Jumat 13 Desember 2013 yang lalu, Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang Profesor Yusril Ihza Mahaendra, yang juga (katanya) Calon Presiden dari partai tersebut mengajukan permohonan pengujian UU (Judicial Review) atas beberapa pasal dalam UU Pemilihan Presiden (UU 42 Tahun 2008). Pasal-pasal dalam UU Pilpres tersebut adalah pasal-pasal yang pada intinya mengatur bahwa pelaksanaan Pemilihan Presiden dilakukan 3 bulan setelah pelaksanaan Pemilihan Legislatif.[1]
Menurut beliau pelaksanaan Pilpres seharusnya bersamaan dengan Pemilihan Legislatif, oleh karena menurut penafsirannya atas pasal 22E Ayat (1) UUD yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali berarti pemilu untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif harus dilaksanakan secara bersamaan. Tidak dilaksanakannya kedua pemilu secara serentak tersebut merugikan kepentingannya sebagai calon presiden. Entah mengapa menurutnya hal tersebut merugikan kepentinganya, mungkin beliau sudah memprediksi perolehan suara partainya, Partai Bulan Bintang, tidak akan terlalu besar (atau bahkan tidak akan lolos electoral theshold seperti pada tahun 2009) sehingga PBB tak dapat mencalonkan dirinya sebagai Calon Presiden.
Atas permohonan tersebut di twitter saya menyatakan berdasarkan Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman salah seorang hakim konstitusi yang akan memeriksa dan memutus permohonan tersebut harus mengundurkan diri dari perkara tersebut, dengan alasan adanya kepentingan langsung atau tidak langsung. Salah seorang hakim konstitusi tersebut adalah Hamdan Zoelva, yang saat ini kebetulan juga merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Pasal 17 ayat (5) UU Mahkamah Konstitusi
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara
Terdapat beberapa alasan mengapa menurut saya Hamdan Zoelva memiliki (pontensi) kepentingan langsung atau tidak langsung (conflict of interest) atas perkara tersebut. Namun sebelum menjabarkan dimana letak potensi conflict of interest yang saya maksud, tentu perlu dijelaskan terlebih dahulu batasan mengenai conflict of interest atau kepentingan langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) di atas.
Apa yang dimaksud dengan “Kepentingan langsung atau tidak langsung” atau conflict of interest terdapat dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (5) seperti terlihat di bawah ini:
Penjelasan Pasal 17 ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.
Seperti terlihat di atas, pembuat UU menggunakan rumusan “…adalah termasuk apabila”. Rumusan yang demikian artinya pembuat UU tidak memaksudkan bahwa apa yang akan didefinisikan (kepentingan langsung atau tidak langsung) terbatas pada apa yang dijelaskan pada frase-frase berikutnya (pernah menangani perkara tersebut dst), namun memungkinkan adanya bentuk-bentuk lain dari kata atau frase yang dimaksudkan tersebut (konflik kepentingan).
Model penjelasan yang bersifat tidak tertutup sebagaimana pasal 17 ayat (5) merupakan hal yang jamak dalam perundang-undangan. Model perumusan penjelasan tersebut umumnya terjadi ketika pembuat UU belum mampu membayangkan sejauh mana batasan dari kata/frase yang akan dijelaskan, atau kata/frase tersebut memang memiliki cakupan yang cukup luas yang akan menjadi terlalu panjang jika hal tersebut dijelaskan secara detil dalam penjelasan pasal. Namun agar penafsirannya tidak menjadi terlalu luas pembuat UU kemudian hanya memberikan beberapa contoh yang memiliki beberapa kesamaan agar kemudian dalam penerapannya pelaksana UU dapat menarik prinsip-prinsipnya dan mengujinya dalam kasus-kasus kongkrit yang dihadapinya.
Contoh lain dari penjelasan pasal yang tidak bersifat definitif ini terdapat juga dalam UU 48 Tahun 2009, misalnya ketika pembuat UU menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pengadilan khusus’ dalam Pasal 27 ayat (1). Dalam penjelasannya pembuat UU menggunakan kata “antara lain” yang maknanya serupa dengan “termasuk apabila..”
Pasal 27 ayat (1) UU 48 Tahun 2009
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 48 Tahun 2009
Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Dengan rumusan penjelasan di atas maka tidak lah berarti bahwa pengadilan khusus terbatas pada pengadilan-pengadilan yang disebut dalam penjelasan tersebut. Penjelasan tersebut hanyalah memberikan contoh pengadilan-pengadilan khusus, point utamanya dari pasal 27 ayat (1) adalah bahwa jika ingin membentuk pengadilan khusus harus berada dalam salah satu lingkungan peradilan, serta diatur dengan UU (pasal 2).
Kembali ke penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kepentingan langsung atau tidak langsung”. Dengan rumusan seperti dalam penjelasan pasal 17 ayat (5) maka selain dari 2 contoh yang telah disebut yaitu hakim yang bersangkutan pernah menangani perkara tersebut (misalnya sebagai hakim yang memeriksa perkara a quo dalam tingkat pertama atau banding –untuk perkara-perkara yang diadili di pengadilan di bawah Mahkamah Agung) atau perkara yang akan diadili pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya, tetap terbuka kemungkinan bentuk-bentuk dari “kepentingan langsung atau tidak langsung”.
Sekarang kita masuk potensi konflik kepentingan langsung atau tidak langsung dari Hamdan Zoelva dalam permohonan JR atas UU Pilpres yang diajukan oleh Prof. Yusril ini.
Pertama, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa Hamdan Zoelva memiliki hubungan politik dengan Prof. Yusril sebagai pemohon. Hamdan Zoelva merupakan mantan anggota partai yang dipimpin oleh Prof. Yusril tersebut, Partai Bulan Bintang. Tak hanya sebagai anggota, Hamdan Zoelva sebelum akhirnya dianggat menjadi Hakim Konstitusi pada tahun 2010 yang lalu beliau merupakan Wakil Ketua Umum partai tersebut.
Tentu afiliasi politik semata tidak lah cukup untuk menyatakan seorang hakim harus didiskualifikasi dari suatu perkara. Hal ini pun dinyatakan dalam Commentary on The Bangalore Principles of Judicial Conduct dimana dalam bagian Impartiality disebutkan “Experience outside the law, whether in politics or in any other activity, may reasonably be regarded as enhancing a judicial qualification rather than disabling it”[2]. Namun hal tersebut tetap lah harus menjadi catatan untuk menilai ada tidaknya potensi konflik kepentingan, sebagaimana kelanjutan dari kalimat dalam komentar dalam Bangalore Principles tersebut “But it has to be recognized and accepted that a judge is expected to leave behind and put aside political affiliations or partisan interests when he or she takes the judicial oath or affirmation to perform judicial duties with independence and impartiality. That has minded and informed person in deciding whether or not there is a reasonable apprehension of bias.”
Untuk itu kita masuk ke permasalahan kedua. Kedekatan Prof. Yusril sebagai pemohon tidak lah sekedar pada bahwa ia dan Hamdan Zoelva pernah satu partai. Setelah Hamdan Zoelva tidak lagi menjadi anggota DPR untuk period 2004-2009 beliau menjadi Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara pada tahun 2004-2007 yang saat itu dijabat oleh Prof. Yusril Ihza Mahaendra. Jabatannya sebagai Staf Khusus Mensesneg tersebut berakhir bersamaan dengan diberhentikannya Prof. Yusril sebagai Menteri Sekretaris Negara yang saat itu digantikan oleh Hatta Rajasa.
Ketiga, Hamdan Zoelva sendiri merupakan kuasa hukum dari Partai Bulan Bintang ketika mengajukan Judicial Review pasal 9 UU yang sama, UU 42 Tahun 2008 pada tahun 2008 yang lalu. Pokok permohonan dari PBB (dan beberapa pihak pemohon lainnya) yaitu bahwa presidential threshold atau syarat minimum perolehan kursi di DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden menurut pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan tersebut pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 51-52-59/PUU-VI-2008.
Pada isu ketiga ini walaupun pasal yang dulu diuji oleh PBB dimana Hamdan Zoelva merupakan salah satu kuasa hukumnya tersebut berbeda dengan pasal yang diuji oleh Prof. Yusril selaku Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang saat ini, namun pada dasarnya kedua permohonan ini memiliki kesamaan isu yang sama. Mengapa demikian?
Pasal-pasal dalam UU Pilpres yang saat ini diuji memang tidak memiliki kaitan langsung dengan presidential threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Namun apabila pasal-pasal yang saat ini diajukan oleh Prof. Yusril dikabulkan MK maka secara otomatis Pasal 9 yang dulu diuji menjadi tidak efektif pula. Intinya, pada dasarnya tujuan pengujian baik dulu maupun sekarang adalah sama, yaitu agar Partai Bulan Bintang dapat mencalonkan Prof. Yusril sebagai Calon Presiden. Adanya Presidential Threshold merupakan hambatan utama baginya untuk mencapai tujuan tersebut, karena sejak PBB berdiri partai tersebut tidak pernah mampu mencapai suara yang cukup signifikan. Bahkan untuk memenui ambang batas minimal yang dipersyaratkan untuk dapat memiliki kursi di DPR pun pada tahun 2009 yang lalu partai tesebut gagal, dan sangat mungkin pada pemilu legislatif tahun 2014 nanti akan bernasib sama.
Kini, PBB dan Prof Yusril tampaknya mencari jalan memutar untuk mengakali Presidential Threshold yang diatur dalam Pasal 9 ini. Pilpres dan Pileg secara bersamaan yang menjadi targetnya. Dengan cara ini maka Presidential Threshold otomatis harus berubah. Karena, bagaimana menentukan parpol mana yang berhak mengajukan Calon Presiden jika jumlah perolehan kursi di DPR sendiri belum dapat ditentukan karena ya pemilu untuk Legislatifnya sendiri bersamaan dengan Pilpres itu sendiri? Memang terdapat kemungkinan pasal 9 tidak berubah, namun jika hal itu terjadi maka hal itu sama saja semakin merugikan PBB dan Prof. Yusril karena berarti Parpol yang dapat mengajukan Presiden adalah Parpol yang memiliki sekian jumlah kursi pada pemilu 2009, sementara PBB sama sekali tidak memiliki 1 kursi pun berdasarkan pemilu 2009 yang lalu. Dan ini tentu bukan tujuan beliau. Tujuan beliau tentu agar MK kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud Partai Politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 6A ayat (1) UUD semata setiap parpol yang lolos untuk mengikuti Pemilu, terlepas dari apakah parpol tersebut pada akhirnya memiliki kursi atau tidak di DPR nantinya.
Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2008
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa walaupun apa yang dimohonkan oleh PBB dan Prof. Yusril saat ini seakan berbeda dengan pokok permohonan yang diajukan sebelumnya dimana Hamdan Zoelva saat itu tidak hanya masih menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PBB namun juga sebagai Kuasa Hukum dari partai tersebut namun pada prinsipnya tetap sama.
Yang menjadi pertanyaan kini, layak kah Hamdan Zoelva yang saat ini menjabat hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi ikut memeriksa dan memutus perkara JR kali ini? Sejauh mana jaminan bahwa dirinya tidak akan memiliki konflik kepentingan dimana ia tidak hanya pernah menjadi pimpinan teras partai yang saat ini menjadi pemohon, namun juga pernah menjadi Staf Khusus dari Prof Yusril saat menjabat sebagai menteri, dan ia pun pernah menjadi kuasa hukum dari partai tersebut untuk menguji ketentuan yang pada prinsipnya sama yaitu untuk memudahkan Prof Yusril dicalonkan/mencalonkan diri sebagai calon presiden? Bagi saya pribadi sangat sulit untuk meyakini bahwa jika nanti permohonan Prof Yusril kali ini dikabulkan oleh MK putusan tersebut diputus secara independen dan imparsial. Berikut saya kutip panduan PBB mengenai Bangalore Principles of The Judicial Conduct terkait isu imparsialitas:
Judicial impartiality is concerned both with impartiality in fact and impartiality in the perception of a reasonable observer. In judicial matters, the test for conflict of interest must include both actual conflicts between the judge’s own interests and the duty of impartial adjudication, and the circumstances in which a reasonable observer would (or might) reasonably apprehend a conflict. For example, although members of a judge’s family have every right to be politically active, the judge should recognize that the political activities of close family members may, even if erroneously, adversely affect the public perception of his or her impartiality.[3] (cetak tebal oleh penulis)
Potensi Konflik Kepentingan pada Hakim Konstitusi Lainnya
Dalam twit-twitnya terkait isu ini Prof. Yusril menyatakan bahwa jika Hamdan Zoelva dipandang memiliki potensi konflik kepentingan dalam perkara ini, maka terdapat 2 hakim konstitusi lainnya yang juga memiliki potensi konflik kepentingan. 2 Hakim Konstitusi tersebut yaitu Harjono dan Patrialis Akbar. Harjono menurutnya pernah menjadi aktivis (anggota?) PDI-P dan pernah menjabat sebagai anggota DPR/MPR dari fraksi PDI-P. Sementara Patrialis Akbar sebelumnya pernah menjadi anggota PAN dan menjadi Menkumham dari unsur PAN.
Twit-twit tersebut tentu dimaksudkan agar posisi Hamdan Zoelva tidak perlu dipersoalkan, karena jika dipersoalkan maka (menurutnya) konsekuensinya akan terdapat 3 hakim konstitusi yang harus mundur dari perkara tersebut yang pada akhirnya MK tidak dapat memutus karena jumlah hakimnya kurang dari kuota minimum (7 hakim). Dan Prof Yusril tentu menyadari bahwa dalam peraturan MK disebutkan bahwa jika pengunduran diri dari suatu perkara mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan, aturan mengenai pengunduran diri tersebut dapat dikecualikan (Poin 5 Bagian Kedua tentang Prinsip Ketidakberpihakan PMK No. 9/PMK/2006). Tapi, apakah benar kedua hakim konstitusi yang disebutnya memiliki potensi konflik kepentingan sebagaimana Hamdan Zoelva? Menurut saya tidak.
Sebagaimana kutipan atas komentar dalam Bangalore Principles di atas terlihat bahwa afiliasi politik semata bisa tidak menjadi dasar pendiskualifikasian seorang hakim dalam menangani suatu perkara. Baik Hakim Konstitusi Harjono maupun Patrialis Akbar memang pernah terafiliasi dengan suatu partai politik tertentu –seperti halnya Hamdan Zoelva- namun sebagaimana telah saya urai di atas Hamdan Zoelva memiliki hubungan yang lebih dari sekedar afiliasi politik. Adanya hubungan yang lebih tersebut saat ini belum dimiliki oleh kedua hakim konstitusi lainnya tersebut. Sehingga menurut saya belum cukup dasar untuk menyatakan bahwa baik Harjono maupun Patrialis Akbar memiliki potensi konflik kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung yang membuatnya harus mengundurkan diri dari perkara a quo.
Mekanisme Penyelesaian Potensi Konflik Kepentingan
Apakah Hamdan Zoelva benar memiliki konflik kepentingan dalam perkara ini hingga harus mengundurkan diri atau didiskualifikasi dalam perkara ini? Bisa jadi tidak. Pendiskualifikasian seorang hakim dalam menangani suatu perkara tentu tidak dapat ditentukan begitu saja oleh pihak ketiga –seperti saya misalnya melalui tulisan ini. Pada akhirnya yang harus menentukan apakah seorang hakim perlu didiskualifikasikan atau tidak adalah pengadilan itu sendiri, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Pengklarifikasian apakah seorang hakim memiliki konflik atau potensi konflik kepentingan penting dilakukan oleh MK. Hal ini untuk menjaga kewibawaan MK itu sendiri agar tidak terdapat keraguan-raguan publik atas independensi dan imparsialitas MK dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Terlebih disaat MK kini sedang mendapatkan sorotan publik paska kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar beberapa saat yang lalu.
Klarifikasi tersebut dapat dimulai dengan pengumuman (pendeklarasian) bahwa Hamdan Zoelva memiliki potensi konflik kepentingan. Kemudian para hakim konstitusi memeriksa apakah benar dugaan tersebut memang beralasan atau tidak untuk kemudian ditentukan apakah yang bersangkutan dapat tetap duduk sebagai anggota/ketua majelis dalam perkara ini atau perlu didiskualifikasi. Hasil keputusan pleno hakim konstitusi tersebut perlu dibuka ke publik agar transparan sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan keraguan publik atas putusan yang akan dihasilkan MK dalam perkara tersebut.
Demikian sekelumit pemikiran saya terkait masalah ini.
Sekian.
[1] Berita: Minta Pemilu Serentak Yusril Gugat UU Pilpres, Hukumonline.com diunduh 15 Desember 2013 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52ab3fc9c7bc2/minta-pemilu-serentak–yusril-gugat-uu-pilpres
[2] UNODC, Commentary on The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2007, hal. 71.
[3] UNODC, ibid. hal 63