Penghapusan ketentuan mengenai hakim ad hoc Dalam RUU MA


 

Dalam RUU Mahkamah Agung yang dibahas saat ini oleh DPR dan Pemerintah dinyatakan bahwa pasal 7 ayat (3) dihapus. Ketentuan tersebut sebelumnya berbunyi

Pada Mahkamah Agung dapat diangkat Hakim Ad Hoc yang diatur dalam undang-undang.

 

Atas rekomendasi penghapusan ini terdengar kabar bahwa para aktivis LSM yang juga merupakan teman-teman saya sendiri akan melakukan reaksi. Apa argumentasi yang ingin dibangun oleh rekan-rekan saya sendiri belum tahu. Tapi saya menduga bahwa argumentasinya adalah penghapusan tersebut merupakan upaya penghapusan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. As simple as that.

 

Apakah tepat? Apakahg penghapusan pasal 7 ayat 3 tersebut akan membawa konsekuensi hukum? Konsekuensi hukum, pertanyaan inilah yang seharusnya yang menjadi pertanyaan jika kita berbicara mengenai pengaturan, baik mencabut, merubah atau membentuk suatu norma hukum baru.

 

Secara sederhana pertanyaan hukum dari masalah diatas adalah, apakah penghapusan pasal 7 ayat 3 tersebut akan serta merta menghapuskan hakim ad hoc di Mahkamah Agung?

 

Jika kita lihat dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini terdapat beberapa undang-undang di luar UU 5/2004 yang mengatur mengenai keberadaan Hakim Ad Hoc, khususnya Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. Yaitu UU Pengadilan HAM (26/2000), UU KPK (30/2002), UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (2/2004). Dalam implementasinya telah direkrut sejumlah Hakim Ad Hoc untuk masing-masing pengadilan khusus tersebut yang bertugas menjadi anggota majelis Hakim di tingkat Kasasi (maupun PK).

 

Dilihat dari sejarah tersebut terlihat bahwa pengaturan mengenai keberadaan hakim ad hoc di tingkat Mahkamah Agung pada UU 5/2004 sebenarnya hanyalah pengulangan/repetisi dari ketiga UU yang disahkan sebelum UU MA tersebut disahkan. Dilhat dari substansi pengaturannya, Pasal 7 ayat 3 tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai bagaimana, kriteria, tanggung jawab, kewenangan, dll dari Hakim Ad Hoc di tingkat Mahkamah Agung itu sendiri. Masalah-masalah tersebut dalam pasal tersebut hanya disebutkan ”diatur dalam undang-undang”. Apakah hal ini berarti bahwa keberadaan para hakim ad hoc tersebut maupun UU khusus tersebut mendapatkan legitimasi hukum melalui UU MA? Tentu tidak.

 

Jika diperhatikan secara seksama sebenarnya keberadaan pasal 7 ayat 3 itu justru membuat rancu apa yang dimaksud dengan hakim ad hoc pada MA itu sendiri. Dalam ayat 3 (batang tubuh) rumusan yang dipergunakan adalah hakim ad hoc, sementara dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim agung ad hoc adalah…dst. Sementara dalam masing-masing undang-undang khusus dimaksud istilah yang dipergunakan adalah hakim ad hoc pada mahkamah agung. Dari sini maka terdapat dua penggunaan istilah yang berbeda, yaitu Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung dan Hakim Agung Ad Hoc.

 

Apa sebenarnya masalah-masalah hukum yang muncul atau dapat muncul dari dua penggunaan istilah yang berbeda tersebut? Masalah pertama, jika istilah yang dipergunakan adalah Hakim Agung Ad Hoc maka muncul pertanyaan, apakah hakim agung ad hoc ini seleksinya menjadi wilayah kewenangan Komisi Yudisial juga, mengingat dalam konstitusi dinyatakan bahwa Hakim Agung di seleksi oleh KY sebelum dipilih oleh DPR? Dalam masing-masing UU khusus tersebut terang dinyatakan bahwa proses pemilihan para hakim ad hoc di tingkat kasasi tersebut tidak melibatkan KY.

 

Pertanyaan kedua, mengingat dalam UU 5/2004 secara tegas dinyatakan bahwa jumlah Hakim Agung sebanyak-banyaknya berjumlah 60 orang. Jika istilah yang dipergunakan adalah Hakim Agung Ad Hoc, apakah jumlah 60 tersebut termasuk juga dengan jumlah hakim ad hoc yang ada atau akan ada di MA? Sebagai catatan tambahan, saat ini jumlah hakim agung yang ada di MA non ad hoc berjumlah 49 orang, dengan catatan 2 hakim agung meninggal. Jumlah yang seharusnya ada adalah 51 orang. Dengan demikian maka jumlah hakim di MA yang tersisa adalah 60 – 51 orang = 9 orang. Jika hakim ad hoc tersebut disetarakan dengan Hakim Agung, maka seharusnya jumlah maksimal hakim agung ad hoc yang dapat direkrut untuk semua jenis pengadilan khusus hanya berjumlah 9 orang. Bagaimana kondisi saat ini?

 

Berdasarkan Kepres No. 31M/2006 diangkat 4 orang Hakim Ad Hoc PHI pada MA. Keppres No. 111M/2004 diangkat 3 Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan Tipikor di tingkat kasasi sebanyak 3 orang. Sementara itu Hakim Ad Hoc pada MA untuk Pengadilan HAM sebanyak 3 orang. Dari jumlah tersebut maka total hakim ad hoc pada MA ada sebanyak 11 orang.

 

Dengan jumlah hakim ad hoc di MA yang ada saat ini tentunya jika dipandang bahwa hakim ad hoc pada MA merupakan hakim agung ad hoc maka berarti jumlah hakim ad hoc telah melebihi kuota yang ditentukan oleh UU MA yaitu sebanyak 60 orang.

 

Masalah di atas merupakan komplikasi masalah hukum yang timbul akibat ketidakkonsistenan penggunaan istilah dalam UU MA khususnya terkait dengan hakim ad hoc.

 

Namun terlepas dari masalah-masalah di atas, kembali ke pertanyaan utama masalah ini adalah, apakah dengan dihapuskannya pasal 7 ayat 3 UU MA akan menimbulkan konsekuensi hukum bahwa keberadaan hakim ad hoc di MA berarti akan menjadi ilegal? Seperti terlihat masing-masing UU yang mengatur pengadilan khusus, dasar hukum dari keberadaan hakim ad hoc di MA yang ada saat ini bukanlah UU MA, namun masing-masing UU yang mengatur pengadilan khusus tersebut. Sehingga dengan demikian di hapus atau tidaknya pasal 7 ayat 3 UU 5/2004 tidak akan memiliki konsekuensi hukum apa pun. Dengan demikian, untuk apa kita mempermasalahkan penghapusan pasal 7 ayat 3 UU 5/2004 ini?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s