Menyoal Status Non Pejabat Negara Hakim Ad Hoc (2)

Bagian Kedua 

Dalam bagian sebelumnya [lihat disini] tulisan saya lebih menyoroti pada argumentasi para pemohon pengujian Pasal 122 huruf e UU ASN, yaitu sejumlah hakim ad hoc, yang menurut saya argumentasi mereka kurang berdasar.

Pada bagian kedua ini saya akan membahas mengenai apakah menurut saya pasal 122 huruf e tersebut memang bermasalah atau tidak.

Konteks Penyebutan Pejabat Negara dalam UU ASN

Seperti telah saya jelaskan sebelumnya, UU ASN pada dasarnya tidak sedang mengatur mengenai pejabat negara, namun mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara atau dalam UU sebelumnya (8/74 jo 43/99) dikenal dengan istilah Pegawai Negeri Sipil. Karena fokusnya mengenai Pegawai ASN, maka tentu perlu diatur bagaimana jika Pegawai ASN menduduki jabatan-jabatan tertentu yang bukan merupakan jabatan yang bukan merupakan bagian dari sistem karir pegawai ASN itu sendiri. Mengenai hal ini sebenarnya judul bab dari pasal yang dipermasalahkan sendiri sudah jelas, yaitu Bab X tentang Pegawai ASN yang Menjadi Pejabat Negara, mulai dari Pasal 121 s/d 125. Secara lebih jelas seperti ini kira-kira struktur pasal di dalam bab tersebut.

Secara umum UU ASN ini mengatur bahwa Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara (Psl 121), kemudian di sebutkan dengan jabatan-jabatan apa yang disebut sebagai pejabat negara (Pasal 122). Penyebutan jabatan-jabatan ini pada dasarnya tidaklah terbatas, hal ini terlihat dari rumusan huruf pasal 122 huruf n yang menyatakan : Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Artinya, di luar apa saja jabatan-jabatan pejabat negara yang disebut dalam pasal 122 huruf a s/d m, UU ini masih membuka kemungkinan adanya jenis jabatan lainnya yang akan disebut sebagai pejabat negara.

Continue reading

Menyoal Status Non Pejabat Negara Hakim Ad Hoc? (1)

Bagian Pertama dari (mungkin) dua bagian

Sejumlah Hakim Ad Hoc dari berbagai pengadilan khusus menggugat UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), khususnya Pasal 122  huruf e. Intinya mereka mempermasalahkan bahwa pasal tersebut ternyata mengecualikan mereka dari sebutan Pejabat Negara.

Apa masalahnya sih jika mereka bukan merupakan Pejabat Negara? Bagi saya isu ini sebenarnya tidak penting-penting amat. Tapi membaca alasan-alasan mereka, Komisi Yudisial, dan sejumlah Ahli yang dihadirkan jadi mau ketawa. Dan, dari pada ketawa mending saya tulis aja.

Berikut ini ringkasan alasan para pemohon yang saya temukan dari web Mahkamah Konstitusi[1]:

  1. Menurut Pemohon, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini adalah Undang-Undang yang imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan Hakim Ad Hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman;
  2. Dampak dari tidak termasuknya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara adalah setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad Hoc menjadi illegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara;
  3. Selain itu, konsekuensi lain adalah apabila Hakim Ad Hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para Hakim Ad Hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara;
  4. Secara kelembagaan, eksistensi Hakim Ad Hoc merupakan condition sine quanon terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  5. Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa diberdakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Dari kelima alasan di atas saya tidak akan membahas semuanya, cukup 3 yang pertama saja, karena alasan keempat dan kelima menurut saya tidak terlalu relevan.

UU ASN Memuat Materi yang Masuk Domain Yudikatif

Alasan pertama, UU ASN melanggar konstitusi karena materi muatannya seharusnya mengatur aparatur yang berada dibawah eksekutif, sementara hakim ad hoc berada dalam kekuasaan yudikatif.

Alasan yang mengada-ngada dan terlihat para pemohon tidak memahami konteks pengaturan pasal 122 tersebut. Memang benar UU ASN mengatur tentang Aparatur Sipil (dulu istilahnya PNS) yang merupakan pegawai eksekutif. Dan memang benar pula hakim termasuk hakim ad hoc bukan pegawai di bawah eksekutif, namun yudikatif. Namun Pasal 122 tidak bisa dibaca begitu saja tanpa memahami konteks pengaturannya.

Pasal 122 tersebut tidak bermaksud untuk mengatur Pejabat Negara, namun ia hanya penjelas dari pasal sebelumnya, yaitu Pasal 121. Dan baik pasal 121 maupun pasal 122 hingga 125 berada dalam Bab X UU ASN yang mengatur tentang Pegawai ASN yang menjadi Pejabat Negara. Seperti terlihat dari kutipan dibawah ini:

 

BAB X

PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA

Pasal 121

Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara

Pasal 122

Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:

a…

b. dst

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;

f. …dst

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

 

Dari judul bab X itu sendiri sebenarnya sudah terlihat, permasalahan yang ingin di atur dari bab tersebut adalah bagaimana jika seorang Pegawai ASN menjadi Pejabat Negara, apakah ia akan kehilangan status kepegawaiannya sebagai Pegawai ASN atau tidak. Pasal-pasal selanjutnya, 123-125 mengatur lebih jelas mengenai hal itu. Dari sini terlihat bahwa Pasal 122 itu memang tidak dimaksudkan untuk mengatur mengenai Pejabat Negara, terlebih mengatur mengenai jabatan Hakim (termasuk ad hoc).

Bahasan lebih khusus lagi mengenai hal ini akan saya bagian tersendiri.

Legalitas Putusan

Alasan kedua, jika hakim ad hoc tidak dianggap sebagai pejabat negara maka putusannya akan dianggap illegal. Alasan yang konyol. Dan konyolnya alasan ini didukung oleh Ahli[2] dan Komisi Yudisial[3].

Legitimasi putusan pengadilan tidak dilihat dari apakah hakim yang memutusnya adalah pejabat negara atau bukan, namun (salah satunya) adalah apakah hakim yang yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah diangkat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau tidak, kemudian apakah memang hakim tersebut telah ditunjuk oleh pejabat yang b Continue reading

FAQ mengenai Pengadilan Khusus

  

1.       Apakah pendirian Pengadilan Khusus melanggar konstitusi, khususnya Pasal 24 ayat 1 yang menyatakan bahwa hanya ada 4 lingkungan peradilan?

 

Tidak. Sepanjang Pengadilan Khusus dibentuk di salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer atau Peradilan Tata Usaha Negara.

 

2.       Apa landasan hukum pembentukan pengadilan khusus?

Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelumnya yaitu Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada bagian penjelasan pasal 10 tersebut. Namun dalam UU 14 Tahun 1970 istilah yang dipergunakan bukanlah “Pengadilan Khusus” tapi “pengkhususan pada peradilan umum”. Istilah “Pengadilan Khusus” baru dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan di UU No. 4 Tahun 1998 (UU Kepailitan) yang membentuk Pengadilan Niaga.

 

3.       Apa saja pengadilan khusus yang ada dan pernah ada di Indonesia?

  Continue reading

Penghapusan ketentuan mengenai hakim ad hoc Dalam RUU MA

 

Dalam RUU Mahkamah Agung yang dibahas saat ini oleh DPR dan Pemerintah dinyatakan bahwa pasal 7 ayat (3) dihapus. Ketentuan tersebut sebelumnya berbunyi

Pada Mahkamah Agung dapat diangkat Hakim Ad Hoc yang diatur dalam undang-undang.

 

Atas rekomendasi penghapusan ini terdengar kabar bahwa para aktivis LSM yang juga merupakan teman-teman saya sendiri akan melakukan reaksi. Apa argumentasi yang ingin dibangun oleh rekan-rekan saya sendiri belum tahu. Tapi saya menduga bahwa argumentasinya adalah penghapusan tersebut merupakan upaya penghapusan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. As simple as that.

 

Apakah tepat? Apakahg penghapusan pasal 7 ayat 3 tersebut akan membawa konsekuensi hukum? Konsekuensi hukum, pertanyaan inilah yang seharusnya yang menjadi pertanyaan jika kita berbicara mengenai pengaturan, baik mencabut, merubah atau membentuk suatu norma hukum baru.

 

Secara sederhana pertanyaan hukum dari masalah diatas adalah, apakah penghapusan pasal 7 ayat 3 tersebut akan serta merta menghapuskan hakim ad hoc di Mahkamah Agung?

 

Jika kita lihat dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini terdapat beberapa undang-undang di luar UU 5/2004 yang mengatur mengenai keberadaan Hakim Ad Hoc, khususnya Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. Yaitu UU Pengadilan HAM (26/2000), UU KPK (30/2002), UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (2/2004). Dalam implementasinya telah direkrut sejumlah Hakim Ad Hoc untuk masing-masing pengadilan khusus tersebut yang bertugas menjadi anggota majelis Hakim di tingkat Kasasi (maupun PK).

 

Dilihat dari sejarah tersebut terlihat bahwa pengaturan mengenai keberadaan hakim ad hoc di tingkat Mahkamah Agung pada UU 5/2004 sebenarnya hanyalah pengulangan/repetisi dari ketiga UU yang disahkan sebelum UU MA tersebut disahkan. Dilhat dari substansi pengaturannya, Pasal 7 ayat 3 tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai bagaimana, kriteria, tanggung jawab, kewenangan, dll dari Hakim Ad Hoc di tingkat Mahkamah Agung itu sendiri. Masalah-masalah tersebut dalam pasal tersebut hanya disebutkan ”diatur dalam undang-undang”. Apakah hal ini berarti bahwa keberadaan para hakim ad hoc tersebut maupun UU khusus tersebut mendapatkan legitimasi hukum melalui UU MA? Tentu tidak.

 

Jika diperhatikan secara seksama sebenarnya keberadaan pasal 7 ayat 3 itu justru membuat rancu apa yang dimaksud dengan hakim ad hoc pada MA itu sendiri. Dalam ayat 3 (batang tubuh) rumusan yang dipergunakan adalah hakim ad hoc, sementara dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim agung ad hoc adalah…dst. Sementara dalam masing-masing undang-undang khusus dimaksud istilah yang dipergunakan adalah hakim ad hoc pada mahkamah agung. Dari sini maka terdapat dua penggunaan istilah yang berbeda, yaitu Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung dan Hakim Agung Ad Hoc.

 

Apa sebenarnya masalah-masalah hukum yang muncul atau dapat muncul dari dua penggunaan istilah yang berbeda tersebut? Masalah pertama, jika istilah yang dipergunakan adalah Hakim Agung Ad Hoc maka muncul pertanyaan, apakah hakim agung ad hoc ini seleksinya menjadi wilayah kewenangan Komisi Yudisial juga, mengingat dalam konstitusi dinyatakan bahwa Hakim Agung di seleksi oleh KY sebelum dipilih oleh DPR? Dalam masing-masing UU khusus tersebut terang dinyatakan bahwa proses pemilihan para hakim ad hoc di tingkat kasasi tersebut tidak melibatkan KY.

 

Pertanyaan kedua, mengingat dalam UU 5/2004 secara tegas dinyatakan bahwa jumlah Hakim Agung sebanyak-banyaknya berjumlah 60 orang. Jika istilah yang dipergunakan adalah Hakim Agung Ad Hoc, apakah jumlah 60 tersebut termasuk juga dengan jumlah hakim ad hoc yang ada atau akan ada di MA? Sebagai catatan tambahan, saat ini jumlah hakim agung yang ada di MA non ad hoc berjumlah 49 orang, dengan catatan 2 hakim agung meninggal. Jumlah yang seharusnya ada adalah 51 orang. Dengan demikian maka jumlah hakim di MA yang tersisa adalah 60 – 51 orang = 9 orang. Jika hakim ad hoc tersebut disetarakan dengan Hakim Agung, maka seharusnya jumlah maksimal hakim agung ad hoc yang dapat direkrut untuk semua jenis pengadilan khusus hanya berjumlah 9 orang. Bagaimana kondisi saat ini?

 

Berdasarkan Kepres No. 31M/2006 diangkat 4 orang Hakim Ad Hoc PHI pada MA. Keppres No. 111M/2004 diangkat 3 Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan Tipikor di tingkat kasasi sebanyak 3 orang. Sementara itu Hakim Ad Hoc pada MA untuk Pengadilan HAM sebanyak 3 orang. Dari jumlah tersebut maka total hakim ad hoc pada MA ada sebanyak 11 orang.

 

Dengan jumlah hakim ad hoc di MA yang ada saat ini tentunya jika dipandang bahwa hakim ad hoc pada MA merupakan hakim agung ad hoc maka berarti jumlah hakim ad hoc telah melebihi kuota yang ditentukan oleh UU MA yaitu sebanyak 60 orang.

 

Masalah di atas merupakan komplikasi masalah hukum yang timbul akibat ketidakkonsistenan penggunaan istilah dalam UU MA khususnya terkait dengan hakim ad hoc.

 

Namun terlepas dari masalah-masalah di atas, kembali ke pertanyaan utama masalah ini adalah, apakah dengan dihapuskannya pasal 7 ayat 3 UU MA akan menimbulkan konsekuensi hukum bahwa keberadaan hakim ad hoc di MA berarti akan menjadi ilegal? Seperti terlihat masing-masing UU yang mengatur pengadilan khusus, dasar hukum dari keberadaan hakim ad hoc di MA yang ada saat ini bukanlah UU MA, namun masing-masing UU yang mengatur pengadilan khusus tersebut. Sehingga dengan demikian di hapus atau tidaknya pasal 7 ayat 3 UU 5/2004 tidak akan memiliki konsekuensi hukum apa pun. Dengan demikian, untuk apa kita mempermasalahkan penghapusan pasal 7 ayat 3 UU 5/2004 ini?