Aspek Lain Pencabutan Hak “Politik” Putusan LHI


Mantan Presiden PKS LHI divonis 18 tahun penjara oleh MA di tingkat Kasasi, entah dendanya berapa. Satu hal yang menarik dari putusan ini, MA mengabulkan tuntutan JPU atas pidana tambahan pencabutan hak dipilih (entah apakah hak memilih juga ikut dicabut atau tidak, karena sejauh ini sumber informasi baru didapat dari media massa belaka). Dan belum jelas juga untuk berapa lama hak tersebut dicabut. Putusan pidana tambahan pencabutan hak ini memang sangat jarang dijatuhkan, entah karena hukuman tersebut dianggap terlalu berat, jenis pidana tambahan ini memang sudah terlupakan, atau karena faktor lain, seperti yang pernah saya tulis di artikel ini misalnya (Negeri Tanpa Ampunan).

Banyak pihak bersorak sorai gembira atas putusan ini, khususnya pencabutan hak politik tersebut. Saya pada dasarnya juga, tapi untuk alasan yang berbeda, bukan karena saya senang LHI dicabut hak politiknya, namun karena akhirnya pidana tambahan ini mulai dilirik lagi. Semoga kedepan mekanisme ini lebih dikedepankan dibanding mencabut hak-hak tertentu warga negara melalui peraturan perundang-undangan seperti dalam artikel Negeri Tanpa Ampunan di atas yang cenderung melanggar hak asasi warga negara.

Pidana Tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih (hak politik) merupakan salah satu sub jenis dari pidana tambahan yang di atur di KUHP. KUHP mengenal 3 jenis pidana tambahan, yaitu Pencabutan Hak-Hak Tertentu, Perampasan Barang-Barang Tertentu, dan Pengumuman Putusan Hakim (Pasal 10 sub b KUHP).  Jenis-jenis hak yang dapat dicabut melalui pidana tambahan ini diatur dalam pasal 35 Ayat (1) KUHP, yaitu:

  1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.
  2. hak memasuki Angkatan Bersenjata.
  3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
  4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.
  5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
  6. hak menjalankan mata pencarian tertentu.

Khusus pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat dijatuhkan untuk semua jenis perkara. Pasal 35 Ayat (1) KUHP menyatakan “hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah…”. Dengan menyatakan “dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam aturan umum lainnya” artinya dalam ketentuan pidana masing-masing delik harus jelas dinyatakan bahwa tindak pidana tersebut diancam juga dengan pidana tambahan pencabutan hak, jika tidak maka hakim tidak dapat mencabut hak-hak tertentu tersebut. Contoh delik yang dapat dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak dalam KUHP seperti ini:

Pasal 277

(1) Barang siapa dengan salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 4 dapat dinyatakan.

Jika hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak ini maka pada dasarnya hak tersebut tidak dicabut untuk seumur hidup, kecuali jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana mati atau seumur hidup. Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah penjara dengan waktu tertentu maka hakim hanya boleh mencabut hak tersebut paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun dari lama pidana pokoknya (lihat Pasal 38 KUHP). Artinya, jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah 18 tahun maka pencabutan haknya maksimal yang dapat dijatuhkan adalah 18+5 tahun, yaitu 23 tahun, dan setelah lewat 23 tahun tersebut maka hak-hak yang telah dicabut tersebut akan pulih kembali.

Kewenangan hakim dalam pidana tambahan ini adalah mencabut hak, artinya terpidana tidak boleh lagi menggunakan hak tersebut hingga hak tersebut pulih. Jika terpidana ngeyel, dan tetap menggunakan haknya tersebut maka ia dapat dipidana dengan Pasal 227 KUHP.

Barang siapa melaksanakan suatu hak, padahal ia mengetahui bahwa dengan putusan hakim hak tadi telah dicabut, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Hukuman pencabutan hak dipilih terhadap LHI ini mungkin tidak terlalu ngefek bagi LHI itu sendiri karena kalau pun hukuman tersebut tidak dijatuhkan sangat kecil kemungkinannya ia akan mencalonkan/dicalonkan sebagai anggota DPR, DPRD atau jabatan-jabatan politik lainnya, karena ya hitung aja sendiri berapa usia dia sekarang, dan berapa usia dia 15-18 tahun lagi. Terlebih UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD No. 10/2008 dan beberapa UU lainnya memang telah mensyaratkan calon tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih (UU ini telah diuji di MK dimana MK memutus konstitusional bersyarat, lihat putusan MK No. 4/PUU-VII/2009).

Tapi dijatuhkannya hukuman ini dalam kasus LHI seharusnya mengingatkan kita atas masalah ini secara lebih mendasar lagi, yaitu bahwa hak “politik”, menduduki jabatan-jabatan tertentu, pekerjaan tertentu dll memang seharusnya lebih tepat jika dilakukan melalui putusan pengadilan, kedua, hak-hak tersebut seharusnya tidak bisa dicabut selama seumur hidup, dan harus ada korelasi antara jenis tindak pidana yang dilakukan dengan jenis hak yang dapat cabut. Problem yang ada saat ini ketika hak-hak tersebut ‘dicabut’ melalui pengaturan syarat administrasi untuk menduduki jabatan tertentu yang umumnya dirumuskan dalam bentuk “tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih” sangat lah luas.

Sebagai contoh orang yang pernah dihukum karena melakukan penghinaan melalui media elektronik dan dipidana dengan pasal 27 (3) UU ITE atau kecelakaan menabrak orang (pasal 359 KUHP, 310-311 UU 22/2009) secara tidak langsung kehilangan hak dipilihnya (baca juga putusan 4/PUU-VII/2009), tidak bisa menjadi advokat, PNS, Notaris dan beberapa jabatan lainnya. Padahal, apa kaitannya antara perbuatannya menghina atau karena lagi sial dia menabrak orang dengan jabatan-jabatan tersebut?

Bandingkan pengaturan yang berimplikasi pada hilangnya hak orang untuk menduduki jabatan-jabatan atau profesi tertentu dalam banyak UU dengan pengaturan di KUHP terkait pidana tambahan pencabutan hak. Di KUHP tidak semua tindak pidana dapat dijatuhi pencabutan hak tertentu, dan jika dimungkinkan pun jenis hak yang dapat dicabut memiliki korelasi dengan sifat perbuatan pidananya. Penghinaan terhadap Presiden yang diatur dalam pasal 134 KUHP pun yang ancamannya 6 tahun penjara, tidak memungkinkan hakim untuk mencabut hak terpidana untuk bisa menduduki profesi tertentu (lihat Pasal 139 ayat (2) jo. 35 ayat (1) KUHP). Sementara itu terpidana karena melanggar Pasal 359-360 KUHP, kelalaian mengakibatkan luka atau kematian, hak yang dapat dicabut oleh hakim atas pelanggaran ini hanyalah hak untuk menjalani pekerjaan tertentu, misalnya supir dll (lihat Pasal 361 KUHP). Tapi hakim tidak bisa mencabut hak memilih dan dipilih atau hak untuk memegang jabatan umum (publik).

Ke depan seharusnya langkah seperti yang dilakukan MA dalam kasus LHI ini yang seharusnya ditempuh untuk mencabut hak-hak tertentu seseorang, yaitu melalui putusan pengadilan, dan pencabutan tersebut dilakukan secara selektif, dilihat kasus per kasus. Selanjutnya peraturan-peraturan yang menjadikan “tidak pernah dipidana…” yang menjadi syarat administratif untuk menduduki jabatan, profesi, atau pekerjaan tertentu dievaluasi kembali.

1 thought on “Aspek Lain Pencabutan Hak “Politik” Putusan LHI

  1. Bang, dalam amar putusan kasasi LHI tidak ada jangka waktu pencabutan hak politik. Konsekuensi hukumnya bagaimana bang?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s