1. Pengantar
1 negara heboh gara-gara masalah eksekusi putusan mantan Kabareskrim Susno Duadji. Pihak Susno melalui kuasa hukumnya dan seorang Profesor hukum terkemuka yang juga seorang advokat (tapi bukan kuasa hukum pak susno) dan sekaligus Ketua Dewan Syuro suatu partai politik, mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, Prof. Yusril Ihza Mahaendra, SH mengklaim bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan terhadap Susno Duadji oleh karena putusannya batal demi hukum.
Dasar klaim tersebut tidak terlepas dari pendapat-pendapat sang profesor tersebut selama ini terkait masalah keabsahan surat putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat 2 jo. Pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), serta putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 yang menghapuskan (menyatakan tidak mengikat) huruf ‘K’ dalama pasal 197 ayat 2, atau dengan kata lain tidak disebutkannya perintah penahanan dalam putusan yang bersifat menghukum (menjatuhkan pemidanaan) tidak mengakibatkan batal demi hukumnya surat putusan tersebut.
Berikut bunyi pasasl 197 KUHAP tersebut:
Pasal 197
(1) Surat putusan pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam’tahanan atau dibebaskan;
1. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini
Terkait putusan MK nomor 69/PUU-X/2012 (dimana Prof. Yusril merupakan kuasa hukum dari pemohon saat itu, Parlin Riduansyah) MK memang tidak mengabulkan permohonan pemohon yang memohon agar MK memberikan tafsir ‘konstitusional’ (whatever apalah itu) yang menyatakan bahwa surat putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP tersebut batal demi hukum dan terhadap terpidana tidak dapat dilakukan eksekusi. Namun MK kemudian justru membatalkan ketentuan tersebut dan menyatakan putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan tidak batal demi hukum.
Putusan MK tersebut kemudian ditafsirkan sedemikian rupa oleh Prof. Yusril dengan menyatakan bahwa dengan putusan MK yang demikian maka secara a contrario berarti MK mengakui bahwa putusan-putusan pengadilan/Mahkamah Agung yang diputus sebelum putusan MK tersebut (tanggal 22 Nopember 2012) yang tidak mencantumkan perintah penahanan batal demi hukum. Ini lah yang kemudian menjadi dasar polemik dalam beberapa eksekusi putusan termasuk eksekusi terhadap Susno Duadji ini.
2. Seputar Masalah Perintah Penahanan dalam Pasal 197 KUHAP
Terlepas dari putusan MK di atas, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu bagaimana pengertian ketentuan adanya perintah penahanan sebagaimana pengaturan tentang putusan, Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP serta bagaimana duduk persoalan putusan Susno Duadji itu sendiri.
a. Tentang Putusan dan Surat Putusan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah putusan ini perlu terlebih dahulu dijelaskan bahwa pada dasarnya terdapat 2 jenis putusan (akhir[1]) dalam peradilan pidana, pertama putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti, dan putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk putusan jenis pertama ini terdapat dua sub jenis putusan, yaitu putusan yang menjatuhkan hukuman[2] (putusan menghukum) dan putusan yang menyatakan terdakwa dilepaskan karena perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana[3] (putusan lepas) (bahasa belandanya: onslag van alle recthsvervolging). Untuk jenis putusan yang terkahir ini, putusan lepas, pengadilan tidak akan menjatuhkan hukuman, karena dipandang perbuatan tersebut walaupun terbukti namun bukan tindak pidana atau karena ada alasan pemaaf (karena daya paksa, pembelaan diri dll). Sementara itu untuk putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan tidak terbukti hanya ada satu jenis, putusan ini yang kemudian dinamakan putusan bebas[4].
Atas ketiga jenis putusan tersebut (menghukum, lepas dan bebas) tersebut mengenai bagaimana SURAT putusannya diatur –hal-hal apa saja yang harus ada dalam SURAT putusan- KUHAP membaginya dalam dua kelompok, yaitu SURAT putusan yang menjatuhkan pemidanaan (hukuman) dengan yang tidak menjatuhkan hukuman. Yang termasuk surat putusan yang tidak menjatuhkan hukuman yaitu putusan bebas dan lepas[5]. Pengaturan mengenai SURAT putusan yang menjatuhkan hukuman diatur dalam Pasal 197 KUHAP sementara putusan yang tidak menjatuhkan hukuman diatur dalam Pasal 199 KUHAP.
Mengingat putusan yang dipersoalkan kali ini adalah putusan yang menjatuhkan hukuman, maka untuk sementara ini mari kita fokus pada seputar Pasal 197.
b. Perintah Penahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf K
Dalam pasal 197 sebagaimana saya kutip di bagian sebelumnya memang secara jelas tertulis dalam ayat 2-nya bahwa putusan yang tidak memenuhi syarat pasal 197 ayat (1) huruf K batal demi hukum. Namun, apakah ketentuan ini dapat dibaca secara tekstual begitu saja terlebih hanya melihat pasal 197 ayat 1 dan 2 saja? Lebih spesifik lagi, apakah ketika dalam amar putusan tidak disebutkan PERINTAH PENAHANAN maka putusan tersebut akan batal demi hukum? Selain itu apa sih artinya putusan batal demi hukum dan konsekuensinya? Untuk masalah yang terakhir ini akan saya bahas secara khusus dalam bagian lainnya dalam tulisan ini.
Untuk memahami arti dari Pasal 197 ayat (1) huruf K ini sebenarnya kita tidak boleh melepaskannya dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP. Seperti saya jelaskan sebelumnya pasal ini sebenarnya hanya mengatur mengenai SURAT putusannya semata, bukan putusan itu sendiri. Nah, dalam membaca pasal 197 khususnya ayat (1) huruf K kita tidak boleh melupakan pasal 193 dan Pasal 21 KUHAP itu sendiri, karena ketiganya saling terkait.
Berikut bunyi Pasal 193 KUHAP
Pasal 193
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Dari pasal 193 khususnya ayat 2 tersebut maka terlihat bahwa terdapat dua kondisi yang perlu diperhatikan hakim (pengadilan) dalam memutus, yaitu apakah saat putusan tersebut dijatuhkan Terdakwa sedang ditahan atau tidak. Jika pada saat itu Terdakwa tidak sedang ditahan maka Pengadilan DAPAT memerintahkan supaya Terdakwa ditahan. Namun apabila pengadilan AKAN menahan maka Pasal 193 ayat (2) tersebut memberikan ‘peringatan’, yaitu apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 (KUHAP) DAN terdapat alasan yang cukup untuk itu (memerintahkan penahanan). Untuk lebih jelasnya mari kita lihat Penjelasan Pasal 193 ayat (2) huruf a tersebut:
Penjelasan Pasal 193 ayat (2) huruf a:
Perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Sedangkan jika Terdakwa saat diputus sedang ditahan, maka terdapat dua opsi bagi pengadilan, yaitu menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
Dari ketentuan Pasal 193 ayat (2) di atas terlihat secara jelas bahwa perintah penahanan dalam amar putusan pada dasarnya TIDAK BERSIFAT ABSOLUT. Khususnya jika Terdakwa saat itu TIDAK dalam status sedang ditahan. Perintah agar terdakwa segera ditahan ini merupakan DISKRESI dari hakim (majelis) yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dan diskresi ini pun tetap dibatasi dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, yang artinya tidak semua putusan pemidanaan DAPAT diikuti dengan perintah penahanan. Mengapa? Karena tidak semua tindak pidana terdakwa-nya dapat dikenakan penahanan (Pasal 21 ayat 4). Jika tindak pidana yang terbukti menurut pengadilan adalah tindak pidana yang ancamannya dibawah 5 tahun atau tindak pidana-tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b maka pengadilan dalam putusannya TIDAK BERWENANG memerintahkan agar terdakwa segera ditahan. Apa contohnya? Putusan yang menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penghinaan yang diatur dalam Bab XVI KUHP (Pasal 310-321), penghinaan terhadap badan publik (207 KUHP), Pencurian Ringan (364 KUHP) dan banyak tindak pidana lainnya.
Dalam perkara-perkara dimana jenis perkara tersebut memang tidak dapat dikenakan penahanan terhadap Terdakwa, jika pengadilan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan justru pengadilan melanggar hukum. Mengingat dalam perkara ini (jika terdakwa sebelumnya memang tidak sedang ditahan) maka dalam amar putusan tidak akan disebutkan apakah terhadap Terdakwa harus segera ditahan, dibebaskan atau dilanjutkan penahanannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf K. Pertanyaannya, apakah dengan demikian maka putusan tersebut batal demi hukum? Sangat tidak masuk akal!
Dalam kondisi-kondisi tertentu lainnya walaupun perkara yang dinyatakan terbukti adalah perkara atas tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan pengadilan juga PASTI tidak akan memerintahkan agar terdakwa untuk segera ditahan (apabila sebelumnya ia tidak ditahan), yang mana jika pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka putusan justru akan menjadi tidak masuk akal. Apakah itu? Putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) sebagaimana pasal 14a KUHP atau putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan hanyalah pidana denda.
Mengapa demikian? Dalam putusan dimana hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) untuk apa lagi pengadilan memerintah kan penahanan? Lha, bukan kah bahkan hukuman penjaranya tidak perlu dijalankan dengan syarat selama masa percobaan tidak melakukan tindak pidana lagi? Apalagi jika hukuman yang dijatuhkan hanya denda. Mau lihat contoh putusan pidana bersyarat? Coba cek putusan Rasyid atau Prita Mulya Sari (link), lihat apakah ada perintah agar terdakwa segera ditahan dalam amar putusannya.
Selain kondisi-kondisi di atas (hukuman yang dijatuhkan adalah pidana bersyarat atau denda) kondisi lainnya yang memungkinkan Pengadilan tidak memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan adalah… ya jika pengadilan tidak mau memerintahkan hal tersebut, toh perintah penahanan tersebut adalah diskresi pengadilan. Pertanyaannya, apakah salah jika pengadilan TIDAK MAU menggunakan kewenangan DISKRESIONAL-nya? Ya jelas sah-sah saja lah. Selain itu perintah penahanan tersebut juga TIDAK dapat dilakukan jika masa wewenang penahanan yang dimiliki pengadilan telah habis[6]. (Lihat SEMA No. 8 Tahun 1985 tentang
c. Pasal 197 ayat (1) Huruf K bukan Perintah Eksekusi
Apakah jika dalam putusannya pengadilan tidak memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka artinya Pengadilan tidak memerintahkan agar terdakwa dieksekusi? Tidak. Penahanan dan eksekusi (penjalanan hukuman) adalah dua hal yang berbeda.
Penahanan pada dasarnya adalah pembatasan kemerdekaan seseorang untuk sementara waktu yang dapat dilakukan penyidik, penuntut umum atau hakim selama proses pemeriksaan berlangsung. Penahanan ini bukan lah tujuan dari proses peradilan pidana itu sendiri, ia hanyalah instrumen untuk mencegah tersangka (atau terdakwa –jika orang tersebut sudah dalam proses persidangan termasuk selama upaya hukum berlangsung) melarikan diri, mengulangi perbuatannya atau menghilangkan/merusak barang-barang bukti. Penahanan sendiri dapat dilakukan dalam 3 jenis, penahanan dalam rumah tahanan negara (rutan), penahanan rumah, atau penahanan kota[7] (kalau kabupaten ya jadinya penahanan kabupaten :p).
Sementara itu hukuman adalah penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa. Hukuman ini (dalam konteks pidana) terdiri dari 2 jenis, yaitu pidana pokok, dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Pidana Penjara sendiri dibagi menjadi 2 jenis, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara untuk waktu tertentu.[8] Hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan dalam suatu kasus tertentu bergantung pada bagaimana ketentuan pidana tersebut mengaturnya. Sebagai contoh untuk tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) hukuman yang dapat dijatuhkan hanyalah penjara selama paling lama 15 tahun. Untuk pencurian biasa (362) penjara paling lama 5 tahun atau denda paling tinggi Rp 900,- (atau Rp 900 x 15 x 1000 =135 juta menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012). Dst.
Kapan penahanan dapat dijalankan? Segera setelah perintah penahanan tersebut ditetapkan. Sementara itu, kapan hukuman dapat dijalankan? Jika putusan yang menjatuhkan hukuman tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Dari sini jelas bahwa perintah penahanan sebagaimana pasal 197 (1) huruf K bukanlah perintah eksekusi. Terlebih untuk eksekusi hukuman sendiri sudah diatur secara khusus dalam KUHAP yaitu dalam pasal 270-276.
3. Seputar Masalah Putusan Susno Duadji
Sekarang mari kita masuk dalam permasalahan putusan Susno Duadji. Permasalahan yang ada dalam isu ini sebenarnya sangat sederhana. Ada 3 isu yang dipermasalahkan oleh penasihat hukum Susno Duadji dan Prof. Yusril Ihza Mahaendra, SH, MSc. Pertama, putusan kasasi tidak mencantumkan amar putusan hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dari Terdakwa (Susno Duadji) dan Penuntut Umum serta hanya menyatakan menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara.
Kedua, mengingat putusan yang menjatuhkan hukuman ada di pengadilan tinggi, pihak Susno menyatakan bahwa putusan tersebut batal demi hukum karena tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana pasal 197 ayat (1) huruf K. Dan ketiga putusan Banding (35/PID/TPK/2011/PT.DKI) tersebut dianggap batal demi hukum karena salah mencantumkan nomor putusan tingkat pertama.
a. Putusan Kasasi Tidak Mencantumkan Hukuman
Atas ketiga permasalahan tersebut saya tidak sependapat dengan klaim bahwa putusan tersebut batal demi hukum. Mengenai alasan pertama perihal putusan Kasasi tidak mencantumkan amar putusan hanya menyatakan menolak kasasi para pemohon. Atas masalah ini menurut saya sebaiknya kuasa hukum pak Susno Duaji belajar hukum kembali atau setidaknya mengikuti PKPA lagi.
Putusan menolak permohonan kasasi ya memang tidak akan mencantumkan amar putusan lagi, kecuali menurut Mahkamah Agung terdapat amar yang perlu diperbaiki. Semua Upaya Hukum (banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum, dan peninjauan kembali) pada dasarnya upaya untuk menguji putusan sebelumnya. Dalam upaya hukum tersebut pemohonon akan mendalilkan bahwa putusan yang diuji (putusan PN jika permohonannya ditahap banding, atau putusan Banding jika permohonannya ditahap Kasasi dst) mengandung kesalahan sehingga harus dibatalkan. Atas permohonan tersebut pengadilan yang memeriksa permohonan upaya hukum tersebut (Pengadilan Tinggi jika banding, Mahkamah Agung jika Kasasi, Kasasi Demi Kepentingan Hukum atau Peninjauan Kembali) bisa mengabulkan permohonan –yang artinya putusan yang diuji tersebut dibatalkan- bisa juga menolak permohonan –yang artinya putusan yang diuji tidak salah atau sudah tepat. Kemungkinkan lainnya yaitu pengadilan (tinggi atau Mahkamah Agung) berpendapat bahwa alasan permohonan banding/kasasi tidak tepat namun MA melihat ada permasalahan lain dalam putusan tersebut sehingga MA memutuskan akan mengadili sendiri putusan tersebut[9].
Dalam kasus Susno Duaji ini maka sudah tepat amar putusan Kasasi yang menyatakan menolak permohonan kasasi para pemohon tanpa menjatuhkan hukumannya lagi. Mengenai amar putusan yang menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara? Itu biaya perkara khusus di tingkat kasasi, tidak ada urusannya dengan amar putusan dalam pokok perkara ataupun biaya perkara ditingkat PN atau Banding. Masih kurang jelas? Silahkan tengok bagaimana putusan-putusan kasasi dan Peninjauan Kembali di website putusan Mahkamah Agung putusan.mahkamahagung.go.id.
b. Putusan Banding Tidak mencantumkan Perintah Penahanan
Seperti telah saya jelaskan dalam bagian sebelumnya pada dasarnya perintah penahanan dalam putusan tidak bersifat absolut. Pasal 197 ayat 1 huruf K menjadi mutlak jika dan hanya jika terdakwa pada saat diputus sedang ditahan, yang untuk itu demi kejelasan status penahannya pengadilan harus menjelaskan dalam putusannya apakah terdakwa dilanjutkan penahannya atau dibebaskan (lihat Pasal 293 ayat 2 huruf b).
Nah, sekarang apa yang terjadi dalam kasus Susno Duadji ini? Susno Duaji pada saat penyidikan hingga pemeriksaan ditingkat pertama memang dikenakan penahanan. Penahanan terhadapnya berlanjut hingga proses banding. Namun sebelum Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusannya, masa penahanan Susno Duadji telah habis[10] yang mana menurut Pasal 27 ayat (4) KUHAP (atau Pasal 29 ayat (6) jika perpanjangan penahanan khusus[11] pun telah habis) tersebut dinyatakan jika waktu penahanan tersebut telah habis walau perkara (banding) belum diputus terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum (lihat berita ini).
Kemudian, pada saat permohonan Banding tersebut diputus Susno Duadji TIDAK sedang dalam penahanan, baik penahanan rutan, rumah maupun kota. Mengingat Susno Duadji (terdakwa) saat diputus TIDAK sedang dalam penahanan maka berlakulah pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP sebagaimana dikutip dalam bagian sebelumnya, yang intinya Pengadilan memiliki kewenangan diskresional untuk menentukan apakah Terdakwa perlu ditahan atau tidak. Jika Pengadilan memandang Terdakwa perlu ditahan maka penetapan penahanan tersebut dicantumkan dalam amar putusannya, tidak perlu lagi menerbitkan Surat Perintah Penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1), 27 ayat (1) atau 28 ayat (1) KUHAP oleh karena Putusan itu sendiri telah merupakan penetapan itu sendiri.
Dalam kasus ini yang perlu diingat juga adalah TELAH HABISNYA kewenangan penahanan yang dimiliki oleh Pengadilan Tinggi terhadap Susno Duadji, sehingga memang Pengadilan Tinggi tidak dapat menetapkan perintah agar Susno Duadji segera ditahan. Mengenai masalah seperti ini Mahkamah Agung telah pernah mengeluarkan Surat Edaran MA khusus mengenai ini, yaitu SEMA No. 8 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Ketua MA saat itu, Ali Said. Berikut kutipan isi dari SEMA tersebut:
SURAT EDARAN
NOMOR 8 TAHUN 1985
Berhubung adanya pertanyaan apakah Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa ditahan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, apabila wewenang untuk menahan berdasarkan Pasal 26, 27, dan 29 ayat (2) KUHAP sudah seluruhnya habis dipergunakan, bersama ini Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai berikut:
Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun karena penahan itu menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan “menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”, maka apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” di dalam putusannya.
Demikian kiranya Saudara maklum.
(keterangan: cetak tebal oleh penulis)
Jadi, dengan demikian putusan Pengadilan Tinggi No. 35/PID/TPK/2011/PT.DKI yang dipersoalkan ini, yang tidak mencantumkan perintah agar Susno Duadji untuk segera ditahan SUDAH TEPAT dan TIDAK BATAL DEMI HUKUM.
Masih belum paham? Silahkan minum susu dulu biar cerdas sedikit.
c. Putusan Banding Salah Kutip Nomor Putusan PN
Alasan lainnya yang diajukan oleh pihak penasihat hukum Susno Duadji yaitu adanya kesalahan penulisan nomor putusan PN. Atas permasalahan ini yang perlu diperhatikan adalah, apakah kesalahan tersebut semata kesalahan ketik atau tidak. Apakah kesalahan penulisan nomor putusan tingkat pertama dalam Putusan Banding tersebut mengindikasikan bahwa Pengadilan Tinggi salah dalam merujuk putusan yang dipersoalkan atau tidak. Untuk mengetahui hal ini maka yang perlu diperiksa adalah apakah amar putusan tingkat pertama yang dikutip dalam Putusan Banding juga salah atau tidak. Misal, apakah amar tersebut ternyata juga bukan merupakan amar putusan tingkat pertama Susno Duadji. Jika dalam amar putusan tingkat pertama yang dikutip dalam Putusan Banding tersebut nyata-nyata sama dengan amar putusan tingkat pertama yang ada dalam salinan putusan resmi, maka dapat disimpulkan kesalahan tersebut hanyalah kesalahan pengetikan nomor semata, sehingga tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Atas permasalahan ini kebetulan saya sudah melihat putusan Banding tersebut dan mengecek bagaimana isi amar putusan PN yang ada dalam salinan Putusan Banding tersebut. Dari pengamatan tersebut saya simpulkan kesalahan hanyalah kesalahan pengetikan nomor putusan semata.
4. Putusan Batal Demi Hukum
Apa itu putusan batal demi hukum, dan apa sih konsekuensi hukumnya dari putusan seperti ini? Siapa yang berwenang menetapkan bahwa suatu putusan batal demi hukum atau tidak, bagaimana pengaturan mengenai hal ini dan prakteknya?
…mengingat saya sudah agak lelah mengetik seharian, bagian ini akan saya lanjutkan lain waktu (moga-moga bisa hari ini juga). Tapi sebagai rujukan awal bisa lihat postingan saya sebelumnya, yaitu resume atas putusan Mahkamah Agung No. 1307 K/Pid/2001 dengan Terdakwa Rivai Hasan Basri.
Sekian dan terima sayang.
Catatan Tambahan:
Lihat juga Putusan:
1. 1307 K/Pid/2001 (Rivai Hasan Basri)
2. 1074 K/Pid/2012 (Hj. Sri Purwanti)
[1] Selain putusan akhir ada juga putusan sela. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai putusan sela.
[2] Lihat Pasal 193 ayat (1) KUHAP
[3] Lihat Pasal 191 ayat (2) KUHAP
[4] Lihat Pasal 191 ayat (1) KUHAP
[5] Walaupun tidak dinyatakan secara tegas dan tidak diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, sebenarnya dalam ketentuan ini termasuk juga putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima (N.O. atau niet onvankelijke verklaard).
[6] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 1985 tentang Perintah Agar Terdakwa Ditahan Menurut Pasal 197 ayat (1) Huruf K KUHAP
[7] Lihat Pasal 22 KUHAP
[8] Lihat Pasal 10 KUHP
[9] Lihat Pasal 254-256 KUHAP
[10] Lamanya masa penahanan ditingkat Banding diatur dalam Pasal 27 KUHAP
[11] Perpanjangan Penahanan khusus yaitu perpanjangan penahanan diluar penahanan dan penahanan lanjutan biasa. Perpanjangan penahanan khusus ini hanya dapat dilakukan untuk perkara-perkara tertentu, yaitu dimana tersangka/terdakwa mengalami gangguan fisik atau kejiwaan atau perkara yang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih. Lihat Pasal 29 KUHAP.
Tulisan yang bagus!!.
Saya banyak belajar dari mas Arsil, terus produktif mas.
Sedikit tambahan (mohon dikoreksi bila saya salah) untuk lebih menegaskan tulisan ini, ada 2 hal yg ingin saya sampaikan.
1. Di bagian penjelasan KUHAP pasal 197 ayat (2) tercantum:
Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Dari penjelasan tersebut nyata2 disebutkan bahwa, kecuali butir a, e, f dan h batalnya putusan demi hukum tidak absolut atau mutlak seperti yang dimaksud pada tulisan di atas. Dalam kasus di atas memang tidak dicantumkannya butir k bukan karena kekhilafan atau kekeliruan penulisan. Tapi setidaknya dapat mematahkan argumentasi prof yusril bahwa persyaratan tersebut mutlak harus dipenuhi tanpa cacat.
2. Saya nunggu tulisan nomer 4 🙂
Pernyataan batal demi hukum seharusnya tidak boleh diterjemahkan sebagai setiap orang serta merta dapat menyatakan BATAL DEMI HUKUM sebuah PUTUSAN PENGADILAN, kalau putusan pengadilan bisa dibatalkan oleh setiap orang meskipun tarohlah putusan tsb nyata2 salah, ya bisa ambruk negara ini, seharusnya dimohonkan ke peradilan yang di atasnya karena yang bisa membatalkannya adalah peradilan di atasnya sesuai KUHAP.
Trims. IMHO.
terima kasih atas masukannya mas. ya bagian penjelasan 197 ayat 2 tersebut memang belum masuk, dan ada beberapa bagian lainnya yang belum sempat dijelaskan. maklum nulisnya ‘sekali jalan’ ga sempat ngedit lagi.
untuk nomor 4 mudah2an bisa secepatnya saya tulis kalau ada waktu.
salam
siiip
Barusan hari ini di TV one ILC, saya nonton Prof. Yusril mengartikan penjelasan KUHAP pasal 197 ayat (2) secara bertolak belakang dengan pihak kejaksaan. Kayaknya harus ada salah satu yg harus masuk kembali ke bangku sekolah untuk belajar bahasa Indonesia dengan lebih baik, hehehe….
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam’tahanan atau dibebaskan;Penahanan terhadapnya berlanjut hingga proses banding. Namun sebelum Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusannya, masa penahanan Susno Duadji telah habis[10] yang mana menurut Pasal 27 ayat (4) KUHAP (atau Pasal 29 ayat (6) jika perpanjangan penahanan khusus[11] pun telah habis) tersebut dinyatakan jika waktu penahanan tersebut telah habis walau perkara (banding) belum diputus terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum .Maksut prof yusril. pak susno bukan orang yang lagi di tahan atau dalam penahanan kenapa harus di exsekusi gitu lo.Jangan sepotong sepotong memahaminya trims
@efendi:saya sudah jelaskan apa bedanya penahanan dg eksekusi di tulisan ini.
terdapat kebenaran formil dan kebenaran materiil, apabila dicermati dari tulisan mas Arsil maka 2 jenis kebenaran tersebut haruslah saling menunjang. apabila terdapat clerical error dalam kebenaran formil tentunya tidak serta merta menghapus kebenaran materillnya.
trims tulisannya, sangat membantu penulisan disertasi saya. Seklian minta izin untuk dijadikan salah satu rujukan.
Silahkan pak.
Ijin bookmark dulu dan nanti dibaca di kost an.. 🙂
Yusril ada benarnya juga, bahwa dalam proses dan tindakan hukum tidak boleh ada kesalahan baik penulisan, pengetikan, atau keliru, atau lupa, apapun namanya itu dapat membahayakan tersangka atau terdakwa. UU telah mengatur ketentuan ini, hukum harus bersifat pasti, cermat dan teliti. UU mengatur seseorang dapat bersalah atas kealpaan atau kelalaiannya mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Perdebatan ini masing2 ada benarnya, cuma yusril mengacu secara kontektual dan konseptis kepada UU. Yusril bagus kok, ini salah satu ujud kepastian hukum, bahwa hukum tidak boleh disepelekan.
Tindakan Yusril adalah tindakan korektif yg perlu dikembangkan oleh ahli hukum. Dari pada diam, dan buktinya sudah banyak yang diperbaiki. Yusril bagus kok, mari kita kawal jalannya Law enforcement di negeri ini.
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 KUHAP yakni : “peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini” dengan sendirinya KUHAP telah membatasi diri dari interfensi aturan – aturan lain dalam bentuk persidangan dan acara pidana, sehingga apapun pertimbangan hakim dalam formalitas acara pidana harus sesuai dengan ketentuan KUHAP, tidak mengakui akan adanya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf (k) KUHAP sama halnya dengan tidak mengakui KUHAP sepenuhnya. Sebagai manusia biasa hakim pun pasti melakukan suatu kelalaian dan kekeliruan sebagaimana yang dikatakan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Parlin Riduansyah, namun dilain sisi hakim harus berjiwa besar mengakui kelalaian yang diperbuat, sehingga masyarakat tidak menafsirkan sesuatu secara kemauan mereka sendiri dalam hal yang sudah tertuang dalam formlaitas hukum acara pidana sama seperti hakim, maka dengan sendirinya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu tetap juga batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam KUHAP, hal ini disebabkan kelalaian dan kekeliaruan hakim,
maaf mau tanya…
seperti apakah contoh putusan yg ada perintah penahanannya itu?
apabila ada putusan kasasi yg salah satu amarnya berbunyi “menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan denda 1 juta subsider 1 bulan”.
apakah amar tsb termasuk perintah penahanan atau bukan? atau harus ada amar yg berbunyi antara lain “memerintahkan untuk ditahan”?. mengingat saat putusan kasasi MA terdakwa dalam posisi tidak ditahan (bebas) karena menang/bebas onslag dalam tingkat pengadilan negeri.
mohon petunjuk dan pencerahannya..
terima kasih
@ peter: bukan, itu tidak termasuk perintah penahanan, itu hukuman yang dijatuhkan. Jika sebelumnya terdakwa tidak dalam tahanan dan menurut majelis perlu untuk ditahan terlepas dari apakah terdakwa akan mengajukan upaya hukum banding atau kasasi, maka selain menyatakan berapa hukuman yang dijatuhkan, dalam salah satu amarnya akan disebutkan “memerintahkan agar terdakwa segera ditahan”.
Pingback: Plagiasi | KRUPUKULIT