”Kenakan seragam khusus bagi koruptor!” Teriakan lantang terdengar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan semua orang ikut berteriak hal yang sama, yang tak ikut teriak seakan pro-koruptor. Hanya segelintir orang yang memandang usulan tersebut dengan sedikit mengeritkan dahinya. Namun walau demikian pro-kontra tetap terjadi, tak urung Wakil Presiden menolak ide tersebut dengan alasan kemanusiaan dan asas praduga tak bersalah. Kejaksaan menolak, namun Polri setuju-setuju saja. Politisi –mungkin karena menjelang pemilu- ramai-ramai ikut bersuara mengenai ide ini, suara setuju, namun seperti biasa ”asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Para aktivis anti-korupsi tak mau ketinggalan, usulan desain seragam berseliweran. Indonesia Corruption Watch segera membuat desainnya dan menyerahkannya ke KPK lengkap dengan peragaan busananya, entah apakah baju tersebut akan beredar juga di distro-distro atau factory-factory outlet atau tidak. Bagi anda yang memiliki anak balita mungkin lucu juga jika nantinya ada yang ukuran untuk anak-anak.
Aktivis-aktivis hak asasi manusia pun turut berbicara. Entah karena ingin berbicara atau karena terpaksa berbicara karena mic tiba-tiba sudah didepan mulut. Kadang memang sulit menjawab pertanyaan ya atau tidak untuk pertayaan-pertanyaan yang tidak penting. Seragam koruptor tidak melanggar hak asasi manusia, korupsi lah yang melanggar hak asasi manusia. Begitu suara dari Komnas HAM. ”Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa.” Begitu suara yang terdengar. Kebenaran dan pembenaran memang tipis bedanya, hanya imbuhannya saja ternyata yang berbeda saat ini.
Di seberang lain, namun bukan dari seberang kelompok anti-korupsi, sekomplotan aktivis lainnya menyuarakan suara yang berbeda. Suara minor. Setidaknya dalam isu ini. Seragam tahanan dan borgol bertentangan dengan sistem pemasyarakatan Indonesia, begitu kira-kira suara minor ini. Tak ada media yang memuat. Entah mengapa. Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, katanya, namun soal dimuat di media atau tidak sepenuhnya adalah kebebasan dari media. Mungkin.
Sepertinya hampir dua minggu lamanya wacana seragam khusus koruptor ini mewarnai media-media massa, baik cetak, radio, tv, media online, offline dan line-line lainnya. Coba saja search di google dengan kata kunci baju koruptor, anda akan terkesima melihat berjubelnya situs yang memuat isu ini, bukan belasan atau puluhan, tapi ratusan. Mungkin hanya berita kasus Ryan – yang rumahnya kini jadi tempat wisata keluarga ad hoc- yang bisa mengalahkan berita tersebut. Semua hanya gara-gara Ayin aka Artalyta Suryani, terdakwa kasus suap Jaksa UTG yang selama persidangan selalu tampil necis bak tamu undangan perkawinan.
Efek jera. Begitu kata M Jasin Komisioner KPK. Ketika Efek jera dan Arthalyta Suryani bertemu maka munculah ide seragam khusus koruptor. Koruptor harus dipermalukan, supaya ada efek jera, katanya. Supaya calon-calon koruptor berfikir, ”malu aku kalo harus pake seragam koruptor”, begitu mungkin pikirannya. Tersangka, terdakwa, dan terpidana, mungkin saat ini maknanya sama. Sama kaburnya seperti beda antara penahanan dan penghukuman saat ini.
”Seragam khusus tidak akan efektif untuk menimbulkan efek jera, beratnya hukuman itu yang membuat efek jera”, suara lain berkata, ”tinggikan saja hukumannya” lanjut suara ini. Bahkan ada suara yang mengatakan bahwa dalam kasus suap jaksa seharusnya menuntut secara kumulatif dengan pidana korupsi sehingga hakim dapat menjatuhkan sanksi lebih dari 5 tahun. Entah undang-undang mana yang jadi rujukannya sehingga bisa berfikir bahwa suap itu sendiri seakan bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Menjadikan proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan sebagai bagian dari penciptaan deterrence effect? Takut karena apa? Karena menjadi tersangka atau terdakwa? Tapi…ah sudahlah, untuk apa ikut nimbrung untuk usulan yang tak penting.