Denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang selama ini terabaikan. Coba saja lihat berapa jumlah denda yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana kita. Jumlahnya masih sangat kecil, berkisar antara 450 s/d 9.000 rupiah. Jumlah tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini. Akibatnya sanksi denda tersebut menjadi tidak efektif, jaksa penuntut umum tentu tidak mau menuntut terdakwa dengan tuntutan denda dengan jumlah sebesar itu, begitu juga dengan pengadilan, tak mungkin pengadilan akan menjatuhkan hukuman denda sekecil itu.
Apa akibatnya? Sanksi penjara menjadi satu-satunya pilihan jenis hukuman yang tersedia dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Ketika penjara menjadi 1-1 nya pilihan penghukuman maka jangan heran jika jumlah narapidana kita menjadi tidak seimbang dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan atau penjara. Besarnya jumlah narapidana hingga melampaui kapasitas lembaga pemasyarakatan menimbulkan permasalahan lain, besarnya anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai penjara, korupsi di LP dengan cara memperjualbelikan fasilitas kepada narapidana yang mampu, terlanggarnya hak-hak asasi narapidana, masalah kesehatan, tidak efektifnya pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana dan segudang masalah lainnya. Belum lagi penjara akan meninggalkan stigma terhadap mantan narapidana. Stigma ini akan menyulitkannya dalam kehidupan sosial maupun ekonomi, yang justru dapat mendorongnya untuk kembali melakukan tindak pidana.
Apakah setiap pelaku kejahatan harus dihukum dengan hukuman penjara? Tentu tidak. Hukuman pada dasarnya harus disesuaikan dengan sifat kejahatan, dan kondisi pelaku itu sendiri. Sebaliknya, juga tidak semua pelaku kejahatan tentunya tepat jika dijatuhi pidana denda. Seorang residivis atau penjahat kambuhan tentu tidak tepat untuk dijatuhi denda, namun penjara, untuk melindungi masyarakat dari kejahatan yang mungkin akan dilakukannya lagi. Namun pelaku pencurian yang nilai barang yang dicurinya tidak terlalu besar dimana ia tidak memiliki track record sebelumnya atau mencuri karena kebutuhan, dan memiliki tanggungan keluarga mungkin lebih tepat dan efektif jika hanya dijatuhkan pidana denda. Begitu juga dengan kasus-kasus penghinaan, tindak pidana-tindak pidana terhadap barang yang terjadi karena masalah personal sangat mungkin akan lebih efektif jika denda yang menjadi pilihan penghukuman.
Apakah semua jenis kejahatan dimungkinkan untuk dijatuhi pidana denda? Tidak. Jika kita membaca Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak semua jenis tindak pidana memang dapat dijatuhi pidana denda. Banyak tindak pidana yang hanya dapat dijatuhi pidana penjara. Kita sebenarnya tidak perlu lagi sibuk memikirkan jenis pidana apa yang dapat atau tidak dapat dijatuhi pidana denda, perancang KUHP dulu telah memikirkan hal itu, kita hanya perlu mengevaluasi jumlah denda tersebut dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini.
Apakah untuk merevisi jumlah denda harus menunggu RUU KUHP atau merubah seluruh ketentuan dalam KUHP? Tidak. Coba kita pikirkan, bagaimana bisa KUHP yang kita baca dan pergunakan saat ini sanksi dendanya dirumuskan dalam rupiah padahal KUHP disusun oleh Pemerintah Belanda yang pada saat itu mata uangnya adalah gulden? Perubahan KUHP untuk merubah jumlah denda beserta mata uangnya pernah dilakukan oleh kita pada tahun 1960, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu No. 18 Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945. Perpu ini kemudian disahkan menjadi undang-undang. Yang menarik Perpu yang merubah seluruh jumlah denda yang ada di dalam KUHP hanya terdiri dari 2 pasal. Pasal 1 ayat 1 perpu tersebut mengatur bahwa mata uang gulden diubah menjadi rupiah, dan jumlah denda yang ada di KUHP saat ini dikalikan 15 kali. Jadi misalnya denda yang sebelumnya diatur berjumlah 100 gulden berubah menjadi 1500 rupiah.
Perubahan jumlah denda dalam KUHP tersebut sayangnya hanya beru terjadi 1 kali, hanya tahun 1960 itu saja. Selanjutnya Pemerintah dan DPR tidak pernah berupaya untuk merevisi lagi jumlah denda dalam KUHP tersebut walaupun jelas-jelas nilai rupiah tahun 1960 telah mengalami depresiasi beratus-ratus kali lipat selama kurun waktu 50 tahun. Akibatnya? Ya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Denda sebagai salah satu jenis hukuman menjadi tidak efektif.
Apakah denda dapat mengurangi beban penjara kita yang saat ini membludak? Sangat mungkin. Bayangkan, anggaplah 10% dari jumlah narapidana kita saat ini lebih tepat dijatuhi pidana denda bukan penjara, berapa besar penghematan anggaran yang dapat diperoleh? Tak hanya itu, denda juga menambah pemasukkan negara. Jadi dengan efektifnya denda kita untung dua kali, beban anggaran berkurang, sekaligus bertambah. Belum lagi ekses-ekses negatif lainnya yang akan terkurangi.
Jadi, mengapa tidak kita revisi jumlah denda kita yang diatur dalam KUHP? Sesuaikanlah jumlahnya dengan kondisi saat ini, misalnya dikali lipatkan saja jumlah denda yang berlaku saat ini sebanyak 10.000 kali lipat, 50.000 kali lipat atau berapapun yang dianggap sesuai untuk kondisi saat ini, tokh kita hanya butuh 1 undang-undang dengan 2-3 pasal untuk melakukan hal ini. Lihatlah Perpu No. 18 tahun 1960 untuk itu. Selanjutnya biarkan pengadilan yang memutuskan dalam kasus-kasus kongkrit apakah terdakwa akan dijatuhi pidana penjara atau denda. Yang penting, terdapat alternatif bagi pengadilan untuk menjatuhkan jenis pidana, tak hanya penjara.
Sekian.
Pingback: Kasasi Atas Putusan Bebas dan Legislasi yang Tidak Responsif « KRUPUKULIT
Sudah dijawab ya pak solusinya, yakni pake metode #EmasHedgingSanksiDendaKUHP.
Pertama, berapa harga emas pd tahun 1960 (dirujuk dari UU 1/60 jis. Perpu 16/60 dan Perpu 18/60)? Jawabannya Rp 25,- per gram emas.
Kedua, berapa harga emas skg? Kira2 Rp 500rb/gram.
Ketiga, solusi utk reformasi denda, mis, Pasal 364 KUHP: nilai barang yg dicuri Rp 25,- = 1gr emas = sekitar rp500rb, sanksi denda max Rp 60,- = 2,4 gr emas = Rp 1,2jt.
Terakhir, kaidah hukum yg diperoleh adalah bahwa tipiring adalah yg nilai deliknya tidak lebih dari harga 1 gram emas (dulu tahun 1960 senilai Rp 25,- dg sanksi Rp 60,- ; sekarang 2011 senilai sekita Rp 500rb dg sanksi Rp 1,2 jt).
Kesimpulan: tipiring = senilai harga 1 gram emas pd saat delik dilakukan, sanksinya = 2,4 gram emas pd saat delik divonis hakim. Kecuali law-maker mengamandemennya, tentunya.
Pingback: Akhirnya! Penyesuaian KUHP! « KRUPUKULIT