Putusan MA No. 183 K/Pid/2010 (Fifi Tanang)
Perkara ini merupakan perkara penghinaan terhadap suatu badan hukum, yaitu suatu perusahaan.
Perkara ini berawal dari kekecewaan Terdakwa yang merupakan pemilik kios di ITC Mangga Dua terhadap PT Duta Pertiwi yang merupakan pengelola ITC Mangga Dua. Kekecewaan tersebut terjadi karena Terdakwa yang telah membeli kios tersebut dari PT Duta Pertiwi sejak tahun 1999 ternyata bagunan ITC Mangga Dua beralaskan hak HGB di atas HPL milik Pemda, sehingga Terdakwa dan seluruh pemilik kios ITC Mangga Dua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperpanjang HGB bangunan tersebut.
Mengetahui bahwa ternyata alas hak ITC Mangga Dua merupakan HGB di atas HPL Pemda DKI, sementara dalam sertifikat hanya tertulis HGB Terdakwa melaporkan pihak PT Duta Pertiwi atas penipuan dan pemalsuan surat ke Polda Metro Jaya. Setelah dilakukan penyidikan singkat cerita pihak Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan tersebut karena dianggap bukan tindak pidana. Kecewa atas hasil penyidikan tersebut, Terdakwa kemudian menuliskan Opini di harian Investor Daily dengan judul “Hati-Hati Modus Operandi Penipuan PT Duta Pertiwi”. Atas tulisan tersebut pihak PT Duta Pertiwi kemudian melaporkan Terdakwa ke kepolisian atas tuduhan penghinaan.
Di tingkat pertama PN Jakarta Selatan memutus Terdakwa bersalah melakukan penistaan tertulis dan menjatuhkan hukuman percobaan selama 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun. Di tingkat Banding, PT DKI memperkuat putusan PN Jakarta Selatan tersebut.
Di tingkat kasasi putusan Judex Facti tersebut dibatalkan oleh MA. Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa oleh karena yang menjadi obyek pencemaran/penistaan adalah badan hukum, yaitu PT Duta Pertiwi maka mengingat delik tersebut merupakan delik aduan absolut maka yang seharusnya mengajukan pengaduan adalah Direktur Utama PT tersebut, bukan kuasa hukum PT Duta Pertiwi. Atas dasar pertimbangan tersebut maka MA menyatakan bahwa pengaduan yang dilakukan oleh Kuasa Hukum PT Duta Pertiwi dianggap tidak pernah ada, oleh karenanya terdakwa dinyatakan dilepaskan dari tuntutan hukum.
Kutipan Pertimbangan Hukum Kasasi:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebu t Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan,
oleh karena :
Bahwa dalam kasus ini yang menjadi obyek pencemaran adalah Badan Hukum PT. Duta Pertiwi yang Dirutnya adalah Bapak Mukhtar Wijaya ;
Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar (PT.Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang dapat mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbang, SH. , MH., kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi , sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi ;
Bahwa dengan demikian pengaduan dianggap tidak ada ;
Bahwa atas dasar hal tersebut Terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum;
Majelis Hakim Agung:
1. Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH (Ketua)
2. I Made Tara, SH
3. Prof. Dr. H. Muchsin, SH
Catatan :
Seperti halnya dalam kasus Yani Sagaroa yang didakwa karena melakukan penghinaan terhadap PT Newmont (resume perkara klik disini) perkara ini merupakan perkara penghinaan dimana korban atau obyek penghinaan adalah sebuah badan hukum (legal person) bukan manusia (natural person).
Delik penghinaan pada dasarnya merupakan delik yang berlandaskan pada hak atas kehormatan pribadi (manusia). Oleh karena itu seharusnya penghinaan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah penghinaan terhadap manusia (natual person). Penghinaan terhadap obyek (atau subyek?) selain manusia hanya dimungkinkan khusus untuk penghinaan terhadap badan publik (pasal 207), pemerintah atau presiden (pasal yang mengatur keduanya telah dinyatakan tidak mengikat oleh MK). Landasan filosofis atas penghinaan selain terhadap manusia ini berbeda dengan landasan filosofis penghinaan terhadap manusia.
Patut disayangkan dalam putusan ini Mahkamah Agung (sekali lagi) sama sekali tidak membahas mengenai hal ini, seakan menerima begitu saja ‘perluasan’ subyek/obyek penghinaan yang diatur dalam bab XVI KUHP. Patut disayangkan juga mengapa pihak Terdakwa tidak mempermasalahkan hal ini dalam memori kasasinya.
(Update 11 Juni 2012)
Dalam perkara lain terdapat pertimbangan dari salah satu Hakim Agung yang berbeda pendapat (dissenting) yang terkait masalah ini. Perkara tersebut adalah perkara dengan Nomor 2126 K/pid/2009 (M. Apandi). Hakim Agung Artidjo Alkotsar dalam putusan tersebut berpendapat bahwa pasal 310 tidak dapat diterapkan kepada lembaga (subyek hukum non manusia) namun hanya kepada manusia. Selengkapnya kutipan pertimbangan tersebut:
“Bahwa Terdakwa tidak ternyata melakukan pencemaran nama baik atau martabat orang, karena yang dikeluhkan oleh Terdakwa adalah tidak adanya transparansi dari lembaga KUD;”
Resume putusan M. Apandi ini dapat dilihat disitus ICJR di sini.