Dapat Tidaknya Pengadilan Menjatuhkan Hukuman Berdasarkan Pasal yang Tidak Didakwa – Fluktuasi Pandangan Hukum Mahkamah Agung


Pengantar sebelum pengantar. Tulisan ini merupakan tulisan saya yang membutuhkan waktu yang paling lama untuk menulisnya. Tulisan ini pertama kali saya susun pada pertengahan tahun 2015. Awalnya saya niatkan untuk membuat semacam model ringkasan atau digest dari sejumlah putusan MA yang memiliki kesamaan permasalahan hukum. Ide dasar ini yang kemudian menjadi model bagi penyusunan buku yurisprudensi MA 2018.[1]

Pada pertengahan tahun 2016 tulisan ini sebenarnya sudah selesai dan siap saya publish. Namun file terakhir ternyata hilang terhapus di dropbox. Setelah itu saya malas untuk meneruskan draft terakhir sebelum hilang. Penulisan baru saya lanjutkan kembali pada sekitar tahun 2019. Karena ada beberapa putusan MA baru saat itu akhirnya terpaksa harus sedikit rombak. Namun penulisan kembali terhenti karena ada kerjaan lain dan akhirnya terlupakan. Penulisan baru kembali saya lanjutkan 2 tahun kemudian, yaitu september-oktober 2021 yang akhirnya alhamdulilah kelar. Jadi, total waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan tulisan yang awalnya saya niatkan sebagai tulisan sederhana saja adalah 6 tahun. Jadi harap maklum kalau ada sedikit ‘patahan-patahan’ dalam struktur tulisan ini.

1. Permasalahan

Bagaimana jika dalam perkara tindak pidana narkotika JPU tidak mendakwakan terdakwa dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Psl 127 UU No. 35 Tahun 2009) namun dalam persidangan majelis hakim berkesimpulan bahwa seharusnya terdakwa dinyatakan bersalah sebagai penyalahguna bukan berdasarkan pasal yang didakwakan? Apakah dimungkinkan majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah atas pasal yang tidak didakwakan tersebut?

Sebuah permasalahan hukum yang menggeluti Mahkamah Agung puluhan tahun, setidaknya sejak awal 80an dan kemudian kembali mengemuka sejak berlakunya UU Narkotika tahun 2009. Bagaimana sikap hukum Mahkamah Agung atas permasalahan ini roller coaster, naik turun tak menentu. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menyatukan pandangan para hakim agung namun pada akhirnya tak berhasil. Pada periode 80-90an Mahkamah Agung telah berhasil menyatukan pandangannya, yaitu dimungkinkan pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwa dengan kriteria-kritera tertentu, namun pada periode 2010 hingga 2020 sikap hukum tersebut kembali terbelah.

Berikut ini uraian tentang perjalanan sikap Mahkamah Agung atas permasalahan ini dari periode 1980an hingga tahun 2020.

2. Pandangan Hukum Mahkamah Agung 1980an s/d 2000an

Pertanyaan hukum dapat tidaknya pengadilan menyatakan terdakwa bersalah tidak berdasarkan pasal yang didakwakan namun pasal lainnya bukan lah hal yang baru. Pada awal tahun 1980 permasalahan ini telah terjadi. Perkara pertama yang ditemukan adalah perkara Joni bin Madjid dan Dermawan bin Hasan (Joni & Dermawan) di PN Palembang (337/PTS.PID.TOL/1982 PN.PLG)[2]. Dalam perkara ini kedua terdakwa didakwa secara subsidiaritas oleh JPU dimana dalam dakwaan Primair keduanya didakwa melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dalam dakwaan subsidair melanggar Pasal 170 Ayat (1), (2) ke-3, sementara dalam dakwaan Lebih Subsidair JPU mendakwa berdasarkan Pasal 351 ayat (3), penganiayaan yang mengakibatkan kematian, namun dakwaan ini hanya khusus didakwakan terhadap Joni bin Madjid (Terdakwa I) dan tidak kepada terdakwa II.

Dalam putusannya PN Palembang bahwa keduanya terbukti atas dakwaan Lebih Subsidair dimana terhadap terdakwa II dakwaan ini pada dasarnya tidak didakwakan. PN Palembang pada saat itu tetap menjatuhkan putusan bersalah atas pasal yang tidak didakwakan tersebut dengan pertimbangan bahwa walaupun dakwaan lebih subsidair khusus hanya didakwakan terhadap Terdakwa I dan tidak terhadap Terdakwa II namun berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan perbuatan Terdakwa II juga telah memenuhi rumusan dalam dakwaan Lebih Subsidair itu juga, serta mengingat dalam dakwaan Primair maupun Subsidair terdakwa didakwa melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama dengan Terdakwa I, PN Palembang memutuskan untuk menerapkan juga dakwaan Lebih Subsidair tersebut terhadap Terdakwa II. Berikut selengkapnya pertimbangan PN Palembang tersebut.

“Menimbang, bahwa akan tetapi kendati dakwaan a quo khusus didakwakan terhadap terdakwa I Joni bin Majid, namun berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan bahwa perbuatan terdakwa II Dermawan alias Nanang bin Hasan telah memenuhi rumusan tindak pidana pokok dalam hubungan perkara ini, yakni “Penganiayaan” sebagaimana diatur dan diancam dengan hukuman pada pasal 351 (1) KUHP, dan mengingat pula terdakwa II Dermawan alias Nanag bin Hasan baik pada dakwaan Primair maupun pada dakwaan Subsidair didakwa dalam kebersamaan dengan terdakwa I Joni bin Majid, maka Majelis berketetapan untuk juga memperlakukan dakwaan Lebih Subsidair terhadap terdakwa II Dermawan alias Nanag bin Hasan dengan membatasi pertanggung jawab pidananya berdasarkan kwalifikasi “turut serta melakukan penganiayaan yang menjadikan matinya orang,” sesuai dengan ketentuan pasal 351 (1) dan (3) jo. pasal 55 KUHP;”[3]

Terobosan hukum yang dilakukan oleh PN Palembang tersebut ternyata tidak disetujui oleh Pengadilan Tinggi Palembang ditingkat Banding (4/1983 PT.Pidana) yang kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui putusannya nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 8 Mei 1984. Dalam pertimbangannya PT Palembang menyatakan bahwa pengadilan tidak diperbolehkan mempertimbangkan perbuatan terdakwa II terhadap unsur-unsur delik dalam pasal yang tidak didakwakan kepadanya, dan putusan yang demikian menurut Pengadilan Tinggi adalah batal demi hukum sehingga terdakwa II tidak dapat dipidana. Berikut pertimbangan PT Palembang yang diperkuat oleh Mahkamah Agung tersebut:

“Menimbang, bahwa dengan demikian Pengadilan Negeri telah menjatuhkan keputusan dan menyalahkan terdakwa II/pembanding telah bersalah atas perbuatan yang tidak didakwakan terhadapnya, karena itu keberatan terdakwa II/pembanding dapat dibenarkan karena pengadilan Negeri tidak boleh mempertimbangkan perbuatan terdakwa II/pembanding terhadap unsur-unsur delik dalam pasal yang tidak didakwakan karenanya keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan kesalahan terdakwa II/pembanding terhadap dakwaan lebih subsidair adalah batal demi hukum;”[4]

Sikap yang berbeda ditemukan dalam putusan MA No. 818 K/Pid/1984 (Timbul Osmar Simarmata) yang diputus MA tanggal 27 mei 1985[5]. Dalam perkara ini kedua terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal dengan mendasarkan pada Pasal 310 ayat (1) KUHP. Di tingkat pertama keduanya diputus bersalah sesuai dengan dakwaan JPU tersebut. Putusan ini diperkuat di tingkat Banding dengan perbaikan pada hukuman yang dijatuhkan. Namun di tingkat kasasi putusan tersebut kemudian diperbaiki oleh MA, dimana MA berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa bukanlah melanggar Pasal 310 Ayat (1) KUHP namun Pasal 315 KUHP. Dalam pertimbangannya MA berpendapat bahwa walaupun Pasal 315 tidak didakwakan namun mengingat antara pasal 310 dan 315 merupakan tindak pidana yang sejenis akan tetapi ancaman pidananya lebih ringan, maka terdakwa dapat dipersalahkan dan dihukum karena melanggar Pasal 315 tersebut. Sayangnya dalam putusan ini MA tidak membahas  keterkaitannya dengan putusan  sebelumnya dalam perkara Joni dan Dermawan. Berikut pertimbangan Mahkamah Agung:

“Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berpendapat, perbuatan yang menurut judex facti terbukti dilakukan oleh terdakwa, bukanlah melanggar pasal 310 (1) KUHP, melainkan melanggar pasal 315 KUHP, oleh karena terdakwa tidak ada menuduh saksi melakukan sesuatu perbuatan;

Menimbang, bahwa walaupun yang didakwakan kepada terdakwa adalah melanggar pasal 310 KUHP dan perbuatan yang terbukti dilakukan terdakwa adalah melanggar pasal 315 KUHP, mengingat bahwa tindak pidana menurut pasal 315 KUHP tersebut adalah merupakan tindak pidana yang sejenis tetapi lebih ringan ancaman hukumannya dari tindak pidana melanggar pasal 310 KUHP, maka terdakwa dapat dipersalahkan dan dihukum karena melanggar pasal 315 KUHP, sehingga dengan demikian kwalifikasi putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri perlu diperbaki menjadi “penghinaan ringan”, seperti tertera di bawah ini.”[6]

Selanjutnya pertimbangan yang sejalan dengan putusan Timbul Osmar Simarmata ini terdapat dalam putusan MA tanggal 10 Juli 1986 No. 693 K/Pid/1986 (Siswanto dan Hadiwinarto)[7]. Perkara ini merupakan perkara pencurian, dimana JPU mendakwa kedua terdakwa berdasarkan pasal 365 Ayat (1), (2) ke-4 KUHP dalam dakwaan primair, dan Pasal 362 jo. 55 KUHP dalam dakwaan subsidair. Adapun perbuatan yang didakwakan yaitu kedua terdakwa mengambil sebuah kalung milik korban dengan cara menarik kalung tersebut dari leher korban kemudian melarikan diri dengan menggunakan motor. Di tingkat pertama PN menyatakan kedua terdakwa terbukti sesuai dakwaan Primair, dan diperkuat di tingkat Banding dengan perbaikan lamanya hukuman terhadap terdakwa II. Namun putusan tersebut dibatalkan ditingkat Kasasi oleh MA. Menurut MA bahwa benar terdapat kekerasan dalam perkara ini, namun kekerasan tersebut merupakan cara melakukan pencurian, sedang yang dimaksud dalam Pasal 365 ayat (1) adalah sarana untuk memungkinkan sesuatu. Atas pertimbangan tersebut MA menilai bahwa pasal yang lebih tepat diterapkan adalah Pasal 363 ayat (1) ke-4 (pencurian yang dilakukan 2 orang atau lebih). Pasal ini memang tidak didakwakan oleh JPU, namun MA berpendapat bahwa karena yang didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan, dengan sendirinya pencurian-pencurian yang lebih ringan (dianggap-pen) termasuk juga dalam dakwaan.

Berikut pertimbangan Mahkamah Agung:

“bahwa benar kekerasan dalam perkara ini terbukti, tetapi kekerasan itu merupakan cara melakukan pencurian; sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan dalam pasal 365 (1) KUHP adalah yang merupakan sarana (middel) untuk memungkinkan sesuatu yang dikehendaki, jadi satu tahap sebelum in casu pencurian yang diniatkan dilakukan;

bahwa benar yang didakwakan adala pencurian dengan pemberatan (gequalificeerde diefstal), dengan sendirinya pencurian-pencurian yang lebih ringan termasuk dalam dakwaan in casu pasal 363 (1) ke-4 KUHP;”[8]

Pertimbangan serupa kemudian ditemukan juga dalam putusan MA No. 675 K/Pid/1987[9] yang diputus tanggal 21 Maret 1987. Dalam perkara kekhilafan yang menyebabkan mati atau luka ini JPU mendakwa dengan dakwaan primair pasal 359 dan subsidair pasal 360 ayat (1). Berdasarkan pembuktian Pengadilan memandang bahwa unsur “luka berat” sebagaimana pasal 360 ayat (1) tidak terbukti, melainkan hanya luka saja. Mahkamah Agung kemudian menghukum terdakwa dengan pasal 360 ayat (2) KUHP walaupun pasal tersebut tidak didakwakan oleh JPU.

10 tahun paska putusan tersebut sikap hukum Mahkamah Agung atas permasalahan dapat/tidaknya pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwa tidak berubah. Dalam perkara Sukandi yang diputus oleh PN Tenggarong tanggal 17 Juni 1996 nomor 32/PID/B/1996/PN.TGR kembali pengadilan menjatuhkan hukuman berdasarkan pasal yang tidak didakwakan JPU. Kali ini yang menjadi persoalan yaitu terkait penerapan pasal penyertaan (55 KUHP) dan pasal pembantuan (Pasal 56 KUHP). Dalam perkara ini PN memandang bahwa terdakwa terbukti melakukan pembantuan pembunuhan berencana, bukan turut serta melakukan pembunuhan berencana. Dan walaupun dalam dakwaan JPU tidak mendakwakan terdakwa berdasarkan pasal pembantuan tersebut, pengadilan tetap menerapkan pasal tersebut. Putusan ini kemudian diperkuat oleh MA dalam putusannya nomor 1671 K/Pid/1996 tanggal 18 maret 1997.

3. Pasal yang Tidak Didakwa Dalam Kasus Narkotika

Permasalahan dapat tidaknya pengadilan menjatuhkan pemidanaan berdasarkan pasal yang tidak didakwa kembali mengemuka sejak berlakunya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permasalahan dalam kasus-kasus narkotika ini sangat berhubungan erat dengan pasal terkait penyalahgunaan narkotika (Pasal 127) dengan pasal kepemilikan narkotika gol. I (pasal 111 ayat (1) atau pasal 112 ayat (2)) maupun pasal tentang pembelian narkotika gol. I (pasal 114 ayat (1)). Yang menjadi pokok persoalan adalah bagaimana jika terdakwa pada saat ditangkap kedapatan memiliki atau membeli narkotika dalam jumlah yang sedikit, yang dapat diperkirakan bahwa narkotika tersebut akan digunakan namun JPU tidak mendakwakan pasal penyalahguna? Bagaimana pula jika pada saat terdakwa ditangkap tidak sedang menggunakan tapi telah menggunakan namun terhadapnya tidak dilakukan tes urin atau sejenisnya sehingga JPU tidak mendakwa pasal penyalahgunaan?

Permasalahan ini pertama kali muncul hanya sebulan setelah UU No. 35 Tahun 2009 tersebut diundangkan, yaitu dalam perkara Wawan Kuswandi bin Kamin. Dalam perkara ini Wawan tertangkap pada tanggal 13 nopember 2009 sedang membawa sabu-sabu (mentamfetamina) sebanyak netto 0,354 gr. Ia kemudian didakwa secara alternatif di PN Surabaya dengan pasal 114 ayat (1) atau pasal 112 ayat (1). Di tingkat pertama PN Surabaya melalui putusannya nomor 234/Pid.B/2010/PN.SBY tanggal 29 April 2010[10] memutus terdakwa bersalah namun tidak berdasarkan pasal yang didakwakan JPU. PN Surabaya menyatakan terdakwa bersalah karena percobaan penyalahgunaan narkotika dan menjatuhkan hukuman selama 1 tahun 3 bulan.  Putusan PN Surbaya ini diajukan banding oleh JPU namun dinyatakan tidak dapat diterima.[11] Putusan PN Surabaya ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan nomor 2793 K/Pid.Sus/2010 tanggal 20 Januari 2011. Dalam pertimbanganya MA menyatakan PN telah salah menerapkan hukum karena telah menjatuhkan pidana kepada terdakwa atas dasar tindak pidana yang tidak didakwakan oleh JPU. MA kemudian menyatakan terdakwa bersalah atas dakwaan alternatif kedua dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp. 800 juta walaupun diakui bahwa kepemilikan sabu-sabu tersebut dimaksudkan untuk digunakan sendiri namun belum sempat dipakai karena terlanjur ditangkap oleh polisi.

Kasus serupa terjadi tidak lama setelah kasus Wawan. Kali ini di PN Pasuruan. Terdakwa, Sukron Habibi yang ditangkap oleh polisi bersama-sama dengan rekannya Dwi Agus Priambodo (dalam perkara terpisah) sedang membawa ganja seberat 0,7 gr. Dari pemeriksaan rambut juga diketahui terdakwa positif telah menggunakan ganja. Namun di pengadilan JPU hanya mendakwa terdakwa dengan dakwaan tunggal memiliki narkotika gol. I jenis tanaman (pasal 111 ayat (1)). Atas dakwaan tunggal tersebut PN Pasuruan dalam putusannya nomor 129/Pid.B/2010/PN.Psr tanggal 21 Oktober 2010 terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan, namun PN Pasuruan menjatuhkan pidana penjara jauh dibawah pidana minimum yang ditentukan, yaitu 8 bulan dan denda Rp. 800 juta dari yang seharusnyanya minimal 4 tahun dan denda Rp. 800 juta. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.

Di tingkat kasasi putusan PN Pasuruan tidak dianggap salah dalam menerapkan hukum. Mahkamah Agung dalam putusannya nomo 777 K/Pid.Sus/2011 tanggal 30 Nopember 2011 bahkan menilai bahwa pada hakikatnya perbuatan terdakwa terdakwa adalah penyalahgunaan narkotika dan seharusnya JPU mendakwa terdakwa dengan Pasal 127. Namun oleh karena pasal 127 tersebut tidak didakwakan MA tetap menyatakan terdakwa melanggar pasal yang didakwakan JPU namun hukumannya tidak dijatuhkan sesuai dengan pasal yang diancamkan namun rehabilitasi.

Sikap berbeda terjadi dalam kasus WW. Dalam kasus ini WW bersama 3 orang rekannya yang diperiksa dalam berkas terpisah yaitu SY. M. Saunan, Ahmat Saba’an dan Syafaredha ditangkap di sebuah losmen saat sedang menggunakan sabu-sabu[12]. Walaupun keempatnya tertangkap sedang menggunakan sabu-sabu namun JPU tidak mendakwa dengan pasal penyalahguna, namun pasal 114 ayat (1) jo. 132 ayat (1) subsidair pasal 112 ayat (1) jo. 132 ayat (1). Di tingkat pertama PN Ketapang dalam putusannya nomor 154/Pid.B/2011/PN.KTP tanggal 23 Agustus 2011 menyatakan WW tidak terbukti atas dakwaan JPU baik dalam dakwaan primair maupun subsidair, namun dinyatakan WW terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika dan dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun. Putusan ini diperkuat oleh PT Pontianak. Akan tetapi putusan ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusannya nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 yang diputus tanggal 15 Desember 2011. Dalam kasus ini walaupun MA sependapat dengan judex facti bahwa perbuatan terdakwa menyalahgunakan narkotika terbukti, namun karena pasal penyalahgunaan (127 UU 35 Tahun 2009) tidak didakwa maka pasal tersebut tidak dapat diterapkan. Dalam perkara ini terdakwa kemudian diputus bebas oleh MA, karena pasal yang didakwakan tidak tepat untuk diterapkan. Putusan ini dapat dikatakan serupa dengan PT Palembang No. 4/1983 PT.Pidana yang diperkuat MA No. 321 K/Pid/1983.

Namun putusan MA tersebut tidak bulat. Salah seorang hakim anggota, Suhadi berpendapat berbeda. Dalam pertimbangannya Hakim Agung Suhadi berpendapat bahwa seharusnya terdakwa dinyatakan terbukti atas dakwaan subsidair karena unsur menguasai sabu-sabu seharusnya dinyatakan terbukti, karena untuk dapat menghisap sabu-sabu pastinya terdakwa menguasai sabu-sabu tersebut terlebih dahulu. Hanya saja ia berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa dapat dibawah pidana minimum.

Sikap Mahkamah Agung atas penjatuhan pasal yang tidak didakwa sebagaimana dalam kasus WW di atas ternyata berbeda dalam perkara ketiga terdakwa lainnya, khususnya terhadap Ahmat Saba’an dan Syafaredah. Dalam putusan yang dijatuhkan terhadap ketiganya PN Ketapang[13] khusus terhadap kedua terdakwa terakhir dinyatakan terbukti melanggar pasal 127 UU 35 Tahun 2009 walaupun pasal tersebut tidak didakwa oleh JPU. Di tingkat kasasi Mahkamah Agung (1011 K/Pid.Sus/2012 tanggal 24 Juli 2012) ternyata tidak membatalkan putusan tersebut sebagaimana terhadap WW walaupun putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwakan tersebut telah dipermasalahkan oleh Terdakwa II (Ahmat Saba’an) yang menghendaki agar dirinya diputus bebas dan ketua majelis kasasi adalah salah satu hakim anggota dalam putusan WW.

Sementara itu dalam perkara M. Arifin bin Sukardi (2447 K/Pid.Sus/2011) yang diputus tangal 17 Januari 2012 MA kembali menilai bahwa seharusnya perbuatan terdakwa didakwa juga berdasarkan Pasal 127 karena perbuatan yang dilakukan pada hakikatnya merupakan pelanggaran atas pasal tersebut. Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa seharusnya terdakwa dibebaskan karena tidak terbukti atas pasal yang didakwakan, namun karena berdasarkan fakta persidangan terdakwa terbukti mengkonsumsi narkotika yang MA kemudian menyatakan bahwa pasal yang didakwa dapat dibaca atau dipersamakan dengan Pasal 127. Sayangnya walau dalam pertimbangan terkesan MA akan menguatkan putusan judex facti yang menerapkan pasal 127 walaupun tidak didakwa, dalam amar putusan ternyata MA tetap menerapkan pasal 111 dan menjatuhkan putusan sesuai pidana minimum khusus pasal tersebut. Putusan serupa juga terjadi dalam putusan Ardian Subroto no. 2598 K/Pid.Sus/2011 tanggal 31 Januari 2012[14] [15].

a. Kesepakatan Kamar Pidana Tahun 2012

Belum adanya konsistensi atas permasalahan ini membuat permasalahan ini menjadi salah satu bahasan dalam Rapat Pleno Kamar Pidana pada tanggal 8-10 Maret 2012[16]. Rapat pleno ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesamaan pandangan atas permasalahan-permasalahan hukum yang masih terjadi perbedaan di antara para hakim agung. Khusus untuk permasalahan pasal yang tidak didakwakan dalam perkara narkotika kesepakatan Kamar terkesan masing ambigu karena disatu sisi menyatakan bahwa atas permasalahan tersebut terdakwa tetap dihukum dengan pasal yang didakwakan namun dengan pidana minimal, disisi lain seakan menyatakan dapat dipidana dengan pidana dibawah pidana minimal, seperti terlihat di bawah ini:

“Tetap dihukum walaupun dengan pidana yang minimal, kalau terbukti pemakai dengan dosis kecil, dan urine positif.

Catatan:

Pendapat terakhir beberapa majelis MA, terbukti pasal yang didakwakan (biasanya pasal 112 jo. Pasal 132) tetap menerobos pidana minimumnya)”[17]

Walaupun terdapat perbedaan tentang hukuman yang dapat dijatuhkan namun dari kesepatakan kamar tersebut terlihat bahwa Kamar Pidana memandang bahwa penjatuhan pidana berdasarkan pasal yang tidak didakwakan maupun putusan pembebasan atas terdakwa bukan lah opsi hukum yang dipilih.

Namun kesepakatan Kamar Pidana tersebut ternyata tidak banyak berpengaruh, perbedaan sikap hukum di antara para hakim agung tetap terjadi. Hal ini misalnya terlihat pada perkara kasasi Mansyur bin Ma’ne yang diputus oleh MA tanggal 3 Mei 2012 atau kurang dari 2 bulan sejak kesepakatan Kamar tersebut. Dalam permohonan kasasi nomor 652 K/Pid.Sus/2012 ini majelis kasasi kembali mengambil sikap yang sejalan dengan dengan putusan MA tahun 80an dan 90an sebagaimana disebut sebelumnya, yaitu membolehkan pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwakan JPU. Dalam putusan tersebut MA menguatkan putusan PN yang memutus berdasarkan pasal yang tidak didakwa, yaitu pasal 127 UU 35 Tahun 2009. Dalam pertimbangannya MA menyatakan berpedoman pada yurisprudensi MA No. 1671 K/Pid/1996 sebagaimana terlihat dalam pertimbangan di bawah ini:

“Bahwa sesuai fakta persidangan Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada dakwaan kesatu atau kedua, akan tetapi Terdakwa terbukti menyalah gunakan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor : 35 tahun 2009, yaitu Terdakwa bersama-sama dengan Merry Oktavia dan Satria. Walaupun Terdakwa tidak didakwa dengan pasal tersebut, fakta menunjukkan bahwa perbuatan Terdakwa masih merupakan rangkaian dari tindak pidana yang didakwakan sementara itu ancaman pidananya lebih ringan dari tindak pidana yang didakwakan, maka demi keadilan dan dengan berpedoman pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 1671 K/PID/1996 tanggal 17 Juni 1996, Terdakwa dapat dipersalahkan melainkan tindak pidana yang tidak didakwakan tersebut. Sehingga karenanya Terdakwa terbukti telah melakukan perbuatan menyalahgunakan narkotika golongan I bukan tanaman sesuai dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor : 35/2009 tentang Narkotika.”[18]

Sikap serupa ditemukan juga dalam putusan kasasi atas Idris Lukman No. 810 K/Pid.Sus/2012 yang diputus 14 Juni 2012, namun dalam putusan ini MA tidak menyinggung putusan-putusan sebelumnya sebagai ‘yurisprudensi’.

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum karena dari fakta-fakta hukum di persidangan ternyata Terdakwa hanya diajak oleh saksi Eko untuk memakai atau menghisap Narkotika secara bergantian sebanyak 4-5 kali dengan demikian Terdakwa terbukti memakai atau menghisap Narkotika tetapi Terdakwa tidak terbukti pernah memiliki, membawa atau menyimpan atau menguasai Narkotika, sedangkan uang untuk membeli Narkotika adalah kepunyaan saksi Eko karena saksi Eko sendiri yang membeli dari orang lain, maka dengan terbuktinya Terdakwa menghisap atau memakai Narkotika maka Terdakwa seharusnya dipersalahkan melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009, dalam hal ini persoalannya sekarang, apakah Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum di mana, sebenarnya Terdakwa harus dibebaskan akibat kecerobohan Jaksa/Penuntut Umum yang tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009, namun demikian judex facti telah melakukan konstruksi hukum yang dibatasi penggunaannya dalam hukum pidana, akan tetapi dalam rangka kemanfaatan dan keadilan sebagai bagian dari tujuan hukum, maka putusan judex facti dapat dibenarkan, karena telah mempertimbangkan pasal aturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) f KUHAP ;

Sikap hukum yang berbeda dengan kesepakatan Kamar Pidana di atas juga terjadi pada bulan juli 2012. Dalam putusan Syafrizal Abu Bakar nomor 1174 K/Pid.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012 MA lebih memilih memutus bebas terdakwa yang terbukti menggunakan ganja karena pasal penyalahgunaan narkotika tidak didakwakan dibanding mengikuti sikap hukum kesepakatan Kamar maupun putusan sebelumnya walaupun salah ketua majelis dalam perkara tersebut sama dengan putusan nomor 652 K/Pid.Sus/2012 yaitu Timur P Manurung dan salah satu anggota majelisnya sama dengan anggota majelis dalam putusan nomo 810 K/Pid.Sus.2012 yaitu Prof. Surya Jaya. Selain itu dalam putusan ini pun pandangan majelis tidak bulat, salah seorang hakim agung, Salman Luthan, mengajukan dissenting opinion. Dalam dissenting opinionnya beliau menyatakan terdakwa seharusnya dapat dikualifikasikan melanggar pasal 127, namun karena tidak didakwakan dan untuk memberikan keadilan juga kepada terdakwa maka terhadap terdakwa dapat dijatuhi berdasarkan pasal yang didakwakan namun dengan pidana dibawah pidana minimum. Pendapat hukum dalam dissenting ini sejalan dengan kesepakatan Kamar Pidana pada bulan maret 2012 sebagaimana di atas.

Kurang dari dua bulan setelah putusan Syafrizal Abu Bakar di atas sikap hukum yang berbeda kembali ditunjukan Mahkamah Agung yaitu dalam putusan kasasi Afriansyah (1626 K/Pid.Sus/2012) dan Agus Setiadi (1628 K/Pid.Sus/2012) yang keduanya diputus pada tanggal 14 September 2012. Dalam kedua putusan tersebut majelis kasasi memutus terdakwa dapat diputus bersalah berdasarkan pasal yang tidak didakwa, dalam hal ini pasal penyalahguna.

Tidak berakhirnya perbedaan sikap hukum atas permasalahan ini berlanjut terus hingga tahun-tahun berikutnya. Hanya saja perbedaan tersebut telah mengerucut pada dua sikap saja, yaitu satu pandangan yang berpandangan jika terdakwa tidak didakwa dengan pasal penyalahguna namun dalam proses pembuktian ditemukan fakta bahwa seharusnya terdakwa didakwa juga dengan pasal penyalahguna maka hakim tetap menjatuhkan terdakwa bersalah dengan dasar hukum sesuai pasal yang didakwakan namun hukuman yang dijatuhkan dapat dibawah pidana minimum khusus. Pandangan lainnya yaitu hakim tetap menjatuhkan putusan terdakwa bersalah namun berdasarkan pasal yang tidak didakwakan. (Data daftar putusan selengkapnya terlampir).

b. Kesepakatan Kamar Tahun 2015

Upaya untuk menyelesaikan perbedaan sikap hukum dalam perkara narkotika ini kembali dilakukan pada tahun 2015. Permasalahan mengenai terdakwa yang tidak didakwa dengan pasal penyalahgunaan kembali dibahas dalam Rapat Pleno Kamar Pidana. Dari rapat pleno tersebut dikeluarkan kesepakatan mempertegas hasil kesepakatan kamar tahun 2012, yaitu hakim memutus sesuai surat dakwaan (pasal yang didakwakan-pen) tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minum khusus. Rumusan hasil pleno kamar ini kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015. 

Namun demikian upaya dilakukan untuk mencapai kesatuan sikap hukum melalui Rapat Pleno Kamar tahun 2015 tersebut ternyata tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Perbedaan sikap hukum tetap terjadi. Sebagai contoh pada tanggal 22 Maret 2016, 3 bulan setelah Rapat Pleno Kamar tahun 2015 tersebut majelis kasasi dalam perkara Rano Juardy Kaomesa (211 K/Pid.Sus/2016) membenarkan putusan judex facti yang menjatuhkan pidana berdasarkan pasal penyalahgunaan narkotika walaupun tidak didakwa oleh JPU. Berikut pertimbangan majelis kasasi dalam perkara tersebut:

Bahwa walaupun perbuatan Terdakwa tidak memenuhi semua unsur tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum kepada Terdakwa dan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak mendakwakan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 kepada Terdakwa, namun sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, jika delik sejenis yang lebih ringan sifatnya yaitu Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terbukti dilakukan Terdakwa, maka terhadap Terdakwa dapat dipersalahkan dan dijatuhi pidana atas dasar melakukan delik yang Iebih ringan sifatnya itu.

Akan tetapi kurang dari dua bulan kemudian majelis hakim agung yang sama, yaitu Andi Samsan Nganro (ketua), Eddy Army, dan Margono, ternyata membatalkan putusan judex facti yang memutus pidana berdasarkan pasal yang tidak didakwakan, yaitu putusan nomor 505 K/Pid.Sus/2016 tanggal 4 Mei 2016 dengan terdakwa Sania dan menjatuhkan putusan sesuai dengan rumusan rapat pleno kamar pidana tahun 2015 tersebut.

Bahwa alasan keberatan kasasi Penuntut Umum dapat dibenarkan karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan:

– Judex Facti telah mempersalahkan Terdakwa atas perbuatan yang tidak didakwakan padahal surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan dan dasar menjatuhkan putusan;

– Bahwa dari fakta hukum di persidangan ternyata Terdakwa sebenarnya adalah penyalahguna Narkotika bagi diri sendiri, namun karena Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 Ayat (1) huruf a UURI Nomor 35 Tahun 2009, maka Terdakwa tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum yaitu Pasal 112 Ayat (1) UURI Nomor 35 Tahun 2009 pada dakwaan alternatif Kedua, namun pidana yang dijatuhkan menyimpangi standar minimal dari ancaman pidana Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009,mengingat Terdakwa adalah penyalahguna Narkotik Golongan I, dan barang bukti Narkotika dalam perkara a quo relatif sedikit;

Putusan-putusan yang menyimpang dari kesepakatan Kamar Pidana tahun 2015 tersebut juga terus terjadi di tahun 2016 dan 2017. Hal ini dapat dilihat antara lain pada putusan nomor 544 K/Pid.Sus/2016 tanggal 9 Juni 2016, 1405 K/Pid.Sus/2016 tanggal 27 Oktober 2016, 2141 K/Pid.Sus/2016 tanggal 16 Januari 2017, 424 K/Pid.Sus/2017 tanggal 10 April 2017 dan beberapa putusan lainnya.

Namun cukup seringnya putusan kasasi memutus membolehkan hakim menjatuhi pidana tidak berdasarkan pasal yang didakwakan sebagaimana di atas tidak serta merta dapat diartikan sikap hukum tersebut juga telah menjadi sikap yang diterima oleh seluruh hakim agung di kamar pidana. Hal ini dapat terlihat dari adanya dissenting opinion dalam putusan-putusan tersebut. Selain dalam sejumlah putusan lainnya juga ditemukan putusan yang memilih untuk mengikuti kesepakatan kamar 2015. Putusan-putusan tersebut antara lain nomor 809 K/Pid.Sus/2017 tanggal 17 Mei 2017, 1958 K/Pid.Sus/2017 tanggal 6 Desember 2017, dan 2278 K/Pid.Sus/2017.

c. Kesepakatan Kamar Pidana Tahun 2017

Upaya untuk menyatukan sikap hukum di Mahkamah Agung khususnya dalam Kamar Pidana kembali dilakukan pada akhir tahun 2017, yaitu dalam Rapat Pleno Kamar tanggal 22-24 November 2017. Dalam rapat pleno yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan khusus mengenai permasalahan dalam perkara narkotika ini ditegaskan kembali rumusan kamar pidana pada tahun 2015.[19]

Namun sekali lagi upaya menyatukan sikap hukum tersebut kembali tidak berhasil. Dualisme sikap hukum di Kamar Pidana tetap tidak berakhir. Dua bulan setelah Rapat Pleno tersebut MA kembali mengoreksi putusan judex facti dan menjatuhkan pidana berdasarkan pasal penyalahguna yang tidak didakwakan, yaitu dalam putusan Junaidi nomor 2427 K/Pid.Sus/2017[20] tanggal 24 Januari 2018. Perbedaan sikap hukum terhadap Pleno Kamar Pidana tersebut terus terjadi setidaknya hingga akhir tahun 2020 (data terlampir).

4. Pokok Perbedaan Sikap Hukum

Dari rangkaian putusan-putusan Mahkamah Agung setidaknya sejak tahun 1984[21] setidaknya terdapat 3 macam sikap hukum Mahkamah Agung atas permasalahan hukum dimana terdapat fakta terbuktinya tindak pidana yang dilakukan terdakwa namun pasal yang seharusnya dapat dikenakan terhadap terdakwa tersebut ternyata tidak didakwakan oleh JPU. 3 macam sikap hukum tersebut yaitu:

  1. Pengadilan harus tetap mendasarkan pada surat dakwaan dan ketentuan pidana yang menjadi dasar dakwaan, walaupun dapat berakibat bebasnya terdakwa atau berakibat pada penjatuhan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya karena adanya ancaman pidana minimum khusus.
  2. Pengadilan harus tetap mendasarkan pada surat dakwaan dan ketentuan pidana yang menjadi dasar dakwaan namun penjatuhan pidana dapat menggunakan ancaman pidana atas pasal yang tidak dan seharusnya didakwakan, walaupun berakibat pada pelanggaran atas ketentuan pidana minimum khusus yang ada.
  3. Pengadilan dapat menjatuhkan putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwakan sepanjang ancaman pidana atas pasal yang tidak didakwakan tersebut bersifat lebih ringan dibanding yang didakwakan dan ketentuan pidana tersebut masih sejenis dengan ketentuan pidana yang menjadi dasar dakwaan.

Dari ketiga macam sikap hukum tersebut sikap hukum yang pertama memang pada akhirnya cenderung untuk tidak dipilih lagi oleh para hakim agung terlebih setelah Rapat Pleno Kamar tahun 2015. Perbedaan sikap hukum tetap terjadi antara dua opsi selebihnya.

Apabila dilihat berdasarkan hakim agung yang duduk dalam majelis perkara-perkara yang masih terdapat perbedaan pandangan sikap tersebut pada dasarnya hanya terdapat 2 hakim agung yang tetap berpegang teguh pada opsi ketiga. Kedua hakim agung tersebut yaitu Prof. Surya Jaya dan Sri Murwahyuni[22]. Hal ini dapat terlihat dari komposisi majelis hakim agung dalam perkara-perkara yang berseberangan dengan hasil Rapat Pleno Kamar Pidana maupun dissenting opinion dari masing-masing hakim agung tersebut yang tetap berpandangan terdakwa seharusnya dijatuhi pidana berdasarkan pasal penyalahguna walaupun tidak didakwa (lihat lampiran). Sementara itu pandangan atas opsi ke-2 jika dilihat dari berbagai putusan yang ada terlihat adanya peran dari hakim agung Suhadi yang saat ini menjabat sebagai ketua kamar pidana yang mewarnai opsi ini. Hal ini terlihat dari sangat konsistennya sikap hukum beliau, berbeda dengan beberapa hakim agung lainnya yang tak jarang berpindah sikap hukum.

5. Bukan Permasalahan Mahkamah Agung Semata

Permasalahan inkonsistensi sikap hukum Mahkamah Agung ini pada dasarnya bukan permasalahan Mahkamah Agung semata. Permasalahan ini sebenarnya sudah lama dapat selesai seandainya adanya kesamaan pandangan hukum antara MA dan Kejaksaan Agung dalam menafsirkan pasal 127 UU Narkotika, lebih khusus lagi terkait pertanyaan hukum apakah perbuatan memiliki narkotika dalam jumlah kecil namun belum digunakan dapat ditafsirkan termasuk perbuatan penyalahgunaan narkotika -atau setidaknya percobaan penyalahgunaan narkotika atau tidak. Apakah pasal penyalahgunaan hanya dapat diterapkan pada terdakwa yang tertangkap tangan sedang menggunakan narkotika atau tidak. Dari bagaimana para penuntut umum tidak menyertakan pasal 127 dalam perkara-perkara tersebut terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan sikap hukum antara MA dan Kejaksaan Agung.

Ke-keukeuhan Kejaksaan Agung atas sikapnya juga tercermin dalam ketidakacuhannya atas kesepakatan-kesepakatan kamar di MA yang pada akhirnya memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana di bawah pidana minimum khusus. Putusan-putusan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus sesuai dengan SEMA Kesepakatan Kamar tersebut tetap diajukan kasasi ke MA dengan alasan pengadilan-pengadilan tersebut telah melanggar UU karena menjatuhi pidana dibawah pidana minimum khusus yang diatur oleh UU. Dengan kata lain, seandainya pun dalam isu ini telah ada kesatuan pandangan hukum di MA, apakah sesuai kesepakatan kamar atau sesuai dengan sikap hukum Prof. Surya Jaya dan Sri Murwahyuni, tidak akan berpengaruh terhadap kejaksaan. Kejaksaan akan tetap mengajukan kasasi ke MA, dan jumlah kasasi pidana narkotika akan tetap semakin tinggi.[23]

Pihak lain yang juga memiliki andil atas permasalahan ini tentunya adalah Pemerintah dan DPR. Sejak lahirnya Kesepakatan Kamar 2012 yang mengangkat permasalahan pasal yang tidak didakwa dalam perkara narkotika ini telah terlihat adanya permasalahan dalam UU Narkotika, khususnya antara Pasal 111-112 dan Pasal 127. Isu yang telah lama juga diangkat oleh banyak pihak seperti ICJR, LBH Masyarakat, MaPPI/IJRS, dan banyak lembaga lainnya. Namun Pemerintah dan DPR seperti tak responsif. Permasalahan ini seperti dibiarkan berlarut-larut dengan tidak juga membenahi UU Narkotika, setidaknya ketiga pasal tersebut.

Penutup

Saya lelah. Kita akhiri saja ya. Sekian.

Lampiran Putusan (menyusul, capek)


[1] Format buku yurisprudensi MA mengalami perubahan sejak tahun 2018, yaitu tidak lagi berdasarkan putusan per putusan, namun ringkasan dari sejumlah putusan yang memiliki isu hukum yang sama. Perubahan format ini terjadi atas usulan saya kepada tim penyusun yurisprudensi MA saat itu. File elektronik Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2018 dapat diunduh di tautan ini https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/beranda/database/3.-Yurisprudensi/Yurisprudensi-Tahun-2018/

[2] Varia Peradilan No. 6 Tahun I – Maret 1986 hal. 117-135

[3] Ibid hal. 134-135

[4] Ibid hal. 123

[5] Yurisprudensi Indonesia, 1985 –II, Mahkamah Agung hal. 60-73.

[6] Ibid hal. 65

[7] Yurisprudensi Indonesia, 1986, Mahkamah Agung hal. 45-63

[8] Ibid. hal. 51.

[9] Varia Peradilan Tahun IV No. 49 Oktober 1989 hal. 53

[10] Informasi atas putusan PN Surabaya ini diakses melalui putusan Kasasi nomor 2793 K/Pid.Sus/2010.

[11] Tidak diketahui apa alasan tidak dapat diterimanya permohonan banding JPU ini.

[12] Berkas perkara antara WW dan ketiga perkara lainnya dipisah dikarenakan Widya Wati berusia di bawah 18 tahun sehingga diadili di pengadilan anak. Sementara 3 terdakwa lainnya diadili di pengadilan biasa.

[13] 156/Pid.B/2011/PN.KTP tanggal 19 Desember 2011, putusan diakses dari putusan kasasi nomor 1011 K/Pid.Sus/2012.

[14] Sedikit berbeda dengan putusan M Arifin tersebut di tingkat judex facti, baik baik PN maupun PT tidak menjatuhkan putusan berdasarkan pasal yang tidak didakwa, keduanya tetapi dinyatakan terbukti sesuai dakwaan JPU yang mendasarkan pada pasal 111 Ayat (1) UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun hukuman yang dijatuhkan baik PN maupun PT berada dibawah pidana minimum khusus yang diancam pasal tersebut. Di tingkat kasasi MA menyatakan bahwa perbuatan terdakwa sebenarnya lebih tepat dikenakan pasal 127, namun permasalahannya pasal tersebut tidak didakwakan JPU. Atas permasalahan ini MA seakan tidak menjawab apakah pasal yang tidak didakwakan tersebut tetap dapat diterapkan atau tidak, dalam pertimbangannya bahkan seakan MA mengajukan pertanyaan apakah tetap diterapkan pasal 111 sesuai yang didakwakan dengan batas minimum penjara selama 4 tahun atau pasal 127 yang tidak didakwakan JPU. Permasalahan ini tidak dijawab MA dalam pertimbangannya, namun dalam amar putusannya langsung dinyatakan bahwa terdakwa melanggar pasal 111 sesuai dakwaan dan menjatuhkan penjara sesuai batas minimum yang diancamkan pasal tersebut.

[15] Adanya perbedaan putusan ini terjadi salah satunya juga disebabkan karena pada tanggal 8-10 Maret 2012 Kamar Pidana di Mahkamah Agung melakukan rapat pleno kamar. Mengenai hasil rapat pleno kamar pidana ini akan dibahas dibagian selanjutnya.

[16] Hasil-hasil kesepakatan rapat pleno kamar di Mahkamah Agung pada tahun 2012 ini kemudian dijadikan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 yang disahkan tanggal 12 September 2012.

[17] Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 hal. 31 point 20.

[18] Putusan nomor 652 K/Pid.Sus/2012 hal. 10.

[19] Point tentang pasal yang tidak didakwa dalam perkara narkotika terdapat dalam point 2 Rumusan Hukum Kamar Pidana.

[20] Dalam putusan ini terdapat dissenting opinion dari Ketua Majelis yang juga Ketua Kamar Pidana pada saat itu, yaitu Artidjo Alkostar, namun tidak terlalu jelas apakah pertimbangannya terkait kesepakatan kamar atau bukan.

[21] Berdasarkan penelusuran ditemukan beberapa putusan tingkat pertama maupun banding yang merujuk yurisprudensi tahun 1956 yaitu putusan nomor 42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956 sebagai salah satu putusan MA sebelum tahun 1980 an yang memutus di luar pasal yang di dakwakan. Namun sayangnya saya belum berhasil menemukan putusan lengkapnya kecuali pada Himpunan Yurisprudensi Mahkamah Agung tahun 1993 dimana himpunan ini hanya berupa ekstraksi yurisprudensi tanpa memuat putusan lengkapnya. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya tidak memasukan putusan ini sebagai bagian dari bahan analisa mengingat berdasarkan ekstrak yang ada belum terlalu jelas duduk perkaranya.

[22] Sikap hukum hakim agung Sri Murwahyuni pada bulan maret 2020 sempat berpindah haluan, yaitu pada putusan nomor 238 K/Pid.Sus/2020 tanggal 3 Maret 2020 dan 2830 K/Pid.Sus/2019 tanggal 20 Maret 2020. Namun sikap hukumnya kembali ke pandangannya semula, antara lain nomor 1325 K/Pid.Sus/2020 tanggal 5 Mei 2020, dan terakhir nomor 2598 K/Pid.Sus/2020 tanggal 15 September 2020.

[23] Jumlah kasasi narkotika pada tahun 2020 mencapai 3.544 buah perkara atau sebanyak 57,3% dari total kasasi perkara pidana yang sebanyak 6.184 buah perkara. Dari total kasasi pidana tersebut 54% kasasi diajukan oleh Penuntut Umum. Jika ditambahkan dengan kasasi yang diajukan baik oleh penuntut umum dan terdakwa secara bersama-sama maka total permohonan kasasi dari penuntut umum menjadi sebanyak 72,1%. Data diolah dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020.

Leave a comment