“Mensano in corporisano”. Itu tulisan di seragam olah raga saya waktu SD dulu. Artinya anda semua tentu sudah tahu. Karena anda semua sudah tahu, maka sebaiknya tidak perlu lagi kita bahas. Oleh karenanya mari kita bahas isu yang lain.
Mari kita bahas soal seputar Perppu Pilkada. Saya cukup tertarik dengan pendapat 2 pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud MD dan Refly Harun tentang implikasi hukum jika DPR tidak menyetujui Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada ini. Menurut Prof Mahfud melalui akun twitternya yang kemudian dijelaskan kembali dalam artikelnya di Koran Sindo akan terjadi kekosongan hukum terkait pengaturan Pilkada jika Perppu Pilkada ini ditolak oleh DPR (UU Mati, Perppu Tak Hidup). Sementara itu Refly Harun memperkuat pendapat Prof Mahfud ini dalam acara ILC minggu lalu.
Alasannya kedua pakar hukum tersebut sederhana, Perppu Pilkada tersebut mencabut UU Pilkada (UU No. 22 Tahun 2014), dan UU Pilkada tersebut mencabut beberapa ketentuan dalam UU Pemda (32/2004 jo. 3/2005 jo. 12/2008) dan jika Perppu Pilkada ditolak DPR maka UU Pilkada tidak otomatis berlaku kembali, begitu juga ketentuang-ketentuan Pilkada yang ada dalam UU Pemda tersebut. Walhasil menurutnya akan terjadi kekosongan hukum pengaturan Pilkada.
Pendapat tersebut sudah dibantah oleh Pramudya A Oktavinanda, seorang advokat yang juga kandidat PhD dari University of Chicago Law School dalam artikel di blognya dengan sangat baik (baca Akibat Hukum dari Ditolaknya Perppu yang Mencabut Undang-Undang dan Sekali Lagi Soal Penolakan Perppu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan Kepada Mahfud MD). Pendapat senada juga diutarakan oleh Bobby R Manalu, yang juga merupakan seorang Advokat melalui akun twitternya, @BobbyManalu. Saya sangat setuju dengan pendapat Pram dan Bobby dalam hal ini, dan ingin menambahkan beberapa point saja untuk membantah argumentasi Prof. Mahfud dan Refly Harun.
Pertama, benar bahwa Perppu sejajar dengan UU, dan benar bahwa jika suatu UU mencabut UU maka UU yang dicabutnya otomatis gugur dan ketentuan pencabutan tersebut bersifat einmalig. Tapi yang perlu diingat Perppu pada dasarnya adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah dengan muatan UU karena adanya kondisi khusus. Dalam perspektif lain, Perppu juga dapat dilihat sebagai suatu UU yang belum sempurna, UU yang belum mendapatkan persetujuan DPR namun untuk sementara waktu dimungkinkan untuk dapat berlaku karena adanya kondisi khusus. Karenanya maka dalam melihat Perppu kita tidak bisa begitu saja mempersamakannya dengan UU.
Dengan pendekatan di atas maka dapat dikatakan jika terdapat sebuah Perppu yang mencabut suatu UU maka pencabutan tersebut haruslah dipandang sebagai pencabutan yang sifatnya sementara. Pencabutan UU tersebut oleh Perppu baru dianggap tetap jika DPR kemudian menyetujui Perppu tersebut. Dan sebaliknya pencabutan UU tersebut harus dipandang batal jika DPR menolak Perppu-nya. Mengapa? Karena berarti Perppu tersebut gagal dijadikan UU.
Logika ini sejalan dengan adanya pengaturan dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya dalam pasal 52 Ayat (7) ketika mengatur RUU Pencabutan Perppu mengatur juga segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. Klausul ini merupakan jalan keluar dari potensi permasalahan yang akan timbul jika Perppu ditolak sementara telah terdapat tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dilakukan berdasarkan Perppu tersebut. Sebagai contoh, bagaimana jika Perppu tersebut mengatur ketentuan pidana, dan sebelum Perppu tersebut dibahas oleh DPR telah ada pihak yang dipidana berdasarkan Perppu tersebut, namun setelahnya ternyata Perppu ini tidak disetujui oleh DPR? Tentu akan menjadi pertanyaan, bagaimana nasib terpidana yang dihukum berdasarkan Perppu tersebut?
Bagaimana nasib terpidana tersebut dalam konteks ini bukan lah isu, yang menjadi isu adalah mengapa pertanyaan tersebut muncul. Pertanyaan tersebut muncul tentu karena kita memandang Perppu tersebut memang tidak lah sepenuhnya sama dengan UU. Ketika Perppu tidak disetujui maka kita akan memandang mundur ke belakang ke titik dimana Perppu tersebut diterbitkan dan memandangnya tidak lagi sebagai UU, namun sebagai UU yang belum sempurna yang segala akibat hukum dari Perppu tersebut dapat dianggap tidak sah.
Kedua, seperti halnya juga pendapat Pram, selain melalui argumentasi di atas, cara lain untuk menghidupkan kembali UU yang telah dicabut oleh Perppu juga bisa dilakukan dengan cara memasukan pasal yang secara tegas menyatakan bahwa UU yang telah dicabut oleh Perppu dinyatakan berlaku kembali, dalam kasus ini yaitu UU Pilkada (22/2014). Bisa kah? Ya bisa, kenapa tidak? Pasal 52 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2011 toh telah memungkin kan hal itu.
Atas pandangan ini baik Prof Mahfud maupun Refly Harun berpandangan hal tersebut tidak dapat dilakukan. Alasannya seperti yang ditulis oleh Prof Mahfud dalam artikelnya seperti saya kutip dibawah ini:
Ada yang mengatakan, jika DPR menolak Perppu tersebut maka UU yang sudah dimatikannya otomatis hidup kembali. Pandangan ini bisa benar dalam bidang hukum perdata, tetapi menurut saya kurang tepat kalau diberlakukan untuk hukum tata negara. Perppu yang direviu di DPR itu bukan tidak sah, melainkan ditolak untuk dijadikan UU. Adapun sebelum ditolak ia berlaku secara sah sehingga sah pula saat mencabut UU No. 22 Tahun 2014. Harus diingat, keputusan DPR dalam mereviu Perppu hanya berisi menerima atau menolak, tak bisa menolak sebagian, menerima sebagian atau menerima dengan perbaikan.
Untuk memberlakukan lagi sebuah UU pun DPR harus melalui pembahasan lagi dari awal, melalui kesepakatan politik, memasukkannya ke dalam Prolegnas, dan membahas sesuai dengan tahapantahapan yang tersedia. Memang baru pertama ini sebuah Perppu langsung mencabut sebuah UU yang mengatur masalah-masalah rutin yang masih eksis, sehingga membuka risiko terjadinya kekosongan hukum jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Maka itu, untuk jangka panjang, perlu penyediaan instrumen hukum untuk mengantisipasinya.
Dari 2 paragraf di atas terkesan bahwa Prof Mahfud (dan mungkin juga Refly) melupakan satu hal yang sangat penting, pertama, benar bahwa DPR hanya bisa menyetujui atau menolak Perppu, tidak bisa DPR menerima atau menolak sebagian. Tapi, Prof Mahfud lupa (atau sengaja lupa) bahwa dalam pembahasan Perppu terdapat 2 bagian yang bisa dibedakan. Pertama, pembahasan mengenai disetujui atau tidaknya Perppu, dan kedua, pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang sebagai akibat dari diterima atau ditolaknya Perppu tersebut.
Dalam Paripurna di DPR mengenai Perppu, DPR memang hanya akan menyatakan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu menjadi undang-undang atau tidak. Namun setelah itu persetujuan atau penolakan tersebut harus dituangkan dalam UU. Jika DPR tidak menyetujui Perppu yang dibahas, maka dibuatlah UU Pencabutan Perppu. Dalam UU ini bisa diatur segala akibat hukum pencabutan perppu tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Ayat (7) UU 12/2011 seperti sedikit diulas dalam bagian sebelumnya.
UU Pencabutan ini memang sebelumnya dibuatkan RUU nya terlebih dahulu, namun menurut Pasal 71 Ayat (3) UU 12/2011 prosedur penyusunan dan pembahasan RUU ini berbeda dari penyusunan dan pembahasan RUU pada umumnya. RUU ini dapat diajukan oleh DPR maupun Presiden. Pengajuannya dilakukan pada rapat Paripurna yang membahas disetui/tidaknya Perppu itu sendiri. Dalam Pasal 61 Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 12 Tahun 2011 bahkan diatur, Menteri Pemrakarsa (menteri yang membawahi bidang yang diatur dalam Perppu) sebelumnya harus sudah membuat 2 RUU, yaitu RUU tentang Penetapan Perppu Menjadi UU dan RUU tentang Pencabutan Perppu. Kedua Perppu ini yang kemudian akan dibahas dalam Paripurna DPR, tentu saja jika dalam Paripurna tersebut DPR kemudian hanya akan membahas salah satu dari 2 RUU tersebut, tergantung dari apakah DPR menyatakan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut.
Nah dalam RUU Pencabutan Perppu yang disusun oleh Presiden melalui Menteri Pemrakarsa ini lah harus dimasukan ketentuan yang menyatakan bahwa UU yang dicabut oleh Perppu dinyatakan berlaku kembali. Dan dalam Paripurna DPR bisa langsung diketok RUU tersebut, tanpa diperlukan pembahasan materi-materi dari UU yang akan dihidupkan kembali tersebut –dalam hal ini UU Pilkada, mengapa? Ya karena materinya sebelumnya telah dibahas dan telah disetujui bersama oleh Presiden dan DPR, makanya sudah jadi UU dan sudah punya nomor, yaitu UU No. 22 Tahun 2014. Ya ora? Dengan disetujuinya UU Pencabutan Perppu yang diusulkan oleh Presiden tersebut, maka berarti telah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atas RUU Pencabutan Perppu tersebut. Selanjutnya tinggal tahap pengesahan oleh Presiden.
Pertanyaan yang mungkin timbul tentu, bagaimana jika Presiden tidak menghendaki agar UU Pilkada tersebut berlaku kembali sehingga dalam RUU Pencabutan yang diusulkan Presiden tidak dimasukan ketentuan yang secara tegas menyatakan UU Pilkada berlaku kembali atau bahkan menyatakan bahwa UU Pilkada tetap tidak berlaku. Tapi ini soal kedewasaan berpolitik. Karena jika demikian Presiden berarti sedang mendorong terjadinya kekosongan hukum, membuat kekacauan. Tapi ini tetap bukan lah sebuah masalah yang serius. Selain argumen bahwa UU Pilkada tetap dapat dianggap berlaku kembali, DPR pun dapat tetap memasukan ketentuan yang menghidupkan UU Pilkada kembali. Toh dalam paripurna DPR tidak lagi dibutuhkan persetujuan Presiden, hanya persetujuan DPR.
UU Pencabutan ini memang tentu saja dapat diuji di MK. Ya bisa saja. Tapi kata orang nantinya “ra wuis-wuis”, terus pilkadanya jadinya kapan mau dilaksanakan???
Kekosongan Hukum dan Peran Pakar Hukum
Satu hal yang menurut saya janggal dari pandangan Prof Mahfud dan Refly ini adalah, peran ahli hukum sebenarnya lebih dibutuhkan untuk memberikan pendapat-pendapat yang dapat mengisi celah-celah kekosongan hukum, ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan. Tapi dalam konteks ini ternyata keduanya justru sebaliknya, membuat seolah-olah akan terjadi kekosongan hukum jika Perppu Pilkada ini ditolak oleh DPR. Dan membuat seolah-olah UU Pilkada yang umurnya baru seminggu tersebut kemudian “dibatalkan secara sepihak” oleh Presiden/Ketua Umum Partai Demokrat tidak dapat dihidupkan kembali, atau jika pun dapat prosesnya akan lama karena harus seperti pembahasan RUU dari awal.
Pendapat seperti ini menurut saya sangatlah berbahaya bagi sistem demokrasi, karena pendapat tersebut mendorong adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR khususnya dibidang legislasi. Dengan logika kedua pakar tersebut –terlebih dengan pendapat bahwa Perppu adalah “hak subyektif” presiden, dimana ukuran “kegentingan yang memaksa” yang merupakan persyaratan dapat diterbitkannya Perppu menjadi hak sepenuhnya presiden, maka sama saja menyediakan legitimasi hukum bagi Presiden untuk bisa sekehendak hatinya membatalkan sebuah UU yang ia tidak suka dengan Perppu, dan kemudian jika DPR menolak Perppu tersebut UU nya tidak dapat dihidupkan kembali. Jika pun mau dihidupkan kembali harus dengan persetujuan Presiden lagi, dimana Presiden bisa saja tidak setuju lagi. Ini sama saja memberikan landasan bagi Presiden untuk menyandera DPR.
Bayang kan nantinya akan seperti ini jika pendapat Prof Mahfud dan Refly diikuti sebagai kebenaran. Karena tidak suka dengan UU Pilkada, Presiden menerbitkan Perppu yang membatalkan UU tersebut. Kemudian DPR menolak perppu tersebut. Lalu, dalam jika dianggap RUU Pencabutan Perppu harus juga mendapatkan persetujuan dari Presiden, maka Presiden berarti dapat menolak RUU Pencabutan Perppu tersebut. Karena RUU Pencabutan Perppu ini tidak mendapatkan persetujuan Presiden, maka Perppu dianggap tetap berlaku atau setidaknya tujuan Presiden untuk tidak memberlakukan UU yang dicabut oleh Perppu tersebut tetap berhasil. Ya chaos lah kalau begitu. Besok-besok Presiden dapat menggunakan strategi yang sama untuk UU lainnya yang menurutnya tidak menguntungkannya. Rusak lah sistem hukum dan tatanan ketatanegaraan kita. Mau? Gw sih ogah.
Hukum seharusnya didorong untuk membatasi kekuasaan, membuat kekuasaan menjadi lebih berimbang, memberikan batasan-batasan yang lebih, bukan sebaliknya. Peraturan tertulis tentu memiliki keterbatasan, ketidaksempurnaan, di sinilah letak peran penting dari para ahli hukum atau jurist, yaitu memberikan penafsiran hukum. Penafsiran atas celah-celah hukum atau ketidaksempurnaan hukum/peraturan tertulis itu memang dapat dimanfaatkan untuk memperbesar kekuasaan, namun juga dapat dimanfaatkan untuk membatasi kekuasaan itu sendiri, tergantung anda mau berdiri di mana. Yang jelas, kalau saya merupakan ahli hukum (which is not) saya akan memilih yang kedua.
Sekian dan terima kasih tak sampai
contohnya ya pembatalan UU di MK, seperti pembatalan UU Koperasi, otomatis UU ttg koperasi yg sebelumnya pencabutannya dibatalkan dan berlaku kembali
menarik ulasannya pak, tapi di UU 12 Tahun 2011 pada Lampiran II butir 229 berbunyi “Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula”. bagaimana itu pak ?
info sukses
http://www.grosirbubukcappucino.com