 15 Maret 2005 dari kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama terdakwa juga sebagai terpidana tersebut berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 maret 2005 yang mohon agar putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat ditinjau kembali.” (cetak tebal oleh penulis)

[5] Pada hal. 6 putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan peninjauan kembali tertanggal 20 Februari 2009 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar pada tanggal 28 Februari 2009 dari kuasa Terpidana, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali” (cetak tebal oleh penulis)

[6] Beberapa contoh putusan PK yang dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan yang serupa dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 dapat dilihat dalam tulisan saya “Catatan SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Permohonan PK Dalam Perkara Pidana” di https://krupukulit.wordpress.com/2012/07/02/catatan-sema-no-1-tahun-2012-tentang-pengajuan-permohonan-pk-dalam-perkara-pidana/

6 thoughts on “Catatan Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Sudjiono Timan

  1. menarik sekali anotasinya bang! saya setuju dengan pandangannya yang menyatakan bahwa putusan tersebut belum dapat dijadikan acuan sebagai yurisprudensi. alasannya masih belum cukup kuatnya pertimbangan hukum MA tersebut untuk dijadikan rujukan dalam perkara-perkara lainnya. Apalagi putusan tersebut juga menuai beragam kritik dari para ahli sebagaimana disinggung dalam pendahuluan anotasi putusan tersebut.

    saya sependapat dengan pandangan Yahya Harahap bahwa hak ahli waris untuk mengajukan pk tersebut bukan hak subtitusi melainkan hak orisinil. karena apabila hak ahli waris untuk mengajukan pk baru diberikan setelah terpidana (pewaris) meninggal, maka tujuan yang hendak dicapai oleh ahli waris dalam mengajukan pk tidak akan terlalu berguna lagi untuk dilakukan. lha wong yang dijatuhi pidana sudah di alam kubur hehehe.

    menurut saya seharusnya pk tersebut tidak diterima secara formil bukan dengan alasan terpidana belum meninggal dunia, melainkan karena terpidana tidak hadir langsung dalam persidangan pk meski pemohon pknya (dalam hal ini ahli waris) hadir dalam sidang.

    sayangnya terdapat celah dalam sema 1/2012 yang telah disusun oleh MA. SEMA tersebut tidak secara eksplisit mewajibkan terpidana hadir dalam persidangan pk apabila pemohon pk bukan terpidana (dalam hal ini ahli warisnya). sehingga demi menghormati rasa keadilan dalam masyarakat, sudah semestinya MA sesuai dengan kewenangannya mencabut dan merevisi sema tersebut.

    demikian dan wassalam 🙂

  2. Terima kasih atas komentarnya.
    Mengenai pandangan Yahya, saya kurang sependapat. Menurut saya hak ahli waris untuk mengajukan PK memang baru timbul setelah Terpidana meninggal dunia. Hak kepada ahli waris tersebut diberikan bukan untuk kepentingan Terpidana namun kepentingan para ahli waris itu sendiri, antara lain untuk memulihkan nama baik keluarga.

    KUHAP memang tidak menjelaskan apa makna ‘ahli waris’ dalam pasal 263, namun menurut saya pembuat KUHAP memang memaksudkan bahwa hak ahli waris tersebut baru timbul setelah terpidana meninggal dunia, mengapa? Jika pembuat KUHAP memaksudkan hak tersebut telah ada sebelum terpidana meninggal dunia maka istilah yang akan digunakan bukanlah ‘ahli waris’ namun ‘keluarga.

    Selain itu jangan dilupakan bahwa rujukan utama pembuat KUHAP adalah KUHAP Belanda (Sv). Dan sebagai perbandingan, hak PK bagi ahli waris di Belanda juga baru timbul setelah Terpidana meninggal dunia. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal Pasal 458 Sv:
    (1) Na het overlijden van de gewezen verdachte kan de herzieningsaanvraag gedaan worden door:
    a. de procureur-generaal
    b. de overlevende echtgenoot of geregistreerde partner, of bij afwezigheid dan wel niet in staat of bereid zijn van deze
    c. elke bloedverwant in de rechte lijn of bij afwezigheid dan wel niet in staat of bereid zijn van deze
    d. de bloedverwanten in de zijlijn tot en met de tweede graad

    terjemahan:
    1) Following the death of the former accused may request the revision done by:
    a) procureur-generaal (mengenai apa itu PG bisa dibaca ditulisan saya di sini https://krupukulit.wordpress.com/2012/05/04/kasasi-demi-kepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan/)
    b) A surviving spouse or registered partner, or in the absence or unable or unwilling to these;
    c) . every relative in the direct line or in the absence or unable or unwilling to these
    d) relatives in the collateral line up to the second degree

    Dari dua penjelasan di atas, menurut saya pandangan Yahya Harahap lemah, atau setidaknya kurang berdasar.

    Salam

  3. Sy sangat kecewa dgn para penegak hukum dr mulai penyidik sampai pengadilan tingkat banding.justru yg bermufakat jahat itu mereka para penegak hukum agar supaya sy di hukum lama.bagaimana sy bs bermufakat sm org yg belum pernah sy kenal sebelum nya .bnnp menangkap sy dgn bb 0,3 beserta klipnya. Dan sy sdh di vonis 1 th 4 bulan.aneh nya wakru di tangkap sy di kaitkan dgn org yg tdk sy kenal gara di rekening sy ada transferan 15 jt dr anak nya org yg di kaitkan ada hubunganya dgn sy. Heran nya selama penyidikan sy minta di pertemukan sm org yg katanya ada kaitanya dgn sy itu tdk pernah di pertemukan bahkan sy di taruh di tempat yg berbeda dr semua tahanan .semua tahanan di titipkan di polda jatim hanya sy sendiri yg di titipkan di polsek gubeng.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s