Hukuman Terhadap Yang-Bukan-Terdakwa

(Sekali lagi) sungguh tidak masuk di akal saya yang sedikit ini membaca amar putusan No. 787 K/Pid.Sus/2014 (Indar Atmanto). Mengapa tidak, dalam perkara ini terdapat pihak ketiga yang bukan merupakan terdakwa dalam perkara ini yang turut dijatuhi hukuman, pihak tersebut yaitu PT. IM2. Hukuman yang dijatuhkan kepada Pihak Ketiga yang Bukan Terdakwa tersebut yaitu pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 1,3 Triliun lebih. Berikut kutipan amar putusan tersebut:

  1. Menyatakan Terdakwa Indar Atmanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA”;
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun dan menjatuhkan Pidana Denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
  3. Menghukum PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) membayar uang pengganti sebesar RP. 1.358.343.346.674,00 (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT. Indosat Mega Media (PT.IM2) tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut;
  4. Menetapkan lamanya penahanan kota…dst

Dalam perkara ini sebenarnya yang menjadi terdakwa hanyalah Indar Atmanto. Benar bahwa ia adalah Direktur Utama dari PT IM2, namun PT IM2 sendiri tidak lah menjadi terdakwa dalam berkas perkara ini.

Amar putusan MA tersebut memang tidak ujug-ujug muncul. Amar tersebut sebenarnya telah sesuai dengan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum yang memang meminta agar PT IM2 walaupun bukan sebagai Terdakwa dalam berkas perkara ini turut dijatuhi pidana, khususnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Dari amar tuntutan JPU ini lah juga bisa d Continue reading

10 Tahun untuk Perkara dengan Bukti Minim

Catatan Atas Putusan 1672 K/Pid.Sus/2012 dan 1346/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM

Agak takjub membaca putusan kasus narkotika ini. Seorang terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dengan bukti yang sangat minim. berikut ringkasan dan catatan saya atas putusan ini.

 

Ringkasan Perkara

Perkara ini sebenarnya cukup sederhana, Terdakwa (Edih K) didakwa oleh JPU akan menerima sejumlah paket narkotika jenis shabu-shabu dari Iswadi Chandra yang dibantu oleh Kurniawan. Paket narkotika itu sendiri tidak pernah sampai ketangan Terdakwa, oleh karena pihak kepolisian keburu menangkap Terdakwa.

Perkara ini sendiri bermula saat Iswadi dan Kurniawan tanggal 13 Mei 2011 sedang berada di rumah Iswadi tiba-tiba “digerebek” oleh sejumlah polisi pada pukul 10 malam. Setelah melakukan penggeledahan para penyidik tersebut menemukan 2 paket narkotika jenis shabu-shabu masing-masing seberat 25 gr dan 29 gr di dalam rumah Iswadi. Setelah ditanya oleh penyidik Iswadi mengaku bahwa narkotika tersebut berasal dari seseorang yang bernama Riki. Oleh Riki Iswadi sebelumnya diperintahkan untuk mengambil paket narkotika tersebut di daerah Pulo Gadung dan kemudian diperintahkan untuk menyerahkannya kepada Terdakwa.

Kepada Penyidik Iswadi mengaku bahwa ia telah janjian untuk bertemu dengan Terdakwa di suatu diskotik di daerah Gadjah Mada malam itu. Oleh para penyidik kemudian Iswadi diminta mengantarkan mereka ke tempat Terdakwa. Iswadi menyanggupinya, lalu para penyidik membawa Iswadi dan Kurniawan menuju diskoktik tempat Terdakwa berada bersama barang bukti.

Continue reading

Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati

Satu hal yang membuat saya selalu tertarik untuk membaca-baca putusan Mahkamah Agung yang sejak tahun 2008 yang lalu telah cukup banyak tersedia di website resmi Mahkamah Agung yaitu tak jarang saya menemukan putusan dengan perkara yang unik, menarik, maupun pertimbangan yang menarik. Pernah saya menemukan sebuah putusan dengan perkara yang sebelumnya sepertinya tidak mungkin sampai berakhir di meja hijau di pengadilan di Indonesia, bukannya perkara tersebut tidak pernah terjadi namun sepertinya terlalu kecil untuk dibawa ke pengadilan bahkan hingga kasasi, seperti dalam kasus Pohon Mangga yang pernah saya muat juga di blog ini. Pernah juga saya menemukan putusan dengan pertimbangan hukum yang sangat progresif, dimana Mahkamah Agung menggugurkan putusan judex facti oleh karena pada saat dilakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan Terdaka (saat itu Tersangka) tidak didampingi oleh Penasihat Hukum [lihat ini]. Selain itu tak jarang juga dengan membaca-baca putusan Mahkamah Agung saya menemukan inkonsistensi Mahkamah Agung, yang tak jarang inkonsistensi tersebut terjadi dengan anggota majelis yang sama atau setidaknya terdapat sebagian anggota majelis yang sama.

Kini lagi-lagi saya menemukan lagi putusan Mahkamah Agung yang cukup membuat saya takjub. Kali ini terkait dengan hukuman mati. Hukuman mati memang selalu menjadi isu yang cukup menarik untuk dibahas. Sebagian masyarakat menganggap bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia oleh karenanya harus dihapuskan dari sistem hukum Indonesia, namun di saat yang sama terdapat sebagian lagi masyarakat yang tak hanya berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia bahkan mendorong hukuman mati ini diterapkan untuk beberapa jenis perkara, misalnya korupsi.

Konstitusionalitas hukuman mati ini sendiri pernah diuji di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 oleh beberapa orang yang merupakan terpidana mati atas perkara Narkotika, namun oleh MK melalui putusannya nomor 2-3/PUU-V/2007 dinyatakan hukuman mati tidak melanggar konstitusi, walaupun dalam perkara ini terdapat 3 orang Hakim Konstitusi yang melakukan Dissenting Opinion yang berpendapat bahwa hukuman mati inkonstitusional (dan satu orang Hakim Konstitusi dissenting atas dasar para pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan).

Continue reading

Penipuan atau Penyuapan?

Apakah membayar seorang pejabat/pegawai negeri untuk meloloskan seseorang menjadi seorang pegawai merupakan suatu tindak pidana? Tentu saja bukan? Setidaknya ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan terhadap kedua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, yaitu tindak pidana korupsi, khususnya pasal suap (pasal 5 dan pasal 12 huruf a atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001) atau pasal Kolusi (Pasal 21 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) [lihat pasal-pasal tersebut dibawah].

Apakah pasal-pasal tersebut mensyaratkan perbuatan yang dikehendaki oleh penyuap (aktif) harus telah terlaksana, dalam konteks ini, apakah lolos atau tidaknya penyuap atau pihak ketiga (anak, keluarga, teman dll) menjadi salah satu penentu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut? Tidak. Mengapa? Oleh Continue reading

Permohonan Kasasi oleh Penuntut Umum Atas Kasus-Kasus Kecil

Dari putusan-putusan Kasasi yang ada di Mahkamah Agung saya menemukan cukup banyak perkara yang sepertinya tidak layak untuk diajukan kasasi, terlebih permohonan kasasi tersebut diajukan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum memang memiliki kewenangan (bukan hak) untuk mengajukan permohonan kasasi, namun dalam menggunakan kewenangan tersebut tentu pertimbangan utama dalam mengajukan kasasi bukanlah semata-mata karena ‘bisa’ tapi harus ada kepentingan hukum yang lebih besar dari itu.

Tanpa bermaksud berpanjang lebar menjelaskan mengenai apa fungsi dan tujuan dari kasasi, serta apa tujuan hukum pidana, berikut beberapa putusan yang dimaksud. Silahkan nilai sendiri perkara-perkara tersebut.

Catatan tambahan: Data putusan akan diupdate seiring dengan temuan baru saya mengenai putusan-putusan serupa.

1. Pencurian 1 Buah Anak Kunci
Nomor 1300 K/Pid/2009 (Haryanti Sutanto)
Perkara ini pada dasarnya sederhana, berawal dari perselisihan di dalam rumah tangga, antara seorang ibu dengan anaknya (42 th). Pada suatu malam di tahun Continue reading

Peralihan Hak Keperdataan Melalui Putusan Pidana

Putusan Kasasi Nomor 1881 K/Pid/2010 (Sri Handayani)

Perkara ini cukup menarik oleh karena dalam perkara pidana Pengadilan mengalihkan hak keperdataan seseorang kepada orang lain, hal yang umumnya hanya dilakukan dalam peradilan perdata. Selain itu, yang lebih menarik adalah benda yang dialihkan status keperdataannya tersebut sedang dijaminkan.

Perkara ini berawal dari perjanjian jual beli mobil honda Jazz seharga Rp 100 juta antara Terdakwa, seorang Dosen STIA-LAN, yang bekerjasama dengan Michael Tjandrajaya (dalam berkas terpisah) dengan korban pada akhir tahun 2007. Setelah Korban melunasi pembayaran ternyata Terdakwa tidak kunjung menyerahkan mobil yang dijanjikan. Pada pertengahan 2008 karena mobil yang dijanjikan tidak kunjung dikirim Korban kemudian meminta Terdakwa mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkannya, Terdakwa kemudian menyerahkan selembar cek senilai Rp 100 juta, akan tetapi ketika dicairkan ternyata tidak ada isinya (kosong). Pada akhir 2008 Korban kembali menagih janji Continue reading

Pemungutan Parkir Liar Sebagai Korupsi

Nomor 2498 K/Pid.Sus/2010 (Muhammad Zainal Abidin)

Dalam perkara ini Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya melakukan pemungutan parkir tanpa izin di RSUD Kota Cilegon pada tahun 2007 s/d 2009. Perbuatan tersebut berawal dari dilakukannya kerjasama antara Terdakwa selaku Direktur CV Rawi Jaya Abadi dengan Koperasi Medika Mandiri untuk mengelola parkir di RSUD Kota Cilegon. Dari kesepakatan antara CV RJA dan Koperasi MM disepakati pengelolaan parkir di RSUD Kota Cilegon dilakukan oleh CV RJA dengan kesepakatan bahwa CV RJA akan menyetorkan hasil pungut parkir sebesar Rp 3 juta per bulannya kepada Koperasi MM.

Dalam melakukan usaha perparkiran tersebut CV RJA menetapkan tarif dua kali lipat dari yang ditetapkan oleh Pemda Cilegon. Selain itu CV RJA juga tidak mendapatkan izin dari Walikota Cilegon. Akan tetapi walaupun tidak pernah mendapatkan izin pengelolaan parkir CV RJA menyetorkan retribusi kepada Dinas Perhubungan Kota Cilegon Rp 500 ribu setiap bulannya selama 11 bulan, yaitu sejak bulan April 2007 s/d februari 2008, setoran tersebut dilakukan agar seolah-olah pengelolaan parkir yang dilaksanakan CV RJA sah. Setoran retribusi tersebut Continue reading

Perubahan Data Gender Karena Faktor Biologis Bukan Merupakan Tindak Pidana

Putusan No. 704 K/Pid/2011 (Alterina Hofan)

Dalam perkara ini Terdakwa Alterina Hofan didakwa memberikan keterangan palsu dalam merubah data kependudukannya terkait jenis kelamin Terdakwa yang semula Perempuan menjadi Laki-Laki. Perubahan status jenis kelamin tersebut dilakukan agar Terdakwa dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan.

Sebelum mengajukan perubahan status jenis kelamin tersebut pada tahun 2006 Terdakwa sebelumnya telah melakukan operasi kelamin dari perempuan menjadi laki-laki. Operasi tersebut dilakukan oleh karena terjadi kelainan dalam jenis kelamin terdakwa yang disebut sebagai Sindroma Klinefetser, dimana walaupun terdakwa dilahirkan sebagai perempuan namun terjadi perubahan hormonal setelah dewasa dari semula perempuan menjadi laki-laki. Selain itu juga alat kelamin Terdakwa tidak sempurna dimana terdakwa tidak memiliki lubang vagina dan pada alat kelamin Terdakwa juga tumbuh penis.

Setelah operasi dilakukan Terdakwa mengajukan permohonan perubahan status jenis kelamin yang ada di Kartu Keluarga dan KTP-nya di Kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, dengan alasan terjadi kesalahan pengisian data sebelumnya. Oleh Kelurahan permohonan tersebut dikabulkan mengingat secara fisik Terdakwa memang terlihat seperti laki-laki. Selanjutnya Terdakwa juga mengajukan permohonan perubahan Akta Kelahiran kepada Pengadilan Negeri Jayapura wilayah dimana akta kelahiran tersebut diterbitkan.

Continue reading

Kewajiban Mengembalikan Uang Dalam Perjanjian Yang Tidak Halal

Putusan MA No. 3038 K/PDT/2009 (Ir. Hj. Sarmilis vs Bilkisti & Sugeng Padmono)

Resume Putusan:

Kasus ini terbilang unik, karena pada intinya Penggugat menuntut para tergugat mengembalikan uang yang rencananya akan dipergunakan untuk melakukan suap.

Perkara ini berawal ketika Penggugat (yang entah pekerjaannya apa) bekerja sama dengan (alm) Suami Tergugat I dan Tergugat II untuk ’membantu’ meluluskan sejumlah Pegawai Honorer di daerah mereka untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dalam kerjasama ini peran dari Penggugat adalah memungut dana dari para Pegawai Honorer yang ingin diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, sementara peran dari Alm. Suami Tergugat I dan Tergugat II adalah menggunakan uang yang dipungut penggugat tersebut untuk ”meloby” pihak-pihak di Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) untuk meluluskan para Pegawai Honorer tersebut menjadi PNS.

Dari kerjasama tersebut Penggugat berhasil mengumpulkan dana sebesar +/- 1,5 M dari para Pegawai Honorer. Uang tersebut kemudian ditransfer kepada (Alm) Suami Tergugat I dan Tergugat II. Namun setelah uang tersebut diserahkan kepada mereka, Suami Tergugat I mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, dan semua rencana ‘kerjasama’ tersebut menjadi gagal; para Pegawai Honorer tersebut akhirnya tidak berhasil diangkat menjadi PNS. Continue reading