Kerumitan Kecil yang Tak Penting dalam Undang-Undang Kita


Pernahkan anda mengalami kesulitan dalam menuliskan undang-undang sebagai referensi, baik sebagai footnote, daftar pustaka atau bentuk lainnya? Saya sering. Terutama jika undang-undang yang akan saya kutip adalah undang-undang yang telah diubah beberapa kali. Misalnya saya mau merujuk pasal yang mengatur tentang persyaratan calon Hakim Agung, maka saya harus menulikan Pasal x UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah sebanyak dua kali terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009. (apakah penulisan tersebut ada kesalahan saya juga kurang tahu detilnya).

Contoh di atas mungkin agak sedikit lebih mudah mengingat nama UU tersebut hanya 2 kata, Mahkamah Agung. Itu pun sudah menghabiskan lebih dari 10 kata untuk menuliskannya. Bagaimana jika nama UU asalnya itu sendiri sudah cukup panjang? Mungkin kita akan menghabiskan 1 paragraf sendiri hanya untuk menuliskannya. Rumit dan tidak efisien.

Pernahkah anda mencoba mencari undang-undang dimana anda mengetahui nama undang-undang tersebut, atau dapat mengira-ngira nama undang-undangnya namun tidak tahu nomor dan tahunnya (apalagi nomor Lembaran Negara-nya)?  Apa yang anda harus lakukan? Mencari di situs-situs yang menyediakan peraturan perundang-undangan tentunya, seperti Hukumonline.com, Setneg.go.id, legalitas.org maupun situs-situs kementerian.

Setelah anda masuk kebagian database peraturan tersebut apa yang biasanya anda temui? Nomor, tahun dan judul undang-undangnya yang umumnya di sortir berdasarkan nomor. Kelihatannya mudah. Tapi jika dalam database tersebut di tahun undang-undang yang kita cari terdapat banyak UU, misalnya sampai 50an UU yang terbit ditahun tersebut tentunya melelahkan juga mencarinya. Satu-persatu harus kita perhatikan judulnya. Kalau kebetulan ternyata uu yang kita cari ada di nomor terakhir? Capedeee.

Kembali ke undang-undang yang beberapa kali telah diubah. Pernahkah anda mencoba membaca undang-undang yang telah beberapa kali diubah? Ribet bukan? Jika undang-undang tersebut telah diubah 2 kali maka kita harus membuka 3 UU sekaligus. Lebih ribet lagi jika misalnya di UU perubahan pertama pasal x diubah, kemudian di UU perubahan kedua pasal tersebut diubah lagi. Bagi orang hukum pasti tahu kerumitan ini.

Mengapa semua itu harus menjadi rumit? Sebuah kerumitan kecil namun menyusahkan yang seharusnya tak perlu terjadi menurut saya. Mengapa tak bisa saya sebut saja Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah sebanyak dua kali terakhir kali dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 menjadi UU Mahkamah Agung? Tokh ketiganya memang mengatur tentang Mahkamah Agung. Atau kalau perlu bisa juga kita menyebutnya UU Mahkamah Agung 2009.

Bisakah? Seharunya menurut saya bisa. Contoh UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Semua orang menyebutkan dengan nama KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari mana kata-kata Kitab tersebut muncul? Apakah nama tersebut diberikan oleh para ahli hukum begitu saja, supaya lebih keren gitu?

Tidak. Nama tersebut yang kemudian disingkat menjadi KUHAP berasal dari UU 8/1981 itu sendiri. Coba lihat pasal 285, disitu disebutkan Undang-Undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ya, undang-undang memberikan nama, bahkan nama yang diberikan oleh UU tersebut tidak sama dengan nama yang tertera dalam judul UU itu sendiri.

Penamaan undang-undang oleh undang-undang itu sendiri sebenarnya dulu sering terjadi. UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi di pasal 51 ayat 2 dinyatakan UU ini sebagai UU Tindak Pidana Ekonomi. UU No. 10 Tahun 1980 tentang Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma, di pasal 8 disebut Undang-undang ini dapat disebut sebagai Undang-Undang Bintang Budaya Parama Dharma. Contoh lain misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, di pasal IX Kelima dinyatakan bahwa UU ini disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria. UU No. 6 Tahun 1960 tentang Sensus, di pasal 11 ayat 1 disebutkan UU ini disebut UU Sensus 1960. UU No. 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara di pasal 35 ayat 1 disebut UU ini disebut dengan UU Karantina Udara 1961. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di pasal 144 dinyatakan UU ini dinamakan UU Peradilan Administrasi Negara. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya di pasal 44 disebut UU ini dapat disebut UU Konservasi Hayati. Dan masih banyak lagi contoh-contoh UU yang memberikan nama dalam Ketentuan Penutupnya.

Dari beberapa contoh di atas memang terlihat ada beberapa model penamaan undang-undang. Ada undang-undang yang dalam memberikan nama disertai dengan tahun, misal UU Karantina Udara 1961, UU Sensus 1960, dan UU Bentuk-Bentuk Usaha Negara 1969, ada juga yang hanya memberikan nama tanpa tahun.

Praktek penamaan UU ini sepertinya sudah tidak lazim lagi dilakukan, entah sejak kapan praktik ini berakhir. Namun saya masih menemukan UU di tahun 1999 yang masih memberikan nama untuk UU tersebut, yaitu UU No. 4 Tahun 1999 tentang Sususan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU tersebut diberikan nama menjadi UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD di pasal 48. Mungkin praktek tersebut mulai memudar pada awal tahun 2000an. Setidaknya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun sudah tidak mempraktekannya.

Apa fungsi nama undang-undang?

…bersambung

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s