Tentang Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP


Ribut-ribut soal masuknya pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP jadi ingat secuplik tulisan yang dibuat tahun 2008 lalu sebagai bagian dari riset dengan Komisi Hukum Nasional. Berikut cuplikan tulisannya.

Pasal 265

Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

(catatan: pada saat itu pasal penghinaan presiden ini ada di Pasal 265 RUU KUHP, kini sudah berubah dan menjadi pasal 263)

Analisis

Ketentuan ini sama dengan pasal 134 KUHP yang telah dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 13-22/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa RKUHP harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP. Dengan demikian maka Pasal 265 RKUHP ini menurut Mahkamah Konsituti bertentangan dengan konstitusi.[1]

Prof. Muladi SH dalam beberapa artikelnya menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 265 RKUHP ini tetap perlu ada, walaupun Mahkamah Konstitusi telah menyatakan hal ini bertentangan dengan konstitusi. Dalam makalahnya yang berjudul Pembaruan Hukum Pidana Materiil Indonesia[2] Prof. Muladi menyatakan bahwa atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Panitia Penyusunan RUU telah mengadakan rapat pada tanggal 28 Januari 2008. Dalam makalah tersebut salah satu pertimbangan dari tetap dipertahankannya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yaitu bahwa dirasakan ada kejanggalan apabila penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bender/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap Presiden /Wakil Presiden secara khusus tidak, dengan alasan “Equality before the law”.

Dilihat dari unsur perbuatan dalam pasal 265 RKUHP (pasal 134 KUHP) memang terdapat kesamaan yaitu perbuatan menghina atau penghinaan. Namun jika dilihat lebih dalam lagi pada dasarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara penghinaan terhadap orang biasa dengan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Hukum Pidana secara keseluruhan memang bertujuan sebagai sarana untuk menjaga ketertiban umum (order). Jika dilihat dari hubungan hukumnya, Hukum Pidana pada dasarnya mengatur 3 (tiga) bentuk hubungan hukum, yaitu hubungan hukum antara orang dengan orang, hubungan hukum antara orang dengan masyarakat,[3] dan hubungan hukum antara orang dengan Negara.

Ketentuan dalam KUHP yang mengatur mengenai penghinaan, seperti yang terdapat dalam bab XIX tentang Tindak Pidana Penghinaan dalam RKUHP (Bab XVI KUHP) dilihat dari hubungan hukumnya pada dasarnya mengatur hubungan hukum antara orang (pelaku) dengan orang. Sementara itu penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa dilihat sebagai hubungan hukum antara orang dengan orang, namun hubungan hukum antara orang dengan negara.

Jika ditinjau dari konsitusi pengaturan mengenai penghinaan terhadap orang memiliki landasan konstitusional yang berbeda dengan pengaturan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pengaturan mengenai penghinaan terhadap orang maupun orang mati berlandaskan pada adanya hak setiap warga negara atas kehormatan dan martabat seperti yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya hak asasi yang diakui dalam konstitusi tersebut maka berarti negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum apabila terdapat pelanggaran terhadap hak tersebut. Perlindungan hukum tersebut dapat berupa pengaturan dalam hukum pidana maupun perdata. Sementara penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak bersumber dari Pasal 28G (1) UUD 1945, ketentuan yang paling relevan dengan martabat Presiden dan Wakil Presiden adalah pasal 28J ayat (2). Atau dengan kata lain perlindungan atas martabat Presiden dan Wakil Presiden harus dipahami dalam kerangka keamanan atau ketertiban umum bukan dalam kerangka perlindungan atas hak orang lain.

Dengan adanya perbedaan secara mendasar apa yang hendak dilindungi dalam ketentuan mengenai Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan ketentuan mengenai Penghinaan terhadap orang biasa maupun orang mati maka kami menilai dengan dimasukkannya kembali ketentuan pasal ini dalam RKUHP tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konsitusi.

[1] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-22/PUU-IV/2006, hal. 61.

[2] Makalah ini disampaikan pada seminar dan Kongres ASPEHUPIKI di Bandung pada tanggal 17 Maret 2008.

[3] Yang dimaksud dengan hubungan hukum antara orang dengan masyarakat terutama hubungan antara orang dengan tatatanan nilai di masyarakat. Hubungan hukum ini misalnya terlihat dalam ketentuan-ketentuan kesusilaan.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s