Bagian Pertama dari (mungkin) dua bagian
Sejumlah Hakim Ad Hoc dari berbagai pengadilan khusus menggugat UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), khususnya Pasal 122 huruf e. Intinya mereka mempermasalahkan bahwa pasal tersebut ternyata mengecualikan mereka dari sebutan Pejabat Negara.
Apa masalahnya sih jika mereka bukan merupakan Pejabat Negara? Bagi saya isu ini sebenarnya tidak penting-penting amat. Tapi membaca alasan-alasan mereka, Komisi Yudisial, dan sejumlah Ahli yang dihadirkan jadi mau ketawa. Dan, dari pada ketawa mending saya tulis aja.
Berikut ini ringkasan alasan para pemohon yang saya temukan dari web Mahkamah Konstitusi[1]:
- Menurut Pemohon, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini adalah Undang-Undang yang imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan Hakim Ad Hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman;
- Dampak dari tidak termasuknya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara adalah setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan Hakim Ad Hoc menjadi illegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara;
- Selain itu, konsekuensi lain adalah apabila Hakim Ad Hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para Hakim Ad Hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara;
- Secara kelembagaan, eksistensi Hakim Ad Hoc merupakan condition sine quanon terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa diberdakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Dari kelima alasan di atas saya tidak akan membahas semuanya, cukup 3 yang pertama saja, karena alasan keempat dan kelima menurut saya tidak terlalu relevan.
UU ASN Memuat Materi yang Masuk Domain Yudikatif
Alasan pertama, UU ASN melanggar konstitusi karena materi muatannya seharusnya mengatur aparatur yang berada dibawah eksekutif, sementara hakim ad hoc berada dalam kekuasaan yudikatif.
Alasan yang mengada-ngada dan terlihat para pemohon tidak memahami konteks pengaturan pasal 122 tersebut. Memang benar UU ASN mengatur tentang Aparatur Sipil (dulu istilahnya PNS) yang merupakan pegawai eksekutif. Dan memang benar pula hakim termasuk hakim ad hoc bukan pegawai di bawah eksekutif, namun yudikatif. Namun Pasal 122 tidak bisa dibaca begitu saja tanpa memahami konteks pengaturannya.
Pasal 122 tersebut tidak bermaksud untuk mengatur Pejabat Negara, namun ia hanya penjelas dari pasal sebelumnya, yaitu Pasal 121. Dan baik pasal 121 maupun pasal 122 hingga 125 berada dalam Bab X UU ASN yang mengatur tentang Pegawai ASN yang menjadi Pejabat Negara. Seperti terlihat dari kutipan dibawah ini:
BAB X
PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA
Pasal 121
Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara
Pasal 122
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
a…
b. dst
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. …dst
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dari judul bab X itu sendiri sebenarnya sudah terlihat, permasalahan yang ingin di atur dari bab tersebut adalah bagaimana jika seorang Pegawai ASN menjadi Pejabat Negara, apakah ia akan kehilangan status kepegawaiannya sebagai Pegawai ASN atau tidak. Pasal-pasal selanjutnya, 123-125 mengatur lebih jelas mengenai hal itu. Dari sini terlihat bahwa Pasal 122 itu memang tidak dimaksudkan untuk mengatur mengenai Pejabat Negara, terlebih mengatur mengenai jabatan Hakim (termasuk ad hoc).
Bahasan lebih khusus lagi mengenai hal ini akan saya bagian tersendiri.
Legalitas Putusan
Alasan kedua, jika hakim ad hoc tidak dianggap sebagai pejabat negara maka putusannya akan dianggap illegal. Alasan yang konyol. Dan konyolnya alasan ini didukung oleh Ahli[2] dan Komisi Yudisial[3].
Legitimasi putusan pengadilan tidak dilihat dari apakah hakim yang memutusnya adalah pejabat negara atau bukan, namun (salah satunya) adalah apakah hakim yang yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah diangkat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau tidak, kemudian apakah memang hakim tersebut telah ditunjuk oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini ketua pengadilan) untuk memeriksa dan menangani perkara tersebut atau tidak.
Nah, hakim ad hoc itu diatur oleh masing-masing undang-undang terkait. Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor diatur di UU Pengadilan Tipikor (46/2009), Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur di UU Perselisihan Hubungan Industrial (2/2004), Hakim Ad Hoc Pengadilan Militer (baru tau kan kalo di Pengadilan Militer ada hakim ad hoc juga?) di atur di UU Pengadilan Militer (31/1997) dll.
Kekhawatiran bahwa jika hakim ad hoc bukan pejabat negara akan dipermasalahkan para pihak (terdakwa salah satunya) adalah kekhawatiran yang sangat berlebihan dan konyol. Dalam perkara korupsi misalnya, jika Penasihat Hukum Terdakwa mempermasalahkan hakim ad hocnya dalam sidang, ya biarkan saja. Kalau sampai mengganggu tinggal usir dari dalam ruang sidang. Anda hakimnya toh? Anda takut Ketua Majelis (yang merupakan hakim karir) akan mengabulkan tuntutan Penasihat Hukum tersebut? Tidak akan mungkin Ketua Majelis akan menuruti tuntutan PH tersebut misalnya untuk tidak mengikutsertakan hakim ad hoc duduk sebagai anggota majelis. Mengapa? Jika itu yang terjadi maka persidangan tidak dapat berjalan, karena UU Pengadilan Tipikor mensyaratkan setiap perkara diperiksa oleh majelis yang terdiri dari Hakim dan Hakim Ad Hoc. Jika perkara diperiksa dan diputus tanpa menyertakan hakim ad hoc maka putusan tersebut akan batal demi hukum.
Berikut contoh 2 UU yang mengatur kewajiban adanya hakim ad hoc dalam susunan majelis.
Pasal 10 UU 46/2009 (Pengadilan Tipikor)
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Pasal 88 UU 2/2004 (PHI)
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
Bukti bahwa legitimasi putusan pengadilan tidak bergantung pada apakah status kepegawaian hakim yang memeriksa perkaranya pejabat negara atau bukan bisa dilihat dari sejarah peradilan itu sendiri. Sebelum UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman atau setidaknya sebelum UU 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian hakim bukanlah pejabat negara, kecuali Hakim Agung. Pada masa itu hakim adalah pegawai negeri sipil. Ada para pihak atau terdakwa yang mempermasalahkan legitimasi putusannya karena status kepegawaiannya?
Kalau ada, dan itu adalah penasihat hukum, mungkin izin beracaranya perlu ditinjau ulang. Atau bahkan mungkin gelar SH nya perlu ditinjau ulang.
Boleh Tidaknya Menerima Gratifikasi
Alasan ketiga, jika hakim ad hoc bukan pejabat negara maka berarti boleh menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara. Sungguh suatu pemikiran yang kacau. Lebih kacaunya lagi karena yang menyatakan hal ini adalah Hakim Ad Hoc Tipikor.[4]
Nih pasal gratifikasinya:
Pasal 16 UU 30 Tahun 2002 (KPK)
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
1. …dst
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12B UU 20 Tahun 2001 (Perubahan UU 31/1999 tentang Tipikor)
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a….
Apa itu pegawai negeri menurut UU Tipikor? Pengertian pegawai negeri dalam UU Tipikor diatur di UU 31/1999
Pasal 1 angka 2
Pegawai Negeri adalah meliputi:a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalm Undang-undang tentang kepegawaian;b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat
Dari 3 ketentuan di atas kesimpulannya, hakim ad hoc terikat juga dengan pasal 16 UU KPK dan 12B UU 20/2001. Mengapa? Karena Hakim Ad Hoc adalah orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara (pasal 1 angka 2 huruf c UU 31/1999).
Masak sih hakim ad hoc tipikor ga paham pasal-pasal ini? *tepok jidat*
Hakim Ad Hoc Dapat Digugat Secara Perdata?
Satu hal yang mengejutkan saya (karena saking konyolnya juga) dalam perkara ini adalah pandangan Pihak Terkait, yaitu Komisi Yudisial. Salah seorang anggota KY dalam sidang menyatakan yang intinya sejalan dengan point 2 dari Pemohon diatas, soal legitimasi putusan yang diadili oleh hakim ad hoc yang bukan pejabat negara, namun beliau menambahkan bahwa karena legitimasinya bisa dipermasalahkan maka hakim tersebut dapat digugat perdata oleh terpidana karena ikut memutus perkara.
Berikut kutipannya:
Nah, oleh karena itu, kalau sekarang hakim dikeluarkan dari pejabat negara, maka konsekuensi, status dari putusan-putusan hakim di pengadilan khusus ini bisa dipersoalkan secara hukum karena yang melaksanakan sidang itu bukan cuma hakim karier, tapi ada hakim ad hoc. Ini persoalan hukumnya. Dan bisa saja kalau nanti seorang terpidana merasa tidak terima dengan dasar Undang-Undang ASN ini dia bisa melakukan gugatan secara umum, perdata bahwa terjadi perbuatan melawan hukum karena ada seorang hakim yang bukan pejabat negara ikut memutus. Bisa saja seperti itu dampaknya.[5]
Pak, pernah tau ada hakim, atau pengadilan digugat secara perdata karena memeriksa dan memutus perkara? Belum kan? Mungkin anda perlu baca dulu SEMA No. 9 Tahun 1976 Tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim. Berikut kutipan paragraf terakhir dari SEMA tersebut:
Mengingat hal-hal yang diuraikan di atas Mahkamah Agung minta agar supaya Pengadilan-Pengadilan Tinggi dan pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak permohonan tersebut. Sebagai bahan perbandingan dilampirkan pula beberapa yurisprudensi dan pendapat para Sarjana Hukum baik negara-negara yang menganut Common Law maupun Civil Law system yang dalam menegakkan Kekuasaan yang bebas ini, mengakui permasalahan ini sebagai salah satu aspek dari asas ini.
Mungkin anda akan bilang, dalam SEMA tersebut tidak disebut hakim ad hoc, jadi hakim ad hoc bisa saja digugat. Ok lah. Kalau begitu baca juga Pasal 1367 BW. Apa relevansinya?
Seorang Hakim ad hoc duduk sebagai majelis tidak atas kehendaknya sendiri, namun karena ditunjuk oleh Ketua Pengadilan (karena ketua pengadilan lah yang menetapkan susunan majelis). Oleh karenanya berdasarkan pasal 1367 BW pertanggungjawaban perdatanya beralih ke “pemberi kerja”, yang dalam hal ini tentu adalah Ketua Pengadilan. Jadi, gugatannya nantinya juga tidak bisa ditujukan kepada si hakim ad hoc, tapi ke Ketua Pengadilan, atau pengadilan itu sendiri. Dan…ya lihat lagi SEMA 9/76 tersebut.
Bersambung…
[1] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_perkara_1160_Perkara%20No%2032.pdf
[2] Lihat Risalah Sidang Kelima Sidang MK ini hal. 13 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_6984_PERKARA%20NOMOR%2032.PUU-XII.2014%20tgl%202%20September%202014.pdf atau lihat berita Hukumonine ini http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5405ea8bbdc50/hakim-ad-hoc-khawatir-uu-asn-jadi-senjata-pengacara-koruptor
[3] Ibid hal. 19
[4] Lihat Risalah Sidang Pertama Sidang MK ini hal. 6 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_6160_PERKARA%20NOMOR%2032.PUU-XII.2014%207%20April%202014%20by%20INDAH.pdf
[5] Op. Cit. Risalah Sidang Kelima hal. 19.
selamat siang kepada bapak penulis, saya sangat berterima kasih kepada bapak karena untuk pertama kali saya mendapat pendapat yang berbeda mengenai masalah ini. tetapi dalam hal alasan bapak banyak yang perlu bapak perhatikan yang sebenarnya ada dalam pokok gugatan uji materi tersebut (saya mempunyai draf lengkap permohonan uji materi tersebut dan telah saya pelajari).
pertama, menganut pendapat Zainal A Mochtar dalam keterangan ahli pada permohonan uji materi tsb, bahwa ketentuan mengenai pejabat negara bagi hakim adhoc dalam UU ASN sangat bertentangan dengan ketentuan pada UU Kekuasaan Kehakiman, UU Penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU Keprotokoleran serta UU TIPIKOR. yang menurut saya UU ASN jika dibandingkan dengan UU yang lain yang bertentangan dengan UU tsb merupakan UU yang termuda. artinya bahwa dalam penentuan “adhoc” pada ketentuan UU ASN seharusnya mempertimbangkan alasan mengapa di dalam UU lainnya hakim adhoc termasuk pejabat negara.
untuk mengupas hal ini tentu perlu dilihat asas asas yang melekat dan berlaku pada pembentukan ataupun penerapan undang undang yang ada di indonesia. apabila kita kaitkan dengan asas lex spesialis derogat lex generalis, maka secara singkat saya simpulkan bahwa UU ASN bersifat general yang artinya mengurusi Penyelenggara negara secara general, sedangkan UU Kekuasaan Kehakiman dalam hal ini adalah UU yang khusus mengatur mengenai pelaku kekuasaan kehakiman yang di dalamnya terdapat hakim dan hakim adhoc.
selain asas tsb, kita juga dapat melihat dari asas lex spesialis sistematis.
kedua, menganut pendapat Dr susi bahwa keberadaan UU ASN akan menimbulkan diskriminasi dalam lingkup mahkamah agung sendiri. karena tugas dan fungsi hakim adhoc adalah sama dengan hakim, dan pada hakim adhoc juga melekat pada kode etik Hakim yang berlaku, maka UU ASN dapat dikatakan melanggar UU HAM dan juga UUD NKRI 1945 mengenai hak warga negara.
ketiga, menurut saya implikasi langsung dari frasa pejabat negara yang melekat pada hakim adhoc tidak signifikan. tetapi, implikasi tidak langsung, hal hal yang tersirat dari tidak diakuinya hakim adhoc sebagai pejabat negara dapat dilihat secara nyata dari aspek yuridis dan sosiologisnya.
sebagai tambahan, bahwa hakim adhoc dalam UU Kekuasaan kehakiman pasal 1 angka 9 merupakan “Hakim” yang mempunyai keahlian khusus. artinya bahwa hakim adhoc juga merupakan hakim. perbedaannya hanya terletak pada periode jabatan dan sifat kekhususan dari hakim adhoc itu sendiri. apabila kita hubungkan dengan ps 19 UU 48/2009, maka jelas sekali makna yang didapat adalah HAKIM yang dalam hal ini termasuk hakim adhoc merupakan Pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman (pelaku kekuasaan kehakiman) yang diatur di dalam Undang Undang.
dari hal hal di atas, saya menyimpulkan bahwa anda kurang memahami konteks gugatan yang dimohonkan oleh tim 11 hakim adhoc se indonesia. oleh karena itu, saya menyarankan kepada anda untuk dapat mengoreksi lebih lanjut mengenai tulisan anda.
terima kasih atas perhatiannya, semoga dengan berbagi ilmu ini, kita dapat memahami bagaimana mengkaji sebuah masalah dengan baik dan juga semoga negara kita menjadi lebih baik lagi khususnya dalam membuat sebuah aturan.
Terima kasih atas commentnya. tulisan saya di atas memang belum selesai, masih ada beberapa point lagi sebenarnya yang hendak saya tulis, namun sampai sekarang belum saya lanjutkan. tapi dari komentar anda ada beberapa yang saya ingin berikan catatan terkait masalah ini yang sebetulnya rencananya memang akan menjadi bagian dari tulisan kedua.
Pertama, di paragraf kedua komen anda, anda menulis seperti ini
” …artinya bahwa dalam penentuan “adhoc” pada ketentuan UU ASN seharusnya mempertimbangkan alasan mengapa di dalam UU lainnya hakim adhoc termasuk pejabat negara.”
Catatan anda tersebut mengasumsikan bahwa dalam UU lainnya tersebut hakim adhoc memang telah disebutkan sebagai pejabat negara. Pertanyaan saya sederhana, di UU mana yang menyebutkan bahwa hakim ad hoc adalah pejabat negara?
Saat ini UU yang mengatur adanya Hakim Ad Hoc ada di UU Pengadilan Tipikor (46/2009), UU Pengadilan HAM (26/2000), UU Perselisihan Hubungan Industrial (2/2004), UU Perikanan (31/2004), UU Kepailitan (37/2004). Dalam kelima UU tersebut tak ada satu pun UU yang menyebutkan bahwa hakim ad hoc pada masing2 UU tersebut adalah Pejabat Negara. Jadi, asumsi anda bahwa UU “lainnya” tersebut menyebutkan hakim ad hoc adalah pejabat negara adalah tidak tepat.
Kedua, UU Kekuasaan Kehakiman (48/2009) sendiri memang tidak menyebutkan hakim ad hoc merupakan pejabat negara. UU tersebut memang menyebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara (pasal 19 dan pasal 31), namun pengertian hakim di sini harus merujuk pada Pasal 1 yang membedakan antara Hakim (pasal 1 angka 5) dan Hakim Ad Hoc (Pasal 1 angka 9). Jika UU KK tersebut memaksudkan bahwa hakim ad hoc termasuk jg sebagai pejabat negara, maka pasal 19 akan menyebutkan secara tegas, yang kenyataannya tidak.
Ketiga, perdebatan soal apakah hakim ad hoc termasuk sebagai pejabat negara atau tidak pada dasarnya tidak penting. Diberikannya status sebagai pejabat negara atau tidak tidak lah memiliki implikasi hukum apapaun. Sebagai contoh, Hakim yang jelas-jelas sudah mendapatkan status sebagai Pejabat Negara sampai saat ini juga tidak jelas apa manfaatnya dari status tersebut. Hakim (PN dan PT) sudah disebutkan sebagai Pejabat Negara dari tahun 1999 (UU 43/1999), namun faktanya dalam UU Keprotokoleran pun tidak semua hakim -yang katanya semuanya adalah pejabat negara- mendapatkan hak keprotokoleran.
Selain itu, sistem remunerasi bagi hakim -yang katanya pejabat negara- ternyata juga tidak sama dengan Pejabat Negara pada umumnya. Gaji hakim kecuali hakim agung tidak didasarkan pada UU 12 Tahun 1980.
Keempat, status pejabat negara bagi hakim ad hoc pada akhirnya tidak dapat disama ratakan. tidak semua hakim ad hoc bersifat semi permanent dengan masa waktu tertentu seperti hakim ad hoc tipikor dan PHI. Ada hakim-hakim ad hoc yang penunjukannya bersifat sangat kasuistis, sebagai contoh hakim ad hoc pada Pengadilan Militer (pasal 344), hakim ad hoc pada PTUN (pasal 135) dan Pengadilan Pajak (Pasal 9) yang penunjukannya hanya jika dipandang terdapat kasus2 tersebut yang membutuhkan keahlian khusus. Hakim-hakim ad hoc ini jelas hanya akan bekerja hanya untuk 1-2 kasus saja. Apakah kemudian hakim ad hoc ini perlu diperlakukan sebagai “Pejabat Negara” juga? apakah hak dan kewajibannya kemudian sama dengan pejabat negara lainnya juga, seperti hak keprotokoleran, perumahan dll?
terakhir, saya memahami gugatan yang diajukan para pemohon. Namun yang saya pahami, para pemohon ini kurang memahami pengaturan hakim ad hoc, pejabat negara, dan apa sih manfaatnya diberikan status pejabat negara atau tidak. Tulisan saya di atas saya maksudkan untuk itu, untuk membongkar mitos soal perlunya status Pejabat Negara bagi hakim adhoc. Karena status tersebut memang sebenarnya tidak punya manfaat apapun.
salam.
Pingback: Menyoal Status Non Pejabat Negara Hakim Ad Hoc (2) | KRUPUKULIT