Ruwet


“Izin Sadap Lemahkan KPK” begitu headline Kompas rabu 20 Maret 2013 yang lalu. Berita ini muncul terkait pengaturan mengenai penyadapan dalam RUU KUHAP yang sudah diserahkan ke DPR oleh Presiden untuk dilakukan pembahasan.

Isu perlu tidaknya penyadapan yang dilakukan oleh KPK mendapatkan izin terlebih dahulu dari pengadilan memang selalu menjadi isu yang sensitif. Pelemahan KPK. Begitu kira-kira dugaan masyarakat pada umumnya. “Izin Pengadilan hanya memperlambat upaya pemberantasan korupsi”, suara lainnya, “Mafia peradilan masih banyak, nanti rencana penyadapan akan bisa bocor”, “Pasal izin pengadilan untuk penyadapan ini adalah pasal titipan koruptor!”. dan masih banyak lagi contoh-contoh dugaan masyarakat mengenai isu ini.

Apakah penyadapan harus mendapatkan izin dari pengadilan terlebih dahulu? Suatu pertanyaan yang sudah agak malas untuk saya jawab. Karena dari bagaimana polemik atas isu perlu tidaknya izin penyadapan ini berkembang ada hal yang menurut saya lebih mendasar yang perlu kita cermati. Yaitu bagaimana kita –masyarakat, warga negara- memandang kekuasaan dan fungsi pengadilan, dan juga yang tak lah pentingnya, bagaimana selama ini pengadilan memandang fungsi dirinya sendiri.

Segala macam izin-izin pengadilan terkait upaya paksa dalam proses pengusutan perkara pidana selama ini lebih banyak dipandang sebagai fungsi administrasi pengadilan belaka, prosedur yang hanya memperlambat penegakan hukum; beban yang seharusnya dihilangkan. Tapi apakah benar pandangan ini?

Mari coba kita pikirkan lagi, sebenarnya untuk apa sih izin-izin pengadilan ini? Izin untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penyadapan dan lain sebagainya, termasuk penyadapan (dan seharusnya juga penahanan).

Penggeledahan. Negara, melalui aparatnya, tiba-tiba masuk ke dalam rumah kita, memeriksa apa yang ada dalam rumah kita. Atau menggerayangi tubuh kita, mencari sesuatu, dan untuk itu mungkin kita harus membuka pakaian kita. Penggeledahan badan dan pakaian. Sesuatu yang sangat tidak mengenakan. Seakan tak ada lagi privasi kita.

Penyitaan. Hak milik kita, entah itu uang, barang, property dan lain sebagainya tiba-tiba di sita oleh Negara, melalui aparatnya. Harta-harta yang kita miliki, entah dengan keringat sendiri atau keringat orang tua kita tiba-tiba diambil begitu saja –yang katanya- untuk sementara waktu oleh negara. Entah apa rasanya.

Penahanan. Tiba-tiba kita dikurung dalam satu ruangan bersama orang-orang lain, tidak bisa kemana-mana. Hanya bisa bengong dalam ruangan entah berapa kali berapa selama beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan.

Itu semua dilakukan oleh Negara katanya untuk menegakan hukum, menegakan keadilan, memberantas kejahatan.

Ok, tentu kita bisa terima hal itu, jika hal itu dilakukan untuk menegakan hukum, hukum pidana. Sampai batas tertentu, tentu Negara perlu juga kita berikan kewenangan untuk bisa melakukan perbuatan-perbuatan seperti diatas tadi. Untuk bisa mendapatkan barang bukti, yang penting untuk bisa membuktikan kesalahan seseorang atas dugaan suatu kejahatan, tentu perlu juga untuk bisa menggeledah rumah kita. Perlu juga Negara bisa menyita barang-barang yang diduga merupakan barang bukti tersebut. Selain itu, perlu juga agar bisa menahan seseorang yang diduga merupakan penjahatnya, kalau tidak bisa kabur nanti.

Tapi pertanyaanya, bagaimana kita bisa memastikan kewenangan Negara –kewenangan yang sebenarnya kita lah yang memberikannya- tersebut, kewenangan yang merampas hak-hak kita sebagai manusia dan warga negara, memang dilakukan semata-mata untuk menegakan hukum? Apa jaminannya Negara tidak menggunakan kewenangan tersebut untuk tujuan selain penegakan hukum, serta tidak menggunakannya secara sewenang-wenang? Dan, siapa yang menjamin? Bisa kah kita cukup percaya saja dengan mereka? Jika hanya berdasarkan kepercayaan saja tidak cukup, lalu, apakah kita sendiri cukup mampu melawan Negara itu sendiri jika ternyata ia (aparat penegak hukum) menggunakan kewenangan tersebut secara sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangannya? Mungkin mampu…kalau anda Huluk. Atau minimal Gatot Kaca.

Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Begitu kata Lord Acton. Entah apa artinya…

Kita ingin hukum bisa ditegakan, pelaku kejahatan bisa dihukum. Tentu. Tapi tentu kita juga ingin agar dalam rangka penegakan hukum tersebut, mencari, memproses dan mengadili pelaku kejahatan tersebut, dilakukan secara benar, tidak semena-mena dan kewenangan-kewenangan yang ada tidak disalahgunakan. Tentu menyenangkan melihat orang yang salah bisa dihukum, mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. Tapi tentu kita juga ingin agar hanya orang yang memang bersalah lah yang mendapatkan ‘musibah’ itu, bukan orang yang tidak tahu menahu dan tidak bersalah.

Untuk memastikan hal itu tentu kita ingin agar kewenangan-kewenangan Negara tersebut diatur, diperjelas batasan-batasannya. Tanpa batasan, maka akan sulit untuk mengetahui apakah ia telah melampaui kewenangannya atau tidak, masih menggunakan kewenangannya sesuai tujuan kewenangan tersebut diberikan atau tidak. Aturan tersebut kita buat secara tertulis. Biar jelas. Dan dibuat oleh kita –melalui wakil kita- atau setidaknya telah kita setujui. Jadilah ini Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Tapi, pertanyaan selanjutnya, apakah aturan tertulis itu saja sudah cukup, aturan tertulis yang memberikan batasan-batasan kewenangan tersebut? Ketika para aparatus negara menjalankan aturan tersebut -menjalankan kewenangan-kewenangan yang bisa merampas hak-hak kita, siapa yang akan menilai bahwa kewenangan tersebut dijalankan sesuai dengan ‘kontrak’ kita dengan negara dalam bentuk Undang-Undang Hukum Acara Pidana tadi? Tanpa ada yang menilai, dan diberikan kekuasaan untuk menilai, maka aturan tadi hanya akan menjadi macan kertas belaka. Kumpulan huruf tak berarti. Begitu juga jika yang menilai adalah pihak yang menjalankan kewenangan tersebut, maka ya percuma. Jeruk makan jeruk, kata Joshua.

Bisa kah kita lah yang menilai, toh parameternya sudah ada, dalam Hukum Acara tersebut. Hmm…dalam praktiknya nanti bisa jadi tak akan ada “kita”, yang ada hanya ‘saya’, seorang diri. Dalam praktiknya nanti si “kita” itu adalah orang yang mengalami proses peradilan itu, tersangka. Yang tak jarang (bahkan umumnya) hanya seorang diri. Kalau pun nambah paling keluarga dan kerabat. Bisa kah kita menilainya? Menilai apakah penggunaan kewenangan oleh Negara tersebut sudah sesuai dengan aturannya atau tidak? Kalau pun bisa, karena misalnya “kita” mengerti hukum, minimal bisa baca undang-undang, bisa obyektif? Terus bisa apa jika menurut penilaian kita penggunaan kewenangan tersebut ternyata dilakukan secara sewenang-wenang? Paling mentok ngedumel sendirian kan?

Karena sepertinya tidak mungkin kalau yang menilai adalah kita sendiri dan juga tidak mungkin si Negara (baca: penyidik), maka tentu kita membutuhkan pihak ketiga untuk itu. Dan pihak itu bukan perorangan, tapi institusi, institusi yang juga memiliki kekuasaan yang setara dengan negara (baca: pemerintah) itu sendiri. Yaitu Pengadilan, sebagai representasi dari Kekuasaan Yudikatif.

Singkat kata, izin pengadilan bagi aparat penegak hukum sebelum menggunakan kewenangannya yang akan merampas hak-hak kita (upaya paksa) pada prinsipnya ada sebagai upaya untuk memastikan bahwa kewenangan-kewenangan tersebut akan digunakan sesuai dengan tujuannya, mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Atau dengan kata lain, menjamin hak-hak kita sebagai warga negara tidak terlanggar. Kalaupun terpaksa terlanggar, pelanggaran tersebut memang benar-benar diperlukan. Penggeledahan misalnya, izin pengadilan diperlukan agar bisa dinilai apakah memang ada alasan yang cukup untuk menggeledah, memeriksa isi rumah, pakaian atau tubuh kita atau tidak. Begitu juga dengan penyitaan, pemeriksaan surat, dan upaya-upaya paksa lainnya.

Kembali ke isu penyadapan seperti di awal tulisan ini. Bagaimana cukup resistennya terhadap upaya untuk mengatur agar penyadapan oleh KPK dilakukan dengan izin pengadilan sebelumnya, memperlihatkan bagaimana kita memandang perlindungan atas hak-hak kita sendiri, serta yang tak kalah pentingnya, bagaimana kita memandang fungsi dari pengadilan dalam kaitannya dengan kewenangan penegak hukum (penyidik maupun penuntut umum). Kita ternyata melihat peran izin tersebut sebatas ‘prosedur’ belaka, dan, kita tidak lagi melihat pengadilan sebagai institusi yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak asasi kita sendiri.

Tapi apakah cara pandang tersebut ujug-ujug nongol begitu saja? Tentu tidak. Pada dasarnya bukannya kita tidak mau melihat pengadilan berfungsi sebagai penjamin atas hak-hak asasi kita, namun yang terjadi sebenarnya adalah kita tidak percaya bahwa pengadilan, kekuasaan yudikatif, memang akan menjalankan fungsi tersebut, mengontrol penggunaan kewenangan upaya paksa penegak hukum untuk melindungi hak-hak warga negara.

Ketidakpercayaan ini timbul karena selama ini kita tidak melihat bahwa pengadilan memang telah menjalankan fungsinya tersebut, melindungi hak-hak warga negara, menjadi penyeimbang dari kekuasaan penegak hukum (pemerintah). Bahkan kita kini tidak yakin, bahwa pengadilan sendiri merasa memiliki fungsi tersebut. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari berapa banyak gugatan praperadilan atas penangkapan atau penahanan yang diajukan tersangka yang dikabulkan pengadilan? Pernah kah hakim dalam praperadilan mencoba menguji subyektivitas dari penyidik ketika menetapkan penahanan terhadap tersangka?

Ok, jadi solusinya pengadilan harus berubah dulu, membuktikan dirinya benar-benar berfungsi mengontrol diskresi penegak hukum dalam menggunakan upaya paksa yang ada?

Sebelum masuk ke solusi, ada kerumitan lain yang timbul sebagai ekses dari masalah ini. Kita tidak percaya pengadilan berfungsi sebagai pelindung hak-hak kita atas potensi penyalahgunaan kewenangan upaya paksa dari penegak hukum. Pengadilan saat ini –setidaknya yang kita lihat- sepertinya belum merasa memiliki fungsi tersebut. Dari kedua hal ini maka seharusnya berarti kita ingin agar pengadilan menjalankan fungsi tersebut. Untuk itu maka seharusnya kita mendorong agar pengadilan mau menjalankan fungsi tersebut.

Tapi dalam banyak hal yang kita dan pengadilan lakukan sepertinya justru bertentangan dengan tujuan itu. Lihatlah bagaimana ‘kita’ bersikap ketika ada orang yang menjadi tersangka –terutama jika orang tersebut bukan orang yang kita kenal- tak jarang kita mau orang-orang tersebut langsung dihukum saja, dan seberat-beratnya. ‘Kita’ suka mencibir ketika orang tersebut berupaya menguji penahanan atau upaya paksa lainnya di praperadilan. ‘Kita’ marah ketika ada terdakwa yang diputus tidak bersalah oleh pengadilan. Kita ingin pengadilan tidak perlu menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengontrol, memastikan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dan penuntut umum dijalankan dengan benar, untuk tujuan semata-mata kebenaran dan keadilan. Kita ingin agar Pengadilan cukup menjadi institusi Penghukuman semata, perpanjangan tangan dari para penyidik (baca: kepolisian) dan penuntut umum (baca: kejaksaan) semata.

…disaat yang bersamaan kita sangat tidak percaya para polisi dan jaksa kita adalah orang-orang yang bersih, adil, cerdas, bijaksana dan hal-hal yang berbau moral-moral pancasila lainnya yang pasti tidak akan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan padanya. Kita tidak yakin bahwa aparat penegak hukum kita memang serius memberantas kejahatan, apalagi korupsi.

Lalu bagaimana dengan pengadilan itu sendiri? Tak banyak berubah dalam soal ini. Tak jarang pengadilan pun merasa ikut terdorong untuk menjadi sekedar lembaga Penghukuman. Kita bisa lihat indikasi atas cara berfikir ini dari bagaimana Mahkamah Agung –pengadilan tertinggi di negara ini- dengan bangganya mengumumkan bahwa MA semakin jarang memutus bebas atau lepas terdakwa kasus korupsi di tingkat kasasi. Seakan memutus bebas seorang terdakwa adalah sesuatu yang haram. Dengan cara ini maka MA merasa telah menyerap ‘aspirasi’ masyarakat.

Indikasi lainnya yang menunjukkan semakin jauhnya harapan kita bahwa pengadilan mulai mau berfikir bahwa fungsi mereka (salah satunya) adalah untuk melindungi hak-hak warga negara atas potensi penyalahgunaan kewenangan upaya paksa dari penegak hukum bisa terlihat dari bagaimana mereka memandang rencana pengaturan mengenai hakim komisari/pemeriksa pendahuluan dalam RUU KUHAP. Hakim jenis ini dimaksudkan untuk mengawasi kewenangan penyidikan dan penuntutan khususnya upaya paksa. “Agak merepotkan”. Ini kesan yang saya tangkap bagaimana mereka melihat adanya ‘beban’ tambahan bagi pengadilan ini.

Ambigu. Itu lah kita saat ini. Kita mau hak-hak kita terjamin, kekuasaan tidak digunakan secara semena-mena, tapi disaat yang bersamaan kita juga tidak mau pengadilan menjalankan fungsinya untuk bisa memastikan kekuasaan penegak hukum dijalankan secara tidak sewenang-wenang. Dan jika pun kita tidak mempercayai pengadilan akan dan mau menjalankan fungsi tersebut, tak ada alternatif solusi untuk memecahkan masalah ini. Sepertinya. Ketiadaan alternatif solusi ini hanya menempatkan permasalahan ini pada status quo. Tak ada perubahan.

…eh tapi siapa bilang tidak ada alternatif solusi? Tentu ada. Kita bisa menerima itu semua jika korupsi bisa diberantas. Kita baru bisa percaya pengadilan mampu menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak-hak warga negara dari potensi penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum jika mafia pengadilan bisa diberantas. Jika hakim-hakim dan aparatus pengadilan lainnya yang korup dibersihkan maka mereka pasti akan menjalankan fungsi tersebut.

Jika para hakim dan aparat pengadilan kita berisi orang-orang yang bersih, tidak korup, pasti ini semua akan terwujud. Apa itu hakim yang bersih dan tidak korup tersebut? Tentu hakim yang tidak akan membebaskan terdakwa kasus korupsi. Tidak akan mengabulkan praperadilan tersangka jika ia menguji sah/tidaknya penahanan dll, tidak memberikan penangguhan penahanan bagi terdakwa, dan jikapun penyadapan harus dilakukan denga izin pengadilan, maka pengadilan yang bebas korupsi adalah pengadilan yang akan selalu mengabulkan permohonan penyadapan terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi.

…btw, itu sebenarnya pemahaman kita atas hakim dan pengadilan yang bersih, bebas korupsi dan pro pemberantasan korupsi atau hakim dan pengadilan yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan penyidik atau penuntut umum ya?

…ruwet.

1 thought on “Ruwet

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s