Beberapa Pemikiran tentang Bagaimana Mengatasi Kemacetan di DKI


Tanpa banyak basa-basi, berikut dibawah ini beberapa pemikiran saya tentang alternatif cara mengurangi kemacetan di DKI. Pemikiran ini bukan pemikiran ilmiah, ga pake riset, hanya ide. Saya bukan ahli tata kota or whatever, hanya warga jakarta yang muak melihat kemacetan yang ada, dan sepertinya tidak ada tawara solusi  yang diajukan Pemda DKI kecuali bikin jalan baru.

Konsep dasar yang saya tawarkan adalah pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan mengembalikan tempat tinggal warga jakarta ke jakarta.

  1. Bangun apartemen untuk PNS yang ada di Jakarta sebagai rumah dinas

Pembangunan rumah dinas untuk PNS akan selalu berlangsung. Dulu perumahan dinas PNS dari instansi-instansi pemerintahan dibangun di jakarta. Karena lahan semakin sempit dan sepertinya juga untuk mengembangkan daerah pinggiran jakarta, pembangunan perumahan dinas mulai dialihkan ke daerah-daerah seperti tangerang, ciputat, bekasi dan depok. Setelah itupembangunan real estate di kawasan tersebut mulai berkembang juga.

Kini sebagian (yang cukup besar) warga yang bekerja di jakarta tinggal di kawasan-kawasan tersebut. Cukup mudahnya kredit pemilikan rumah mendorong hal ini. Keluarga baru, khususnya kelas menengah yang relatif pas-pasan tidak sanggup untuk membeli rumah di jakarta, karena tingginya harga tanah apalagi rumah di jakarta. Buruknya sistem transportasi publik mendorong para pemukim di kawasan-kawasan tersebut untuk membeli kendaraan pribadi. Walhasil pada jam sibuk (pagi dan sore) tingkat kepadatan lalu lintas sangat tinggi dari (pagi) dan menuju (sore) kawasan-kawasan tersebut.

Mengapa mereka tidak membeli apartemen atau rumah susun? Apakah semata masalah harga? Saya rasa tidak. Ikatan orang jakarta sepertinya masih tinggi dengan tanah. Punya apartemen belum berasa punya rumah, karena tidak nempel dengan tanah. Jadi, ada hambatan kultural juga yang membuat orang lebih memilih membeli rumah di luar jakarta walaupun dengan pengorbanan uang dan waktu setiap harinya, jauh-jauh bermacet-macet ria pergi dan pulang kerja.

Hambatan kultural ini perlu disiasati. Dan perubahan policy membangun rumah dinas PNS tidak lagi dalam bentuk kompleks perumahan namun dalam bentuk apartemen dapat menjadi salah satu cara penyiasatannya. Tentu efeknya baru akan terasa tidak dalam jangka waktu dekat, tapi agak lama. Generasi selanjutnya yang dilahirkan dari para PNS yang tinggal di apartemen ini akan terbiasa dengan kehidupan yang lepas dari tanah. Seperti halnya kita yang pada masa kecil tinggal di perumahan-perumahan dinas atau komplek-komplek terbiasa hidup di lingkungan seperti itu dan terpikir untuk mencari suasana yang serupa ketika berkeluarga.

Apartemen yang saya maksud tentu bukan apartemen mewah. Ya yang cukup lah. Setingkat di atas rumah susun. Yang penting layak huni dan bisa menampung 1 keluarga dengan 2-3 anak dan pembantu. Besar kah biayanya? Relatif tentunya. Tapi yang jelas lebih efisien. Dan dalam jangka panjang dapat mengurangi cost-cost baik ekonomi maupun sosial yang ditimbulkan akibat kemacetan. Selain itu sebisa mungkin jarak antara apartemen dinas tersebut dengan kantor tidak terlalu jauh untuk dapat meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi.

Untuk menghemat pengeluaran negara tentu apartemen dinas tersebut tidak untuk dimiliki oleh para PNS-nya, tapi benar-benar menjadi rumah dinas. Masa penghunian harus dibatasi agar bisa dipergunakan untuk pegawai yang baru. Hak huni sebaiknya diatur habis sebelum pegawai pensiun, karena jika sudah pensiun akan jauh lebih sulit untuk melakukan pengosongan. Misalnya masa hak huni selama 15 tahun dan pegawai mulai menghuni pada usia dibawah 40 tahun, sehingga ketika sudah 15 tahun status mereka masih pegawai, belum pensiun. Bagaimana jika mereka sudah pensiun? Dimana mereka harus tinggal? 15 tahun menurut saya waktu yang cukup lama untuk menabung untuk membeli rumah sendiri, terserah mau beli rumah di jakarta atau luar jakarta.

Pembangunan apartemen PNS dengan sendirinya juga akan mendorong pihak swasta untuk mengembangkan apartemen untuk kelas menengah dan menengah kebawah, karena mereka pasti akan memprediksi dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi perubahan kultural/ pandangan dari masyarakat jakarta atas tempat tinggal. Dengan demikian secara perlahan warga jakarta (yang bekerja di jakarta) akan kembali tinggal di jakarta. Ketika warga jakarta kembali tinggal di jakarta maka jarak tempuh menjadi lebih dekat, optimalisasi penggunaan angkutan umum dan angkutan-angkutan alternatif (khususnya sepeda) dapat terjadi yang berimplikasi pada berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi yang pada akhirnya akan mengurangi problem kemacetan.

Just a thought.

  1. Sediakan Angkutan Umum Khusus Saat Jam Sibuk

Tingginya penggunaan kendaraan pribadi yang merupakan sumber utama problem kemacetan menurut saya salah satunya disebabkan oleh minimnya jumlah angkutan umum, apalagi yang layak. Minimnya jumlah angkutan umum ini berakibat pada sesaknya angkutan umum. Hal ini kemudian berefek pada rusaknya angkutan umum itu sendiri. Terlebih perawatan angkutan umum sepertinya tidak dilakukan secara serius oleh masing-masing pengelola angkutan umum.

Tapi rendahnya jumlah angkutan umum tersebut sebenarnya hanya terjadi pada jam-jam sibuk, pagi dan sore hari. Sementara di jam-jam biasa, antara jam 10-16 tingkat penggunaan angkutan umum rendah, bahkan berlebih. Hal ini menyebabkan para supir angkutan umum tersebut ngetem menunggu penumpang, yang mana hal ini merupakan salah satu sumber masalah kemacetan di jam-jam tersebut.

Penambahan jumlah angkutan umum tentu menjadi sulit untuk dilakukan, karena jika para pengelola angkutan umum diberikan hak untuk menambah jumlah armadanya akan menimbulkan problem kemacetan yang lebih parah di jam-jam tidak sibuk tersebut. Belum lagi kemungkinan protes dari para supir angkutan umum karena hal ini berarti menambah saingan yang akan mengurangi pendapatan mereka.

Untuk mengatasi masalah rendahnya jumlah angkutan umum pada jam sibuk tanpa harus menimbulkan masalah di jam tidak sibuk, yang dapat dilakukan adalah menyediakan angkutan umum yang hanya beroperasi pada jam-jam sibuk. Katakanlah angkot atau bis khusus yang hanya beroperasi pada jam 6 -10 pagi dan 5-8 malam. Bis atau angkutan umum ini warna atau coraknya harus berbeda dengan bis atau angkutan umum yang normal, sehingga dapat dengan mudah terdeteksi jika mereka beroperasi diluar jam yang ditentukan.

Siapa yang harus menjalankan angkutan umum khusus ini? Sepertinya sulit jika dibebankan pada organda atau swasta. Tapi bisa dilakukan oleh Pemda tentunya, atau Damri. Kalau perlu, untuk menjaring pengguna mobil, jenis angkutan umum khusus ini bukan kelas ekonomi tapi AC dengan ongkos yang lebih mahal. Dengan demikian bisa mengurangi resistensi dari pengelola-pengelola angkutan umum swasta karena tidak mengambil pasar mereka.

Pemda akan rugi karena waktu operasinya terbatas? So what? Berapa kerugian yang ditimbulkan akibat tingginya penggunaan kendaraan pribadi dan kemacetan?

  1. Remajakan Angkutan Umum

Harus ada standar kelayakan angkutan umum. Mungkin memang sudah ada, saya kurang tahu bagaimana peraturan teknis di kementrian perhubungan atau dinas perhubungan Pemda. Tapi melihat kondisi angkutan umum yang ada saat ini seperti harus ada langkah yang radikal untuk meremajakan angkutan umum agar layak pakai.

Setiap angkutan umum seharusnya mempunyai jangka waktu pakai, apakah 5, 6 atau 10 tahun. Apakah peremajaan ini harus sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola? Saya rasa tidak. Harus ada peran dari pemerintah juga. Peran tersebut bisa dengan cara memberikan subsidi, baik pengurangan/ penghapusan pajak kendaraan khusus untuk angkutan umum, sumbangan, atau bisa juga dengan cara mewajibkan pengelola untuk membayar iuran/retribusi kepada pemda untuk setiap unitnya per bulan/tahun yang kemudian hasil retribusi ini yang kemudian dikembalikan lagi kepada pengelola untuk melakukan peremajaan angkutan umumnya.

Meningkatnya kualitas fisik angkutan umum dapat mendorong publik untuk kembali tertarik untuk menggunakan jasa angkutan umum. Saya cukup yakin mayoritas orang akan lebih memilih menggunakan angkutan umum yang layak dibandingkan bersusah payah mengeluarkan uang untuk membeli bensin dan membayar gaji supir untuk kendaraan pribadinya.

Ngayal? Ya semua selalu berawal dari khayalan (imaginasi).

  1. Kampanye Penggunaan Angkutan Umum dan Sepeda

Cape lihat wajah Foke atau pejabat di billboard? Selain cape juga pesannya tidak sampai. Dari sekian banyak billboard dengan wajah pejabat tak ada satu pun yang saya ingat apa pesannya, walaupun mungkin setiap hari melihatnya. Pemborosan anggaran negara/daerah.

Kenapa tidak anggaran untuk iklan pejabat tersebut diubah menjadi anggaran untuk iklan sosialisasi penggunaan angkutan umum dan khususnya sepeda? Biasakan masyarakat kita yang telah lama meninggalkan sepeda (yang sekarang sedang digiatkan kembali oleh komunitas B2W) kembali dekat dengan sepeda (dan angkutan umum). Sosialisi mulai dari anak sekolah (juga).

Bayangkan jika disetiap sudut jalan kita melihat papan reklame tentang penggunaan sepeda untuk beraktivitas, terutama ke kantor. Tentu dengan kualitas iklan yang bagus, bukan sekedar tampang pejabat dengan beberapa kata. Secara perlahan perspektif kita tentang moda transportasi untuk ke kantor akan berubah, sepeda akan menjadi salah satu moda transportasi yang akan terbersit di pikiran kita, bukan sekedar alat olah raga atau mainan anak-anak.

Untuk kampanye penggunaan Angkutan Umum, walaupun tetap harus dilakukan tapi sepertinya agak lebih berat menghasilkan efek yang sama dengan kampanye sepeda. Ya tentu karena kita sendiri sudah melihat bagaimana tidak layaknya angkutan-angkutan umum yang tersedia. Kampanye ini akan efektif jika diimbangi dengan perbaikan layanan angkutan umum. Misalnya dimulai dari penyediaan angkutan umum khusus seperti pada point 2 sebelumnya dan peremajaan angkutan umum pada point 3.

5. Gedung Parkir Khusus dan Kewajiban Penyediaan Shower

Kembali ke sepeda. Kampanye penggunaan sepeda akan jauh lebih efektif jika diikuti dengan adanya kewajiban pengelola gedung-gedung perkantoran untuk menyediakan kamar mandi/ shower, tidak hanya wc serta lahan/gedung parkir khusus yang berjarak sekitar 5-10 km dari kawasan pusat-pusat perkantoran.

Mengapa perlu ada kamar mandi/ shower? Biasanya (berdasarkan pengalaman pribadi) yang akan dipikirkan pertama kali ketika akan memutuskan untuk bersepeda ke kantor adalah hal ini. Dimana mandinya. Ketiadaan shower di kantor akan mendiscourage orang untuk mau bersepeda ke kantor. Bike lane atau jalur sepeda biasanya tidak terlalu dipikirkan. Ada atau tidak adanya bike lane tidak terlalu mempengaruhi orang untuk mau atau tidak bersepeda, paling tidak menurut saya.

Untuk apa gedung parkir khusus seperti yang saya maksud di atas? Untuk memfasilitasi warga yang jarak antara rumah dan kantornya terlalu jauh untuk bersepeda ria. Dengan disediakannya gedung parkir khusus yang aman yang searah dengan arah kantornya maka bisa menjadi alternatif mereka untuk tetap bisa bersepeda ke kantor, walaupun tidak full dari rumah ke kantor. Sepeda (lipat) dibawa ke bagasi mobil, mobil di parkir di gedung parkir tersebut, selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda. Sampai kantor mandi di shower.

Demikian beberapa pemikiran saya. Masih bisa bertambah, tergantung mood dan ide.

1 thought on “Beberapa Pemikiran tentang Bagaimana Mengatasi Kemacetan di DKI

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s