Fungsi menjaga kesatuan hukum tidak bisa dibebankan semata pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam lingkungannya. Mahkamah Agung hanya dapat menjaga kesatuan hukum dari putusan-putusan pengadilan yang berada dibawahnya jika putusan-putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi oleh para pihak yang bersengketa. Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang mengandung kesalahan penerapan hukum namun oleh para pihak tidak diajukan upaya hukum maka MA tidak dapat melakukan koreksi atas kesalahan tersebut. Dalam hal terjadi kekeliruan penerapan hukum atau terjadi inkonsistensi antara putusan Pengadilan Tingkat Banding maka diperlukan suatu sistem yang berfungsi memastikan agar kesatuan hukum tetap dapat dijaga.
Dalam konteks ini sebenarnya sistem hukum kita telah menyediakan instrumen hukum yang berfungsi untuk membantu MA untuk dapat menjalankan fungsi menjaga kesatuan hukum tersebut, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH). Instrumen hukum ini kewenangannya khusus hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Kewenangan untuk menggunakan instrumen hukum ini tidak hanya dimiliki Jaksa Agung dalam perkara-perkara pidana semata, namun juga Perdata dan Tata Usaha Negara.
Secara ringkas KDKH ini adalah upaya hukum yang diberikan kepada Jaksa Agung untuk meluruskan putusan pengadilan Tingkat Pertama maupun Banding yang telah inkracht yang mengandung kesalahan penerapan hukum atau mengandung pertanyaan hukum (question of law) yang penting bagi perkembangan hukum yang apabila diputus oleh MA dapat menjadi suatu yurisprudensi baru. Namun berbeda dengan kasasi biasa, KDKH ini pada dasarnya hanyalah untuk kepentingan hukum semata, bukan kepentingan dari para pihak yang bersengketa, sehingga putusannya tidak mengikat bagi para pihak yang bersengketa.
Instrumen hukum ini sendiri merupakan warisan dari sistem hukum Belanda yang tetap dianut, setidaknya selalu dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara awal kemerdekaan, bahkan diatur dalam UUD RIS 1949.
Dalam perkembangannya instrumen hukum ini sangatlah jarang digunakan oleh Jaksa Agung. Dalam sejarahnya instrumen ini hanya beberapa kali dipergunakan oleh Jaksa Agung. Jumlahnya tak melebihi 10 buah, dan umumnya dalam perkara pidana, itu pun paling banyak terjadi sebelum tahun 1970an. Terakhir instrumen hukum ini dipergunakan pada tahun 1989 atas putusan Praperadilan yang mengabulkan praperadilan atas penyitaan dimana dalam KUHAP sendiri sah tidaknya penyitaan tidak disebutkan sebagai lingkup praperadilan, hanya mengenai ganti kerugian atas penyitaan yang tidak sah. KDKH yang diajukan oleh Jaksa Agung pada saat itu bertujuan untuk mengkoreksi putusan tersebut serta untuk memperjelas apakah penyitaan termasuk dalam lingkup Praperadilan atau tidak. Atas permohonan Jaksa Agung tersebut MA kemudian memutus bahwa putusan praperadilan tersebut batal, serta mempertegas bahwa sah tidaknya Penyitaan bukanlah termasuk lingkup Praperadilan, namun putusan tersebut tidak membatalkan akibat hukum dari putusan Praperadilan itu sendiri. Hanya untuk kepentingan hukum dimasa yang akan datang.
Dalam bidang Perdata maupun Tata Usaha Negara dapat dikatakan instrumen hukum ini tidak pernah dipergunakan oleh Jaksa Agung. Padahal telah menjadi rahasia umum jika sangat banyak putusan perdata maupun Tata Usaha Negara yang inkracht di tingkat Pertama atau Banding atau yang tidak diajukan kasasi oleh para pihak yang mengandung kesalahan penerapan hukum, yang jika dibiarkan dapat merusak kesatuan penerapan hukum. Dan inkonsistensi penerapan hukum tentunya sangat berdampak pada kewibawaan hukum maupun kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Mengapa instrumen ini tidak efektif?
Suatu pertanyaan yang sepertinya sangat jarang menjadi wacana hukum di Indonesia. Evaluasi atas ketidakefektifan ini mungkin tidak pernah dilakukan. Namun di saat yang bersamaan instrumen ini tetap dipertahankan. Misalnya dalam perubahan UU MA yang telah dua kali dilakukan, yaitu UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009, ketentuan yang mengatur kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan KDKH khususnya untuk perkara Perdata dan Tata Usaha Negara tidak dihapuskan, atau dengan kata lain tetap dipertahankan. Dalam RUU KUHAP sendiri instrumen hukum ini juga tetap dipertahankan keberadaannya. Seakan instrumen ini dibiarkan hidup segan mati tak mau, antara ada dan tiada.
Instrumen hukum ini sebenarnya sangat penting keberadaannya, setidaknya dengan konsep MA sebagai peradilan Kasasi yang berlaku saat ini, dimana fungsi kasasi itu sendiri adalah untuk menjaga kesatuan serta perkembangan hukum, khususnya perkembangan hukum melalui kasus-kasus kongkrit. Jika dioptimalkan instrumen ini juga dapat berdampak pada berkurangnya arus perkara yang masuk ke MA.
Dalam perkara pidana misalnya, yang jumlahnya sekitar 40% dari total perkara yang masuk ke MA setiap tahunnya, berdasarkan penelusuran LeIP hampir 30 % dari perkara tersebut merupakan perkara kasasi atas putusan bebas yang sebenarnya menurut KUHAP tidak dapat diajukan kasasi. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari “Terobosan hukum” yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Mahkamah Agung beserta Menteri Kehakiman pada masa Orde Baru yang membolehkan permohonan kasasi yang diajukan Kejaksaan atas putusan bebas. Seharusnya pada saat itu yang dilakukan oleh Jaksa Agung adalah mengajukan Kasasi Demi Kepentingan Hukum, sehingga koreksi atas kesalahan putusan majelis tingkat banding saat itu tetap dapat dilakukan tanpa harus menimbulkan ekses seperti yang terjadi saat ini. Oleh karena selanjutnya jika terdapat putusan-putusan pembebasan yang diduga bermasalah maka Kejaksaan Agung akan sangat selektif dalam menentukan putusan mana yang perlu di ajukan KDKH, karena kepentingan dari KDKH tersebut semata-mata untuk kepentingan hukum dan bukan penghukuman.
Kembali ke permasalahan mengapa instrumen ini tidak efektif. Jika dikaji secara mendalam problem ketidakefektifan instrumen ini sebenarnya sangatlah mendalam serta struktural, tidak semata permasalahan kehendak atau political will semata, baik Kejaksaan atau MA.
Instrumen hukum ini kita peroleh dari sistem hukum Belanda. Dalam sistem hukum Belanda kewenangan ini sebenarnya tidak dimiliki oleh Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan, namun dimiliki oleh Parket bij de Hoge Raad. Sekilas memang terkesan bahwa lembaga yang dipimpin oleh seorang Procureur Generaal dan beranggotakan Advocat Generaal tersebut serupa dengan Kejaksaan Agung kita, oleh karena Parket bij de Hoge Raad ini sendiri artinya adalah Kejaksaan pada MA, sementara Procureur Generaal berarti Jaksa Agung.
Padahal lembaga ini sebenarnya tidak memiliki fungsi penuntutan sebagaimana dimiliki oleh Kejaksaan Agung, dengan pengecualian khusus untuk kejahatan berat yang dilakukan oleh Keluarga Kerajaan atau pejabat negara yang penuntutannya dilakukan hanya di hadapan MA (forum privilegiatum). Kewenangan lembaga ini adalah (terutama) memberikan pendapat hukum (advice) kepada MA dalam setiap perkara kasasi, mengajukan KDKH (cassatie in het belang der wet) serta menjadi ‘penuntut’ apabila terdapat hakim yang diduga melakukan pelanggaran berat yang dapat berakibat pemberhentian jabatan. Sementara untuk kewenangan penuntutan pidana pada umumnya tidak dilakukan oleh lembaga ini namun dilakukan oleh jaksa yang berada dibawah Menteri Kehakiman.
Dengan kata lain sebenarnya Kejaksaan Agung Indonesia sebenarnya menggabungkan dua institusi yang dalam sistem hukum Belanda memiliki fungsi yang berbeda ke dalam satu institusi. Indikasi lain yang menunjukkan hal ini misalnya terlihat juga dalam UU MA khususnya pasal 44 ayat 2, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Jaksa Agung dalam jabatannya dapat memberikan pendapat hukum dalam perkara kasasi pidana, yang berbeda dengan pendapat hukum (memori/kontra memori kasasi) dari Jaksa Penuntut Umum yang diatur dalam KUHAP. Kewenangan Jaksa Agung ini serupa dengan Advice yang dimiliki oleh Procureur-Generaal dan Advocat-Generaal pada Hoge Raad. Dan sama halnya dengan kewenangan KDKH, kewenangan memberikan pendapat hukum ini juga ternyata tidak berjalan.
Masih perlukah Instrumen Hukum Ini?
Pertanyaan ini tentunya sangatlah dilematis. Secara konseptual instrumen hukum ini tetap diperlukan, karena merupakan instrumen penting yang dapat menopang fungsi MA dalam menjaga kesatuan dan melakukan perkembangan hukum. Di sisi lain, dalam praktek instrumen ini sudah seakan dianggap tidak penting lagi, sehingga hampir tidak pernah dipergunakan.
Untuk dapat mengefektifkan instrumen ini maka diperlukan perubahan struktural dalam sistem peradilan kita, setidaknya dengan memindahkan kewenangan atas instrumen ini kepada institusi diluar Kejaksaan Agung atau merombak struktur Kejaksaan Agung itu sendiri.
Di sisi lain, jika instrumen ini dianggap tidak diperlukan lagi, maka harus juga diikuti dengan perubahan struktural maupun konseptual mengenai apa fungsi dari Mahkamah Agung itu sendiri. Apakah MA tetap akan dipertahankan sebagai institusi yang berfungsi untuk menjaga kesatuan hukum dan melakukan pengembangan hukum, atau fungsi lainnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut, namun lebih untuk menggambarkan bahwa problem MA atau dunia peradilan kita yang ada saat ini sebenarnya sangatlah mendasar. Tidak hanya menyangkut internal birorkasi Mahkamah Agung, perilaku hakim dan lain sebagainya. Namun sistem hukum dan struktur kekuasaan kehakiman itu sendiri secara keseluruhan.
(Arsil & Yura Pratama)
* Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Tempo (lupa kapan, sekitar pertengahan 2011)
Pingback: Konsep Konklusi dalam RKUHAP – Sebuah Kesembronoan Transplantasi Hukum « KRUPUKULIT
Pingback: Plagiasi | KRUPUKULIT