Catatan Atas Putusan 1672 K/Pid.Sus/2012 dan 1346/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM
Agak takjub membaca putusan kasus narkotika ini. Seorang terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dengan bukti yang sangat minim. berikut ringkasan dan catatan saya atas putusan ini.
Ringkasan Perkara
Perkara ini sebenarnya cukup sederhana, Terdakwa (Edih K) didakwa oleh JPU akan menerima sejumlah paket narkotika jenis shabu-shabu dari Iswadi Chandra yang dibantu oleh Kurniawan. Paket narkotika itu sendiri tidak pernah sampai ketangan Terdakwa, oleh karena pihak kepolisian keburu menangkap Terdakwa.
Perkara ini sendiri bermula saat Iswadi dan Kurniawan tanggal 13 Mei 2011 sedang berada di rumah Iswadi tiba-tiba “digerebek” oleh sejumlah polisi pada pukul 10 malam. Setelah melakukan penggeledahan para penyidik tersebut menemukan 2 paket narkotika jenis shabu-shabu masing-masing seberat 25 gr dan 29 gr di dalam rumah Iswadi. Setelah ditanya oleh penyidik Iswadi mengaku bahwa narkotika tersebut berasal dari seseorang yang bernama Riki. Oleh Riki Iswadi sebelumnya diperintahkan untuk mengambil paket narkotika tersebut di daerah Pulo Gadung dan kemudian diperintahkan untuk menyerahkannya kepada Terdakwa.
Kepada Penyidik Iswadi mengaku bahwa ia telah janjian untuk bertemu dengan Terdakwa di suatu diskotik di daerah Gadjah Mada malam itu. Oleh para penyidik kemudian Iswadi diminta mengantarkan mereka ke tempat Terdakwa. Iswadi menyanggupinya, lalu para penyidik membawa Iswadi dan Kurniawan menuju diskoktik tempat Terdakwa berada bersama barang bukti.
Sesampainya di diskotik yang dimaksud sekitar pukul 2 pagi tanggal 14 Mei, penyidik kemudian memerintahkan Iswadi untuk menelpon Terdakwa, menanyakan keberadaannya. Saat itu Terdakwa sedang berada di dalam diskotik tersebut bersama rekannya, Maesaroh. Iswadi kemudian meminta Terdakwa untuk keluar diskotik dan menemuinya di parkiran.
Terdakwa kemudian keluar diskotik dan menuju parkiran berencana menemui Iswadi. Namun ternyata bukannya Iswadi yang ditemui oleh Terdakwa, Terdakwa ternyata langsung ditanggap oleh pihak kepolisian dengan alasan akan menerima narkotika dari Iswadi. Terdakwa kemudian langsung dibawa ke kantor kepolisian untuk diinterograsi.
Dalam pemeriksaan, Terdakwa tidak mengakui bahwa paket narkotika yang sebelumnya dikuasai oleh Iswadi dimaksudkan untuk diserahkan kepadanya, ia juga tidak mengakui bahwa maksud dan tujuannya akan bertemu dengan Iswadi adalah untuk melakukan serah terima narkotika tersebut, namun untuk alasan lainnya. Ia membantah seluruh keterangan Iswadi yang menyatakan barang bukti tersebut akan diserahkan kepadanya. Terdakwa juga menolak keterangan baik Iswadi maupun Kurniawan yang menyatakan bahwa sebelumnya Terdakwa pernah sebanyak 4 kali dalam waktu yang berbeda menerima paket.
Selang beberapa jam kemudian Terdakwa diminta melakukan test urin oleh penyidik. Sebelum dilakukan test urin, Terdakwa diberikan makan dan minum oleh penyidik. Setelah hasil test tersebut keluar, dalam urin terdakwa ditemukan bahwa terdakwa positif menggunakan shabu-shabu.
Dalam perkara ini terdapat beberapa barang bukti yang disita penyidik, yaitu 2 buah paket shabu-shabu yang diperoleh dari Iswadi, 1 buah buku tabungan dan ATM milik Iswadi, 1 buah timbangan elektrik milik Iswadi, 2 buah handphone milik Iswadi, 1 buah handphone milik Kurniawan, dan 1 buah handhpone milik Terdakwa.
Terdakwa bersama-sama dengan Iswadi dan Kurniawan kemudian didakwa secara terpisah di PN Jakarta Timur.
Dalam perkara ini Terdakwa (Edih Kusnadi) akhirnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dakwaan pertama, baik di tingkat pertama (1346/Pid.B/2011/PN.Jkt.Tim), banding (113/PID/2012/PT.DKI) maupun Kasasi di Mahkamah Agung (1672 K/Pid.Sus/2012) dan dijatuhi pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp. 1.000.000.000. Adapun dakwaan yang didakwa JPU terhadapnya yaitu melakukan Percobaan atau permufakatan jahat menerima narkotika bukan tanaman golongan I (shabu-shabu) dari Riki melalui Iswandi dan Kurniawan yang beratnya melebihi 5 gr (sebesar 49 gram) (Pasal 114 (2) jo. 132 (1) UU 35 Tahun 2009) subsidair melakukan percobaan atau permufakatan jahat memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika gol I bukan tanaman (shabu-shabu) yang beratnya melebihi 5 gr (49 gram) (Pasal 112 (2) jo. 132 (1) UU 35 Tahun 2009).
Untuk membuktikan dakwaannya tersebut JPU menghadirkan 6 orang Saksi, yaitu 2 orang polisi yang menangkap Terdakwa (Bambang Hariono dan Kembar Wahyu Susilo), 2 orang penyidik yang memeriksa Terdakwa (Andreas Tulam dan Yohanes Yuli), 2 orang saksi mahkota (Iswadi dan Kurniawan – keduanya menjadi terdakwa dalam berkas terpisah) serta 1 buah surat, yaitu hasil Tes Urine terdakwa. Sementara itu Terdakwa menghadirkan 1 orang saksi, yaitu Maesaroh, rekan Terdakwa yang bersama Terdakwa di diskotik dimana Terdakwa ditangkap.
Analisa
Mengingat dalam perkara ini terdakwa didakwa akan menerima sejumlah paket narkotika dari pihak lain (Riki) melalui perantara yaitu Iswadi, sementara itu serah terima paket tersebut itu sendiri belum terjadi, dan dugaan bahwa Terdakwa memang benar akan menerimanya hanya berasal dari keterangan Iswadi, maka fokus pembuktian seharusnya berada pada bagian ini, yaitu apakah benar Terdakwa akan menerima paket narkotika dari Iswadi dan Kurniawan.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam putusan ini, tidak terlihat adanya alat-alat bukti maupun barang bukti lainnya yang mengarah pada keterangan Iswadi tersebut. Dalam perkara ini memang JPU menghadirkan 6 (enam) orang saksi. Namun dari keenam orang saksi tersebut sebenarnya hanya kesaksian Iswadi itu sendiri yang menyatakan bahwa narkotika yang ada pada Iswadi memang akan ditujukan pada Terdakwa. Sementara itu keterangan saksi lainnya sebenarnya tidak bersifat menguatkan dakwaan, karena 4 orang saksi lainnya merupakan saksi verbalisan, dan satu orang lainnya merupakan saksi auditu.
Selain tidak ada keterangan saksi lainnya yang mendukung keterangan Saksi Iswadi, dalam perkara dari barang-barang bukti yang dihadirkan juga tidak terlihat terdapat barang bukti yang mendukung keterangan saksi Iswadi tersebut. JPU memang menghadirkan barang bukti berupa hanphone milik Terdakwa dan Kurniawan beserta SIM Cardnya, namun kedua barang bukti tersebut pun tidak terlihat adanya hal yang mampu menguatkan keterangan Iswadi tersebut. Hal ini terlihat dari tidak disebutnya kedua barang bukti tersebut (yang juga tidak terlalu jelas apakah kedua barang bukti tersebut sebelumnya dilakukan pemeriksaan secara forensic atau tidak) dalam pertimbangan majelis. Sementara itu barang bukti lainnya, yaitu kartu ATM pun tidak menunjukan indikasi yang sama, yang mampu menguatkan keterangan Iswadi.
Secara keseluruhan –dan ini pun diakui oleh Majelis Hakim (bandingkan dengan hal 37-38 putusan PN)- pada dasarnya alat bukti yang dapat membuktikan atau setidaknya menunjukan bahwa benar Terdakwa bermaksud menerima paket narkotika dari tangan Iswadi hanyalah keterangan Iswadi itu sendiri. Keyakinan hakim bahwa perbuatan yang didakwakan tersebut benar –bahwa terdakwa memang akan menerima shabu-shabu dari Iswadi- lebih didasarkan pada adanya hasil test urine terdakwa yang menunjukan hasil positif mengandung mentamafine (shabu-shabu). Berikut kutipan pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama tersebut:
Menimbang, bahwa walaupun pada saat Terdakwa ditangkap, Terdakwa belum menerima shabu yang dipesannya tersebut, menurut hemat Majelis hal tersebut lebih dikarenakan Terdakwa keburu ditangkap oleh petugas dan walaupun Terdakwa membantah bahwa dirinya tidak memesan shabu kepada saksi Iswadi Chandra maupun kepada Riki, namun berdasarkan Hasil Pemeriksaan Urine No. B/131/V/2011/DOKPOL tertanggal 14 Mei 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Bayu Dwi Siswanto, ternyata urine Terdakwa positif mengandung Metamfetamina, sedangkan Terdakwa maupun Penasihat Hukum tidak pernah mengajukan bukti dari pihak yang berkompeten, bahwa Terdakwa tidak pernah menggunakan Narkotika jenis shabu, Penasihat Hukum Terdakwa hanya mengajukan pernyataan-pernyataan dari teman sekamar Terdakwa di Rutan Cipinang;
Menimbang, bahwa dari fakta tersebut di atas, menurut hemat Majelis, saat tertangkap Terdakwa dalam rangka hendak “menerima” Narkotika Golongan I jenis shabu dari saksi Iswadi Chandra yang dipesan oleh Terdakwa dari Riki seberat 25 gram;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis berkesimpulan unsur ini telah terpenuhi dan terbukti; (Putusan 1346/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM hal. 37-38)
Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa dengan adanya hasil test urine ini berarti seakan keyakinan hakim tersebut telah didasarkan pada 2 alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi –dalam hal ini iswadi- dan surat –dalam hal ini hasil test urine. Akan tetapi yang menjadi persoalan disini adalah, apakah hasil test urine ini relevan untuk memperkuat keterangan Iswadi? Apakah benar hasil test urin dapat membuktikan bahwa narkotika yang masih dikuasai oleh Iswadi benar akan ditujukan pada Terdakwa? Bukan kah test urine hanya akan menunjukan bahwa dalam dalam tubuh terdapat kandungan narkotika? Lalu, pertanyaannya, bagaimana adanya kandungan narkotika dalam tubuh terdakwa tersebut berhubungan dengan narkotika yang bahkan belum diterimanya?
Tentang test urine ini sebenarnya terlihat cukup janggal. Sejak awal terdakwa tidak disangkakan maupun di dakwakan sebagai penyalahguna, namun percobaan atau permufakatan untuk menerima atau membeli narkotika yang jumlahnya melebihi 5 gram. Dalam peristiwa ini jelas terlihat test urine sebenarnya tidak relevan dilakukan karena test urine hanya relevan untuk membuktikan apakah seseorang positif menggunakan narkotika, namun tidak relevan untuk membuktikan apakah seseorang membeli, menerima, atau menjual narkotika. Terlebih dalam perkara ini narkotika yang menjadi barang bukti dalam perkara ini sendiri belum sampai pada tangan terdakwa, sehingga sangatlah tidak mungkin -seandainya pun hasil test urine- tersebut diperoleh melalui prosedur yang sah, narkotika yang dikonsumsi terdakwa berasal atau patut diduga berasal dari narkotika yang menjadi barang bukti.
Namun dalam perkara, walaupun sejak awal penyidik tidak hendak menyangkakan penyalahgunaan narkotika kepada terdakwa, penyidik ternyata tetap melakukan test urine terhadap Terdakwa/Terpidana, yang hasilnya kemudian positif. Mengingat Penyidik pastinya memahami bahwa dalam peristiwa seperti ini sebenarnya test urine sebenarnya tidak relevan, patut diduga bahwa test urine tersebut sengaja dimaksudkan semata-mata untuk menimbulkan persepsi negatif majelis hakim terhadap terdakwa sehingga dapat digunakan untuk memperkuat keterangan kedua saksi mahkota. Terlebih test urine itu sendiri tidak dilakukan sesaat setelah Terdakwa ditangkap, namun beberapa jam setelah terdakwa diperiksa di kantor polisi dan telah mengkonsumsi makanan dan minuman yang disediakan oleh Penyidik. Adanya fakta bahwa sebelum test urine dilakukan Terdakwa mengkonsumsi makanan dan minuman yang disediakan oleh Penyidik tentu sulit untuk mempercayai validitas hasil tes urine tersebut, karena mungkin saja zat narkotika yang terdapat dalam kandungan urine terdakwa berasal justru dari makanan dan minuman yang disediakan oleh Penyidik itu sendiri.
Kesadaran akan tidak relevannya test urine dengan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sepertinya cukup disadari oleh JPU. Indikasi akan hal ini terlihat dari tidak disebutkannya sama sekali mengenai hasil test urine dalam Dakwaan JPU baik dalam Dakwaan Primair maupun Subsidair. Dengan tidak disebutkannya mengenai hasil test urine tersebut dalam dakwaan, menjadi pertanyaan besar, mengapa tiba-tiba Majelis Hakim merasa harus mengkaitkan hasil test urine tersebut dengan perbuatan yang didakwakan dalam pertimbangan hukumnya?
Mengenai ketidakcukupan alat bukti yang dapat membuktikan dakwaan JPU bahwa Terdakwa benar akan menerima narkotika dari Iswadi serta ketidakrelevanan test urine dengan apa yang didakwakan JPU tersebut sebenarnya telah dipermasalahkan juga oleh Penasihat Hukum Terdakwa, baik ditingkat Banding maupun Kasasi. Tak hanya itu, Penasihat Hukum Terdakwa tersebut bahkan mempersoalkan dapat dipercayainya keterangan satu-satunya saksi tersebut atau tidak. Menurutnya keterangan Iswadi Chandra seharusnya tidak dapat dipercaya mengingat posisinya sebagai Terdakwa dalam berkas yang terpisah. Masih menurutnya lagi, sangat mungkin keterangan Iswadi tersebut diberikan baik karena tekanan Penyidik maupun dilakukan semata-mata demi mendapatkan keringangan tuntutan/hukuman.
Sayangnya, alasan kasasi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung seakan menerima begitu saja. Dalam pertimbangannya MA seakan memperkuat pertimbangan Judex Facti. Tak hanya itu, bahkan MA seakan menambahkan fakta yang tidak pernah ada sebelumnya, yaitu bahwa saksi Kurniawan juga menyatakan bahwa barang bukti memang akan diserahkan kepada Terdakwa, padahal dalam putusan PN tidak terdapat 1 keterangan pun dari Kurniawan yang menunjukan hal tersebut. Berikut pertimbangan Mahkamah Agung tersebut (hal. 36 Putusan MA No. 1672 K/Pid.Sus/2012):
3. Berdasarkan keterangan saksi 5. Iswadi Chandra dan saksi 6. Kurniawan als Buluk, bahwa mereka berdua akan menyerahkan 1 paket shabu-shabu seberat 25 gram atas perintah Riki dan suruh berkomunikasi melalui HP dengan Terdakwa, berjanji penyerahan akan dilakukan di Diskotik Milenium Gajah Mada, Jakarta Pusat, menjelang pertemuan ketika Terdakwa keluar dari pintu samping saat akan ketemu dengan saksi Iswadi Chandra, Terdakwa ditangkap oleh saksi I dan saksi II anggota Polisi;
4. Saksi Iswadi Chandra dan saksi Kurniawan, menerangkan mereka sudah 4 kali mengantar dan menyerahkan serta diterima Terdakwa shabu-shabu atas perintah Riki, urine Terdakwa positif mengandung Metamfetamina;
Selain itu, satu hal lainnya yang patut disayangkan dari pertimbangan MA di atas adalah, Mahkamah Agung ternyata mengakui begitu saja keterangan Saksi Iswadi dan Kurniawan yang menyatakan bahwa mereka sebelumnya pernah 4 kali mengantar dan menyerahkan shabu kepada terdakwa, sementara itu peristiwa ini sendiri tidak ada dalam dakwaan JPU, baik dalam dakwaan Primair maupun Subsidair, dan tidak pernah dibuktikan kebenarannya.
Sangatlah berbahaya jika Mahkamah Agung menerima suatu keterangan yang pada dasarnya adalah tindak pidana, namun keterangan tersebut tidak ada dalam dakwaan sebelumnya dan tidak pernah dibuktikan kebenarannya dalam persidangan. Hal ini membuka peluang yang sangat besar terjadinya manipulasi keterangan dikemudian hari dalam perkara-perkara lainnya semata agar terdakwa dapat dihukum.
Kesimpulan:
Dalam perkara ini terlihat bahwa keyakinan hakim bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang cukup meyakinkan. Dengan alat bukti yang ada seharusnya belum lah membuat terang dakwaan bahwa Terdakwa memang akan menerima narkotika, atau, bahwa narkotika yang berada pada Iswadi memang dimaksudkan untuk diserahkan kepada Terdakwa. Alat bukti yang memperkuat dakwaan tersebut ternyata hanyalah keterangan 1 orang saksi, yang mana keterangan tersebut masih dapat dipertanyakan lagi kebenarannya, mengingat Saksi yang dimaksud justru orang yang pertama kali tertangkap menguasai narkotika/barang bukti itu sendiri, dan diduga ia selama ini memang merupakan perantara atau dealer narkotika.
Fakta tersebut seharusnya justru menjadi dasar bagi majelis hakim untuk tidak begitu saja mempercayai keterangan Saksi tersebut, bahkan seharusnya meragukannya, sebagaimana halnya diingatkan oleh Pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP. Karena sangat lah mungkin keterangan yang diberikan oleh Saksi tersebut diberikan semata-mata agar ia mendapatkan keringanan tuntutan (dan hukuman) karena seakan ia telah kooperatif dalam mengungkap kejahatan.
Dalam perkara ini yang sangat patut disayangkan adalah, perkara ini pada dasarnya termasuk dalam kategori kejahatan serius, yaitu narkotika, namun tampaknya baik penyidik, penuntut umum, maupun pengadilan, seakan tidak terlalu terlihat keseriusan penegak hukum dan pengadilan baik dalam mengusut secara tuntas perkara ini maupun dalam mengadilinya. Hal ini terlihat dari seakan tidak adanya upaya dari Pihak Penyidik dan Penuntut Umum untuk mengejar asal dari narkotika itu sendiri, menelusuri lebih jauh alat komunikasi yang dimiliki Terdakwa untuk mengetahui apakah benar terdapat komunikasi antara Terdakwa dengan pihak yang dikatakan sebagai pemilik asal barang bukti (Riki) untuk membuktikan benar tidaknya dakwaan, serta seandainya memang ada komunikasi yang mengindikasikan adanya transaksi narkotika di antara keduanya, untuk dapat menelusuri keberadaan Riki itu sendiri serta menelusuri jaringan yang dimilikinya.
Ketidakseriusan ini semakin terlihat dari tidak adanya penelusuran atas rekening baik milik Terdakwa dalam perkara ini mapun Saksi (Iswadi) yang menjadi terdakwa dalam berkar terpisah. Indikasi tidak dilakukannya penelusuran rekening ini terlihat dari tidak disebutkannya sama sekali alat bukti surat apapun yang menunjukan hal tersebut. Padahal dengan dilakukannya penelusuran rekening baik milik Terdakwa maupun Iswadi selain dapat menunjukan benar tidaknya dakwaan, juga dapat menelusuri lebih jauh jaringan narkotika di antara keduanya –dengan asumsi bahwa Terdakwa memang seharusnya terbukti bersalah.
Satu hal penting yang sangat patut disayangkan, pengadilan dalam perkara ini seakan lebih banyak menilai benar tidaknya dakwaan tidak semata pada alat-alat bukti yang tersedia, namun lebih banyak pada asumsi-asumsi semata. Asumsi tersebut yaitu, jika Terdakwa memang kerap menggunakan narkotika, atau setidaknya positif menggunakan narkotika, maka logis jika narkotika yang ada pada Iswadi memang dimaksudkan untuk Terdakwa. Di sini Majelis Hakim seakan melakukan loncatan kesimpulan (jumping conclussion).
Sayangnya dengan alat bukti yang sumir serta didasarkan pada kesimpulan yang meloncat tersebut hukuman yang dijatuhkan majelis hakim tak tanggung-tanggung, yaitu 10 tahun penjara. Waktu 10 tahun penjara tersebut tentunya bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya semakin tinggi hukuman yang akan dijatuhkan semakin tinggi tingkat keyakinan yang dimiliki hakim bahwa terdakwa memang terbukti bersalah, yang tentunya semakin tinggi pula tingkat kevalidan alat-alat bukti yang mendukung keyakinan tersebut. Hal ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini.
Modus oknum2 polisi dalam melakukan rekayasa kasus akan berusaha mencoba utk melakukan berbagai cara, dari melobi jaksa, hakim agar kasus yang ditangani bisa dapat lolos di P21 ataupun divonis oleh hakim.
hakim yang tidak berani memutus bebas pada suatu perkara yang dianggap rekayasa tersebut, ataukah mafia hukum yang sudah menguasai peradilan dinegeri ini.
menarik di penutupnya, semakin tinggi keyakinan hakim harus bernbanding lurus dengan tingginya hukuman
Sektiekaguntoro : nah, keyakinan hakim itu berasal dari apa ??? Intervensi kepolisian dan kejaksaankah ? Karena memang polisi,jaksa,hakim adalah trio kwek kweknya penegak hukum.
tegakan hukum setegak tegak nya , kalo pemimpin kita bisa seperti itu baru nama nya pahlawan
apa boleh saya meminta salinan putusan ini juga kak? karena sudah saya cari tidak ada di direktori mohon bantuannya kak
Untuk mendapatkan putusan ini dan yg sebelumnya (dlm comment di artikel lain) anda cukup klik nomor putusan tsb. Berlaku juga untuk semua putusan di artikel yg lain. Jika ada nomor putusan yg blum ada hyperlink dg dokumen putusannya berarti putusan tsb memang belum tersedia di web putusan MA.
Salam
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Direktori Putusan – Putusan http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/16937b1138337ab19c9e62e7275b400b
Kronologi kasus edih kusnadi http://t.co/bByurLUZ
Persoalan kasus yang mirip yang pernah saya tangani, namun dengan hasil yang berbeda, yakni tuntutan 15 tahun penjara atas dasar Pasal 132 ayat 1 Jo Pasal 114 Ayat 2 , namun demikian hakim memvonis 7 tahun subsidair 3 bulan denda 1 M…
Keep Fight……
kasus yang menarik bang, mohon ijin kalau di setujui pembimbing saya akan mengakat pokok permasalahan pada kasus ini dari segi hukum acaranya.
Silahkan. Kalau mau wawancara dg orangnya gw punya kontaknya
Terhormat pembaca sekalian ..
Apa yg salah dgn hukum di negeri ini shg narkoba meraja lela dan seperti tiada habisnya walaupun banyak yg sudah dipenjarakan…
Mari kita cermari apakah ada hukum yg salah dii negeri ini ????
Pertanyaannya yg terbesit dihati saya apakah ada yg tidak melawan hak terhadap pengguna maupun pengedar narkoba.. sebab dari pasal pidana berbunyi ” Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara”
Saya berpikir Dari bunyi ayat diatas seolah olah ada orang / beberapa org / lembaga tertentu , yg sah secara hak menggunakan ataupun mengedarkan narkoba…
Mari kita merenung sejenak……. ,,, siapakah mereka…??? Apakah mungkin aparat penegak hukum itu sendiri ??????
Allahuaklam….
Saya juga mengalami kezoliman dari pengadilan…hanya hendak membeli blm terjadi transaksi jual beli saat itu krna bandar nya duluan di tangkap, saya di dakwa JPU degan pasal 114(1),132(1), dan skarang pengadilan memutuskan hukuman penjara pada saya selama 7 tahun…padahal saya belum menguasai,memiliki barang sabu2 tersebut, hanya hendak membeli…..bagaimana keadilan di negeri ini…semoga tuhan memberikan para mafia hukum tsb azab yg pedih…Amiin